EPISODE 2 BAB 38 RAHASIA HATI MANUSIA


“Semua perabot ini ditata dengan sangat hati-hati. Saling menunjang, saling menutupi. Menjadi sebuah benteng yang akan melindungimu dari serangan senjata rahasia dari luar. Kau pasti mempelajarinya dari kitab Bu Bhok,” tukas Bwee Hua sambil membuka topeng pembunuh yang barusan saja dibunuhnya. Ia tidak mengenal orang itu. Pembunuh bayaran biasanya memang tidak punya nama.

“Ya, buku itu lumayan berguna juga. Pantasan saja banyak orang ingin merebutnya. Eh ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa sampai ke mari?” tanya Cio San.

“Keadaan sedang gawat.Di luar, ribuan pasukan sedang mencariku. Sebaiknya kau memikirkan cara untuk menyelamatkanku. Setelah itu, apa yang ingin engkau tanyakan ku jawab semua,” kata Bwe Hua.

Belum sampai kalimatnya selesai, pintu sudah didobrak orang. Puluhan pasukan masuk ke dalam.

“Menyerahlah kalian! Kalian sudah dikepung!”

Bwee Hua hanya menoleh sambil tersenyum. Para pengawal sepanjang hidupnya belum pernah menyaksikan kecantikan serupa ini. Bahkan jika seluruh permaisuri, selir, dan dayang-dayang istana digabungkan, kecantikan mereka masih belum bisa menyamai kecantikan wanita di hadapan mereka.

Cio San lalu berdiri dan menunjukan lencana naga kaisar.

Semua yang hadir di sana langsung berlutut, “Kami patuh perintah kaisar!”

“Orang yang mati ini adalah penyusup yang masuk ke istana, untunglah sahabatku Bwee-siocia (nona Bwee) mampu membunuhnya. Kami memiliki tugas rahasia untuk menangkapnya. Mohon segera bereskan mayatnya. Aku harus segera meninggalkan tempat ini. Masih ada tugas lain yang harus keselesaikan!” Cio San berkata dengan gagah.

Dengan santainya ia dan Bwee Hua keluar dari sana. Ribuan prajurit yang tadinya mengurung tempat itu, semuanya berlutut saat melihat lencana naga yang ia pegang. Mereka berjalan dengan ringan dan santai, sedangkan ribuan tentara berlutut dengan patuh menundukan kepala. Amat sangat gagah lelaki ini! Bwee Hua menatapnya dengan penuh kekaguman. Laki-laki yang bisa membuat Bwee Hua kagum mungkin cuma dia seorang.

Mereka telah sampai keluar istana. Berjalan di kegelapan malam kotaraja yang sudah sepi. Hanya gonggongan anjing yang terdengar dari jauh. Ada beberapa pengemis dan orang mabuk di pinggir jalan. Bwee Hua lalu bertanya, “Kenapa kau memilih keluar dari istana? Bukankah di sana adalah tempat yang paling aman? Di luar sini, siapa saja bisa membunuhmu dengan mudah.”

“Ada seorang pembunuh bayaran yang bisa berkeliaran dengan mudah di dalam istana. Masa kau masih bilang istana itu aman?”

“Tapi di luar sini...?” tanya Bwee Hua.

“Di dalam istana, sahabatku cuma satu orang. Itu pun ia tidak bisa menjagaku selamanya. Di luar sini, aku punya banyak kawan dan sahabat.”

“Oh, aku hampir lupa bahwa kau adalah mantan ketua Kay Pang dan Mo Kauw,” tukas Bwee Hua sambil tertawa.

Cio San mengajak Bwee Hua ke sebuah kedai arak yang lumayan bersih. Diajaknya Bwee Hua sampai ke belakang. Ternyata kedai kecil itu adalah milik Mo Kauw. Dengan sedikit sandi-sandi rahasia, seluruh pekerja di kedai arak kecil ini telah melayani mereka dengan baik. Tidak ada kamar di bagian belakang kedai ini. Hanya ada sejenis balairung kecil tempat pertemuan. Rupanya tempat ini sering dipakai untuk pertemuan anggota-anggota Mo Kauw.

Ada beberapa kursi empuk yang bisa mereka pakai untuk beristirahat. Bwee Hua berbaring dengan nyamannya. Seperti telah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tubuhnya yang menggiurkan tampak semakin indah saat ia berbaring menyamping menghadap Cio San yang sedang duduk di seberang meja di hadapannya.



“Nah, kau sudah boleh cerita,” kata Cio San.

