EPISODE 2 BAB 37 ADA YANG PERGI, ADA PULA YANG DATANG


“Siapa?” tanya Kao Ceng Lun.

“Sudah pasti Bwee Hua, tidak ada orang selain dia yang mampu”

“Bagaimana caranya? Bukankah dulu toako (kakak) sudah memunahkan ilmu silatnya? Ilmu meringankan tubuhnya sudah psati hilang pula.”

“Entah bagaimana, Bwee Hua sudah sembuh,” Cio San merenung cukup lama, lalu berkata, “Saat aku dulu memunahkan ilmu silatnya dengan memutus beberapa urat-uratnya yang penting, aku melakukannya dengan ragu-ragu. Sepertinya urat-uratnya tidak putus dengan sempurna.”

Yang menjadi pikirannya saat ini adalah, apakah keragu-raguan itu datang dengan sengaja. Mana mungkin ia menyakiti kekasih sahabatnya? Bagaimana mungkin ia tega membuat cacat orang yang paling dicintai sahabatnya?

“Jika ia sudah sembuh, maka ialah orang yang paling sanggup melakukan pencurian ini. Kau melihat sendiri saat kita bertemu dengannya ia sehat, gerak geriknya lincah. Sama sekali tidak seperti orang yang sudah diputuskan uratnya,” kata Cio San.

Sebenarnya Kao Ceng Lun ingin bertanya, ‘bagaimana dengan Cukat Tong?’, tetapi ia tidak sampai hati. Akhirnya ia malah bertanya, “Bagaimana caranya?”
Cio San menjelaskan, “Gudang istana terpisah dari gedung-gedung yang lain. Melewati bawah tanah mungkin saja, tetapi jika melihat denah, amat tidak mungkin melakukannya. Penggalian akan menimbulkan suara yang mencurigakan. Perlu puluhan tahun pula melakukannya. Melewati atap gudang juga tidak mungkin, karena tidak ada orang yang sanggup terbang mendarat dengan aman. Burung pipit pun akan ketahuan.”

Lanjutnya, “Satu-satunya cara adalah dengan menerobos ke dalam tanpa kekerasan.”

“Bagaimana caranya?” Kao Ceng Lun penasaran.

“Bwee Hua mampu menyamar menjadi siapa saja. Apalagi ada Cukat Tong yang mungkin mampu mengajarinya hal ini dengan sangat sempurna. Ia mungkin akan menyamar sebagai petugas penjaga yang paling dalam, yaitu yang paling dekat dengan gudang. Entah bagaimana caranya ia bisa mendapatkan nama-nama petugas bagian dalam pada hari itu. Tentunya ia mampu menyelidikinya. Menurut dugaanku, ia menggunakan kecantikannya untuk merayu pejabat yang mengatur nama-nama itu,”

Kecantikan seorang perempuan adalah hal yang paling berbahaya di muka bumi. Dengan kecantikannya, perempuan dapat memiliki apa saja. Manusia yang kehilangan nyawa secara sukarela dan terpaksa karena kecantikan perempuan, mungkin lebih banyak daripada bintang-bintang di langit.

“Lalu bagaimana pula cara Bwee Hua mengambil Mustika Baju itu?”

“Cukat Tong memiliki ilmu mengendalikan burung-burung dengan benang-benang yang berada di ujung jarinya. Bwee Hua mungkin telah mempelajari ilmu ini. Dengan menggunakan sejenis jepitan di ujung benang-benang, ia mungkin akan bisa meluncurkan benang-benang itu melalui lubang udara. Empat orang petugas yang bersamanya di bagian dalam adalah kaki tangannya,”

“Kita tidak bisa menanyai mereka karena mereka semua sudah dihukum mati,” tukas Kao Ceng Lun.

“Mereka memang dibunuh untuk tutup mulut. Bagaimana caranya agar Bwee Hua mampu menipu mereka untuk berkorban bodoh seperti ini, masih belum terpikirkan olehku.Tetapi sudah jelas lagi-lagi dengan kecantikannya.”

“Apakah tidak ada kemungkinan lain siapa pelakunya, dan bagaimana caranya, San-ko (kakak San)?”

“Paling banyak ada sekitar 135 kemungkinan, dan aku sudah memikirkan seluruhnya. Hanya kemungkinan inilah yang paling masuk akal dan bisa dilakukan dengan aman,” jelas Cio San.

Kao Ceng Lun mengangguk-angguk paham.

