Cio San melesat ke atas. Dalam sekali lentingan ia sudah melayang tinggi. Dari udara, ia dapat melihat dengan jelas. Suma Sun bergerak cepat menahan tubuh istrinya yang roboh. Semua kejadian ini berlangsung dalam sepersekian detik dan kerumunan orang yang ramai masih belum memahami apa yang terjadi.
Lompatan Cio San yang cepat itu, berbeda dengan turunnya. Saat melayang turun, tubuh itu seolah-olah diam tak bergerak di udara. Ia memperhatikan sekeliling dan mencoba melihat sesuatu yang mencurigakan. Dan ia tidak menemukan satu pun hal yang mencurigakan, orang yang mencurigakan, atau apapun. Keramaian karena pencurian masih terus berlangsung. Cio San melayang turun dengan kecewa. Dilihatnya Suma Sun sudah menotok jalan darah Ang Lin Hua untuk menghentikan pendarahannya.
“Di mana dia?” tanya Suma Sun lirih.
“Aku tidak menemukannya,” kata-kata Cio San jauh lebih lirih.
Sejenak seluruh bumi seolah-olah terdiam seiring perkataan itu selesai. Seiring dengan diamnya Suma Sun pula.
Lalu teriakannya menggelegar!
“Kubunuh semua orang disini! Aaaaaaaaarggggggggggghhhhhhhhh!!”
Dia telah mencabut pedangnya. Di dalam kemarahannya ia bergerak, pedangnya telah menebas beberapa leher orang-orang yang kebetulan berada di dekatnya. Terkaget-kaget Cio San menyaksikan ini sampai-sampai geraknya pun terlambat. Ia tidak dapat menyelamatkan mereka. Dalam sekejap mata saja, sudah hampir 10 orang yang lehernya tertebas dalam sekali gerakan pedang Suma Sun.
“Suma Sun tenanglah! Kita akan dapat menyelamatkannya!” teriak Cio San.
Tetapi pedang Suma Sun tetap mengeluarkan kilatan cahaya yang menakutkan. Cahaya ini menebas lagi leher begitu banyak orang tanpa ampun. Mereka yang melihat ini kemudian lari terbirit-birit menghindar. Kilatan cahaya tetap bergerak.
Cio San tak dapat menghentikan kilatan cahaya pedang itu. Di dalam kemarahannya, kecepatan dan kekuatan Suma Sun meningkat berkali-kali lipat. Yang bisa Cio San lakukan adalah menyelamatkan orang sebanyak mungkin dengan cara menghempaskan mereka jauh dengan tenaga dalamnya. Walaupun orang-orang ini terluka karena hempasan tenaga dalam Cio San, setidaknya leher mereka selamat dari pedang Suma Sun.
“Kalian semua harus mati! Harus mati!” teriak Suma Sun kalap.
Pedangnya menyerang dengan dahsyat, tetapi untunglah Cio San telah berhasil menghempaskan orang-orang ini menjauh. Sebagian tubuh mereka menghujam bangunan bangunan dari kayu. Ada pula yang terlempar ke laut. Tulang mereka ada yang patah dan ada pula yang terluka kepalanya. Tetapi mereka semua selamat.
Kini daerah itu seperti kosong melompong. Hanya tersisa Cio San, Suma Sun, dan Ang Lin Hua yang terbaring miring di tanah.”Suma Sun, tenanglah! Biarkan aku mengobatinya!”
Tetapi Suma Sun tidak mendengar. Ia tidak dapat mendengar. Orang yang kalap memang pandangannya telah menjadi gelap. Beberapa bulan belakangan ini Suma Sun telah membuka luka lama kenangan hidup masa kecilnya. Luka itu dapat tertutup saat ia membunuh orang. Dan ia memilih orang-orang jahat dan orang-orang yang terlibat dengan kenangan itu. Sejak mengenal Cio San dan Ang Lin Hua ia menjadi manusia yang tenang karena luka itu perlahan-lahan mulai tersembuhkan. Tetapi karena penyelidikan yang ia lakukan beberapa bulan yang lalu, luka ini terbuka kembali. Segala kenangan buruk tentang masa lalunya, kematian ibunya, kematian ayahnya, kisah memilukan pamannya, semua pecah di dalam kepalanya. Ditambah lagi kenyataan bahwa janin di dalam kandungan istrinya tidak dapat terselamatkan lagi.
Suma Sun menyerang!
