EPISODE 2 BAB 43 ITU SAJA SUDAH CUKUP



Cio San melesat ke atas. Dalam sekali lentingan ia sudah melayang tinggi. Dari udara, ia dapat melihat dengan jelas. Suma Sun bergerak cepat menahan tubuh istrinya yang roboh. Semua kejadian ini berlangsung dalam sepersekian detik dan kerumunan orang yang ramai masih belum memahami apa yang terjadi.

Lompatan Cio San yang cepat itu, berbeda dengan turunnya. Saat melayang turun, tubuh itu seolah-olah diam tak bergerak di udara. Ia memperhatikan sekeliling dan mencoba melihat sesuatu yang mencurigakan. Dan ia tidak menemukan satu pun hal yang mencurigakan, orang yang mencurigakan, atau apapun. Keramaian karena pencurian masih terus berlangsung. Cio San melayang turun dengan kecewa. Dilihatnya Suma Sun sudah menotok jalan darah Ang Lin Hua untuk menghentikan pendarahannya.

“Di mana dia?” tanya Suma Sun lirih.

“Aku tidak menemukannya,” kata-kata Cio San jauh lebih lirih.

Sejenak seluruh bumi seolah-olah terdiam seiring perkataan itu selesai. Seiring dengan diamnya Suma Sun pula.

Lalu teriakannya menggelegar!

“Kubunuh semua orang disini! Aaaaaaaaarggggggggggghhhhhhhhh!!”

Dia telah mencabut pedangnya. Di dalam kemarahannya ia bergerak, pedangnya telah menebas beberapa leher orang-orang yang kebetulan berada di dekatnya. Terkaget-kaget Cio San menyaksikan ini sampai-sampai geraknya pun terlambat. Ia tidak dapat menyelamatkan mereka. Dalam sekejap mata saja, sudah hampir 10 orang yang lehernya tertebas dalam sekali gerakan pedang Suma Sun.

“Suma Sun tenanglah! Kita akan dapat menyelamatkannya!” teriak Cio San.

Tetapi pedang Suma Sun tetap mengeluarkan kilatan cahaya yang menakutkan. Cahaya ini menebas lagi leher begitu banyak orang tanpa ampun. Mereka yang melihat ini kemudian lari terbirit-birit menghindar. Kilatan cahaya tetap bergerak.

Cio San tak dapat menghentikan kilatan cahaya pedang itu. Di dalam kemarahannya, kecepatan dan kekuatan Suma Sun meningkat berkali-kali lipat. Yang bisa Cio San lakukan adalah menyelamatkan orang sebanyak mungkin dengan cara menghempaskan mereka jauh dengan tenaga dalamnya. Walaupun orang-orang ini terluka karena hempasan tenaga dalam Cio San, setidaknya leher mereka selamat dari pedang Suma Sun.

“Kalian semua harus mati! Harus mati!” teriak Suma Sun kalap.

Pedangnya menyerang dengan dahsyat, tetapi untunglah Cio San telah berhasil menghempaskan orang-orang ini menjauh. Sebagian tubuh mereka menghujam bangunan bangunan dari kayu. Ada pula yang terlempar ke laut. Tulang mereka ada yang patah dan ada pula yang terluka kepalanya. Tetapi mereka semua selamat.

Kini daerah itu seperti kosong melompong. Hanya tersisa Cio San, Suma Sun, dan Ang Lin Hua yang terbaring miring di tanah.”Suma Sun, tenanglah! Biarkan aku mengobatinya!”

Tetapi Suma Sun tidak mendengar. Ia tidak dapat mendengar. Orang yang kalap memang pandangannya telah menjadi gelap. Beberapa bulan belakangan ini Suma Sun telah membuka luka lama kenangan hidup masa kecilnya. Luka itu dapat tertutup saat ia membunuh orang. Dan ia memilih orang-orang jahat dan orang-orang yang terlibat dengan kenangan itu. Sejak mengenal Cio San dan Ang Lin Hua ia menjadi manusia yang tenang karena luka itu perlahan-lahan mulai tersembuhkan. Tetapi karena penyelidikan yang ia lakukan beberapa bulan yang lalu, luka ini terbuka kembali. Segala kenangan buruk tentang masa lalunya, kematian ibunya, kematian ayahnya, kisah memilukan pamannya, semua pecah di dalam kepalanya. Ditambah lagi kenyataan bahwa janin di dalam kandungan istrinya tidak dapat terselamatkan lagi.

Suma Sun menyerang!

Ia harus membunuh!

Hanya itulah cara yang ia tahu dalam menghadapi luka batinnya.

Dan orang yang berada di hadapannya hanya Cio San.

Pedang itu bergerak tanpa ampun. Segala kekuatan, kecepatan, amarah, dan penderitaannya ia kerahkan melalui gerakan pedang itu. Siapapun di muka bumi ini tidak akan dapat menghindar, mengelak, menangkis, atau lari dari pedang itu. Bahkan dewa kematian pun mungkin tak akan dapat menghindar dari pedang itu.

Tetapi Cio San bukanlah ‘siapapun’. Cio San juga bukan dewa kematian.

Cio San adalah Cio San!

Dalam sekejap mata ia dapat melihat celah kosong dari serangan maha dahsyat itu. Jika Suma Sun melakukan serangan seperti itu di dalam kesadaran penuh, maka Cio San mungkin tak akan dapat menghindarinya. Tetapi disaat kalap seperti ini, meskipun amarah dapat membantu menambah kekuatan dan kecepatan, amarah pun berpengaruh pada ketepatan.

Hanya sebuah celah kosong tidak sampai seujung kuku!

Cio San bergerak sedikit saja. Pedang itu melewati lehernya dalam jarak yang tak sampai seujung kuku pula. Dengan gerakan yang cepat pula, kini Cio San sudah berada di sisi kanan Suma Sun. Daerah ini adalah daerah kosong karena Suma Sun tidak memiliki tangan kanan. Hanya lengan baju yang menjuntai.

Tetapi lengan baju yang menjuntai itu tiba-tiba bergerak bagaikan seekor naga yang hidup! Di dalam kemarahnnya, Suma Sun telah menciptakan ilmu baru! Mungkin saja amarahnya telah membangkitkan sebuah kekuatan aneh di dalam tubuhnya yang mampu ia keluarkan melului lengannya yang buntung!

Cio San tak menyangka dan tak menduga dengan serangan itu. Posisinya terlalu dekat dengan lengan itu sehingga tidak ada waktu lagi baginya untuk menghindar. Diterimanya serangan lengan baju itu dengan telapak andalannya yang ia ciptakan sendiri di dalam sebuah goa di bawah tanah. Telapak tangan kiri itu meliuk bagai ular dan kini sudah membelit lengan baju itu. Lengan baju Suma Sun sendiri pun juga sudah membelit lengan Cio San. Keduanya saling membelit dalam adu tenaga yang saling menghisap.

Pedang di tangan kiri Suma Sun bergerak secepat kilat ke leher Cio San. Karena sudah menduga hal ini, Cio San menyiapkan tangan kanannya yang kini telah mengeluarkan suara seperti getaran ekor ular derik. Jika ia mau, ia bisa menghajar dada Suma Sun yang kosong dan berada sangat dekat dengan tangannya itu. Tetapi ia khawatir melukai sahabatnya sehingga ia memilih menyambut serangan pedang itu.

Dengan ketepatan yang amat sempurna, ujung telapak Cio San sudah menyentil pedang dari arah bawah. Di dalam perhituangan biasa, tentu pedang itu akan berubah arah. Tetapi keadaan yang ia hadapi sekarang bukanlah keadaan biasa. Tenaga dan kecepatan Suma Sun sedang meningkat berlipat ganda karena kemarahannya. Pedang itu sama sekali tidak berubah arah, hanya bergerak sedikit lebih pelan.

Cio San tak dapat mundur. Tangannya sedang terbelit dengan lengan baju Suma Sun. Tangan kanan Cio San sendiri juga tidak dapat ia gunakan karena sudah kalah cepat dengan serangan Suma Sun. Dengan mempertaruhkan nasib, kaki Cio San bergerak menyenggol sedikit kaki Suma Sun. Seperti yang diketahui, kaki yang membentuk kuda-kuda adalah dasar dari ilmu bela diri. Jika kuda-kuda ini tidak sempurna, maka serangan akan kehilangan bobotnya. Dengan pemahaman ini, Cio San ‘bertaruh’ nasib dan menyerang kuda-kuda Suma Sun. Ia tahu di dalam amarah seseorang, orang itu akan banyak melakukan kesalahan. Begitu pula dengan Suma Sun. Di dalam amarahnya yang membuatnya menyerang dengan penuh dahsyatnya, ia lupa untuk memperhatikan kuda-kudanya sendiri sebagai dasar serangannya.