“Nah, besok mungkin kitab Bu Bhok sudah bisa kau serahkan kepada kaisar. Sebarkan berita bahwa kitab Bu Bhok berada di gudang istana. Lalu pasang perangkap bagi pencurinya. Aku yakin Kim Ie Wie (Pasukan baju sulam/dinas rahasia kekaisaran) sanggup memikirkan cara yang terbaik.”

“Terima kasih, San-ko (kakak San). Bantuan toako (kakak) sangat meringankan pekerjaan kami.....,” ia sebenarnya ingin melanjutkan kata-katanya namun ia berhenti. Menyadari ini Cio San bertanya, “Eh, ada yang masih ingin kau sampaikan, Lun-te (adik Lun)?”

Berpikir sejenak, Kao Ceng Lun hanya tersenyum lalu berkata, “Tidak, San-ko. Bukan sesuatu yang penting. Mungkin kapan-kapan saja aku akan bercerita,”

Cio San tersenyum dan mengangguk. Jika seorang tidak ingin bercerita, ia pun tidak akan bertanya. Hal ini sudah menjadi pembawaannya sejak dahulu.

Malam itu semua orang beristirahat dengan lelap. Luka-luka Gan Siau Liong sudah sembuh seluruhnya. Tenaga dalam sakti dan perawatan tabibnya yang sempurna telah menyembuhkan luka patah tulang itu dengan sangat cepat. Sedangkan Cio San sendiri pun juga sembuh dengan sangat cepat. Kesembuhan ini mendatangkan keheranan pada si tabib cantik. Tetapi kesembuhan ini hanya membuat Cio San mampu duduk dan berjalan sedikit demi sedikit. Ia juga sudah bisa bercakap-cakap dengan lancar tanpa harus beristirahat terus di tempat tidur. Hanya saja, tenaga saktinya dan ilmu silatnya masih belum pulih.

Konon katanya, tak akan pulih.

Siapa yang bisa menerima kenyataan ini? Semua orang yang berada di sana amat sangat menyayangkan kenyataan ini. Bagaimana seseorang yang sangat berbakat dan hebat seperti Cio San harus kehilangan seluruh kemampuannya. Orang yang disayangkan ini malah tenang-tenang saja tidur dengan nikmat. Hanya Suma Sun yang tidak tidur. Orang ini tidur atau tidak tidur tetap sama saja. Memancarkan hawa yang sangat berwibawa dan menakutkan. Walaupun hawa ini mungkin tidak sekuat dulu, tetap saja masih menakutkan.

“Kau belum tidur?” bisik Suma Sun kepada Kao Ceng Lun. Sedari tadi ia memperhatikan bahwa Kao Ceng Lun memang gelisah dan berusaha untuk tidur namun tidak berhasil. Pemuda itu lalu bangkit dan duduk di sebelah Suma Sun yang bertugas menjaga bagian belakang rumah kecil itu.

“Ada hal yang tidak bisa tidak, harus ku sampaikan. Tetapi orang itu tentu tidak akan mampu menerima berita ini,” diucapkannya kalimat ini dengan bisik-bisik, seolah-olah tak ingin ada seorang pun yang mendengarnya.

“Maksudnya Cio San?” tanya Suma Sun.

“Benar.”

“Kau bisa ceritakan padaku, nanti kucarikan jalan untuk menyampaikannya.”

Kao Ceng Lun lalu bangkit dan mengambil kertas dan pena. Meskipun ia tahu Suma Sun buta,  ia yakin Suma Sun dapat membacanya. Ia lalu menulis,

“Kwee Mey Lan akan menikah besok. Aku mendapat kabar ini saat sedang tugas beberapa hari yang lalu”

Suma Sun berbisik padanya, “Mengapa hal ini menjadi penting?”

Kao Ceng Lun menulis lagi, “Dari kabar yang kudengar, Cio-hongswee punya janji bertemu dengannya. Karena janji itu tidak ditepati, Kwee Mey Lan akhirnya memilih menikah dengan orang lain.”

“Bukannya ia sudah menikah?” bisik Suma Sun lagi.

“Sudah. Tetapi kemudian bercerai,” kali ini Kao Ceng Lun hanya balas berbisik. “Aku khawatir jika ia mendengar kabar ini, lukanya akan semakin parah.....”

Suma Sun hanya terdiam. Luka akibat cinta yang diderita sahabatnya itu sudah terlalu mendalam. Ditambah dengan luka di urat jantungnya, Suma Sun tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia khawatir Cio San dengan tidak sengaja melupakan janji pertemuan ini dikarenakan peristiwa-peristiwa yang telah mereka alami ini.

Cinta membuat kehidupan seseorang menjadi jauh lebih sulit daripada yang ia duga.

