Perjalanan ke kotaraja memerlukan waktu sekitar 3 hari. Selama 3 hari itu, luka dari Gan Siau Liong sudah membaik. Sebagai pesilat kelas atas, tenaga dalam sakti di dalam tubuhnya memberikan daya pulih yang amat sangat cepat. Ditambah dengan obat-obatan dari tabib khususnya, ketua dunia persilatan ini sudah hampir bisa berjalan.
Keadaan Cio San justru seperti tidak ada perubahan. Ia masih tetap harus berbaring dan tidak boleh terlalu banyak bicara. Suma Sun selalu setia berada di samping tempat tidurnya. Meskipun si tabib cantik sudah berkali-kali melarang-larangnya, Suma Sun seolah-olah tidak mendengar kata-kata tabib itu. Kao Ceng Lun tidak terlalu banyak melakukan apa-apa, ia lebih banyak merenung di dalam kamarnya. Memikirkan banyaknya kejadian yang mereka lalui beberapa hari ini.
Sesampainya di darat, perjalanan dilakukan dengan menggunakan dua buah kereta. Kedua kereta ini tidak terlalu mencolok,dan nampaknya sudah disiapkan di dermaga. Mengetahui ini, Cio San dalam hatinya mengakui juga ‘kekuasaan’ Gan Siau Liong. Pemuda kaya raya ini memiliki jaringan yang kuat di mana-mana. Semakin lama, ia semakin tertarik menyelidiki pemuda ini. Latar belakang kehidupannya yang penuh rahasia membuat Cio San penasaran dan ingin tahu lebih banyak.
Rombongan dua kereta ini berisi Gan Siau Liong, Peng Lin si tabib cantik, dua orang dayang yang bernama Yong-ji dan Sui-ji, Cio San, Suma Sun serta Kao Ceng Lun. Dayang-dayang dan pengawal Gan Siau Liong yang tersisa, semuanya tinggal di kapal. Untuk mengelabui musuh, rombongan dua kereta ini melakukan beberapa banyak tipu muslihat agar kedatangan mereka tidak mudah dilacak.
Di kotaraja ini, Kao Ceng Lun lah yang paling ‘berkuasa’. Ia hafal segala sisi dan sudutnya. Ia jugalah yang mengatur perjalanan secara sembunyi-sembunyi ini sehingga mereka mampu sampai masuk ke dalam istana kaisar!
Sebagai seorang petugas rahasia, ia memiliki banyak kemampuan untuk melakukan hal ini. Anggota rombongan yang lain hanya bisa kagum saja melihat bagaimana ia mengatur pergerakan dan perjalanan rombongan ini. Terkadang mereka harus menyelinap ke dalam penginapan, untuk kemudian keluar dengan menyamar sebagai pelayan. Terkadang mereka pun harus berbaur di dalam keramaian pasar dan bertemu di sebuah titik tertentu. Dengan keadaan Cio San yang sama sekali tidak bisa bergerak dan harus digendong Suma Sun, serta keadaan Gan Siau Liong yang pincang, adalah merupakan sebuah usaha yang sangat sulit dilakukan. Tetapi ia berhasil, dan mereka semua selamat sampai ke dalam istana.
Dengan posisinya sebagai perwira pasukan rahasia, menyelundupkan rombongan ini bukan merupakan sebuah pekerjaan maha sulit, meskipun juga bukan sesuatu yang gampang. Entah bagaimana Kao Ceng Lun melakukannya, mereka akhirnya berhasil melewati penjagaan dan pemeriksaan petugas istana yang amat sangat ketat itu.
Kini mereka berada di bangunan dinas milik Kao Ceng Lun. Kamar dinas seperti ini sangat banyak di dalam kompleks istana. Jumlahnya ada ribuan. Diperuntukkan khusus untuk petugas dan pejabat tertentu. Bangunan ini tidak begitu luas. Hanya ada ruang depan untuk tamu, ruang tengah untuk makan dan duduk-duduk, kamar tidur, serta kamar kecil. Kamar tidur diberikan Kao Ceng Lun kepada ketiga anggota rombongan yang perempuan, yaitu si tabib cantik dan dua orang dayang. Ruang tengah mereka rombak menjadi tempat bagi rombongan lelaki. Cio San diberi tempat di sudut ruangan itu, berdekatan dengan pintu kamar tidur. Gan Siao Liong berada tidak jauh di sebelahnya, agar memudahkan kerja si tabib untuk mengurusi mereka. Kao Ceng Lun memilih tempat di kursi panjang dekat meja makan, dan dekat pintu yang memisahkan ruang depan dan ruang tengah. Hal ini agar ia dapat mengawasi segala sesuatunya. Sedangkan Suma Sun berada di sisi belakang yang berdekatan dengan kamar kecil dan pintu belakang. Peletakkan posisi ini dipikirkan dengan sangat matang, karena sebenarnya posisi ini posisi bertahan yang sangat baik. Jika terjadi ‘perubahan’ dan kejadian yang tidak diinginkan, mereka akan dengan mudah menyesuaikan diri.