“Kau sungguh-sungguh selalu langsung ke persoalan. Tidak ingin bercengkerama dahulu kah? Kita kan sudah lama tidak berduaan seperti ini,” kata Bwee Hua manja. Kerlingan matanya tidak dibuat-buat. Segala hal di dalam dirinya memang tidak pernah dibuat-buat.

“Sopan sedikit. Kau adalah istri sahabatku,” kata Cio San dengan dingin.

“Memangnya kenapa jika aku istri sahabatmu? Jika aku ingin menelanjangimu sekarang, memangnya kau bisa apa? Seluruh anak buahmu yang ada di sini tak akan bisa menolongmu,” kata Bwee Hua sambil tertawa manis.

“Anak buahku sudah pergi seluruhnya. Keberadaan kita di tempat ini terlalu berbahaya bagi mereka,” kata Cio San dengan tenang.

“Oh, jadi kau memang ingin kita berduaan saja? Bagus sekali....,” ia mendesah. Lalu turun dari kursi tempat ia berbaring tadi. Bajunya entah bagaimana sudah berantakan. Menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang tak dapat digambarkan indahnya dengan kata-kata.

“Aku dapat menaklukkan seorang pembunuh bayaran yang hebat tanpa menggunakan ilmu silat. Apakah kau pikir aku tak dapat menaklukanmu tanpa ilmu silat pula?” Cio San masih berbicara dengan tenang, padahal seorang bidadari yang tercantik di muka bumi sudah berdiri hampir telanjang di hadapannya.

Lama sekali Bwee Hua menatapnya. Sejuta pikiran dan perasaan terlintas dalam benaknya. Entah apa. Hanya ia yang bisa mengerti. Lalu pandangannya yang penuh gelora asmara itu perlahan-lahan berubah menjadi kebencian. Ia tahu Cio San berkata benar. Ia selalu kalah langkah dari lelaki di hadapannya itu.

Itulah mengapa sebuah perasaan tumbuh di hatinya sejak dulu.

“Kau memang bodoh!” bentaknya sambil membanting kaki.

“Teruskan, aku mendengar,” lelaki ini masih tampak sangat tenang.

“Mengapa kalian para lelaki tidak pernah mengerti perasaan perempuan?” jika perempuan berkata seperti ini kepadamu, kau akan tahu bahwa ia sebenarnya menyukaimu.

Tapi Cio San tidak merasakan apa-apa. Ia tahu, Bwee Hua memiliki segala senjata untuk menaklukan laki-laki. Semua perempuan sebenarnya memiliki senjata ini.

Air mata mengalir di pipi Bwee Hua. Wajahnya berubah menjadi sangat menyedihkan. Perpaduan antara kecantikan tiada tara, dan kepedihan hari yang paling dalam.

“Kau tahu mengapa Cukat Tong menjadi gila? Mengapa ia bagaikan sesosok mayat hidup, tanpa gairah dan tanpa semangat? Kau tahu berapa kali ia mencoba untuk bunuh diri? Kau tahu berapa kali ia menyakiti dirinya sendiri?”
Cio San tahu hal ini. Ia hanya tidak tahu penyebabnya.

“Itu karena ia tahu, istri yang sangat dicintainya, ternyata mencintai sahabat terbaiknya!”

Bagaikan guntur di siang bolong, Cio San terhenyak. Tetapi ia segera menguasai dirinya. Di luaran ia tampak tenang, tetapi di dalam dadanya, sebuah gejolak menghantam bagaikan ribuan ombak besar. “Tipu daya apapun darimu tak akan mampu mempengaruhiku,” katanya.

“Kau berkata aku menipumu, tetapi jauh dilubuk hatimu kau tahu bahwa aku berkata benar. Kau dapat melihat wajahku, gerak tubuhku, dan kau tahu dengan pasti aku tidak berbohong.....” ia tak dapat melanjutkan perkataannya.

Lama sekali mereka saling diam dan saling menatap. Lalu Bwee Hua menambahkan, “Sudah berapa kali kalu lukai perasaan sahabat-sahabatmu? Melakukan hal seenakmu tanpa memperhatikan perasaan mereka! Kau bukanlah seorang sahabat sejati seperti yang dibangga-banggakan dirimu dan sahabat-sahabatmu. Mereka rela mati untukmu, rela terluka untukmu, rela mengorbankan segala hal untukmu. Tetapi kau sama sekali tidak pernah menghargainya!”

“Sahabat-sahabat yang mana yang kau maksud?” sedikit demi sedikit Cio San sudah mulai terbawa perasaan pula.