Selamatlah Cio San karena ‘perjudiannya’ dengan nasib rupanya berhasil. Senggolan kakinya di kuda-kuda Suma Sun membuat gerak dewa pedang itu goyah sedikit sehingga arah pedangnya menjadi miring. Dengan menggunakan kesempatan ini, Cio San menunduk sedikit dan kembali pedang itu melewatinya dalam jarak seujung kuku. Lewat di atas kepalanya.

Tetapi gerakan pedang itu tidak lantas berhenti karena kini pedang itu malah sudah berbelok arah dan menyerangnya dari arah bawah! Cio San tak dapat menyenggol kaki Suma Sun lagi karena kini dewa pedang itu sudah melompat. Serangan dari bawah yang dilakukan sambil melenting seperti ini amat sangar sukar dilakukan. Tangan kiri Cio San masih terbelit, dan tangan kanannya masih kalah cepat dengan pedang Suma Sun. Kakinya pun tak dapat menyerang karena tak ada sasaran yang bisa dijangkau.

Satu satunya hal yang bisa ia lakukan menarik lengan baju Suma Sun ke bawah!

Cio San mengira bahwa lengan baju itu akan terputus saat terkena tebasan pedang Suma Sun. Ia salah sama sekali! Justru pedang itu terlempar dari tangan Suma Sun! Kekuatan yang mengalir dari lengan buntung itu begitu dahsyatnya sehingga tidak saja membuat lengan baju itu menjadi kebal senjata, tetapi juga mampu menepis pedang itu jauh.

Suma Sun seolah-olah menghajar sebuah logam berat dengan palu. Getaran yang ditimbulkan itu membuatnya sampai harus melepaskan pedangnya. Begitu melihat pedang itu terlepas, legalah hati Cio San. Tetapi kelagaan itu tidak berlangsung lama, karena daya hisap lengan baju Suma Sun semakin deras menariknya! Lengan Cio San seperti disedot oleh sebuah kekuatan maha dahsyat yang tak terlihat. Ia bingung harus menggunakan jurusnya yang mana. Jika menggunakan Thay Kek Koen (Tai Chi) ia khawatir tenaga ini akan justru menyerang Suma Sun dan akibatnya akan sangat berbahaya bagi Suma Sun. Jika Cio San menggunakan Ilmu Menghisap Matahari ia khawatir jika ilmu malah akan menyedot habis seluruh tenaga Suma Sun, apalagi dalam keadaan kalap seperti itu Suma Sun pasti akan berbuat nekat. Jika Cio San menggunakan gabungan dari Thay Kek Koen dan ilmu Menghisap Bintang, ia justru khawatir pula karena gabungan kedua ilmu dahsyat itu tak dapat ditebak hasilnya. Bisa-bisa akan membuat Suma Sun terbunuh.

Akhirnya Cio San memilih untuk menggunakan telapak ular deriknya melalui tangan kanan. Dengan hati-hati ia menghujamkan tenaga itu ke dada Suma Sun karena ia pun khawatir serangan itu akan melukai jantung sahabatnya. Tak dinyana ternyata tangan Cio San malah menempel dan tak bisa lepas lagi. Jika Cio San mau, ia dapat menggunakan ilmu-ilmunya yang hebat untuk melawan sedotan ini. Tetapi ia tidak mau. Ia tidak ingin membunuh sahabat karibnya sendiri!

Sedotan itu semakin dahsyat. Suhu tubuh Cio San menurun dengan sangat cepat. Rupanya sumber tenaga Suma Sun ini adalah bersumber dari tenaga ‘Im’ (Yin) yang mengacu kepada dingin. Terasa tubuh Cio San mulai membeku dan ia kehilangan kesadarannya. Di dalam hatinya ia teringat sebuah ungkapan mengenai Suma Sun. “Kau dapat mengalahkan Suma Sun dalam hal silat, tetapi kau tak akan dapat membunuhnya. Justru ia yang akan membunuhmu.”

Di dalam kepasrahannya, ia rela mati di tangan sahabatnya sendiri. Ia tak akan mengeluarkan tenaga untuk membalasnya. Kesadarannya mulai menghilang, pandangannya mulai gelap. Tak berapa lama lagi tubuhnya mungkin akan membeku dan berubah menjadi es.

Di saat genting seperti itu, tahu-tahu sebuah batu menghantam bagian leher Suma Sun. Batu itu datang dengan deras dan tepat menotok sebuah titik jalan darahnya. Segala tenaga penyedot yang tadi menyerang Cio San seolah-olah hilang musnah seperti tak pernah ada. Suma Sun jatuh terkapar. Cio San pun jatuh berlutut telah kehilangan tenaganya. Dari balik tubuh Suma Sun, terlihat sesosok tubuh yang sedang berbaring miring.

Ang Lin Hua.

Dengan segenap tenaga yang tersisa yang dimilikinya, wanita cantik itu melempar batu untuk menotok Suma Sun. Tubuh cantik itu kini berbaring tanpa tenaga. Diam. Tak bergerak. Sekujurnya tubuhnya pucat pasi. Ia kini meregang nyawa.

Cio San tak ingin kehilangan ‘adik’nya yang tercinta itu. Dengan sisa tenaganya ia bergerak maju dengan lututnya. Jarak orang-orang di sekitar mereka sudah cukup jauh. Tak ada seorang pun dari mereka yang berani untuk berbuat apa-apa. Akhirnya Cio San berhasil mendekati Ang Lin Hua dan memeriksa tubuhnya. Sisa tenaga Cio San sudah hampir tak ada lagi. Tetapi dengan yang tersisa sedikit itu, ia menyalurkannya kepada Ang Lin Hua.

Saat melihat luka akibat panah di perut Ang Lin Hua, ia sedikit tersenyum. Luka itu mungkin telah mematikan janin yang berada di kandungannya. Tetapi luka itu tidak akan membuat Ang Lin Hua terbunuh. Mungkin justru karena adanya janin itu, nyawa Ang Lin Hua dapat tertolong.

Betapa hebatnya keluarga Suma. Bahkan ketika belum dilahirkan pun, seorang keturunan keluarga Suma sudah dapat melakukan hal-hal yang mengagumkan.
Terdengar orang lari berdatangan.

“Kauwcu....kauwcu....apa yang terjadi?”

Dengan pandangannya yang sudah mengabur, Cio San mengenal beberapa orang ini. Mereka adalah anggota Mo Kauw tempat Cio San tinggal. “To...long..., bawa kami ke markas. Tolong salurkan juga tenaga kepada kauwcu kalian,” kata Cio San yang memerintahkan mereka untuk mengerahkan tenaga bagi Ang Lin Hua. Ia lalu menggores tangannya sendiri dengan pedang Suma Sun yang berada tak jauh dari situ. “Minumkan darahku kepada Kauwcumu. Lalu oleskan juga di lukanya. Untuk memunahkan racun,” setelah itu ia pingsan tak sadarkan diri.

Entah berapa lama Cio San tidak sadarkan diri. Saat ia bangun, ia melihat Suma Sun masih tak sadarkan diri tak jauh dari situ. Di sebelahnya ada Ang Hin Hua yang berbaring pula. Tetapi nyonya ini sudah sadar. Pandangannya tak lepas dari wajah suaminya yang seolah-olah membeku dan penuh amarah. “Kakak sudah sadar. Syukurlah,” kata Ang Lin Hua saat melihat Cio San bangkit untuk duduk.

Lanjutnya, “Jangan melakukan apa-apa dulu. Bersemedilah untuk memulihkan tenagamu, kakak. Kami semua baik-baik saja. Keadaan sudah aman. Banyak anggota kita berjaga-jaga di luar. Janinku juga sudah dikuburkan tadi.”