Semakin dipikirkan caranya, semakin tidak ia temukan pula jawabannya. Mengatakan atau tidak mengatakan, keduanya akan sangat berpengaruh pada kehidupan Cio San ke depan.

“Hanya ada satu cara untuk menyembuhkan Cio San,” bisik Kao Ceng Lun tiba-tiba. Suma Sun terhenyak, “Apa itu?” tanyanya.

“Anggrek Tengah Malam,”tulis Kao Ceng Lun.

Suma Sun mengingat-ingat, nama itu sudah pernah didengarnya. Entah kapan dan di mana. Sudah lama sekali. Ada bagian dari masa lalunya yang tidak pernah ingin diingatnya lagi. Ia telah mampu membuat tembok baja untuk mengurung ingatan ini. Seperti para pecinta yang pernah terluka, mereka mampu pula membuat tembok baja untuk melindungi hati mereka yang telah hancur.

Orang-orang yang membuat tembok baja di dalam hati dan jiwa mereka, menjalani kehidupan dengan hampa, namun damai. Semua orang berhak merasa damai. Entah bagaimana caranya.

Kilas balik kehidupan mencul bagai kilatan di tengah malam di dalam pikirannya. Ia teringat pedang, salju, gunung, bunga, pamannya, ayahnya, lalu ibunya. Tak terasa air matanya menetes. Air mata dari sepasang mata berwana kebiru-biruan. Anehnya, berwarna apapun mata seseorang, air matanya tetap bening. Apakah ini pertanda bahwa isi hati manusia tetap sama saja?

Lalu ia teringat seorang perempuan. Perempuan itu sudah pernah dibunuhnya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ketakutan di dasar hatinya terhadap sosok itu masih belum hilang meskipun ia sudah berhasil membunuh perempuan itu. Apakah karena sesungguhnya ia takut, meskipun dibunuh berkali-kali dan dimusnahkan seluruhnya, jenis perempuan semacam perempuan ini selalu muncul dan terlahir ke dunia?

Memikirkan hal ini, tak terasa Suma Sun menggenggam gagang pedangnya erat-erat.

Lama sekali ia lalu berkata, “Aku akan mencari bunga itu. Kau jagalah Cio San,” kata Suma Sun. Ia lalu beranjak dan pergi dari situ. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, pesan, atau apapun. Bergerak menghilang dalam keheningan malam di tengah istana kaisar. Seorang Suma Sun tentu saja bisa menyelinap dan pergi dari situ tanpa ketahuan. Seandainya penjagaan istana ini lebih ketat 100 kali pun, ia tetap saja bisa pergi dari situ tanpa ketahuan.

Karena she (marga keluarganya) adalah Suma.

Cukup dengan penjelasan ini saja, siapapun yang mendengarnya akan mengerti.

Kao Ceng Lun mengerti. Tak ada satu hal pun yang bisa membuatnya menahan kepergian Suma Sun. Jika Suma Sun sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu, maka jika matahari padam dan lautan menjadi salju pun, dia akan tetap berangkat pergi.

Demi seorang sahabat, memangnya apa yang tidak sanggup kau lakukan?

Karena ia tahu, jika ia yang mengalami segala kemalangan ini, sahabatnya pun akan berkorban hal yang sama untuknya. Persahabatan sebenarnya sesederhana ini. Sayangnya tidak banyak orang yang sanggup melakukannya.

Hanya Kao Ceng Lun yang menatap nanar kepergian Suma Sun. Ia tak tahu apakah ia sanggup mengemban tugas seberat ini untuk menjaga Cio San sedang terluka. Ia tak dapat tidur sampai matahari muncul dan fajar menyingsing.


Pagi menjelang. Semua sudah terbangun. Kao Ceng Lun malahan belum tidur. Ia menatap Cio San yang juga sudah terbangun. Lelaki itu duduk saja di pinggiran tempat tidur. Wajahnya seperti biasa selalu tersenyum di hadapan sahabat-sahabatnya.

“Selamat pagi semua,” kata Cio San.

Semua pun menjawab salam itu. Ada rasa iba di mata sahabat-sahabatnya itu terhadap Cio San. Ia pun bukan tidak tahu hal itu. Katanya, “Hey, kalian menatapku seperti menatap orang mati. Meskipun jalan darahku sudah putus, dan aku telah kehilangan tenaga dalam, aku toh masih hidup,” ia masih tersenyum.

Seseorang jika masih bisa hidup, memangnya apa yang harus ia sedihkan? Jika seluruh hartanya hilang, ia toh masih hidup. Jika seluruh orang di muka bumi ini meninggalkannya, ia toh masih hidup pula. Selama ia masih hidup, seseorang tidak punya alasan untuk tidak bahagia.