“Ang Lin Hua. Gadis yang cantik dan manis. Penuh wibawa dan sangat diandalkan. Ia telah mengorbankan banyak hal untukmu tetapi kau tidak memperdulikan perasaannya dan malah memilih bertunangan dengan Khu Ling Ling. Ang Lin Hua begitu hancur sehingga ia hampir bunuh diri. Beruntung Suma Sun berada terus di sampingnya. Menghibur hatinya. Hingga perlahan-lahan Ang Lin Hua dapat bangkit. Lalu Suma Sun kemudian berkorban pula untuk menikahi gadis itu, hanya sekedar agar ia dapat melupakanmu. Agar gadis itu tidak menyalahkanmu dan membencimu. Tahu kah kau perasaan Suma Sun? Orang seperti dia dapat menikahi perempuan mana saja! Tetapi ia memilih menikah dengan sampah buanganmu! Menikah dengan orang yang kau sia-siakan! Hanya agar gadis itu tidak dendam dan membencimu. Terhadap perasaan Suma Sun, kau tahu apa?”

Begitu dalamnya kabar ini menusuk jiwanya, sampai-sampai ia kini terbatuk-batuk. Batuk ini mengeluarkan darah pula!

Jika ia mati saat ini, ia begitu rela. Demi menebus kesalahannya pada sahabat-sahabat terdekatnya. Tetapi apakah ia pantas mati dengan mudah, sedangkan ia belum memperoleh maaf dari sahabat-sahabatnya? Bahkan untuk bertemu dengan mereka pun ia tidak lagi memiliki muka.

“Apalagi yang kau minta dari sahabat-sahabatmu? Meminta mereka mengorbankan nyawa dan hidup bagimu? Suma Sun yang pergi meninggalkan istrinya hanya untuk melakukan segala permintaan-permintaanmu. Kau masih punya muka juga untuk datang ke tempatku dan bertemu dengan suamiku. Tidak kau lihat penderitaannya? Tidak kau rasakan kepedihan hatinya?” seolah-olah air bah keluar dari bibir Bwee Hua. Membawa segala macam beban terberat yang baru kali ini dialami Cio San.

Terasa sesuatu menusuk di jantungnya. Lukanya sudah pulih. Tetapi getaran perasaan yang begitu besar mungkin telah membuka luka itu lagi. Darah mengalir dari batuknya yang tak lagi bisa berhenti.

Bwee Hua memandangnya penuh iba. Mata yang indah itu terlihat jauh lebih indah ketika memancarkan ketulusan. Di saat-saat seperti ini, membunuh Cio San seperti menginjak semut. Tetapi Bwee Hua tidak membunuhnya padahal lelaki ini selalu menjadi rintangan di dalam hidupnya. Selalu menolaknya. Memandangnya dengan rendah.

Bagaimana mungkin ia membunuh lelaki yang sudah mendapatkan cintanya?
Sejak awal bertemu, Bwee Hua memang sudah jatuh cinta kepadanya. Baru kali itu ia merasakan perasaan cinta yang sebenar-benarnya. Baru kali itu ia merasakan rasanya dibuang, disia-siakan, dan tidak diinginkan.

Sepertinya, rasa cinta perempuan justru semakin dalam saat ia merasa disia-siakan dan tidak diinginkan. Justru karena hal inilah banyak perempuan tersiksa dan hampir gila. Rasa cinta mereka selalu jauh lebih dalam kepada lelaki yang menyakiti dan menyia-nyiakan mereka. Rasa itu jauh lebih dalam ketimbang perasaan mereka terhadap laki-laki yang tulus mencintai mereka. Pertentangan seperti ini telah menjadi permasalahan kaum perempuan sejak pertama kali langit dan bumi diciptakan.

Pandangan Cio San menghitam. Ia lalu jatuh terkapar.

Pagi yang mendung. Hujan rintik-rintik di musim gugur. Saat ia membuka mata, ia telah berada di sebuah tempat tidur yang sangat nyaman. Wangi semerbak bunga-bungaan memenuhi ruangan di mana ia berbaring. Jendela terbuka membawa udara dingin yang menenangkan. Tubuhnya terasa sangat segar. Di luar tampak jutaan helai bunga memenuhi jalan setapak.

Di manakah ia? Mungkinkah ini surga.

Ia bangkit seolah tanpa beban. Tubuhnya ringan. Rasa sakit yang memenuhi dadanya selama ini telah hilang seluruhnya. Cio San mencoba mengerahkan tenaga, dan ia berhasil! Ia telah sembuh sepenuhnya!

Apa yang terjadi?