Ia harus membunuh!
Hanya itulah cara yang ia tahu dalam menghadapi luka batinnya.
Dan orang yang berada di hadapannya hanya Cio San.
Pedang itu bergerak tanpa ampun. Segala kekuatan, kecepatan, amarah, dan penderitaannya ia kerahkan melalui gerakan pedang itu. Siapapun di muka bumi ini tidak akan dapat menghindar, mengelak, menangkis, atau lari dari pedang itu. Bahkan dewa kematian pun mungkin tak akan dapat menghindar dari pedang itu.
Tetapi Cio San bukanlah ‘siapapun’. Cio San juga bukan dewa kematian.
Cio San adalah Cio San!
Dalam sekejap mata ia dapat melihat celah kosong dari serangan maha dahsyat itu. Jika Suma Sun melakukan serangan seperti itu di dalam kesadaran penuh, maka Cio San mungkin tak akan dapat menghindarinya. Tetapi disaat kalap seperti ini, meskipun amarah dapat membantu menambah kekuatan dan kecepatan, amarah pun berpengaruh pada ketepatan.
Hanya sebuah celah kosong tidak sampai seujung kuku!
Cio San bergerak sedikit saja. Pedang itu melewati lehernya dalam jarak yang tak sampai seujung kuku pula. Dengan gerakan yang cepat pula, kini Cio San sudah berada di sisi kanan Suma Sun. Daerah ini adalah daerah kosong karena Suma Sun tidak memiliki tangan kanan. Hanya lengan baju yang menjuntai.
Tetapi lengan baju yang menjuntai itu tiba-tiba bergerak bagaikan seekor naga yang hidup! Di dalam kemarahnnya, Suma Sun telah menciptakan ilmu baru! Mungkin saja amarahnya telah membangkitkan sebuah kekuatan aneh di dalam tubuhnya yang mampu ia keluarkan melului lengannya yang buntung!
Cio San tak menyangka dan tak menduga dengan serangan itu. Posisinya terlalu dekat dengan lengan itu sehingga tidak ada waktu lagi baginya untuk menghindar. Diterimanya serangan lengan baju itu dengan telapak andalannya yang ia ciptakan sendiri di dalam sebuah goa di bawah tanah. Telapak tangan kiri itu meliuk bagai ular dan kini sudah membelit lengan baju itu. Lengan baju Suma Sun sendiri pun juga sudah membelit lengan Cio San. Keduanya saling membelit dalam adu tenaga yang saling menghisap.
Pedang di tangan kiri Suma Sun bergerak secepat kilat ke leher Cio San. Karena sudah menduga hal ini, Cio San menyiapkan tangan kanannya yang kini telah mengeluarkan suara seperti getaran ekor ular derik. Jika ia mau, ia bisa menghajar dada Suma Sun yang kosong dan berada sangat dekat dengan tangannya itu. Tetapi ia khawatir melukai sahabatnya sehingga ia memilih menyambut serangan pedang itu.
Dengan ketepatan yang amat sempurna, ujung telapak Cio San sudah menyentil pedang dari arah bawah. Di dalam perhituangan biasa, tentu pedang itu akan berubah arah. Tetapi keadaan yang ia hadapi sekarang bukanlah keadaan biasa. Tenaga dan kecepatan Suma Sun sedang meningkat berlipat ganda karena kemarahannya. Pedang itu sama sekali tidak berubah arah, hanya bergerak sedikit lebih pelan.
Cio San tak dapat mundur. Tangannya sedang terbelit dengan lengan baju Suma Sun. Tangan kanan Cio San sendiri juga tidak dapat ia gunakan karena sudah kalah cepat dengan serangan Suma Sun. Dengan mempertaruhkan nasib, kaki Cio San bergerak menyenggol sedikit kaki Suma Sun. Seperti yang diketahui, kaki yang membentuk kuda-kuda adalah dasar dari ilmu bela diri. Jika kuda-kuda ini tidak sempurna, maka serangan akan kehilangan bobotnya. Dengan pemahaman ini, Cio San ‘bertaruh’ nasib dan menyerang kuda-kuda Suma Sun. Ia tahu di dalam amarah seseorang, orang itu akan banyak melakukan kesalahan. Begitu pula dengan Suma Sun. Di dalam amarahnya yang membuatnya menyerang dengan penuh dahsyatnya, ia lupa untuk memperhatikan kuda-kudanya sendiri sebagai dasar serangannya.