Seketika Kao Ceng Lun sadar, Cio San telah menyadari semuanya. Cio San telah mendengar percakapan mereka semalam. Ini terbukti karena Cio San tidak menanyakan keberadaan Suma Sun!

“Toako (kakak)......,” Kao Ceng Lun tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Seolah-olah mengerti, Cio San hanya tersenyum, “Jika Suma Sun mau melakukan sesuatu, kaisar pun tak dapat menghalangi.”

“Jadi toako tahu pula tentang......,” sekali lagi Kao Ceng Lun tidak dapat melanjutkan kalimatnya.

Sesuatu yang perih seperti menghujam jantung Cio San. Jantungnya belum lagi sembuh benar dari luka panah yang keji. Semalam ia pun secara tidak sengaja mendengarkan Kao Ceng Lun dan Suma Sun. Meskipun Kao Ceng Lun hanya menuliskan percakapannya, dari goresan kuasnya, Cio San mengerti huruf-huruf yang dituliskannya. Tak bisa dibayangkan bagaimana mungkin jantungnya kuat menghadapi getaran perasannya sendiri.

Ketika mendengar kabar pernikahan Mey Lan, ia seolah-olah ingin berlari secepat mungkin ke kota itu. Mungkin ia akan memintanya untuk membatalkan pernikahan itu. Tetapi apa daya, berjalan pun ia masih tertatih-tatih. Jika ia bisa berlari kencang pun, dan sampai pada kota itu pada waktunya, apakah ia akan mampu merubah keputusan Mey Lan?

Perempuan jika sudah menetapkan hati, langit dan bumi pun tidak bisa mengubahnya. Ungkapan ini terdengar lucu dan jenaka. Tetapi lelaki manapun yang sudah mengalami keputusan hati perempuan, tahu betul bahwa tiada kebenaran yang lebih benar daripada kebenaran ini.

Ia bukannya sengaja menyalahi janji dengan Mey Lan. Janji untuk bertemu itu terpaksa batal karena ia dicelakai orang. Tetapi ia tidak menyadari bahwa janji pertemuan itu sangat berarti besar bagi Mey Lan dan bagi dirinya sendiri. Jika mereka sempat bertemu, walaupun hanya sedetik saja, Mey Lan mungkin akan memutuskan untuk menikah dengannya. Pertemuan itu mungkinlah sebuah ujian terakhir apakah Cio San bisa dipegang kata-katanya. Merupakan titik utama penentuan keputusan Mey Lan apakah ia akan kembali kepada kekasih yang lama, ataukah berjalan ke depan bersama kekasih yang baru.

Saat itu Kwee Mey Lan mungkin sudah didekati banyak lelaki. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang indah, serta pembawaannya yang halus sudah pasti menarik hati laki-laki. Laki-laki manapun. Cio San terlambat.

Mey Lan tak tahan dengan kesepiannya. Perempuan memang tidak pernah tahan dengan kesepian. Oleh karena itu perempuan yang paling berbahaya bukanlah perempuan yang disakiti hatinya, melainkan perempuan yang kesepian. Jika ia disakiti hatinya, ia hanya akan membalaskannya kepada orang yang menyakiti. Tetapi jika ia kesepian, orang yang tidak meyakitinya pun akan terkena imbasnya.

Cio San masih tersenyum. Ia sudah tidak dapat menangis. Orang yang tersenyum karena sudah tidak dapat menangis, adalah orang yang paling menderita. Air mata mereka sudah mengering. Tetapi walaupun air mata sudah mengering, kepedihan terkadang masih tertinggal di dalam hati. Tetapi mereka tetap tersenyum. Karena selain tersenyum, tidak ada hal lain yang dapat mereka lakukan.

Selain melanjutkan menjalani hidup, tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan.
Semua orang yang berada di ruangan itu tidak mengerti apa yang sedang Cio San dan Kao Ceng Lun bicarakan. Tetapi mereka tahu, sesuatu yang penting sedang terjadi. Gan Siao Liong angkat bicara, “Sudah sejak semalam Suma-tayhiap (pendekar Suma) pergi. Cayhe pun tidak berani menahannya,” ia sebenarnya harus pergi juga. Sebagai seorang Bulim Bengcu (ketua dunia persilatan), ia tidak mungkin hanya berdiam diri sementara banyak urusan yang harus ia selesaikan. Tetapi ia menahan diri demi sahabatnya itu. Setidaknya menemaninya barang sekejap.