Di dalam istana yag maha luas ini, makanan sudah dipersiapkan dan diantarkan setiap pagi. Tetapi para penghuninya juga sering memasak sendiri jikalau sewaktu-waktu ingin makan. Ada peralatan makan, minum serta memasak pula. Tungku perapian berada di bagian belakang gedung kecil itu. Kao Ceng Lun lah yang bertugas masuk keluar jika mereka memerlukan air panas, atau harus memasak. Hal ini agar tidak terlihat orang lain, dan tidak mencurigakan.
Sudah 5 hari mereka tinggal di situ. Tidak ada kejadian penting yang terjadi. Kecuali Kao Ceng Lun yang terpaksa harus sering keluar untuk mencari kabar dan berita, sesuai tugasnya sebagai anggota Kim Ie Wei (Dinas rahasia kekaisaran). Cio San dengan senang hati mendengarkan cerita dan perkembangan yang terjadi di dunia luar. Ia tidak bisa berbicara terlalu banyak dan hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk-angguk.
Kabar yang dibawa Kao Ceng Lun sebenarnya bukan kabar baru, karena ini terjadi sudah hampir setengah tahun yang lalu. Tetapi istana menutup rapat-rapat rahasia ini. Kao Ceng Lun bercerita bahwa gudang istana telah dibobol oleh seorang maling. Cio San sudah pernah mendengar cerita ini. Justru cerita inilah yang membuatnya berangkat bertemu sahabat-sahabatnya. Tetapi kisah yang sebenarnya dan selengkap-lengkapnya belumlagi ia dengar. Kejadian di rumah Cukat Tong terlalu cepat, sedangkan mereka Kao Ceng Lun belum sempat bercerita.
“Hampir setengah tahun yang lalu, gudang istana dibobol oleh seseorang. Tidak ada yang tahu siapa dia, dan tidak ada yang tahu bagaimana caranya ia bisa masuk dan keluar tanpa ketahuan sama sekali,” kisah Kao Ceng Lun.
“Benda apa yang hilang?” tanya Gan Siau Liong.
“Selembar baju.”
“Baju?” hampir semua orang yang berada di sana mengerutkan kening.
“Tapi baju ini bukanlah baju biasa. Baju ini adalah Mustika Kim Hoa Ie (Baju Ular Emas).”
“Ahhh...,” hampir serentak mereka berseru.
Mustika Baju Ular Emas adalah sebuah legenda di dalam dunia persilatan. Baju ini dapat membuat pemakainya kebal dari segala macam senjata tajam maupun tumpul. Bahkan dapat menahan serangan tenaga dalam. Padahal baju ini setipis sutra dan sangat ringan, bagaikan pakaian dalam perempuan. Baju ini terbuat dari kulit sejenis ular langka. Ular emas!
Cio San pernah hidup bersama ular seperti itu di dalam sebuah goa. Ia pun pernah mendengar kegunaan kulit itu. Ia hanya tidak percaya bahwa baju itu memang benar-benar ada. Ia pun tidak tahu bahwa kekaisaran memiliki baju ini.
“Jumlah baju ini cuma ada sepasang di dunia ini. Satu yang dicuri itu, dan yang satu lagi dipakai kaisar setiap hari dibalik pakaian kebesarannya,” jelas Kao Ceng Lun.
“Sepasang?” sela Cio San. Lanjutnya, “Maksudmu baju yang hilang itu adalah baju perempuan?”
“Benar sekali, San-ko (kakak San),” jawab Kao Ceng Lun.
Begitu mendengar kata ‘perempuan’, semua yang ada di sana hanya memikirkan sebuah nama.