Selamatlah Cio San karena ‘perjudiannya’ dengan nasib rupanya berhasil. Senggolan kakinya di kuda-kuda Suma Sun membuat gerak dewa pedang itu goyah sedikit sehingga arah pedangnya menjadi miring. Dengan menggunakan kesempatan ini, Cio San menunduk sedikit dan kembali pedang itu melewatinya dalam jarak seujung kuku. Lewat di atas kepalanya.
Tetapi gerakan pedang itu tidak lantas berhenti karena kini pedang itu malah sudah berbelok arah dan menyerangnya dari arah bawah! Cio San tak dapat menyenggol kaki Suma Sun lagi karena kini dewa pedang itu sudah melompat. Serangan dari bawah yang dilakukan sambil melenting seperti ini amat sangar sukar dilakukan. Tangan kiri Cio San masih terbelit, dan tangan kanannya masih kalah cepat dengan pedang Suma Sun. Kakinya pun tak dapat menyerang karena tak ada sasaran yang bisa dijangkau.
Satu satunya hal yang bisa ia lakukan menarik lengan baju Suma Sun ke bawah!
Cio San mengira bahwa lengan baju itu akan terputus saat terkena tebasan pedang Suma Sun. Ia salah sama sekali! Justru pedang itu terlempar dari tangan Suma Sun! Kekuatan yang mengalir dari lengan buntung itu begitu dahsyatnya sehingga tidak saja membuat lengan baju itu menjadi kebal senjata, tetapi juga mampu menepis pedang itu jauh.
Suma Sun seolah-olah menghajar sebuah logam berat dengan palu. Getaran yang ditimbulkan itu membuatnya sampai harus melepaskan pedangnya. Begitu melihat pedang itu terlepas, legalah hati Cio San. Tetapi kelagaan itu tidak berlangsung lama, karena daya hisap lengan baju Suma Sun semakin deras menariknya! Lengan Cio San seperti disedot oleh sebuah kekuatan maha dahsyat yang tak terlihat. Ia bingung harus menggunakan jurusnya yang mana. Jika menggunakan Thay Kek Koen (Tai Chi) ia khawatir tenaga ini akan justru menyerang Suma Sun dan akibatnya akan sangat berbahaya bagi Suma Sun. Jika Cio San menggunakan Ilmu Menghisap Matahari ia khawatir jika ilmu malah akan menyedot habis seluruh tenaga Suma Sun, apalagi dalam keadaan kalap seperti itu Suma Sun pasti akan berbuat nekat. Jika Cio San menggunakan gabungan dari Thay Kek Koen dan ilmu Menghisap Bintang, ia justru khawatir pula karena gabungan kedua ilmu dahsyat itu tak dapat ditebak hasilnya. Bisa-bisa akan membuat Suma Sun terbunuh.
Akhirnya Cio San memilih untuk menggunakan telapak ular deriknya melalui tangan kanan. Dengan hati-hati ia menghujamkan tenaga itu ke dada Suma Sun karena ia pun khawatir serangan itu akan melukai jantung sahabatnya. Tak dinyana ternyata tangan Cio San malah menempel dan tak bisa lepas lagi. Jika Cio San mau, ia dapat menggunakan ilmu-ilmunya yang hebat untuk melawan sedotan ini. Tetapi ia tidak mau. Ia tidak ingin membunuh sahabat karibnya sendiri!
Sedotan itu semakin dahsyat. Suhu tubuh Cio San menurun dengan sangat cepat. Rupanya sumber tenaga Suma Sun ini adalah bersumber dari tenaga ‘Im’ (Yin) yang mengacu kepada dingin. Terasa tubuh Cio San mulai membeku dan ia kehilangan kesadarannya. Di dalam hatinya ia teringat sebuah ungkapan mengenai Suma Sun. “Kau dapat mengalahkan Suma Sun dalam hal silat, tetapi kau tak akan dapat membunuhnya. Justru ia yang akan membunuhmu.”
Di dalam kepasrahannya, ia rela mati di tangan sahabatnya sendiri. Ia tak akan mengeluarkan tenaga untuk membalasnya. Kesadarannya mulai menghilang, pandangannya mulai gelap. Tak berapa lama lagi tubuhnya mungkin akan membeku dan berubah menjadi es.