Cio San mengangguk, lalu kemudian bersemedi. Mengosongkan segala pikirannya. Ia tidak mau berpikir tentang siapa pelaku semua ini. Ia hanya akan mengosongkan seluruh jiwa dan tubuhnya. Menumbuhkan kembali tenaganya yang tadi sudah ia habiskan saat bertarung. Jika tenaganya sudah pulih, maka siapapun pelakunya, di mana pun ia bersembunyi, di dalam istana kaisar langit sekali pun, Cio San akan mengejarnya. Tetapi untuk kali ini Cio San akan melupakannya.

Dibutuhkan waktu cukup lama bagi dirinya untuk bersemedi dan memulihkan tenaga. Hampir tengah malam baru selesai. Ketika tenaganya sudah pulih seluruhnya, ia membuka mata dan melihat Ang Lin Hua sedang merawat Suma Sun. Seketika kekhawatirannya muncul. Kenapa Suma Sun belum sadar juga?
Ia dengan sigap lalu menuju ke tempat tidur di mana Suma Sun berbaring. Cio San lalu memeriksa nadi Suma Sun dan ia begitu kaget saat ia mengetahui bahwa seluruh urat Suma Sun telah terputus seluruhnya!

Ang Lin Hua berkata, “Saat aku menotoknya, aku harus yakin benar bahwa seranganku ini benar-benar dapat menghentikan perkelahian kalian berdua. Tenagaku tersisa hanya sedikit dan hanya bisa ku lakukan satu kali. Di tengah situasi seperti ini, aku terpaksa harus menyerang titik syaraf ‘naga’ nya,” kata nyonya cantik itu sambil berlinang air mata.

Titik syaraf ‘naga’ adalah ttik pusat seluruh urat syaraf manusia. Tempatnya berada di leher belakang. Seluruh pusat syaraf manusia berkumpul di tempat ini. Jika terluka sedikit saja seseorang bisa mati atau menjadi lumpuh. Biasanya seorang ahli silat akan mampu melindunginya dengan tenaga dalam yang cukup kuat sehingga tidak mudah tergetar atau terluka. Tetapi di dalam keadaan Suma Sun yang penuh amarah dan sedang menggunakan seluruh tenaganya untuk menyerang, titik syaraf naganya menjadi kosong dri perlindungan sehingga dalam getaran yang sedikit saja, sudah memutuskan seluruh syarafnya.

Suma Sun menjadi lumpuh seluruh tubuh!

Cio San tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan katakan. Kenyataan ini terlalu berat untuk dihadapinya. Justru Ang Lin Hua yang terlihat begitu tegar menghadapi semua ini meskipun air matanya mengucur dengan deras. Cio San pun menangis sesenggukan. Dari seluruh pengetahuannya, ia tahu jika titik syaraf naga sudah terluka, maka penderitanya sudah tak dapat ditolong lagi. Karena jika urat-urat yang lain putus, masih ada kemungkinan untuk tersambung kembali jika menemukan obat ajaib yang mujarab. Kecuali tiitik syaraf naga. Titik itu bagai sebuah terowongan kecil tempat lewatnya seluruh urat syarat tubuh. Jika hancur maka jalur yang menghubungkan tubuh dan otak akan terputus. Hal ini bagaikan sebuah jembatan yang putus. Orang tak akan dapat mungkin menyebrang lagi.

Wu Ye Lan Hua (anggrek tengah malam) pun tak akan dapat menyembuhkannya.

Selama berhari-hari yang bisa mereka lakukan hanyalah merawat Suma Sun yang telah lumpuh seluruhnya ini. Akhirnya Ang Lin Hua memutuskan untuk kembali ke Istana Ular dan merawat suaminya di sana. Cio San menurutinya dan bahkan ikut mengantarkan sampai ke istana ular. Mereka juga membawa petinggi-petinggi Mo Kauw yang bertugas untuk berjaga-jaga di sana. Cio San sempat menurunkan berbagai macam ilmunya kepada mereka. Dalam beberapa hari saja ilmu mereka sudah maju sangat pesat. Melihat ini Cio San merasa cukup puas, dan merasa aman jika para petinggi ini yang berjaga-jaga di sana.

Setiap hari ia habiskan waktu untuk mempelajari kitab-kitab pengobatan yang ada di istana itu. Ada banyak pengetahuan baru yang ia dapatkan. Meskipun harapan bagi kesembuhan Suma Sun amat sangat kecil. Bahkan kemungkinan besar tak akan mungkin disembuhkan. Tetapi Cio San tak patah arang. Dalam satu bulan ini ia telah mencoba berbagai hal bagi kesembuhan Suma Sun. Segala obat-obatan sudah dicobanya. Mulai dari obat yang dioleskan, diminum, sampai juga tusuk jarum, dan pengeluaran darah beku. Tetapi tak ada kemajuan sama sekali pada Suma Sun. Bahkan sadar pun tidak.

Suatu hari Cio San mencoba hal baru. Ia membuat tungku yang amat besar. Lalu menuangkan banyak air serta memasukan bahan obat-obatan. Isi tungku itu kemudian dipanaskan dengan api yang tidak terlalu besar. Ia lalu meletakkan tubuh lunglai ke dalam tungku itu. Ang Lin Hua dan beberapa anggota Mo Kauw juga ikut membantu. Setiap hari mereka bergantian menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Suma Sun. Hal ini rupanya membawa kemajuan karena kadang-kadang terdengar erangan Suma Sun. Meskipun erangan ini lirih sekali, setidaknya sudah menimbulkan api harapan di tengah keadaan duka seperti ini.

Cio San juga menggunakan pengobatan tusuk jarum untuk merangsang beberapa syaraf Suma Sun. Dari pengetahuannya, syaraf-syaraf semuanya masih berfungsi dengan baik. Hanya ‘jembatan’ yang menyambungkan aliran-aliran syarat ke otaklah yang telah rusak. Memang tidak ada cara untuk ‘membangun’ kembali ‘jembatan’ itu.

Menyadari hal ini, Cio San ingin mencoba lagi sesuatu yang baru. Ia membuat sebuah jarum yang amat panjang. Dengan bantuan seorang anggota Mo Kauw yang juga mengerti sedikit ilmu pengobatan, jarum itu ditusukkan ke tulang punggungnya dengan hati-hati. Rasa sakit yang mencul ketika jarum itu menembus tulangnya sudah tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Panjang jarum yang hampir satu jengkal itu telah amblas seluruhnya, menusuk tulang belakangnya.  Hampir saja Cio San berteriak karena tak dapat menahan rasa sakitnya. Ketika jarum itu ditarik kembali pun mengakibatkan rasa sakit yang tak kalah hebatnya. Di ujung jarum itu terdapat setitik cairan berwarna kuning saat ditarik. Cio San mengumpulkan cairan itu ke dalam sebuah botol kecil. Hal ini ia lakukan berkali-kali setiap hari sehingga dalam satu minggu saja, botol kecil itu telah penuh dengan cairan kuning dari dalam tulang punggungnya.

Setelah botol itu penuh, Cio San lalu mencampurkan isi botol itu dengan beberapa ramuan obat. Setelah ramuan itu bercampur, Cio San menggunakan jarum panjang yang baru dibuatnya untuk memasukkan cairan obat itu ke titik syaraf ‘naga’ milik Suma Sun. Ketika jarum itu dimasukkan, tak ada suara sedikitpun yang keluar dari mulut Suma Sun. Hanya erangan lirih yang biasanya terdengar. Setiap hari Cio San melakukan hal ini.

“Pengobatan ini adalah cara yang kutemukan sendiri dari hasil pemikiranku. Hasilnya aku sama sekali tidak dapat mengira-ngira. Tetapi hanya ini yang bisa kulakukan. Kita hanya dapat berharap kepada takdir. Tapi aku akan tetap berada di sini selamanya sampai ia sembuh. Sambil mempelajari lagi bila ada cara lain. Beberapa anggota partai kita sudah kuperintahkan untuk mencari-cari tabib yang sakti. Ada beberapa nama yang bisa kita coba, tetapi mencari mereka bagaikan mencari jarum di tumpukkan jerami. Daripada menunggu, setidaknya kita bisa berusaha mengobati sendiri,” ujar Cio San kepada Ang Lin Hua.

“Kakak akan menetap di sini?” tanya Ang Lin Hua, yang kemudian di balas Cio San dengan anggukan.