Kao Ceng Lun mengeluarkan arak. Di saat seperti ini, tidak ada sahabat yang lebih baik selain arak. Cio San tersenyum lebih lebar. Sudah sekian lama ia tidak minum arak. Di saat-saat seperti ini, orang yang mengalami hal seperti dirinya, sudah pasti ingin minum arak.

“Cio-hongswee, anda tidak boleh minum arak!” cegah si tabib cantik.

“Jantungku sudah sembuh. Hanya beberapa urat yang terputus. Minum satu gentong pun aku tak bakalan mati,” sanggah Cio San sambil tersenyum.

“Baik. Ku temani!” Gan Siao Liong sudah duduk di meja pula.

Arak sudah dituang, cawan sudah diangkat, perempuan sudah pergi. Jika tidak mabuk, memang sungguh keterlaluan.

Mereka minum dari pagi sampai malam. Takaran minum mereka memang bukan takaran orang biasa. Karena mereka memang bukan orang biasa. Mereka tidak minum dengan tergesa-gesa. Tidak cepat seperti biasanya. Mereka minum dengan perasaan.

Patah hati bukanlah petir yang tidak pernah menyambar dua kali di tempat yang sama. Patah hati adalah peristiwa yang harus kau alami berulang kali. Meskipun kau sudah melupakan seseorang, ia akan tetap mampu mematahkan hatimu, melumpuhkan perasaanmu, dan memadamkan cahaya jiwamu. Karena saat kau jatuh cinta padanya, segenap hidupmu telah kau berikan kepadanya. Seseorang tidak bisa meminta kembali hidup yang sudah diberikannya kepada orang lain. Mungkin karena inilah orang rela bunuh diri karena cinta. Karena ia tahu hidupnya telah diberikan seluruhnya kepada orang lain. Apa pula artinya meneruskan hidup?

Tetapi Cio San telah mengalami pencerahan. Ia tahu meskipun hidupnya sudah ia berikan kepada orang lain, ia masih berhak pula untuk menerima kehidupan yang diberikan oleh orang yang lain pula  kepadanya. Hanya itu satu-satunya hal yang membuat ia dapat bertahan hingga kini. Hanya itu satu-satunya hal yang membuat ia dapat hidup.

Harapan.

Harapan adalah sebuah kata sederhana.

Banyak sekali kata-kata sederhana di dunia ini.

Tetapi yang dapat menghidupkan semangat orang yang sudah hampir mati, hanyalah kata ‘Harapan’. Jika belum mati, seseorang tidak boleh kehilangan harapan.

Cio San belum mati.

Karena meskipun seluruh dunia menyakitinya, ia tak akan mati.

Seharian penuh mereka minum, tetapi tak ada satu kata pun yang mereka ucapkan. Cara minum arak yang terbaik memang adalah di dalam kesunyian. Di temani sahabat dan kawan sejati. Kau baru akan mengerti kedalaman hal ini jika sudah menjadi setan arak.

Hari sudah gelap. Mereka pun sudah tertidur. Senyuman masih menyungging dari bibir Cio San. Mempunyai sahabat yang menemani di dalam suka dan duka adalah rejeki yang sangat besar. Hidup seperti memiliki makna yang sebenarnya.

Selama beberapa hari mereka terus minum sepanjang hari. Arak seolah-olah tidak pernah habis. Penderitaan pun seolah-olah tidak pernah berakhir. Di malam ke 7, Cio San angkat bicara, “Gan-bengcu (ketua Gan), jika esok engkau ingin pergi, aku tak akan menahanmu lebih jauh,” ia mengetahui hal ini karena sejak beberapa hari yang lalu ia melihat sang bengcu dan rombongannya sudah mulai memberesi pakaian dan perlengkapan mereka. Meskipun dilakukan secara pelan-pelan dan diam-diam, tetap saja Cio San dapat melihatnya.

Gan Siao Liong pun mengangguk, ia tahu bahwa Cio San telah paham bahwa ia harus pergi. Malam itu mereka minum sepuas-puasnya. Kali ini dipenuhi canda dan gelak tawa. Perpisahan meskipun menyedihkan, setidaknya harus diiringi dengan senyum dan tawa.

Dan pagi itu suasana akhirnya sunyi. Hanya tersisa Kao Ceng Lun dan Cio San. Mereka duduk saling berhadapan dalam diam. “Apa yang harus kita lakukan sekarang, toako (kakak)?” tanya Kao Cen Lung.

“Tidak ada, selain menunggu. Kitab Bhu Bhok sudah kau serahkan kepada kaisar. Kabarnya pun sudah mulai tersebar. Kaum bulim (dunia persilatan) tak akan berani menyerang kemari. Tetapi para pencuri ulang sudah pasti akan mencobanya. Kita tunggu saja. Apakah Kim Ie Wie (Pasukan baju sulam/dinas rahasia kerajaan) sudah memikirkan segala perangkapnya?”