Di saat genting seperti itu, tahu-tahu sebuah batu menghantam bagian leher Suma Sun. Batu itu datang dengan deras dan tepat menotok sebuah titik jalan darahnya. Segala tenaga penyedot yang tadi menyerang Cio San seolah-olah hilang musnah seperti tak pernah ada. Suma Sun jatuh terkapar. Cio San pun jatuh berlutut telah kehilangan tenaganya. Dari balik tubuh Suma Sun, terlihat sesosok tubuh yang sedang berbaring miring.
Ang Lin Hua.
Dengan segenap tenaga yang tersisa yang dimilikinya, wanita cantik itu melempar batu untuk menotok Suma Sun. Tubuh cantik itu kini berbaring tanpa tenaga. Diam. Tak bergerak. Sekujurnya tubuhnya pucat pasi. Ia kini meregang nyawa.
Cio San tak ingin kehilangan ‘adik’nya yang tercinta itu. Dengan sisa tenaganya ia bergerak maju dengan lututnya. Jarak orang-orang di sekitar mereka sudah cukup jauh. Tak ada seorang pun dari mereka yang berani untuk berbuat apa-apa. Akhirnya Cio San berhasil mendekati Ang Lin Hua dan memeriksa tubuhnya. Sisa tenaga Cio San sudah hampir tak ada lagi. Tetapi dengan yang tersisa sedikit itu, ia menyalurkannya kepada Ang Lin Hua.
Saat melihat luka akibat panah di perut Ang Lin Hua, ia sedikit tersenyum. Luka itu mungkin telah mematikan janin yang berada di kandungannya. Tetapi luka itu tidak akan membuat Ang Lin Hua terbunuh. Mungkin justru karena adanya janin itu, nyawa Ang Lin Hua dapat tertolong.
Betapa hebatnya keluarga Suma. Bahkan ketika belum dilahirkan pun, seorang keturunan keluarga Suma sudah dapat melakukan hal-hal yang mengagumkan.
Terdengar orang lari berdatangan.
“Kauwcu....kauwcu....apa yang terjadi?”
Dengan pandangannya yang sudah mengabur, Cio San mengenal beberapa orang ini. Mereka adalah anggota Mo Kauw tempat Cio San tinggal. “To...long..., bawa kami ke markas. Tolong salurkan juga tenaga kepada kauwcu kalian,” kata Cio San yang memerintahkan mereka untuk mengerahkan tenaga bagi Ang Lin Hua. Ia lalu menggores tangannya sendiri dengan pedang Suma Sun yang berada tak jauh dari situ. “Minumkan darahku kepada Kauwcumu. Lalu oleskan juga di lukanya. Untuk memunahkan racun,” setelah itu ia pingsan tak sadarkan diri.
Entah berapa lama Cio San tidak sadarkan diri. Saat ia bangun, ia melihat Suma Sun masih tak sadarkan diri tak jauh dari situ. Di sebelahnya ada Ang Hin Hua yang berbaring pula. Tetapi nyonya ini sudah sadar. Pandangannya tak lepas dari wajah suaminya yang seolah-olah membeku dan penuh amarah. “Kakak sudah sadar. Syukurlah,” kata Ang Lin Hua saat melihat Cio San bangkit untuk duduk.
Lanjutnya, “Jangan melakukan apa-apa dulu. Bersemedilah untuk memulihkan tenagamu, kakak. Kami semua baik-baik saja. Keadaan sudah aman. Banyak anggota kita berjaga-jaga di luar. Janinku juga sudah dikuburkan tadi.”
Cio San mengangguk, lalu kemudian bersemedi. Mengosongkan segala pikirannya. Ia tidak mau berpikir tentang siapa pelaku semua ini. Ia hanya akan mengosongkan seluruh jiwa dan tubuhnya. Menumbuhkan kembali tenaganya yang tadi sudah ia habiskan saat bertarung. Jika tenaganya sudah pulih, maka siapapun pelakunya, di mana pun ia bersembunyi, di dalam istana kaisar langit sekali pun, Cio San akan mengejarnya. Tetapi untuk kali ini Cio San akan melupakannya.
Dibutuhkan waktu cukup lama bagi dirinya untuk bersemedi dan memulihkan tenaga. Hampir tengah malam baru selesai. Ketika tenaganya sudah pulih seluruhnya, ia membuka mata dan melihat Ang Lin Hua sedang merawat Suma Sun. Seketika kekhawatirannya muncul. Kenapa Suma Sun belum sadar juga?