Pertanyaan ini terjawab dengan cepat saat Bwee Hua sudah masuk ke dalam kamar yang indah itu. Ternyata wanita cantik itu yang membawanya ke sini. Hidangan yang beraroma telah dibawanya pula. “Kau makanlah. Tentu kau lapar setelah pingsan selama 4 hari.”

Cio San diam saja dan menerima hidangan itu dengan penuh rasa terima kasih. Ia memang lapar. Setelah habis melahap makanan itu, ia kemudian bertanya kepada Bwee Hua yang sedari tadi duduk sambil tersenyum di hadapannya memperhatikan ia makan.

“Mengapa kau menyelamatkanku?”

“Kenapa pula aku harus membiarkan kau mati? Jika kau mati, aku pun akan ikut mati.”

Jawaban itu singkat, padat, dan jelas.

Sebenarnya Cio San menunggu rasa sakit menghujam dadanya. Tetapi rasa sakit itu tidak pernah datang. Yang ada hanyalah sebuah perasaan yang aneh.
“Kau adalah istri sahabatku,” hanya itu yang keluar dari mulut Cio San.

“Pernikahan dapat berakhir,” wanita itu menjawab dengan tenang. Senyumannya menjarah jiwa.

“Cintamu padaku dapat berakhir pula,” tukas Cio San.

“Selama belum berakhir, mengapa memaksa berakhir?” jawab si nona ringan.

“Jika tidak pernah dimulai, mengapa menunggu hingga berakhir?”

“Jika tidak ingin dicoba, dari mana kau tahu tak dapat dimulai?” nona itu kembali tersenyum.

Cio San tak dapat menjawab lagi. Beradu mulut dengan perempuan pada hakekatnya tak jauh beda dengan dengan ikan lele beradu terbang dengan burung elang. Ia terdiam sebentar lalu berkata, “Aku tak ingin mencobanya.”

“Jika tidak ingin mencoba sekarang, bukan berarti tidak ingin mencoba esok hari,” senyuman tipis itu semakin menjarah jiwa. Ada dorongan di hati Cio San untuk membuat bibir itu tidak dapat berbicara. Tentu saja dengan bibirnya sendiri. Tetapi ia sanggup menahan diri untuk tidak melakukannya. Bayang-bayang Cukat Tong selalu muncul di benaknya. Mungkin hanya bayang-bayang inilah yang membuatnya sanggup menghadapi gejolak perasaan itu.

Seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan tercantik di dunia yang pakaiannya hampir setengah telanjang. Di dalam sebuah kamar indah yang wangi. Di luar bunga dan dedaunan gugur bertebaran dengan indah. Hujan yang semakin lebat menambah indahnya suasana ini.

Hanya laki-laki gila yang tidak berpikiran macam-macam jika mengalami suasana seperti ini. Pada saat itu Cio San memang berharap dirinya gila. Terlalu banyak pikiran dan beban yang menghimpit jiwanya. Terlalu banyak hal yang tak sanggup ia carikan jawabannya. Jika tidak segera gila, Cio San tidak tahu lagi bagaimana cara ia harus melanjutkan hidup dengan waras.

“Aku tidak akan memaksamu, tidak akan merayumu, tidak akan memintamu berbuat macam-macam. Aku hanya akan menunjukkan diriku yang sebenarnya kepadamu. Dengan ilmu dan kepintaran yang kau miliki, kau akan bisa membedakan sikapku ini tulus atau menipumu,” katanya halus dan sopan. Bwee Hua telah berubah sebenar-benarnya. Kini yang ada pada dirinya hanyalah keanggunan dan kesempurnaan. Ia lalu berdiri dan meninggalkan Cio San di kamar itu sendirian.

Cio San pun bangkit dan keluar dari kamar itu, keluar pula dari bangunan mungil nan indah itu. Ternyata mereka berada di sebuah lembah nan indah. Lembah yang jauh dari keramaian umat manusia. Benar-benar tempat yang tepat untuk bercinta!

Hujan masih deras, ia masih berdiri di depan teras. Bwee Hua hanya memandang hujan itu penuh dengan rasa pilu. Cio San melihat sosok itu seperti bunga-bungaan taman yang diterjang derasnya hujan. Begitu indah, begitu kesepian. Perempuan yang tanpa daya, selalu membawa daya tarik tersendiri kepada laki-laki. Apalagi perempuan seperti Bwee Hua. Ia mematung memandangi hujan yang semakin lebat. Cio San masih memandangnya dari belakang.