“Sudah, toako. Bahkan menurut kabar yang aku dengar, Bwee Hua sudah berada di kotaraja.”

“Eh? Hmm, perketat saja pengamanannya. Dia banyak akal. Jangan sampai kalian tertipu. Pasukan harus selalu siap dengan berbagai macam perubahan. Kau persiapkanlah dirimu. Bersemedhilah mengumpulkan tenaga dan memusatkan pikiran. Kita baru saja mabuk-mabukan dan hal ini mungkin akan mengganggu pergerakanmu,” kata Cio San.

Kao Ceng Lun pun menuruti. Cukup lama ia bersemedhi, sedangkan Cio San hanya berbaring-baring saja. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Musuh yang akan dihadapi adalah seorang musuh yang banyak akal dan sangat berbahaya. Tipu dayanya, kecantikannya, gerak geriknya, semua hal dari dirinya sangatlah berbahaya.

Akhirnya Cio San tertidur setelah melamun cukup lama. Sejak pagi itu ia tidur terus sampai sore hari. Sudah menjadi kebiasaannya jika akan menghadapi musuh yang berat, ia akan beristirahat dan mengumpulkan tenaga selama mungkin. Tenaga dalamnya sudah punah dan silatnya tidak dapat diandalkan lagi. Kali ini Cio San hanya dapat mengandalkan akal dan nasib baik.

Ketika hari mulai gelap, terdengar teriakan dari luar, “Petugas Kao Ceng Lun diharapkan datang ke markas!”

“Siap!” jawab Kao Ceng Lun tegas. Dengan sigap ia memakai seragamnya, lalu berkata kepada Cio San. “Aku pergi dulu, toako. Nampaknya saat yang kita tunggu sudah tiba.”

“Pergilah. Semoga kau berhasil, hiante (adik),” jawab Cio San sambil tersenyum dan memberi semangat.

Dalam sekejap mata, Kao Ceng Lun telah menghilang dari situ. Malam telah menjelang dan Cio San kini sendirian. Ia mulai membakar pelita dan menutup jendela-jendela yang ada. Ia sudah mulai dapat bergerak seperti biasanya. Tetapi ia tak dapat lagi menggunakan tenaga dalam serta ginkang (ilmu meringankan tubuh). Ia tak dapat lagi bergerak cepat. Ia telah berubah menjadi orang biasa. Luka yang dia alami telah memutuskan beberapa urat penting di jantungnya. Urat-urat ini berfungsi seperti pipa yang mengalirkan tenaga dalamnya. Jika pipa pipa itu rusak, tenaga dalamnya tidak dapat mengalir.

Karena bingung tak ada yang harus ia lakukan, ia memtuskan untuk merapikan saja ruangan rumah itu. Beberapa benda ia kembalikan ke tempat semula. Perabot-perabot yang lain ia pindahkan agar menjadi lebih rapi dan indah. Ia bahkan melumuri semua lubang kunci pintu dan jendela dengan minyak. Engsel-engselnya pun ia lumuri minyak. Selama beberapa waktu ia bekerja, keringatnya telah mengucur lumayan deras. Dalam hati ia senang. Keringat yang mengalir lancar adalah tanda orang yang sehat. Dari keringat, racun racun tubuh yang berbahaya dikeluarkan. Dari keringat, tubuh mengeluarkan zat-zat tertentu yang membantu melancarkan aliran darah, dan fungsi kerja tubuh. Oleh karena itu, orang yang rajin berkeringat tentu tubuhnya semakin sehat.

Setelah menata ulang ruangan itu, ia lalu beristirahat sejenak. Ia memilih bersandar di pojok ruangan, duduk di atas sebuah kursi yang biasa dipakai Suma Sun saat berjaga-jaga. Ia lalu mematikan seluruh lampu. Apakah ia ingin pergi tidur.

Tidak. Ia berjaga-jaga.

Malam ini adalah sebuah malam yang amat sangat berbahaya. Apapun bisa terjadi. Ia memusatkan pikiran dan bersemedi pula. Tadi sepanjang hari ia tidur untuk memulihkan tenaga dan pikiran. Sekarang ia bersemedhi agar segala indranya bekerja dengan baik, agar pikirannya dapat bekerja dengan baik. Acara bersih-bersih tadi ia lakukan sebagai pemanasan agar tubuhnya tidak kaget saat melakukan gerak perubahan.