Ia dengan sigap lalu menuju ke tempat tidur di mana Suma Sun berbaring. Cio San lalu memeriksa nadi Suma Sun dan ia begitu kaget saat ia mengetahui bahwa seluruh urat Suma Sun telah terputus seluruhnya!
Ang Lin Hua berkata, “Saat aku menotoknya, aku harus yakin benar bahwa seranganku ini benar-benar dapat menghentikan perkelahian kalian berdua. Tenagaku tersisa hanya sedikit dan hanya bisa ku lakukan satu kali. Di tengah situasi seperti ini, aku terpaksa harus menyerang titik syaraf ‘naga’ nya,” kata nyonya cantik itu sambil berlinang air mata.
Titik syaraf ‘naga’ adalah ttik pusat seluruh urat syaraf manusia. Tempatnya berada di leher belakang. Seluruh pusat syaraf manusia berkumpul di tempat ini. Jika terluka sedikit saja seseorang bisa mati atau menjadi lumpuh. Biasanya seorang ahli silat akan mampu melindunginya dengan tenaga dalam yang cukup kuat sehingga tidak mudah tergetar atau terluka. Tetapi di dalam keadaan Suma Sun yang penuh amarah dan sedang menggunakan seluruh tenaganya untuk menyerang, titik syaraf naganya menjadi kosong dri perlindungan sehingga dalam getaran yang sedikit saja, sudah memutuskan seluruh syarafnya.
Suma Sun menjadi lumpuh seluruh tubuh!
Cio San tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan katakan. Kenyataan ini terlalu berat untuk dihadapinya. Justru Ang Lin Hua yang terlihat begitu tegar menghadapi semua ini meskipun air matanya mengucur dengan deras. Cio San pun menangis sesenggukan. Dari seluruh pengetahuannya, ia tahu jika titik syaraf naga sudah terluka, maka penderitanya sudah tak dapat ditolong lagi. Karena jika urat-urat yang lain putus, masih ada kemungkinan untuk tersambung kembali jika menemukan obat ajaib yang mujarab. Kecuali tiitik syaraf naga. Titik itu bagai sebuah terowongan kecil tempat lewatnya seluruh urat syarat tubuh. Jika hancur maka jalur yang menghubungkan tubuh dan otak akan terputus. Hal ini bagaikan sebuah jembatan yang putus. Orang tak akan dapat mungkin menyebrang lagi.
Wu Ye Lan Hua (anggrek tengah malam) pun tak akan dapat menyembuhkannya.
Selama berhari-hari yang bisa mereka lakukan hanyalah merawat Suma Sun yang telah lumpuh seluruhnya ini. Akhirnya Ang Lin Hua memutuskan untuk kembali ke Istana Ular dan merawat suaminya di sana. Cio San menurutinya dan bahkan ikut mengantarkan sampai ke istana ular. Mereka juga membawa petinggi-petinggi Mo Kauw yang bertugas untuk berjaga-jaga di sana. Cio San sempat menurunkan berbagai macam ilmunya kepada mereka. Dalam beberapa hari saja ilmu mereka sudah maju sangat pesat. Melihat ini Cio San merasa cukup puas, dan merasa aman jika para petinggi ini yang berjaga-jaga di sana.
Setiap hari ia habiskan waktu untuk mempelajari kitab-kitab pengobatan yang ada di istana itu. Ada banyak pengetahuan baru yang ia dapatkan. Meskipun harapan bagi kesembuhan Suma Sun amat sangat kecil. Bahkan kemungkinan besar tak akan mungkin disembuhkan. Tetapi Cio San tak patah arang. Dalam satu bulan ini ia telah mencoba berbagai hal bagi kesembuhan Suma Sun. Segala obat-obatan sudah dicobanya. Mulai dari obat yang dioleskan, diminum, sampai juga tusuk jarum, dan pengeluaran darah beku. Tetapi tak ada kemajuan sama sekali pada Suma Sun. Bahkan sadar pun tidak.
Suatu hari Cio San mencoba hal baru. Ia membuat tungku yang amat besar. Lalu menuangkan banyak air serta memasukan bahan obat-obatan. Isi tungku itu kemudian dipanaskan dengan api yang tidak terlalu besar. Ia lalu meletakkan tubuh lunglai ke dalam tungku itu. Ang Lin Hua dan beberapa anggota Mo Kauw juga ikut membantu. Setiap hari mereka bergantian menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Suma Sun. Hal ini rupanya membawa kemajuan karena kadang-kadang terdengar erangan Suma Sun. Meskipun erangan ini lirih sekali, setidaknya sudah menimbulkan api harapan di tengah keadaan duka seperti ini.