“Aku tidak setuju,” kata Ang Lin Hua. “Di luar sana, penjahat itu masih berkeliaran dengan bebasnya. Justru itu yang ia inginkan. Keadaan pasukan negara kita pun semakin parah. Jika bukan kakak yang menghentikannya, lalu siapa lagi? Apakah kakak ingin pengorbanan suamiku sia-sia?” kata-katanya lirih namun dalam dan menusuk. Lanjutnya, “Segala kejadian ini bukan salahmu, bukan salah suamiku, juga bukan salahku. Kita adalah korban dari keadaan yang diciptakan oleh penjahat itu. Kalau engkau membuang-buang wakti di sini, maka segala rencana si penjahat itu akan ia laksanakan dengan mudah. Mungkin jika kau keluar dari istana ini, kaisar kita sudah berganti dengan kaisar Miao atau kaisar Goan!”

“Tetapi Suma Sun....,”

“Jangan pikirkan suamiku,” potong Ang Lin Hua. “Apa yang terjadi padanya mungkin sudah takdir. Aku tak dapat menyalahkan siapa-siapa. Tetapi banyak rencana jahat yang bisa kau gagalkan jika terjadi. Aku akan meneruskan pengobatan yang kau lakukan terhadap suamiku. Engkau memiliki tugas-tugasmu sendiri. Pergilah. Kalahkan penjahat itu. Lalu kau dapat pulang kesini untuk mengurus sahabat tercintamu ini.”

Perempuan jarang berpikir dengan jernih. Tetapi jika ia sudah berpikir jernih, maka kebeningan pikirannya jauh lebih bening dan lebih indah dari embun pagi. Mungkin itulah fungsi perempuan. Untuk berpikir jernih di saat seorang laki-laki tak dapat lagi berpikir jernih. Untuk memberi semangat membara di saat seorang laki-laki sudah tak sanggup untuk berjuang lagi. Laki-laki mana saja yang menemukan perempuan seperti ini adalah lelaki yang amat beruntung. Perempuan mana saja yang memiliki kemampuan seperti ini adalah perempuan yang diberkati.

Cio San dan Ang Lin Hua hanya bisa menatap langit. Berharap langit menurunkan sesuatu yang akan membasuh pergi segala penderitaan jiwa mereka. Lalu terdengar suara,

“Cukat Tong-tayhiap dan istri meminta ijin untuk berkunjung,” suara ini adalah suara salah seorang anggota Mo Kauw yang berjaga-jaga di luar. “Silahkan,” kata Ang Lin Hua pelan, tetapi suaranya telah sampai ke gerbang depan. Ia sendiri dan Cio San pun bergegas ke depan untuk menyambut mereka.

Setelah pintu gerbang terbuka, terlihatlah sepasang suami istri yang gagah ini. Cukat Tong masih terlihat tampan walaupun kerut-kerut di wajahnya sudah mulai terlihat. Istrinya, Bwee Hua, sudah tidak perlu digambarkan lagi kecantikannya.

“Kau sudah datang,” kata Cio San sambil tersenyum.

Cukat Tong cuma melihat padanya sekilas, lalu mengangguk. Senyumnya terlihat seperti sangat dipaksakan. Ang Lin Hua menyambut kedua orang ini dengan menjura dan berterima kasih. Keempat orang ini lalu memasuki istana ular tanpa berkata apa-apa. Hubungan antara satu sama lain terasa aneh dan kaku. Masing-masing telah mengerti sejarah yang lain, sehingga untuk berbasa-basipun terasa percuma.

Ingin Cio San segera memeluk Cukat Tong, mengajaknya minum arak sampai mampus, sambil menceritakan beban-beban hidupnya selama ini. Tetapi hal itu tidak mungkin lagi. Mereka telah berubah menjadi seseorang yang asing satu sama lain. Seolah-olah baru kenal, seolah ada tembok tinggi yang memisahkan mereka dan tak ada yang sanggup mereka lakukan.

Cukat Tong meminta ijin Ang Lin Hua untuk menjenguk keadaan Suma Sun. Nyonya ini kemudian mengajak mereka ke bilik tempat Suma Sun dirawat. Suma Sun terlihat pucat seperti mayat, dengan pandangan mata yang amat kosong. Tubuhnya kurus, dan pipinya bagaikan seorang kakek tua. Melihat ini Cukat Tong menangis tersedu-sedu. Ia lalu bertanya tentang pengobatan apa saja yang sudah dilakukan kepada Suma Sun. Cio San tidak berani menjawab karena ia tahu Cukat Tong tidak ingin berbicara kepadanya. Dengan sabar Ang Lun Hua menjelaskan segalanya. Ia juga menjelaskan penderitaan yang dialami Cio San saat mengambil cairan kuning dari tulang belakangnya sendiri.
“Aku membawa Wu Ye Lan Hua (anggrek tengah malam), mungkin bisa dicoba,” kata Bwee Hua. Cio San menerima bunga itu tanpa berani menatap mata Bwee Hua. Jika perasaan masing-masing sudah diketahui, memang amat sulit untuk bersikap apa adanya. Segera setelah menerima bunga itu, ia meramunya dan mencampurkannya dengan cairan obat yang disimpannya di botol. Segera pula ia menggunakan jarum untuk menyuntikan obat itu ke titik syaraf naga Suma Sun.

“Kita hanya bisa berusaha, apa yang terjadi adalah takdir dari langit,” malah Ang Lin Hua yang berkata seperti ini. Ia justru jauh lebih tegar ketimbang Cio San maupun Cukat Tong.

Kata Bwee Hua, “Ya, yang penting kita semua sudah berusaha,” sambil tersenyum menenangkan Ang Lin Hua. Hubungan mereka berdua menjadi lebih baik setelah Bwee Hua tinggal di situ selama beberapa hari. Ia bahkan membantu menyiapkan makanan dan merawat Suma Sun. Perlahan-lahan kepercayaan Ang Lin Hua kepadanya pun tumbuh. Bwee Hua memang paling pintar dalam mengambil hati orang.

Yang menyedihkan adalah hubungan Cio San dan Cukat Tong. Mereka bahkan hampir tidak berbicara satu sama lain. Cio San sendiri sudah berusaha sebisa mungkin untuk memulai percakapan dengan Cukat Tong, tetapi Raja Maling itu hanya mengangguk dan tersenyum dingin sekali-sekali. Jika menjawab pun tidak lebih dari beberapa kata.

Suatu hari, Bwee Hua berkata kepada Cio San, “San-heng (kakak San), sejauh yang ku dengar, tentara kekaisaran mengalami kekalahan di mana-mana. Bahkan konon putri Goan yang turut beperang besama pangeran Cu di perbatasan Selatan pun ikut tertangkap.”

Mendengar ini Cio San hanya bisa menarik nafas panjang dan memejamkan mata.

“Jika kau tidak segera pergi membantu mereka, tak lama lagi mungkin pangeran Cu pan akan tertangkap. Apabila saat itu tiba, mungkin seluruh kekaisaran akan jatuh, karena dialah satu-satunya pemimpin yang memiliki kemampuan perang paling tinggi,” tukas Bwee Hua.

Ang Lin Hua membenarkan dan berkata, “Biarkan kami yang tinggal di sini untuk merawat sahabatmu ini.”

 “Walaupun langit runtuh dan dunia hancur sekalipun, aku tak akan meninggalkan sahabatku,” kata Cio San dengan tegas.

“Haha.....” Cukat Tong tertawa. Tawanya pendek saja. Tetapi tawa ini seperti merampas segala semangat hidup Cio San. Karena ia mengerti arti tawa itu. Tawa yang meremehkan dirinya. Ingin sekali ia menumpahkan amarahnya kepada Cukat Tong, tetapi sungguh ia tak ingin kehilangan satu lagi sahabat terbaiknya. Akhirnya Cio San hanya dapat berkata lirih,

“Cukat-tayhiap, apakah kau meragukan persahabatanku?”

Lama Cukat Tong menatapnya, lalu berkata, “Tidak ada satu hal pun yang kuragukan darimu. Bahkan jika kau berkata sekarang matahari terbit dari barat, atau lautan berubah menjadi gurun gersang pun aku tetap percaya kepadamu. Hanya saja kau selalu membawa masalah kepada sahabat-sahabatmu. Kau tak pernah membiarkan mereka untuk hidup dengan tenang!”
Alangkah terhenyaknya Cio San mendengar hal ini. Karena ia sendiri pun merasakan hal yang sama. Seolah-olah seluruh masalah di muka bumi ini ditimpakan kepadanya. Datangnya pun terus menerus hampir setiap hari.