Lama ia bersemedhi sampai menjelang tengah malam. Terdengar sebuah langkah di depan pintu. Cio San telah dalam pemusatan pikiran yang amat tenang sehingga ia dapat mengetahui setiap perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Seseorang membuka pintu yang telah dikunci Kao Ceng Lun dari luar. Entah bagaimana caranya. Kini sosok itu melangkah tanpa suara, masuk ke dalam ruangan.

“Sreeett....” pedang dikeluarkan dari sarung, hampir tanpa suara. Langkahnya mendekat dan semakin dekat. Ia melangkah perlahan-lahan, tidak saja karena tidak ingin ketahuan, melainkan juga karena ia tahu mangsanya tak akan bisa lari kemana-mana.

Dari cara ia mencabut pedang, memegang pedang itu, dan melangkah dengan tenang, dapat dipastikan orang yang wajahnya ditutupi topeng ini adalah pendekar kelas atas. Jika ada Suma Sun di sini, ia mungkin akan menjadi lawan yang lumayan tangguh.

Cio San membuka matanya. Di dalam gelap ia dapat melihat dengan jelas. Sosok itu melangkah hati-hati dengan ketenangan khas seorang pendekar pedang. Dari gerak-geriknya ia amat sangat mirip dengan Suma Sun. Apakah semua pendekar pedang memiliki gerak gerik seperti ini?

Cio San lalu berkata, “Akhirnya datang juga.”

Orang itu terhenyak sebentar. “Kau sudah menunggu kedatanganku?”

“Tentu saja. Memangnya kau pikir untuk apa aku mematikan lampu dan duduk bersemedhi seperti ini?”

Si pendekar pedang ini kemudian menyadari kebenaran ucapan Cio San. “Katanya kau terluka?”

“Katanya juga aku mampus di dalam jurang. Tapi tahu-tahu aku muncul menjadi kaisar. Cerita seperti ini masa tidak pernah kau dengar?”

Tentu saja orang itu pernah mendengar cerita ini. Kisah tentang penyelamatan kaisar oleh Cio San sudah amat sangat tersohor sampai-sampai orang tuli sudah mendengarnya, dan orang bisu mampu menceritakannya.

Seketika itu langkahnya menjadi ragu. Ia tidak lagi setenang ketika datang. Tangannya kini mulai gemetaran. Ia adalah seorang pembunuh. Jika tidak yakin untuk membunuh, ia tidak akan melakukannya. Para pembunuh biasanya menggunakan perhitungan yang amat sangat matang. Mereka tidak akan bergerak jika tidak yakin berhasil seluruhnya. Mereka bahkan tidak akan bernafas, jika dirasa nafasnya akan merugikan keberhasilan mereka.

Kini keyakinannya sudah menghilang. Dilihatnya calon korbannya duduk dengan amat sangat tenang. Bersemedhi, dan berkeringat pula. Sama sekali tidak ada tanda-tanda seperti orang yang terluka. Bahkan calon korbannya ini sudah menantangnya maju.

“Majulah,”

Si pembunuh ini memang maju, tetapi langkah majunya sedikit bergetar. Ia telah kehilangan keyakinan diri yang amat sangat besar. Tetapi ia yang memberanikan untuk berkata, “Mengapa bukan kau yang maju? Aku ragu kau dapat berdiri dan berjalan dengan baik. Hehe.”

“Kau bukannya dapat melihat aku berkeringat seperti ini?” kata-katanya pendek. Tapi si pembunuh dapat mengerti maksudnya. Jika Cio San tidak dapat bergerak, mungkinkah ia berkeringat? Jika tidak dapat mengumpulkan tenaga, mungkinkah dalam semedhinya ia mampu berkeringat pula?

Langkah si pembunuh seolah-olah semakin berat.

Orang yang tidak yakin akan dirinya, akan membuatnya meragukan setiap hal. Penilaiannya tidak lagi jernih dan tidak lagi masuk akal.

“Kau merasakan keringat dingin dan jantungmu berdetak kencang, bukan? Padahal selama ini kau tidak pernah merasakannya. Apakah kau melihat sudah melihat ujung jari-jarimu?” tanya Cio San.

Si pembunuh meliat ujung jemarinya. Ada sejenis minyak hitam yang menempel di sana.

“Aku menaruh racun di lubang kunci depan. Dalam 3 hari tubuhmu akan membusuk perlahan-lahan. Jika kau mengerahkan tenaga, racun itu akan masuk lebih dalam dan menghancurkanmu lebih cepat.”

Orang bertopeng ini merasa detak jantungnya menjadi cepat. Keringatnya pun mengalir dengan sangat deras. Tak terasa pandangannya menjadi sedikit berkunang-kunang.