Ia kemudian menyadari betapa tersiksanya Cukat Tong hidup seperti itu. Memiliki tubuh yang cantik itu tetapi tidak pernah memiliki hati dan jiwanya. Begitu kuatnya ia mengalami penderitaannya sehingga ia telah berubah menjadi orang lain! Lelaki seperti Cukat Tong sebenarnya sangat banyak. Memiliki cinta yang dalam terhadap wanita yang mereka nikahi. Tetapi wanita itu tidak pernah mencintai mereka. Bagaikan kisah di cerita-cerita picisan. Tetapi benar dan nyata.

“Bagaimana cara kau menyembuhkan aku?” tanya Cio San.

Bwee Hua menoleh dan tersenyum tipis, “Aku mempunyai rahasiaku sendiri,” katanya.

Jika seseorang tidak mau bercerita, Cio San tak akan pernah bertanya lebih jauh. Oleh karena itu, ia hanya tersenyum dan berkata, “Untuk hal ini aku benar-benar berterima kasih padamu. Kelak di kehidupan yang akan datang, saat karma yang baik mempertemukan kita, aku harap dalam keadaan yang lebih menyenangkan,”

Bwee Hua hanya tersenyum lalu berkata, “Aku ingin bercerita tentang kejadian tempo hari.”

“Aku mendengar,” jawab Cio San.

“Pada awalnya aku mendengar bahwa kitab Bu Bhok telah berada di gudang istana. Aku lalu menyiapkan diri dan berangkat di sana. Sesampai di sana, aku menyadari bahwa semua ini adalah jebakan sehingga aku mengurungkan niatku. Saat akan pergi, secara tak sengaja aku melihat sebuah sosok yang bergerak mengendap-endap. Karena penasaran aku mengikutinya. Saat bersembunyi dan mengikuti semua kejadia yang terjadi denganmu, aku ketahuan. Akhirnya aku nekat masuk ke dalam tempatmu itu,”

Cio San mengangguk-angguk, lalu bertanya, “Mengapa kau mengincar kitab Bu Bhok? Apakah Mustika Baju Ular Emas berada padamu juga?”

“Mengenai pertanyaan pertama, aku tidak bisa menjawabnya. Mengenai pertanyaan kedua, jawabannya Ya,” kata Bwee Hua.

Cio San hanya terdiam. Ia memikirkan banyak hal, lalu ia mengambil keputusan.

“Kau akan pergi sekarang?” tanya Bwee Hua.

“Jika tidak pergi sekarang, aku khawatir tidak dapat pergi selamanya,”

“Tidak dapat pergi selamanya dari sini, toh bukan hal yang menyedihkan,” tukas Bwee Hua pelan, masih sambil tersenyum. Begitu indah matanya, begitu indah bibirnya, begitu indah dagu dan hidungnya.

“Justru karena bukan hal yang menyedihkan maka aku harus pergi. Aku sepertinya selalu ditakdirkan sebagai orang yang terus mengalami keadaan yang menyedihkan,” kata Cio san sambil tersenyum pula.

Lelaki ini bukan lelaki yang paling tampan di dunia. Tetapi pembawaannya, ketulusannya, kebaikannya, kegagahannya, kewibaannya, mampu mengalahkan seluruh pria yang paling tampan di dunia ini. Ia bukan orang yang suka bersolek. Ia apa adanya. Ia tahu bagaimana bersikap kepada orang lain, menghargai orang lain. Pantasan saja banyak orang yang menghormatinya, menyayanginya, dan rela mati untuknya. Itu karena laki-laki ini juga telah memastikan bahwa ia sendiri rela mati dan berkorban untuk orang-orang yang mencintainya.

Beberapa tahun yang lalu, lelaki ini pernah bersama dirinya di sebuah malam yang gelap, ditengah hujan pula. Lalu lelaki itu pergi meninggalkannya di dalam hujan yang lebat itu. Kini lelaki ini pun akan pergi. Sama seperti di waktu yang lalu. Pergi dalam derasnya hujan. Meninggalkan perasaan cinta yang begitu dalam di hatinya.

Lelaki itu lalu menjura dalam-dalam padanya. Bwee Hua pun balas menjura. Mereka saling bertatapan. Entah perasaan apa yang hadir di dalam jiwa mereka, hanya mereka sendirilah yang tahu. Tetapi masing-masing menunjukkan rasa hormat yang dalam.

“Aku pergi.”

Dua kata ini sangatlah pendek. Tetapi runtutan perasaan dan peristiwa yang terjadi sesudah kedua kata ini diucapkan adalah hal-hal yang dalam, panjang, dan penuh kenangan.