Cio San juga menggunakan pengobatan tusuk jarum untuk merangsang beberapa syaraf Suma Sun. Dari pengetahuannya, syaraf-syaraf semuanya masih berfungsi dengan baik. Hanya ‘jembatan’ yang menyambungkan aliran-aliran syarat ke otaklah yang telah rusak. Memang tidak ada cara untuk ‘membangun’ kembali ‘jembatan’ itu.
Menyadari hal ini, Cio San ingin mencoba lagi sesuatu yang baru. Ia membuat sebuah jarum yang amat panjang. Dengan bantuan seorang anggota Mo Kauw yang juga mengerti sedikit ilmu pengobatan, jarum itu ditusukkan ke tulang punggungnya dengan hati-hati. Rasa sakit yang mencul ketika jarum itu menembus tulangnya sudah tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Panjang jarum yang hampir satu jengkal itu telah amblas seluruhnya, menusuk tulang belakangnya. Hampir saja Cio San berteriak karena tak dapat menahan rasa sakitnya. Ketika jarum itu ditarik kembali pun mengakibatkan rasa sakit yang tak kalah hebatnya. Di ujung jarum itu terdapat setitik cairan berwarna kuning saat ditarik. Cio San mengumpulkan cairan itu ke dalam sebuah botol kecil. Hal ini ia lakukan berkali-kali setiap hari sehingga dalam satu minggu saja, botol kecil itu telah penuh dengan cairan kuning dari dalam tulang punggungnya.
Setelah botol itu penuh, Cio San lalu mencampurkan isi botol itu dengan beberapa ramuan obat. Setelah ramuan itu bercampur, Cio San menggunakan jarum panjang yang baru dibuatnya untuk memasukkan cairan obat itu ke titik syaraf ‘naga’ milik Suma Sun. Ketika jarum itu dimasukkan, tak ada suara sedikitpun yang keluar dari mulut Suma Sun. Hanya erangan lirih yang biasanya terdengar. Setiap hari Cio San melakukan hal ini.
“Pengobatan ini adalah cara yang kutemukan sendiri dari hasil pemikiranku. Hasilnya aku sama sekali tidak dapat mengira-ngira. Tetapi hanya ini yang bisa kulakukan. Kita hanya dapat berharap kepada takdir. Tapi aku akan tetap berada di sini selamanya sampai ia sembuh. Sambil mempelajari lagi bila ada cara lain. Beberapa anggota partai kita sudah kuperintahkan untuk mencari-cari tabib yang sakti. Ada beberapa nama yang bisa kita coba, tetapi mencari mereka bagaikan mencari jarum di tumpukkan jerami. Daripada menunggu, setidaknya kita bisa berusaha mengobati sendiri,” ujar Cio San kepada Ang Lin Hua.
“Kakak akan menetap di sini?” tanya Ang Lin Hua, yang kemudian di balas Cio San dengan anggukan.
“Aku tidak setuju,” kata Ang Lin Hua. “Di luar sana, penjahat itu masih berkeliaran dengan bebasnya. Justru itu yang ia inginkan. Keadaan pasukan negara kita pun semakin parah. Jika bukan kakak yang menghentikannya, lalu siapa lagi? Apakah kakak ingin pengorbanan suamiku sia-sia?” kata-katanya lirih namun dalam dan menusuk. Lanjutnya, “Segala kejadian ini bukan salahmu, bukan salah suamiku, juga bukan salahku. Kita adalah korban dari keadaan yang diciptakan oleh penjahat itu. Kalau engkau membuang-buang wakti di sini, maka segala rencana si penjahat itu akan ia laksanakan dengan mudah. Mungkin jika kau keluar dari istana ini, kaisar kita sudah berganti dengan kaisar Miao atau kaisar Goan!”
“Tetapi Suma Sun....,”
“Jangan pikirkan suamiku,” potong Ang Lin Hua. “Apa yang terjadi padanya mungkin sudah takdir. Aku tak dapat menyalahkan siapa-siapa. Tetapi banyak rencana jahat yang bisa kau gagalkan jika terjadi. Aku akan meneruskan pengobatan yang kau lakukan terhadap suamiku. Engkau memiliki tugas-tugasmu sendiri. Pergilah. Kalahkan penjahat itu. Lalu kau dapat pulang kesini untuk mengurus sahabat tercintamu ini.”