“Jika kau pergi sekarang dan segera bersemedhi mengatur nafas, nyawamu masih bisa diselamatkan. Tetapi kau akan kehilangan tanganmu,” kata Cio San.

“Serahkan penawarnya!” kini ia menjadi lebih berani.

“Kau mau membunuhku? Silahkan! Aku menantangmu untuk maju satu langkah. Satu langkah saja,” kata Cio San tenang.

Jika orang lain yang menantangnya, tentu ia akan maju dan menerima tantangan itu. Tetapi yang menantangnya bukan orang lain. Yang menantangnya adalah Cio San!

Semangatnya, keberaniannya, kegarangannya kini menghilang melayang entah kemana. Kini ia bukan lagi seorang pembunuh yang ditakuti keganasannya. Ia kini adalah seorang penderita racun yang meminta belas kasihan. Kini ia menyadari betapa ia menghargai hidupnya sendiri.

Ia memohon-mohon dengan memelas. Airmatanya pun mengalir deras. Ia merengek-rengek bagaikan seorang anak kecil.

“Jika kau mau pergi dengan lebih cepat, nyawamu dapat tertolong. Sudah dapat nyawa kan sudah cukup beruntung,” kata Cio San.

“Apalah artinya nyawaku tanpa pedangku....., tuan tolonglah, kasihani aku...tolong,” tangisannya begitu memilukan.

“Baiklah. Asal kau berjanji mengasingkan diri dan tidak lagi membunuh orang, aku akan mengampunimu,” kata Cio San.

“Aku berjanji! Demi bumi dan langit aku berjanji!”

Cio San lalu mengeluarkan sebutir pil dari balik kantongnya dan melemparkannya.

“Terima kasih, Cio-hongswee. Aku akan memegang janjiku, dan mengingat kebaikan hatimu!” segera ia menelan pil itu dan merasakan tubuhnya kini jauh lebih segar. Ia lalu meminta diri, dan beranjak pergi.

Terdengar suara teriakan ramai dari kejauhan, “Penyusup! Tangkap penyusup!”
Saat si pembunuh itu akan membuka pintu dan segera lari, tahu-tahu dari balik pintu muncul sebuah pedang. Pedang itu menembus pintu, dan menembus perut si pembunuh itu. Dari balik pintu itu muncul sesosok wanita bertopeng. Ia lalu membuka topeng itu. Di dalam kegelapan, wajah itu memancarkan cahaya kehidupan yang paling indah yang mampu dilihat manusia.

Bwee Hua.

“Kau harus menolongku. Aku barusan menolongmu,” kata-katanya diucapkan dengan senyum yang sangat manis. Padahal di luar sana, ribuan orang sedang mencarinya.

“Kapan kau menolongku? “ tanya Cio San.

“Pembunuh ini bukan orang bodoh. Tak berapa lagi ia akan sadar bahwa kau telah menipunya dengan mengatakan ia terkena racun. Ia akan sadar bahwa jika kau sehat-sehat saja, tidak mungkin kau mengoleskan racun di lubang pintu. Kau cukup menghajarnya saja seperti anjing budukan,” kata Bwee Hua. Ia sudah masuk ruangan dan mengunci pintu dari dalam.

Ia sangat cantik. Dalam pakaiannya yang hitam dan ringkas, ia nampak sangat sempurna.

“Ada yang pergi, ada pula yang datang. Hidup ini memang penuh kejutan,” kata Cio San sambil tertawa.

“Jika aku yang datang, apakah kau bahagia?” ia berbicara dengan tenang dan penuh desahan. Suaranya bagaikan dewi cinta yang turun langsung dari khayangan. Dalam, mendesah, dan penuh asmara!

“Jika bisa lari, aku tentu sudah melarikan diri sejak kau masuk tadi,” kata Cio San sambil tertawa. Di luar terdengar ribuan pasukan berkeliling mencari-cari penyusup itu. Suara mereka terdengar membahana dan menakutkan. Tetapi kedua orang ini bercengkerama dengan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa di luar sana.

Bwee Hua memperhatikan seluruh isi ruangan. Meskipun di dalam gelap, matanya juga cukup tajam. “Kau yang mengatur semua ini?” tanyanya. Cio San mengangguk.

“Hebat! Ini adalah benteng pertahanan sederhana yang sangat kuat. Dengan letak dudukmu disana, tiada seorang pun yang dapat menyerangmu dengan senjata rahasia!”


Cio San tersenyum saja.



Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 37 ADA YANG PERGI, ADA PULA YANG DATANG"

Posting Komentar