Ang Lin Hua dan Bwee Hua tidak berani bersuara. Jika dua orang laki-laki sedang berbicara, perempuan seharusnya memang menutup mulutnya rapat-rapat.

“Lalu apa yang harus kulakukan?” suara Cio San masih lirih.

“Pergilah sejauh-jauhnya dari sahabat-sahabatmu. Jangan menarik mereka dalam setiap masalahmu. Selesaikan semuanya sendiri. Dengan begitu aku baru akan mengakuimu sebagai laki-laki sejati,” jawab Cukat Tong.

Cio San seketika menyadari bahwa sikap Cukat Tong yang dingin kepadanya belakangan ini bukanlah karena rasa cemburunya atas perasaan Bwee Hua terhadapnya, melainkan atas kecintaannya yang dalam pada Suma Sun. Sedikit banyak Cukat Tong memang menyalahkan Cio San dalam hal ini.

“Baik. Jika aku pergi, mau kah kau menjaga Suma Sun demi aku?” tanya Cio San. Air matanya sudah mengambang di pelupuk matanya.

“Tidak!”

Semua orang terhenyak.

“Tetapi aku akan melakukannya demi Suma Sun,” lanjut Cukat Tong.

“Baik. Itu saja sudah cukup,” kata Cio San.

Memang.


Itu saja sudah cukup. 


Related Posts:

EPISODE 2 BAB 42 TUJUH MUSTIKA


Perjalanan menjadi lebih ringan karena kini mereka berdua telah memasuki kawasan milik kekaisaran Ming. Tak berapa lama mereka memasuki kawasan ini, sudah terlihat penjagaan yang amat ketat. Para pasuka yang berjaga di sana segera berjaga-jaga, bahkan ada yang menghunuskan panah.

“Berhenti! maju selangkah lagi akan kami panah! Siapa kalian?” tanya seorang prajurit.

Karena tak ingin bertele-tele, Cio San segera mengeluarkan lencana naga. Melihat lencana itu, para prajurit langsung berlutut dan berteriak serempak, “Kami dengar titah kaisar!”

“Aku adalah petugas yang diperintahkan pangeran Cu untuk menyelidiki keadaan musuh. Harap memberi jalan,” kata Cio San dengan lantang. “Dan mohon saudara-saudara sekalian berdiri.”

Para prajurit yang mendengar hal ini  segera berdiri dengan patuh. Sikap mereka menjadi penuh hormat dan sungkan. Cio San berkata bahwa ia dan sahabatnya itu ingin beristirahat sebentar untuk memulihkan tenaga. Para prajurit ada yang hendak menyiapkan 2 buah tempat di barak kecil tempat mereka tinggal, tetapi Cio San meminta mereka untuk tidak merepotkan diri, dan cukup menyediakan satu tempat untuk si nona, sedangkan dia sendiri cukup beristirahat di bawah sebuah pohon yang rendah.

Tidak butuh waktu lama bagi Cio San untuk tidur dengan lelap. Kebiasaannya mendengkurnya pun kembali lagi. Kali ini ia tidur dengan cukup pulas, selama kurang lebih 3 jam. Hari sudah mulai sore ketika ia terbangun. Ada beberapa prajurit yang berdiri mengawal di dekatnya saat ia tidur. Kata Cio San, “aih, mengapa saudara-saudara mengawalku seperti ini, aku cuma seorang pesuruh saja. Tidak perlu diperlakukan terlalu istimewa.”

“Kepada Hongswee, mana kami berani kurang ajar,” jawab mereka.

Memang selama ini baru 3 orang yang diberi hak memegang lencana naga. Yang 2 lain adalah jenderal besar dan seorang thaykam (orang kebiri) di istana. Orang angkatan muda yang memiliki lencana naga cuma Cio San seorang, oleh karena itu para prajurit dapat dengan mudah mengenal siapa dirinya.

Cio San bangkit lalu bertanya, “Kalian sudah mulai memasak?”

“Ya, Hongswee. Hari sudah semakin sore. Seorang petugas sudah harus menyiapkan makan malam dari sekarang. Apakah Hongswee sudah ingin bersantap? Bisa kami persiapkan sekarang,” jawab salah seorang petugas.

“Ah, tidak perlu. Aku justru ingin memasak,” kata Cio San sambil tersenyum. Seorang petugas lalu mengantarkannya ke sebuah tempat terbuka di halaman belakang barak yang mereka gunakan sebagai dapur. Segera Cio San menyapa petugas masak dan bercakap-cakap sebentar. Lalu ia pun turut membantu memasak dan menyiapkan makanan.

Malam itu para prajurit bersantap dengan nikmat. Belum pernah mereka menikmati masakan selezat itu. Syafini yang sudah mandi dan membersihkan diri tampak terlihat amat cantik saat ia duduk sendirian menikmati makan malamnya. Cio San sengaja tidak ‘mengganggunya’ dan membiarkannya sendirian. Ia malah bercakap-cakap dengan para prajurit dan sedikit menceritakan keadaan di sarang musuh. Ia tidak menceritakan hal secara keseluruhan karena ia takut hal itu akan melemahkan semangat mereka. Yang bisa ia ceritakan adalah letak perkemahan musuh serta beberapa titik kelemahan mereka.

Setelah selesai bercerita, Cio San lalu menuju ke Syafina yang duduk sendirian di sebuah meja yang sudah disiapkan para prajurit. “Eh, makannya kok tidak habis?” tanya Cio San. “Kurang enak?”

“Ah, ini justru merupakan salah satu makanan paling enak yang pernah kucicipi. Tetapi aku mungkin terlalu banyak pikiran, jadi agak susah makan,” jelas si nona.

“Oh, tidak apa. Aku pun seperti itu jika terlalu banyak beban pikiran. Sini makananmu kuhabiskan saja,” tukas Cio San yang tanpa sungkan mengambil piring bekas makan si nona. Syafina hendak mencegahnya tetapi apa daya bekas makanannya sudah masuk ke perut Cio San. Lelaki itu makan dengan nikmat. Si nona menjadi rikuh sendiri melihat ada orang lain memakan bekas makanannya.

“Di barak seperti ini, makanan adalah hal yang sangat penting bagi prajurit. Jika tidak dihabiskan, dianggap sebagai sesuatu pelanggaran,” bisik Cio San lirih sambil tersenyum. Si nona paham dan mengangguk, “Aku..a.aku tidak tahu...maaf,” katanya.

“Ah, tak apa. Toh ini sudah habis. Nona tidak ingin minum arak?” tanya Cio San.

“Aku tidak minum arak. Kepercayaanku melarangnya. Maaf,” tukas si nona.

“Oh nona adalah seorang muslim?”

“Benar,” Syafina mengangguk.

“Maaf kalau begitu. Setahuku biasanya orang Goan beragama Buddha.”

“Ibuku seorang keturunan Kazakh. Ayahku orang Mongol. Aku mengikuti kepercayaan ibuku,” jelas Syafina.

“Oh begitu,” Cio San mengangguk. Lanjutnya, “Kakekku juga adalah seorang muslim. Ayahku juga. Tetapi ayahku tukang minum arak dan bersenang-senang,” kata Cio San sambil tertawa kecil.

“Lalu kepercayaan anda apa?” tanya Syafina.

“Ah.....” Cio San kesulitan menjawabnya. “Aku percaya bahwa ada ‘sesuatu’ yang maha kuasa. Tetapi aku masih tidak tahu mengapa manusia menjadi terpecah-pecah menjadi bermacam-macam ajaran dan golongan. Seandainya kita dapat menyatu, entah kepercayaan apa, entah suku apa, entah warna kulit bagaimana, tentu dunia lebih indah.”

Syafina mengangguk, lalu berkata, “Suatu hari nanti, anda akan mengerti jawabannya.”

“Semoga,”

Mereka bercakap-cakap sebentar lalu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Setelah itu mereka meminta diri, dan pergi dari sana. Cio San meninggalkan kesan yang amat sangat dalam bagi para prajurit ini. Di dalam hati, rasa hormat dan kekaguman mereka terhadap pendekar ini semakin tinggi.