Perempuan jarang berpikir dengan jernih. Tetapi jika ia sudah berpikir jernih, maka kebeningan pikirannya jauh lebih bening dan lebih indah dari embun pagi. Mungkin itulah fungsi perempuan. Untuk berpikir jernih di saat seorang laki-laki tak dapat lagi berpikir jernih. Untuk memberi semangat membara di saat seorang laki-laki sudah tak sanggup untuk berjuang lagi. Laki-laki mana saja yang menemukan perempuan seperti ini adalah lelaki yang amat beruntung. Perempuan mana saja yang memiliki kemampuan seperti ini adalah perempuan yang diberkati.
Cio San dan Ang Lin Hua hanya bisa menatap langit. Berharap langit menurunkan sesuatu yang akan membasuh pergi segala penderitaan jiwa mereka. Lalu terdengar suara,
“Cukat Tong-tayhiap dan istri meminta ijin untuk berkunjung,” suara ini adalah suara salah seorang anggota Mo Kauw yang berjaga-jaga di luar. “Silahkan,” kata Ang Lin Hua pelan, tetapi suaranya telah sampai ke gerbang depan. Ia sendiri dan Cio San pun bergegas ke depan untuk menyambut mereka.
Setelah pintu gerbang terbuka, terlihatlah sepasang suami istri yang gagah ini. Cukat Tong masih terlihat tampan walaupun kerut-kerut di wajahnya sudah mulai terlihat. Istrinya, Bwee Hua, sudah tidak perlu digambarkan lagi kecantikannya.
“Kau sudah datang,” kata Cio San sambil tersenyum.
Cukat Tong cuma melihat padanya sekilas, lalu mengangguk. Senyumnya terlihat seperti sangat dipaksakan. Ang Lin Hua menyambut kedua orang ini dengan menjura dan berterima kasih. Keempat orang ini lalu memasuki istana ular tanpa berkata apa-apa. Hubungan antara satu sama lain terasa aneh dan kaku. Masing-masing telah mengerti sejarah yang lain, sehingga untuk berbasa-basipun terasa percuma.
Ingin Cio San segera memeluk Cukat Tong, mengajaknya minum arak sampai mampus, sambil menceritakan beban-beban hidupnya selama ini. Tetapi hal itu tidak mungkin lagi. Mereka telah berubah menjadi seseorang yang asing satu sama lain. Seolah-olah baru kenal, seolah ada tembok tinggi yang memisahkan mereka dan tak ada yang sanggup mereka lakukan.
Cukat Tong meminta ijin Ang Lin Hua untuk menjenguk keadaan Suma Sun. Nyonya ini kemudian mengajak mereka ke bilik tempat Suma Sun dirawat. Suma Sun terlihat pucat seperti mayat, dengan pandangan mata yang amat kosong. Tubuhnya kurus, dan pipinya bagaikan seorang kakek tua. Melihat ini Cukat Tong menangis tersedu-sedu. Ia lalu bertanya tentang pengobatan apa saja yang sudah dilakukan kepada Suma Sun. Cio San tidak berani menjawab karena ia tahu Cukat Tong tidak ingin berbicara kepadanya. Dengan sabar Ang Lun Hua menjelaskan segalanya. Ia juga menjelaskan penderitaan yang dialami Cio San saat mengambil cairan kuning dari tulang belakangnya sendiri.
“Aku membawa Wu Ye Lan Hua (anggrek tengah malam), mungkin bisa dicoba,” kata Bwee Hua. Cio San menerima bunga itu tanpa berani menatap mata Bwee Hua. Jika perasaan masing-masing sudah diketahui, memang amat sulit untuk bersikap apa adanya. Segera setelah menerima bunga itu, ia meramunya dan mencampurkannya dengan cairan obat yang disimpannya di botol. Segera pula ia menggunakan jarum untuk menyuntikan obat itu ke titik syaraf naga Suma Sun.
“Kita hanya bisa berusaha, apa yang terjadi adalah takdir dari langit,” malah Ang Lin Hua yang berkata seperti ini. Ia justru jauh lebih tegar ketimbang Cio San maupun Cukat Tong.