Bwee Hua.
Ya. Hanya Bwee Hua lah yang mampu melakukan semua ini.
Kao Ceng Lun bukannya tidak memahami isi pikiran yang lain. Ia lalu berkata, “Dinas rahasia kami telah mengirimkan mata-mata untuk bekeja di rumah bordil Istana Bunga Langit. Tapi kami sama sekali tidak menemukan bukti apa-apa. Tidak ada satupun hal yang dapat menunjukkan bukti keterlibatan Bwee Hua, atau suaminya, Cukat Tong.”
Semua orang diam membisu. Tahu-tahu Gan Siau Liong bertanya kepada Cio San, “Apa pendapat Hong Swee? Apakah Cukat Tong terlibat?”
Yang paling terhenyak dengan pertanyaan ini sebenarnya adalah Suma Sun. Jika seseorang menanyakan pertanyaan semacam ini beberapa tahun yang lalu, pedang Suma Sun pasti sudah menancap di dahinya. Tetapi saat ini Cukat Tong sudah sangat berubah. Ia bukan lagi lelaki gagah yang dikenal Suma Sun. Sungguh, Suma Sun sendiri memiliki pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Gan Siau Liong. Tetapi ia ‘tidak berani’ menanyakannya kepada Cio San. Karena ia tahu, justru Cio San jauh lebih terluka hatinya mendapatkan pertanyaan seperti itu.
Tetapi Cio San hanya tersenyum sedih. Sepanjang hidupnya ia sudah sangat terlatih untuk tersenyum seperti ini. Mungkin pula di akhir hayatnya, ia pun akan tersenyum seperti ini. Senyum yang menyedihkan itu sebenarnya jauh lebih menyakitkan ketimbang tangisan yang memilukan.
Semua masih terdiam, tak mampu mengartikan senyum pedih itu. Cio San tidak berbicara apa-apa dan hanya menutup matanya berpura-pura istirahat. Jika orang lain tidak bisa tidur karena memikirkan permasalahan yang berat, Cio San justru sangat bisa tidur pulas. Karena itu sekarang terdengar suaranya mendengkur. Mereka yang menyaksikan ini hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum simpul.
“Berbicara mengenai pencurian, cayhe sebenarnya punya sebuah cerita,” tukas Gan Siau Liong. “Lebih dari setengah tahun yang lalu pula, ada seseorang yang menyelinap ke kapalku dan mencoba mencuri beberapa kitab silat penting. Untunglah ia tidak berhasil menemukannya. Karena kitab-kitab itu berada di tempat penyimpanan rahasia.”
“Hmmm, kejadian pencurian-pencurian ini terjadi dalam waktu yang berdekatan, apakah semuanya saling berhubungan? Kitab silat apakah yang dimaksud, jika cayhe boleh tau?” tanya Kao Ceng Lun.
“Kitab-kitab warisan Bu Lim Beng Cu (ketua dunia persilatan). Kitab-kitab yang merupakan hak Bu Lim Beng Cu seorang, yang diwariskan dari Bengcu ke Bengcu penggantinya turun temurun,” jelas Gan Siau Liong.
“Kitab ini bukankah dulu berada pada Beng Liong?” tanya Suma Sun.
“Ya benar. Tetapi saat kami menyerang dan menggeledah markasnya, kami berhasil menemukan kitab-kitab itu. Bahkan aku sendiri yang menemukan buku itu, Sun-ko (kakak Sun). Aku lalu menyerahkannya kepada panglima, dan sang panglima menyerahkannya kepada kaisar. Saat itu kaisar memerintahkan kami untuk menyerahkannya kepada Beng Cu terbaru, yaitu Gan-siauya (tuan muda Gan) sendiri,” kata Kao Ceng Lun menjelaskan. Suma Sun mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Ada lagi yang penting,” sambung Kao Ceng Lun, “Pencurian-pencurian ini pun waktunya berdekatan dengan beberapa pemberontakan yang muncul akhir-akhir ini. Suku-suku kecil seperti suku Miao dan suku Khitan mulai melakukan penyerangan terhadap pos-pos kekaisaran di garis perbatasan. Selain itu, banyak juga dari kaum Bu Lim yang mengincar kitab bu Bhok, yang dipegang San-ko (kakak San, maksudnya Cio San).”