Perjalanan mereka berdua dilakukan dengan cepat, dalam beberapa jam, mereka telah sampai di benteng dan menemui pangeran Cu. Cio San memberi laporan secara pribadi tentang segala kejadian kemarin di ruang khusus milik pangeran, secara empat mata. Setelah itu ia menjelaskan pula tentang nona Syafina.

“Nona ini kata Hongswee adalah campuran Kazakh dan Mongol?” tanya sang pangeran.

“Benar, yang mulia.”

“Aku ingat dulu seorang raja Qara Del bernama Enke Timur memiliki beberapa orang permaisuri, salah satunya adalah orang Kazakh. Apakah nona ini ada hubungannya dengan beliau?”

“Mungkin saja, Yang Mulia. Hamba sungkan bertanya kepadanya,” jawab Cio San.

“Aih, Cio-hongswee memang memiliki liang sim (budi pekerti). Aku sungguh kagum,”

Cio San hanya menunduk saja. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan.

“Aku memiliki kabar yang sangat buruk. Kuharap Cio-hongswee memberi pandangan terhadap hal ini,” lanjutnya, “Hal yang sama banyak terjadi dengan pasukan-pasukan kita di beberapa daerah peperangan. Kita telah kehilangan puluhan ribu pasukan! Bahkan pasukan tambahan yang kubawa pun tidak dapat membantu. Kekuatan suku-suku kecil ini sungguh dahsyat. Bagaimana mungkin mereka dapat mengumpulkan ahli-ahli silat yang demikian hebat?”

“Orang-orang Bu Lim (kalangan persilatan) tertarik kepada 3 hal, Yang Mulia. Harta karun, Mustika sakti, atau kitab ilmu silat. Selain itu, mereka tidak akan merepotkan diri dalam hal lain,” jelas Cio San.

“Ah, masuk akal. Berarti raja Miao memiliki salah satu dari ketiga hal ini, atau mungkin bahkan memiliki ketiga-tiganya. Kira-kira apa yang dimilikinya?”

“Hamba masih belum tahu. Tetapi hamba akan meneruskan penyelidikan ini. Jika tokoh kaum sesat sudah bergabung dalam pasukan musuh, maka kaum lurus pun mungkin akan bergabung turut ke dalam peperangan ini. Yang Mulia mungkin bisa mengambil hati mereka, untuk turut bergabung dengan pasukan kita. Tetapi hal ini akan menimbulkan banyak sekali korban. Jika kaum bu lim sudah terjun ke dalam kancah peperangan ketentaraan, maka hasilnya akan sangat menakutkan. Ini satu-satunya yang hamba khawatirkan,” ungkap Cio San.

“Cio-hongswee punya usul mengenai hal ini?” tanya pangeran Cu.

“Sebisa mungkin pihak musuh harus dikalahkan tanpa menggunakan tenaga kaum bu lim. Hanya itu satu-satunya cara. Tetapi hamba sendiri belum mendapatkan cara yang paling pas. Hal yang paling baik mungkin adalah melemahkan mereka dari dalam.”

“Mengadu domba mereka?”

Cio San tidak menjawab. Ia paling tidak suka kata-kata ini. Tetapi terkadang di dalam hidup seorang manusia, ia memang harus memilih pilihan yang buruk dari berbagai macam pilihan yang lebih buruk.

Pangeran Cu berpikir sebentar, lalu ia mempersilahkan Cio San pergi. Terlalu banyak beban di dalam pikiran pangeran itu. Ia terlihat bertambah tua dalam beberapa hari saja. Cio San sendiri saat keluar secara tidak sengaja bertemu dengan Bu Cin Lian yang sepertinya memang sudah menunggunya sedari tadi.
“Siapa wanita itu?”

Dari seluruh pekerjaan berat yang dilakukan Cio San beberapa hari belakangan ini, pertanyaan inilah yang ditanyakan oleh Bu Cin Lian. Setiap wanita memang sama saja.

“Dia seorang wanita suka Goan,” jawab Cio San sambil tersenyum memandang wajah Bu Cin Lian yang cemberut.

“Aku sudah tahu. Yang kumaksud, dia siapamu?”

“Aku bertemu di jalan dan menyelamatkannya,” jelas Cio San.

“Itu pun aku sudah tahu. Yang kumaksud dia itu SIAPAmu?”

“Dia adalah seorang sahabat,”

“Hanya seorang sahabat?”

“Untuk saat ini.”

“Jadi di masa mendatang ia bisa berubah menjadi istrimu?”

“Di masa mendatang ia bisa berubah menjadi istriku, atau musuhku, atau orang yang membunuhku. Memangnya nona yang cantik ini bisa membaca masa depan?” tawa Cio San.

“Tidak perlu merayu. Apa saja yang sudah kau lakukan bersamanya?” tanya nona ini lagi.

“Kami tidak melakukan apa-apa.”

“Jangan bohong. Masa berhari-hari berduaan seperti itu tidak melakukan apa-apa?” nona ini bertanya semakin lirih, tetapi semakin menusuk hati.

“Baiklah. Aku dan dia berlari bersama. Terkadang kami berpegang tangan. Terkadang kami makan bersama-sama.
“Ish!”

Bu Cin Lian pergi dengan membanting kaki.

Di hadapan perempuan, seorang laki-laki tidak boleh berbohong, juga tidak boleh jujur.

“Jika ia ternyata mata-mata, aku akan membunuhnya,” ancam Bu Cin Lian sambil beranjak dari situ.

Cio San terdiam. Masalah yang ia hadapi sekarang bertambah rumit. Segala kemungkinan memang masih ada. Semua bisa jadi lawan, bisa pula menjadi musuh. Ia sendiri masih belum bisa merunut benang merah segala peristiwa ini dengan terang benderang. Masih terlalu banyak kemungkinan.

Bu Cin Lian pun sendiri memasuki kamarnya dengan rasa cemburu yang amat besar. Cio San telah mampu menarik hatinya dengan menakjubkan. Malam yang mereka lewati beberapa hari yang lalu adalah malam yang paling indah baginya. Cio San tidak melakukan ‘apa-apa’ padanya. Ia hanya memeluknya dengan penuh kehangatan dan menciumnya dengan lembut. Mendengarkan segala keluh kesahnya, segala ketakutan, dan beban pikirannya. Itulah yang ia inginkan selama ini. Sesosok lelaki gagah yang mampu memberi perlindungan dan perhatian kepadanya. Ia telah berganti laki-laki berkali-kali. Melampiaskan nafsu dan perasaannya kepada mereka. Mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam jiwanya. Dan hal itu tidak ia temukan dari kesemua lelaki ini. Mereka hanya menjadi pemuas nafsunya. Tetapi Cio San memiliki hal ini. Memiliki apa yang selama ini ia cari-cari di sepanjang hidupnya. Ia bahkan rela mengorbankan segalanya bagi lelaki ini.

Tetapi mengapa lelaki ini kemudian berubah? Menjadi dingin dan tidak seperti yang dulu lagi. Tentu karena sudah ada perempuan lain di hatinya!

Isi hati perempuan selalu dipenuhi pertanyaan dan prasangka semacam ini. Jika lelaki yang mereka cintai sedikit tidak mengacuhkan mereka, sedikit melupakan perhatiannya, maka perempuan akan menganggap diri mereka sendiri mungkin sudah tidak cantik dan tidak menarik lagi.

Mungkin karena inilah, semakin tua seorang perempuan, terkadang justru dandanannya semakin tebal. Mencoba untuk menjadi lebih cantik dan menutupi usianya.

Cio San sendiri pun masuk ke biliknya dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.

Ia telah mencoba membuka hatinya demi kebahagiaan dirinya sendiri. Ia belum memutuskan wanita mana yang akan mengisi hatinya. Tapi satu hal yang pasti, ia kagum akan kecantikan kedua nona ini. Bu Cin Lian yang menggairahkan namun tegas, Syafina yang lembut dan anggun namun berilmu tinggi.

Semua manusia memang selalu dihadapkan kepada pilihan hidup.

Juga dihadapkan kepada pilihan pasangan hidup.

Ia tidak mau berpikir lagi. Hari ini sudah cukup berat. Ia pun kemudian mendengkur dengan syahdu.