Lalu laki-laki ini pergi menembus hujan yang deras. Berjalan dengan ringan. Beban di dalam hidupnya tak data lagi dibayangkan, tetapi ia tetap melangkah dengan ringan. Bwee Hua sangat sering melepas pergi seorang laki-laki. Biasanya ia akan tersenyum culas dan menertawakan kebodohan mereka. Tetapi kali ini ia menangis. Ia menetaskan air mata dengan pilu. Karena perasaannya tidak pernah bisa ia ingkari. Ia memang telah jatuh cinta.

oOo

Cio San telah keluar dari lembah ini. Perjalanan dilakukannya sambil mengumpulkan tenaga. Ia mengisi perutnya dengan buah-buahan hutan dan madu dari bunga-bungaan. Dua makanan ini sangat bagus untuk menambah tenaga. Ia juga sering berhenti untuk bersemedhi. Ia harus mempersiapkan diri menghadapi begitu banyak masalah yang harus ia urai satu persatu. Harus ia selesaikan satu persatu.

Ia tidak dapat lagi bersikap seenaknya dan terlalu mengandalkan akalnya. Dengan segala kecerdasannya ia tak dapat menebak isi hati sahabat-sahabatnya. Betapa ia merasa berdosa selama ini tidak mampu memperhatikan keadaan kawan-kawan karibnya itu. Ia selalu memusatkan perhatian kepada masalah sendiri, terhadap urusan luar yang ia rasa terlalu penting, sehingga ia mengabaikan perasaan sahabat-sahabatnya. Untuk seseorang yang menjunjung tinggi persahabatan di atas segalanya, hal ini tentu saja tidak dapat dimaafkan.

Cio San tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan semua ini. Ia bahkan tidak tahu harus dari mana memulainya. Ia tidak tahu bagaimana caranya berhadapan dengan sahabat-sahabatnya itu. Sungguh ia tidak menyangka bagaimana Suma Sun dapat mengorbankan dirinya seperti itu. Ia tidak menyangka bagaimana Cukat Tong dapat pula menahan kesedihan sebesar itu. Seandainya bisa, ia ingin segala beban penderitaan mereka dipindahkan kepadanya seluruhnya.

Segala permasalahan ini, ditambah lagi dengan rahasia-rahasia lain yang harus dibongkarnya, beban di dalam jiwanya sungguh tak terkira. Ia sendiri tidak tahu harus mulai dari mana. Kitab Bu Bhok dan Mustika Baju Ular Emas tentu saja berhubungan. Bwee Hua adalah sumber rahasia ini. Tetapi ia telah menganggap Bwee Hua sebagai ‘orang sendiri’, dan tidak akan bertanya lebih jauh. Satu-satunya cara adalah mencari tahu sendiri dari sumber-sumber yang lain.

Peristiwa penyerangan gelap yang ia alami sehingga melukai dirinya itu pun juga adalah sebuah misteri besar yang belum terpecahkan. Siapa mereka? Mengapa mereka ingin membunuh dirinya? Bwee Hua sudah dikeluarkannya dari daftar orang yang dicurigai mengenai hal ini. Siapa mereka? Sudah pasti mereka bukan dari pihak kerajaan. Kao Ceng Lun saja tidak mengetahui asal-usul pasukan yang menakutkan ini. Ada seseorang yang memiliki pasukan khusus. Orang ini kemungkinan besar adalah pejabat istana yang berkhianat. Hanya orang seperti inilah yang mempunyai dana besar, dan kemampuan untuk melatih pasukan sehebat itu. Apakah orang ini ada hubungannya dengan Laksamana Bu Sien yang juga berminat dengan kitab Bu Bhok?

Mengingat kitab itu, benaknya kembali membawanya kepada sahabat dekatnya. Putra seorang kaisar terbuang. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah masih merindukan cinta dari seorang Lim Siau Ting? Apakah gerombolan Lim Siau Ting ada hubungannya pula dengan Laksamana Bu Sien dan petinggi istana yang berkhianat itu? Entah lah.

Dan apa hubungan Bwee Hua dari semua kejadian ini?

Ia tak dapat menjawab walaupun telah berpikir keras. Akhirnya ia memilih untuk melupakannya sejenak. Masalah akan terpecahkan pada saatnya. Jika saatnya belum tiba, hal itu tak dapat dipaksa. Mengingat hal ini, hatinya kembali menjadi ringan. Apa yang akan terjadi, terjadilah!