Semua orang yang disana mengangguk-angguk. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
“Jangan lupa, penyerangan terhadap kita beberapa waktu yang lalu,” kata Suma Sun pelan.
“Jika boleh ku simpulkan, beberapa pencurian ini terjadi, serta pemberontakan-pemberontakan kecil yang terjadi di perbatasan, dan juga penyerangan beberapa waktu yang lalu, semuanya menuju kepada satu tujuan, penggulingan kekaisaran,” ujar Kao Ceng Lun.
Lanjutnya, “Ada beberapa kecurigaan bahwa beberapa pejabat dalam istana sedang merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Barang-barang yang hilang ini semua bertujuan untuk menambah kekuatan mereka. Kitab Bu Bhok, adalah kitab siasat perang. Berguna dalam peperangan. Baju Ular Emas, untuk kekebalan, berguna bagi pemimpin pemberontakan untuk melindungi dirinya. Kitab sakti Bu Lim Beng Cu, berguna untuk menambah kekuatan pendekar-pendekar mereka.”
“Penjelasan yang masuk akal,” angguk Gan Siau Liong. “Tetapi kita harus mengadakan penyelidikan yang lebih mendalam.”
“Apakah kita harus kembali menyelidiki Bwee Hua di Istana Bunga Langit?” tanya Kao Ceng Lun.
“Tidak,” tahu-tahu Cio San menyahut. Rupanya sejak tadi ia mendengarkan pembicaraan mereka. “Penyelidikan harus dimulai dari sini. Di gudang kekaisaran.”
Semua orang saling menatap. Mereka setuju dengan pendapat itu. Tapi siapakah orang yang mampu melakukannya? Selain Cukat Tong, tak ada lagi orang yang mampu melakukannya.
“Kaulah yang harus melakukannya, Lun-te (adik Lun)” kata Cio San. Kao Ceng Lun mengangguk-angguk. Pekerjaan ini hampir mustahil, tetapi ia akan berusaha sebisa mungkin. Semua orang memandangnya dengan kagum.
“Tetapi sebelum kita mulai pekerjaan apapun, aku ingin tahu asal usul Bwee Hua yang sebenarnya,” tukas Cio San.
“Lo Bwee Hua (Bwee Hua tua) atau Siau Bwee Hua (Bwee Hua kecil/muda)?”tanya Kao Ceng Lun.
“Kedua-duanya....,” kata Cio San.
Kao Ceng Lun menunduk sebentar. Ia memejamkan mata dan mencoba mengingat-ingat seluruh cerita dan rahasia mengenai Bwee Hua. Setelah cukup lama, akhirnya ia mengangkat kepala dan mulai bercerita.
“Bwee Hua tua, sebenarnya berasal dari negeri Korea. Asal usul yang sebenarnya, dia adalah salah satu putri kerajaan Korea, bernama asli Gi Ja O. Perebutan kekuasaan yang terjadi di Korea, membuat ia dan keluarganya menjadi pelarian. Suatu ketika di dalam pelariannya, ia terpisah dari keluarga dan menjadi tangkapan perampok. Para perampok itu kemudian dimusnahkan oleh tentara Goan (Mongol) yang saat itu sedang menguasai tanah air kita. Dari tawanan perampok, Gi Ja O berubah menjadi tawanan kerajaan. Karena kecantikannya, ia mendapat posisi sebagai pelayan di istana. Suatu hari ia menyuguhkan teh untuk kaisar Goan, karena terpana akan kecantikannya, kaisar mengangkatnya menjadi selir utama. Kaisar bahkan lebih sayang kepadanya ketimbang permaisuri. Gi Ja O lalu mendapat nama kebangsawanan Goan (Mongol), yaitu Oljhei Khutugu.”
Lanjut Kao Ceng Lun, “Permaisuri melahirkan seorang putra mahkota, tetapi putra mahkota itu meninggal saat masih bayi. Akhirnya anak dari Oljhei Khutugu inilah yang menjadi kaisar setelah melewati berbagai macam tantangan dan kejadian. Anak itu bernama Ayushiridara. Kejadian ini berlangsung setelah bangsa Goan terusir dari tanah air kita, dan mereka kembali ke daerah mereka sendiri lalu mendirikan kerajaan Goan Utara.”