Kata Bwee Hua, “Ya, yang penting kita semua sudah berusaha,” sambil tersenyum menenangkan Ang Lin Hua. Hubungan mereka berdua menjadi lebih baik setelah Bwee Hua tinggal di situ selama beberapa hari. Ia bahkan membantu menyiapkan makanan dan merawat Suma Sun. Perlahan-lahan kepercayaan Ang Lin Hua kepadanya pun tumbuh. Bwee Hua memang paling pintar dalam mengambil hati orang.
Yang menyedihkan adalah hubungan Cio San dan Cukat Tong. Mereka bahkan hampir tidak berbicara satu sama lain. Cio San sendiri sudah berusaha sebisa mungkin untuk memulai percakapan dengan Cukat Tong, tetapi Raja Maling itu hanya mengangguk dan tersenyum dingin sekali-sekali. Jika menjawab pun tidak lebih dari beberapa kata.
Suatu hari, Bwee Hua berkata kepada Cio San, “San-heng (kakak San), sejauh yang ku dengar, tentara kekaisaran mengalami kekalahan di mana-mana. Bahkan konon putri Goan yang turut beperang besama pangeran Cu di perbatasan Selatan pun ikut tertangkap.”
Mendengar ini Cio San hanya bisa menarik nafas panjang dan memejamkan mata.
“Jika kau tidak segera pergi membantu mereka, tak lama lagi mungkin pangeran Cu pan akan tertangkap. Apabila saat itu tiba, mungkin seluruh kekaisaran akan jatuh, karena dialah satu-satunya pemimpin yang memiliki kemampuan perang paling tinggi,” tukas Bwee Hua.
Ang Lin Hua membenarkan dan berkata, “Biarkan kami yang tinggal di sini untuk merawat sahabatmu ini.”
“Walaupun langit runtuh dan dunia hancur sekalipun, aku tak akan meninggalkan sahabatku,” kata Cio San dengan tegas.
“Haha.....” Cukat Tong tertawa. Tawanya pendek saja. Tetapi tawa ini seperti merampas segala semangat hidup Cio San. Karena ia mengerti arti tawa itu. Tawa yang meremehkan dirinya. Ingin sekali ia menumpahkan amarahnya kepada Cukat Tong, tetapi sungguh ia tak ingin kehilangan satu lagi sahabat terbaiknya. Akhirnya Cio San hanya dapat berkata lirih,
“Cukat-tayhiap, apakah kau meragukan persahabatanku?”
Lama Cukat Tong menatapnya, lalu berkata, “Tidak ada satu hal pun yang kuragukan darimu. Bahkan jika kau berkata sekarang matahari terbit dari barat, atau lautan berubah menjadi gurun gersang pun aku tetap percaya kepadamu. Hanya saja kau selalu membawa masalah kepada sahabat-sahabatmu. Kau tak pernah membiarkan mereka untuk hidup dengan tenang!”
Alangkah terhenyaknya Cio San mendengar hal ini. Karena ia sendiri pun merasakan hal yang sama. Seolah-olah seluruh masalah di muka bumi ini ditimpakan kepadanya. Datangnya pun terus menerus hampir setiap hari.
Ang Lin Hua dan Bwee Hua tidak berani bersuara. Jika dua orang laki-laki sedang berbicara, perempuan seharusnya memang menutup mulutnya rapat-rapat.
“Lalu apa yang harus kulakukan?” suara Cio San masih lirih.
“Pergilah sejauh-jauhnya dari sahabat-sahabatmu. Jangan menarik mereka dalam setiap masalahmu. Selesaikan semuanya sendiri. Dengan begitu aku baru akan mengakuimu sebagai laki-laki sejati,” jawab Cukat Tong.
Cio San seketika menyadari bahwa sikap Cukat Tong yang dingin kepadanya belakangan ini bukanlah karena rasa cemburunya atas perasaan Bwee Hua terhadapnya, melainkan atas kecintaannya yang dalam pada Suma Sun. Sedikit banyak Cukat Tong memang menyalahkan Cio San dalam hal ini.
“Baik. Jika aku pergi, mau kah kau menjaga Suma Sun demi aku?” tanya Cio San. Air matanya sudah mengambang di pelupuk matanya.
“Tidak!”
Semua orang terhenyak.
“Tetapi aku akan melakukannya demi Suma Sun,” lanjut Cukat Tong.
“Baik. Itu saja sudah cukup,” kata Cio San.
Memang.
Itu saja sudah cukup.