***

Kini Cio San dan Syafina sedang menghadap pangeran Cu. Mereka membicarakan tentang kemungkinan kerajaan Qara Del untuk turut bergabung dalam perang ini. Saat inilah Cio San baru tahu siapa Syafina sebenarnya. Dan tebakan pangenran Cu kembali terbukti benar. Syafina adalah putri dari raja Qara Del yang lalu, Enke Timur. Ia adalah adik dari raja yang baru saja diganti, yaitu Tuli Temur. Raja Qara Del yang sekarang adalah Boda Shili. Yang merupakan kerabatnya juga. Jadi nona ini memiliki dari keturunan kaisar Mongol. Oleh sebab itu pangeran Cu sangat menghormati nona ini.

“Setelah kakak saya turun tahta 2 tahun yang lalu, raja Boda Shili menggantikannya. Pemerintahannya berlangsung dengan damai selama 2 tahun ini. Meskipun terkadang keluarga kami kerap kali bersebrangan dengan keputusannya, sejauh ini pemerintahannya cukup memuaskan. Tetapi kami curiga ia menyimpan sebuah rencana untuk memberontak dari kekaisaran Ming. Oleh karena itu saya, sebagai satu-satunya orang dari keluarga Temur yang memiliki ilmu silat cukup tinggi, ditugaskan untuk menyelidiki hal ini. Akhirnya memang ketahuan jenderal Aghulai sudah mengikat hubungan dengan suku pemberontak di selatan.”

“Oh jadi yang tuan putri maksud menuliskan surat kepada pemimpin anda, adalah kepada keluargamu, dan bukan kepada raja Qara Del yang sekarang?” tanya Cio San.

“Benar Hongswee. Tetapi ketika Hongswee menyarankan agar aku kesini dan melaporkan hal ini kepada pejabat Ming, aku menyetujuinya. Dengan begitu, aku bisa menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tentang keadaan kami di sana,” terang Syafina.

“Pilihan yang bijaksana. Sekarang siapa kepala keluarga anda, tuan putri?” tanya pangeran Cu.

“Namanya Tuohan Temur. Beliau adalah kakak saya dari ibu yang berbeda. Beliau juga adik kandung dari raja kami terdahulu, Tuli Temur.”

“Baik. Aku akan mengirimkan surat penjelasan tentang hal ini kepada kaisar kami Yang Mulia. Untuk saat ini, kira-kira apa yang tuan putri akan lakukan?”
“Saya masih belum pasti. Tetapi sejak semalam saya berpikir lebih baik saya tinggal disini sebagai bukti bahwa kerajaan kami masih tunduk kepada kaisar Ming Yang Mulia,” jawab si nona.

Dalam hati, Cio San dan Pangeran Cu teramat kagum. Secara tidak langsung, tuan putri menyerahkan dirinya sebagai jaminan kesetiaan kepada kekaisaran!
“Tuan putri memang sangat bijaksana. Segara saya perintahkan petugas kami untuk mempersiapkan segala hal untuk kenyamanan tuan putri tinggal di sini,” ujar pangeran Cu.

“Jika diperbolehkan, hamba juga ingin turut berperang dalam pasuka kekaisaran. Pengkhianat Aghulai memang harus kami sendiri yang menghakiminya,” pinta tuan putri.

“Baik. Aku mengijinkan. Sungguh aku kagum kepada keberanian dan kesetiaan tuan putri. Aku akan menuliskan hal ini tersendiri di dalam surat kepada kaisar kami yang mulia,” ungkap pangeran Cu.

Pembicaraan lalu selesai.

Cio San kemudian meminta ijin untuk meninggalkan benteng. Ia bermaksud untuk mencari Suma Sun dan meminta pertolongannya. Dalam keadaan genting seperti ini, hanya Suma Sun satu-satunya orang yang bisa ia percaya, selain Kao Ceng Lun yang kini menjadi petugas kerajaan. Orang satunya lagi yang bisa Cio San percaya, justru kini tidak percaya kepadanya. Begitu sedih hatinya memikirkan keadaan sahabatnya itu.

Cukat Tong, apakah kau berbahagia saat ini? Semoga kau terus berbahagia.

Air matanya meluncur tanpa bisa ditahannya.

Setelah mendapat ijin, Cio San segera berangkat. Sebelumnya ia ingin bertemu dengan Bu Cin Lian, tetapi nona itu tidak ingin bertemu dengannya. Cio San hanya bisa bertemu Putri Syafina dan meminta diri. Nona itu melepas kepergiannya dengan doa. Cio San berjanji akan kembali secepatnya.

Dengan sebuah kapal kecil milik kerajaan, Cio San mengarungi samudra laut timur dan sampai di sebuah kota. Ia mencari markas Mo Kauw terdekat dan meminta salah seorang anak buahnya untuk mengirim kabar kepada Suma Sun di mana pun mereka bisa menemukannya. Dalam beberapa hari, Suma Sun mengabarkan bahwa ia akan segera sampai di kota itu dalam 3 hari.

Dalam 3 hari ini, sambil menunggu Suma Sun, Cio San mencari-cari kabar perkembangan peperangan. Sudah hampir sepuluh hari ia meninggalkan benteng selatan, dan kabar yang ia dengar cukup mengkhawatirkan. Tersiar kabar bahwa pasukan kekaisaran mengalami kekalahan di mana-mana bahkan ketika pasukan tambahan milik pangeran Cu dan pasukan cadangan milik kaisar diterjunkan. Dalam hati ia begitu bingung bagaimana tentara yang kuat ini bisa dikalahkan dengan mudah.

Di beberapa titik peperangan di garis perbatasan selatan pun tentara kekaisaran mengalami kekalahan besar. Hanya benteng selatan yang diduduki pangeran Cu saja yang masih aman, karena letaknya jauh ke dalam daerah kekuasaan Ming. Dalam hati ia berpikir, jika kaum lurus Bu Lim tidak turun tangan, maka bukan tidak mungkin kekaisaran ini akan ambruk dan Tionggoan akan kembali dikuasai suku-suku luar. Tetapi ia mengerti betul jika kaum Bu Lim turun tangan, maka perpecahan dan kerusakan yang lebih besar akan terjadi.

Betul-betul pilihan yang sulit.

Begi Cio San, lebih baik ia masuk sendiri ke sarang musuh, menghabisi berapapun tokoh sesat yang berada di sana. Sebuah misi bunuh diri. Tetapi jika ia bisa sedikit mengurangi kekuatan musuh, pengorbanannya ini bisa berarti besar. Apalagi jika ia berhasil menghabisi raja pemimpin suku-suku itu.
Menghentikan naga memang harus memotong kepalanya.

Dan itu yang akan dilakukannya!

Lalu hari yang dijanjikan tiba. Pagi-pagi sekali Suma Sun sudah muncul di markas Mo Kauw yang tersembunyi di balik sebuah toko kelontong. Tetapi ia tidak sendirian. Ia mengajak Ang Lin Hua, istrinya. Alangkah senangnya Cio San bertemu dengan wanita yang sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri itu.

Ia tampak cantik sekali. Rambutnya kini sudah hitam seluruhnya. Wajahnya mencerminkan kebahagiaan dan ketenangan hidup. “Kauwcu (ketua), apa kabar?” katanya sambil menjura.

“Aih, Kauwcu apa kabar?” senyum Cio San. “Sekarang kau adalah kauwcunya. Masa memanggil aku seperti demikian? Hahaha,” ia tertawa sambil mengelus-elus kepala Ang Lin Hua. Memang di antara mereka sudah tidak ada lagi sekat pebatas. Cio San benar-benar memperlakukan Ang Lin Hua sebagai adiknya sendiri.

“Kau sehatkah Hua-moay (adik Hua)?” tanya Cio San.

“Tentu saja. Bahkan aku membawa keponakanmu di dalam perutku ini,” jawabnya sambil tertawa.

“Ah, kau mengandung? Syukurlah. Ini berita baik. Oh,aku sungguh senang sekali mendengarnya,” tukas Cio San kegirangan. “Sudah usia berapa kandunganmu?”

“Hampir 3 bulan,” jawab Ang Lin Hua tersenyum.

“Eh, kenapa kau tahu-tahu ikut juga ke sini?” tanya Cio San lagi.

“Dia sudah meninggalkan aku berbulan-bulan. Aku sendirian di Istana Ular. Aku mengirim pesan kepadanya, jika tidak segera pulang, segera akan kugetok kepalanya dengan gagang pedang. Setelah pulang, tak lama kemudian kami mendapat kabar darimu. Akhirnya aku memaksa ikut. Rasanya tidak enak sendirian terus di sana,” jelas Ang Lin Hua.