“Tak berapa lama setelah itu, Oljhei Khutugu, sang permaisuri dari negeri Korea ini menghilang. Tak ada satu orang pun yang mengetahui rimbanya. Rupanya ia kembali kepada kebiasaan lamanya, yaitu betualang di dunia Kang Ouw. Harap diketahui, saat dahulu Goan masih berkuasa di tanah air kita, permaisuri ini secara diam-diam sering bergerak di dunia Kang Ouw. Ia mengumpulkan banyak pengikut dan membangun kekuasaannya,” jelas Kao Ceng Lun.
Suma Sun mendengar di dalam diam. Kenangannya membawanya pada peristiwa yang sangat menyakitkan. Tetapi ia diam saja.
“Ternyata saat turun ke dunia Kang Ouw, ia menggunakan nama Bwee Hua itu. Pengikut dan anak buahnya sangat banyak, tetapi mereka bergerak secara rahasia. Hampir tidak ada orang di kalangan Bu Lim (kalangan persilatan) yang mengetahui sepak terjangnya. Sampai kejadian pemberontakan Beng Liong terjadi,” ujar Kao Ceng Lun.
“Jadi Beng Liong ini adalah benar-benar cucu dari Bwee Hua itu?” tanya Gan Siau Liong.
“Benar, beng cu (ketua). Iya adalah cucu dari Bwee Hua, dan anak dari Ayushiridara,” kata Kao Ceng Lun membenarkan.
“Lalu bagaimana dengan Bwee Hua muda?” tanya Gan Siau Liong lagi.
“Ia adalah murid terbaik dari Bwee Hua tua. Hampir seluruh ilmu dan kemampuan Bwee Hua tua diturunkan kepadanya. Mengenai asal usulnya, kami belum mendapatkan keterangan yang pasti. Masih sedang dalam penyelidikan,” tukas Kao Ceng Lun.
Semua yang mendengar sejarah pendek tentang dua wanita tercantik di dunia itu menjadi termenung. Betapa dunia persilatan dapat dibuat berantakan oleh mereka. Bahkan hampir menumbangkan kekaisaran pula.
Kao Ceng Lun melanjutkan, “Ada kecurigaan bahwa Bwee Hua muda ini masih beupaya meneruskan cita-cita gurunya. Tetapi kami sama sekali belum menemukan buktinya. Tidak mungkin kami dapat menangkap seseorang tanpa bukti.”
“Bukankah Kim Ie Wie (Pasukan Baju Sulam/ Agen rahasia kekaisaran) dapat menangkap dan menyingkirkan siapa saja secara diam-diam? Kenapa tidak dilakukan?” tanya Gan Siau Liong.
“Karena kami khawatir, jika menangkapnya, tokoh utama dibalik pergerakan ini tidak akan terpegang. Kami mencurigai ada sebuah gerakan besar di dalam istana sendiri yang ingin menjatuhkan kaisar yang sekarang. Dan kami curiga pula Bwee Hua ada hubungannya dengan pergerakan ini. Ia sepertinya bukan menjadi tokoh utama. Kekuasaannya tidak telalu besar. Tidak sebesar gurunya,” jawab Kao Ceng Lun.
Tiba-tiba Cio San menyela, “Apakah kau memiliki denah gudang istana?”
Kao Ceng Lun berpikir sebentar, lalu berkata, “Ada. Tetapi denah ini tidak bisa diperlihatkan kepada sembarang orang.”
“Bagaimana jika orang itu memiliki lencana naga kaisar?” tahu-tahu Suma Sun mengeluarkan sebuah lencana dari balik bajunya, dan melemparkannya ke Cio San yang sedang berbaring. Lencana itu jatuh tepat di sampingnya. Melihat lencana itu semua orang lalu berlutut,
“Melihat lencana naga, seperti melihat kaisar sendiri. Kami tunduk pada titah!”
Betapa dahsyatnya pengaruh lencana itu kepada seluruh rakyat Tionggoan. Bisa dibayangkan, orang yang memiliki lencana itu akan memiliki kekuasaan yang sangat besar sekali! Selama ini rupanya Cio San menitipkannya kepada Suma Sun!
“Jika bisa, aku ingin melihat denah itu, adik Lun,” kata Cio San.
“Paling lambat esok hari, saya sudah bisa mendapatkannya,” kata Kao Ceng Lun.
Cio San mengangguk puas. “Terima kasih.”
“San-ko ada permintaan apa lagi?” tanya Kao Ceng Lun.