Ia berjalan sehari semalam. Dengan membaca letak bintang dan matahari, ia dapat mengetahui keberadaanya sekarang ini. Ia beristirahat semalam, dan melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali. Mendekati tengah hari, ia telah sampai di sebuah desa. Setelah bertanya-tanya sebentar, ia akhirnya tahu di daerah mana ia berada. Sebuah desa kecil di daerah tenggara.

Desa ini sangat makmur. Banyak penduduk yang berpakaian mentereng di sini. Banyak juga orang-orang yang ‘tidak seharusnya’ berada di desa seperti ini. Rasa ingin tahunya memuncak menjadi rasa curiga. Banyak sekali orang-orang kalangan Kang Ouw (dunia persilatan) yang berada di sini. Sekali pandang saja tentu ia sudah tahu. Meskipun mereka menyamar dengan menggunakan pakaian petani atau nelayan. Para pendekar adalah pendekar. Mereka bukan pemeran sandiwara. Samaran mereka tentu tampak lucu dan menggelikan.

Cio San mencari penginapan dan segera menemukannya. Penginapan kecil yang bersih dan menyenangkan. Rupanya tamunya lumayan banyak. Orang-orang Kang Ouw pula. Dalam hati ia bersyukur, selama lebih dari satu bulan ini ia tidak pernah bercukur. Cambangnya cukup lebat. Tubuhnya pun jauh lebih kurus karena luka yang dialaminya tempo hari itu. Dengan begitu, cukup sulit bagi orang awam untuk mengenal siapa dirinya.

Setelah mendapat kamar, Cio San mencoba menajamkan pendengaran. Dari sebelah kamar terdengar gelak tawa khas orang-orang Bu Lim. Tertawa dengan lepas dan pongah, seolah-olah dunia miliknya sendiri. Mabuk dan sedang main perempuan. Itulah kesimpulan yang diambil Cio San.

Perjalanannya seharian ini meskipun tidak berat, lumayan menguras tenaga karena dilakukannya sambil berpikir keras. Buah-buahan dan madu liar membantunya memulihkan tenaga. Tetapi yang sanggup memulihkan pikiran hanyalah istirahat yang cukup. Karena itu ia memilih tidur. Jika sudah tidur, ia akan tidur dengan pulas. Hanya dengan cara ini ia bisa menghadapi dunia yang keras ini!

Ia tidur sampai sore. Saat terbangun, suasana di sekelilingnya masih terdengar seperti tadi sebelum tidur. Para pendekar mabuk yang sedang bersenang-senang dengan perempuan. Cio San lalu keluar untuk memesan makan di kedai yang berada di penginapan ini.

Saat sedang menikmati hidangan, dari dalam penginapan muncul sebuah sosok yang dikenalnya. Sosok ini rupanya memesan makan juga. Duduk tidak jauh di depannya. Untunglah sosok itu membelakanginya, sehingga Cio San tidak takut dikenali pula.

Ia adalah Lim Gak Bun. Mantan suami Kwee Mey Lan. Dulu ia pernah bertarung dengan lelaki ini. Pernah pula mengobati luka-lukanya. Perawakan pria ini masih gagah seperti dulu. Tetapi wajahnya tampak lebih tua dari umur aslinya. Cambang dan kumis tipis yang berantakan membuat wajahnya terlihat tua.

Ada urusan apa dia kesini? Begitu banyak orang kalangan Kang Ouw hadir di sini, tentulah ada sesuatu yang menarik mereka. Mungkinkah harta karun, mungkinkah kitab sakti, mungkinkah senjata mustika yang tak terkalahkan?
Ia menajamkan telinga.

Dari percakapan-percakapan yang di dengarnya, ternyata ada seorang tuan tanah yang mengumpulkan banyak pasukan untuk melawan serangan suku Miao di selatan. Tuan tanah ini amat sangat kaya karena ia dulunya adalah pangeran! Ia adalah paman dari Kaisar sendiri. Begitu cerita yang ia dengar.

Rasa cinta tanah air yang besar dari pangeran ini telah membuatnya membelanjakan hampir seluruh hartanya untuk keperluan ini. Ada bayaran yang amat sangat besar jika seseorang bergabung dengan pasukan bentukannya ini. Selain gaji bulanan yang cukup tinggi, keperluan makan minum enak yang terjamin, janji akan pembagian harta rampasan suku Miao juga sangat menarik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa meskipun Suka Miao ini adalah suku kecil, mereka memiliki ketinggian budaya yang mengagumkan. Perhiasan-perhiasan serta benda-benda buatan bangsa Miao memiliki harga yang sangat mahal. Dan tentu juga, yang tak kalah penting, adalah perempuan-perempuan suku Miao. Mereka terkenal sangat cantik. Dapat diandalkan, dan pandai melayani laki-laki.

Setelah berpikir sejenak, Cio San memutuskan untuk menegur Lim Gak Bun. Ia telah banyak belajar cara menyamar pada Cukat Tong. Dengan sedikit merubah logat, pembawaan, dan kebiasaan, ia telah dapat berubah menjadi orang lain. Apalagi kini cambangnya lebat dan semerawut. Ditanggung Lim Gak Bun tak akan mengenalnya.

Cio San mendatanginya, lalu berkata dengan sopan, “Salam toako (kakak). Aku melihat engkau makan sendirian. Aku pun makan sendirian tadi. Bolehkah ku temani kau makan?”

Lim Gak Bun memandangnya dengan kereng. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak suka diganggu. Ia hendak membentak laki-laki bercambang di hadapannya itu, tetapi ia malah berkata, “Eh, kau?”

“Kau mengenalku?” tanya Cio San kaget.

“Tentu saja. Kau adalah Ci..,”

“Ah, toako tidak perlu sungkan,” kata Cio San memotong. “Hai pelayan! Bawakan arak terbaikmu!”

“Kau ada apa kesini? Masa ingin mendaftar pasukan juga?” tanya Lim Gak Bun.

“Oh tidak. Aku sedang mengunjungi teman di desa sebelah. Tak tahunya kulihat banyak kalangan Bu Lim (orang-orang persilatan) yang menuju kesini. Karena tertarik, aku ikut juga,” jelas Cio San.

“Oh, pantas saja. Orang setingkat kau, mana mungkin mendaftar ikut prajurit,” tukas Lim Gak Bun sambil tertawa.

Cio San sendiri berkata di dalam hati, “Sebenarnya orang seperti kau pun tidak pantas mendaftar prajurit,” tetapi ia memilih untuk tertawa saja. Lama-lama ia merasa ada yang aneh dengan tawa Lim Gak Bun. Tawa ini, seperti tawa orang yang mengalami gangguan pikiran. Cio San lalu bertanya,

“Eh, toako mengapa datang pula? Apa mau mendaftar prajurit?”

“Ya benar. Aku merasa perbuatan suku Miao itu sudah keterlaluan. Mereka pantas dihajar dan dimusnahkan!” katanya penuh semangat.

Tentu saja Cio San tidak menanyakan kabar Kwee Mey Lan. Ia sudah bisa menduga, perceraian Lim Gak Bun dengan Kwee Mey Lan membawa beban yang sangat berat baginya. Mungkin pikirannya menjadi terganggu karena ini. Dari tawa, pandangan mata, dan sikap seseorang, dapat diketahui tingkat kewarasannnya.

Sungguh menyedihkan nasib lelaki gagah ini.

“Eh, dimana kau menginap?” tanya Lim Gak Bun.
“Di penginapan ini juga?”

“Ya.”

“Sendirian?”

“Sendirian.”

“Oh kau harus pindah kamar ke kamarku. Kita bisa berbincang bincang sampai pagi. Hahahahahah.”

“Ah tidurku ngorok, toako. Aku takut justru mengganggu tidur toako.,” kata Cio San.

“Eh? Jangan sombong dulu. Justru suara ngorokku adalah suara yang paling membahana di seluruh dunia. Kita bisa adu nanti. Hahahahahahahah,” tawanya terasa menakutkan dan menyedihkan di saat bersamaan.

Menghadapi ajakan seperti ini, Cio San tidak tega menolak. Bagaimana mungkin ia tega menolak ajakan untuk menemani seseorang yang terluka hatinya? Ia sendiri telah mengalami luka hati yang cukup dalam. Tetapi kedalaman itu mungkin tidak sedalam lelaki yang berada di hadapannya itu. Ia merasa sedikit berkewajiban untuk meringankan penderitaan batin yang dalam itu.

Lelaki yang sudah pernah merasakan penderitaan karena cinta, pasti akan berusaha menolong lelaki lain yang merasakan hal yang sama. Hal ini nampaknya sudah menjadi rumus.

Musim gugur. Daun berguguran. Cinta dan kenangan menghilang bersama angin barat. Dua orang yang dulu saling berebut cinta kini menjadi sahabat. Rahasia hati manusia tak dapat diduga. Apakah di masa depan, sahabat akan saling berhadap-hadapan pula? 




Catatan penulis: Bab ini enaknya dibaca sambil dengerin lagu ini:


Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 38 RAHASIA HATI MANUSIA"

Posting Komentar