Dengan sedikit menerawang ke langit-langit ruangan itu, Cio San berkata, “Kim Ie Wie (Pasukan Baju Sulam) pasti sudah mulai memata-matai Laksamana Bu Sien bukan? Sejak kejadian tempo hari pertarungan di atas kapalnya, aku yakin Kim Ie Wie sudah mempunyai nama-nama siapa saja orang-orang yang sering berkumpul dengannya.”
“San-ko (kakak San) memang hebat. Haha. Benar, ada sekitar 3 nama yang sering melakukan pertemuan dengan Laksamana Bu Sien. Mereka adalah Jenderal daerah timur, Jenderal daerah selatan, serta satu orang pejabat dalam istana.”
“Aha. Jenderal selatan? Bukankah ia yang bertanggung jawab menghadapi serangan-serangan suku Miao? Hmmmmm.....,” gumam Cio San.
Semua yang di sana sudah mulai dapat menerka-nerka benang merah dari kejadian-kejadian ini. Cio San kemudian berkata, “Ada satu hal lagi yang ingin kumintakan pertolonganmu, adik Lun.”
“Silahkan San-ko,” kata Kao Ceng Lun.
“Kembalikan kitab Bu Bhok kepada kaisar,” tukas Cio San.
Para hadirin yang berada di ruangan itu sedikit terhenyak, “Sungguh?” tanya Suma Sun. “Bukankah sebaiknya kitab itu berada dalam penjagaan kita?”
“Tidak. Aku ingin memancing kembali pencuri itu. Kembalikan kitab itu ke gudang istana, lalu perketat penjagaan. Kita mungkin akan dapat menangkap pencuri itu” jelas Cio San.
“Bagaimana caranya kita melakukannya?” tanya Kao Ceng Lun.
“Aku baru bisa menjawabnya jika aku sudah bisa melihat peta denah gudang istana,” jawab Cio San.
Kao Ceng Lun hanya mengangguk-angguk saja. Lalu katanya, “Berarti saya baru akan menyerahkan kitab Bu Bhok kepada kaisar setelah San-ko (kakak San) melihat denah itu bukan?”
Cio San mengangguk.
Suma Sun mengangguk pula. Selamanya ia selalu percaya dengan Cio San meskipun kali ini ia tidak begitu setuju dengan langkah sahabatnya ini. Tetapi apapun langkah seorang sahabat, kau harus mendukungnya jika itu dilakukannya dengan penuh keyakinan. Jika Cio San sudah yakin, maka seribu Suma Sun pun harus yakin.
Tepat keesokan harinya, Kao Ceng Lun datang membawa denah gudang istana. Hanya Cio San yang diperbolehkan melihat, dan Kao Ceng Lun pun menjelaskan berbagai hal dari peta itu.
“Penjagaan gudang istana di lakukan oleh hampir 50 orang prajurit berilmu sangat tinggi. Setiap 6 jam sekali terjadi pergantian tugas jagal. Jadi keseluruhannya ada 4 kali pergantian jaga. Gudang istana hanya memiliki 1 pintu untuk keluar masuk. Tetapi di balik pintu itu, ada beberapa pintu lagi yang berguna untuk membatasi ruangan satu dengan yang lain. Keseluruhan ada 5 ruangan dan pintu yang harus dilewati. Di depan pintu-pintu itu masing-masing terdapat 5 penjaga, dan 5 orang di dalam ruangan. Jadi jumlahnya genap 10 orang untuk menjaga 1 ruangan pengamanan. Tadi sudah saya jelaskan bahwa di dalam gudang terdapat 5 ruang lapis pengamanan, jadi jumlah total keselurahan adalah 50 penjaga.”
Ia melanjutkan, “Itu baru di dalam gudang. Di luar gudang, terdapat 100 orang pula. Masing-masing berpasang-pasangan 2 orang. Menjaga titik-titik tertentu yang diwakili oleh titik-titik merah di peta denah ini. Mereka bertugas berajalan mengelilingi gudang setiap hari. Jam dan waktu berkeliling setiap hari berganti-ganti. Tidak ada jadwal pasti tentang waktu berkeliling ini. Masing-masing mendapat perintah sendiri-sendiri, tentang kapan dan bagian mana yang harus diperiksa. Jika tidak berkeliling, setiap penjaga yang ada wajib menjaga posnya.”
Cio San mengangguk-angguk. Wajahnya tampak sangat serius. Katanya, “Berarti jika sepasang penjaga berkeliling, mereka meninggalkan pos mereka?”
“Benar, San-ko (kakak San). Tetapi jika saat mereka meninggalkan posnya, petugas yang lain mempunyai jarak pandang yang sangat dekat dengan pos yang ditinggalkan temannya. Mungkin kira-kira hanya 5 tombak.”
“Iya aku paham. Tetapi setidaknya, ada sebuah titik kelemahan dalam penjagaan ini. Walaupun kecil, kita harus tetap menghargai kemungkinan ini,” ujar Cio San.
Kao Ceng Lun mengangguk, lalu ia melanjutkan penjelasannya, “Itu penjagaan bagian darat. Di bagian atap, terdapat pula 100 orang penjaga. Masing-masing melakukan hal yang sama dengan teman-temannya yang di bagian bawah. Polanya seperti itu juga.”
“Di gudang ini tidak ada jendela atau pintu lain?”
“Tidak ada,” jawab Kao Ceng Lun. “Tetapi memiliki lubang-lubang angin yang berguna untuk menjaga suhu ruangan gudang. Jika terlalu tertutup, ditakutkan akan mengakibatkan barang-barang yang disimpan akan rusak. Maka dari itu diperlukan sedikit udara segar.”
“Seberapa lubang-lubang angin itu? Dan ada berapa banyak?” tanya Cio San.
Kao Ceng Lun berpikir sebentar, matanya memandang ke atas sambil mengira-ngira, “Mungkin sebesar kepala orang dewasa. Jumlahnya cukup banyak, aku kurang tahu mengenai itu, toako (kakak). Tapi nanti kuhitungkan.”
“Saat peristiwa pencurian terjadi, ada hal lain apa yang mencurigakan?” tanya Cio San.
“Tidak ada toako (kakak). Bahkan tidak ada dinding yang dijebol. Tidak ada atap atau langit-langit gedung yang rusak. Masing-masing pintu yang ada di dalam gudang, memiliki kunci sendiri-sendiri. Dan tidak ada gembok yang rusak,” jelas Kao Ceng Lun. “Tahu-tahu saja Mustika Baju Ular Emas itu hilang seperti menguap di udara,” jelas Kao Ceng Lun.
“Mustika baju yang hilang itu apakah berada dalam lemari penyimpanan, atau digantung begitu saja?”
“Menurut kabar yang aku dengar, digantung saja,” jawab Kao Ceng Lun.
“Kapan dan bagaimana peristiwa pencurian ini diketahui?”
“Setiap jam 7 pagi, 5 orang pejabat gudang memeriksa perbendaharaan barang di dalam gudang. Pemeriksaan ini berlangsung sekitar 4 sampai 5 jam. Ketika selesai mereka masih diperiksa para penjaga yang jumlahnya berlapis-lapis itu, apakah mereka membawa sesuatu keluar. Jadi kejadian ini diketahui tepat dipagi hari saat ada pemeriksaan,” kata Kao Ceng Lun menjelaskan.
“Dan apa yang terjadi setalah kejadian ini diketahui?”
“Seluruh penjaga yang bertugas di hari sebelum kejadian itu dihukum mati bersama beberapa pejabat yang dianggap bertanggung jawab. Setelah sebelumnya mereka dipenjara dan diperiksa.”
“Hah? Ada lebih dari seratus orang? Kenapa cerita ini tidak terdengar sampai keluar tembok istana? Dan apa hasil pemeriksaan itu?” tanya Cio San.
“Ini adalah kejadian yang memalukan bagi negara sehingga para penasehat kaisar memutuskan untuk tidak membuat pengumuman resmi dan perburuan kembali mustika itu. Semua harus dilaksanakan diam-diam. Bayangkan jika orang luar tahu gudang istana dapat dibobol dengan gampangnya. Negara kehilangan kewibawaan, dan akan memberanikan suku-suku luar untuk menyerang kita. Selain itu, kita pun belum tahu siapa musuh sebenarnya.”
Cio San mengangguk angguk mengerti. Lalu katanya dengan tersenyum,
“Aku sudah tahu bagaimana cara mencuri Mustika Baju Ular Emas, dan siapa pencurinya.”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 36 DI ISTANA KAISAR"
Posting Komentar