“Aih, jika begini aku jadi merasa bersalah. Kau sedang mengandung, melakukan perjalanan berat bisa berbahaya bagi kandunganmu,”

“Anak yang kukandung ini adalah anak dari keluarga Suma. Sejak di dalam kandungan ia harus mengalami petualangan yang seru. San-ko (kakak San) menyuruh dia tinggal di rumah memangnya kau pikir dia anak pejabat yang manja?” tawa Ang Lin Hua. Suma Sun pun ikut tertawa. Cio San memperhatikan, setiap Suma Sun berada dekat dengan Ang Lin Hua, dewa pedang itu menjadi lebih hangat dan lebih bersemangat. Ia menjadi ‘manusia’.

Cinta memang bisa memanusiakan seseorang. Cinta juga bisa membuat manusia menjadi seperti hewan tanpa akal.

 Setelah sepasang suami itu beristirahat sejenak sambil menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan Cio San, Suma Sun mulai menceritakan hasil perjalanannya selama ini.

“Setelah mendengar kabar bahwa kau hanya bisa disembuhkan oleh bunga Anggrek Tengah Malam, aku lalu memulai perjalananku. Di dalam perjalananku, aku mulai mengingat-ingat kejadian dulu saat aku masih kecil,”

Suma Sun mengisahkan kisah masa kecilnya saat ia diculik Bwee Hua tua, tentang kematian orang tuanya dipuncak Himalaya, sampai dengan kenyataan bahwa ia memiliki seorang paman bernama Suma Hiang yang dijuluki Ang Tiung-Sha (si Jubah Merah). Ia juga menceritakan kejadian tentang Wu Ye Lan Hua (Anggrek Tengah Malam).

“Pamanku Suma Hiang di masa hidupnya dituduh sebagai ‘pemetik bunga’ bahkan ia dijuluki Jai Hua Sian (dewa pemetik bunga). Ia juga mencari Anggrek Tengah Malam, dan dalam perjalanannya ia sempat bertarung dengan ayahku. Secara tidak sengaja ayahku terbunuh olehnya, dan pada saat itu mereka berdua baru tahu bahwa mereka ternyata bersaudara. Di saat itu, orang yang mengincar Suma Hiang sudah sangat banyak karena merasa anak-anak perempuan mereka menjadi korbannya. Banyak juga pendekar kaum lurus yang ingin menghukumnya karena kejahatannya. Saat itu di Himalaya, musuh-musuhnya sudah berkumpul semua dan ingin membunuhnya,” cerita Suma Sun.

“Jumlah mereka ratusan orang, dan aku saat itu hafal nama mereka semua. Saat itu aku sudah menetapkan hatiku untuk mencari  dan membunuh mereka satu persatu. Dalam perjalanan hidupku, aku menemukan bahwa orang-orang ini kebanyakan justru orang-orang dari kaum sesat. Sebagian sudah kubunuh, namun sebagian lagi sudah mati karena pertarungan dengan orang lain. Ada juga beberapa yang masih hidup dan belum sempat kucari. Berhubung kita semua orang persilatan, dan kematian adalah hal yang biasa, maka aku tidak menaruh curiga atas kematian orang-orang ini.”

Lanjutnya, “Ketika beberapa bulan yang lalu saat aku mencari Anggrek Tengah Malam, aku baru menyelediki secara mendalam atas kematian mereka, dan juga mencari orang-orang yang masih hidup. Ternyata orang-orang yang tadinya masih hidup dan belum sempat kubunuh itu sudah mati semua! Kematian mereka pun hampir berdekatan. Yang paling aneh, saat mayat mereka ditemukan, telah ditutup dengan sebuah jubah berwarna merah!”

Cio San sedikit terhenyak. Kasus pembunuhan dengan jubah merah ini awalnya ia dengar dari Kao Ceng Lun yang mengisahkan tentang kematian ayahnya yang juga ditutupi dengan sebuah jubah merah. Dan memang, kasus pembunuhan ayah Kao Ceng Lun ini menjadi kasus pertama yang memulai pembunuhan atas tokoh-tokoh lainnya. Semua mayat ditutupi dengan jubah merah!

Suma Sun menyebut nama tokoh-tokoh yang terbunuh karena jubah merah itu. Ada sekitar 9 orang dan hampir sebagian besar Cio San mengenal nama-nama mereka.

“Apakah ayah Kao Ceng Lun berada juga di puncak Himalaya saat kejadian itu?”

“Tidak. Itulah yang mengherankan aku. Dari sembilan korban tadi, hanya beliau satu-satunya orang yang tidak berada di Himalaya,” jawab Suma Sun.
“Hmmmmm......”

“Ada lagi sebuah rahasia besar yang ingin kuceritakan kepadamu,” kata Suma Sun. “Penyelidikanku membawaku kepada Bwee Hua. Aku bertemu dengannya saat ia telah berhasil menyembuhkanmu dengan Anggrek Tengah Malam. Dengan susah payah, aku baru bisa mengorek keterangan yang sebenarnya tentang Anggrek Tengah Malam.”

Lanjutnya, “Pada jaman dulu, orang dinasti Goan mempunyai sebuah legenda. Legenda itu mengatakan, jika seseorang berhasil menguasai 7 mustika, maka orang itu akan menguasai dunia. Legenda ini hanya beredar secara rahasia di kalangan keluarga Khan (keturunan raja Mongol). Dan ketujuh mustika itu adalah: Mustika Ikan yang ampuh memusnahkan segala racun, Mustika Ular yaitu sebuah baju dari kulit ular yang membuat pemakainya kebal dari segala jenis senjata, Mustika Kulit yang merupakan sebuah peta penyimpanan harta karun peninggalan purbakala, Mustika bunga yaitu anggrek tengah malam yang dapat menyembuhkan sakit apa saja, Mustika Pedang yaitu sebuah pedang buatan seorang empu jaman dahulu yang bisa memotong apa saja dan tak bisa dihancurkan. Lalu Mustika Sutra, yaitu sebuah kain sutra maha tipis yang berisi inti sari segala ilmu silat. Aku percaya dulu Mustika ini yang membuat engkau terusir dari Bu Tong-pay. Kemudian ada Mustika Kitab yang merupakan kitab ilmu perang. Kitab Bu Bhok yang dulu sempat berada kepadamu.”

“Wah.......” hanya ini yang keluar dari mulut Cio San. Ia berpikir lama sekali, hingga kemudian berkata, “Mari kita bikin sedikit kesimpulan. Bwee Hua ternyata mengerti tentang rahasia ketujuh Mustika ini, dan kemungkinan ia sedang berusaha mengumpulkannya. Yang kita tahu, Mustika Bunga sudah pasti berada di tangannya. Mustika Ular juga berhasil ia curi dari gudang istana. Berarti saat ini ia telah memiliki 2 mustika. Eh, aku lupa. Dulu Mustika Sutra yang dimiliki guruku Kam Ki Hiang, kemungkinan besar jatuh ke tangan Bwee Hua tua. Jadi seluruhnya ada 3 mustika yang berada di tangan Bwee Hua muda saat ini.”

“Empat. Aku yakin Mustika Ikan juga berada padanya. Saat aku kecil dahulu, aku pernah ‘melihat’ Bwee Hua tua merebut Mustika itu dari tangan seseorang,” tukas Suma Sun.

“Ah, berarti 4. Kemungkinan besar, ia memang ingin meneruskan cita-cita gurunya. Mengumpulkan ketujuh Mustika itu dan menguasai dunia. Satu mustika yang lain, yaitu Mustika Kitab berada dalam penjagaan istana kaisar sekarang. Sisanya, yaitu Mustika Pedang dan Mustika Kulit belum kita ketahui keberadaannya,” ujar Cio San.

“Mustika Pedang ikut hilang bersama paman Suma Hiang. Pedang itu sejenis pedang lentur yang amat sangat tajam. Pedang itu terjatuh di jurang saat paman Hiang meninggal,” kata Suma Sun.

“Oh begitu. Aku sekarang pun dapat menebak dimana keberadaan Mustika Kulit. Kemungkinan besar mustika itu berada di tangan raja suku pemberontak di selatan. Justru karena hal inilah aku memanggilmu kemari,” kata Cio San. Ia lalu mengisahkan segala pengalaman dan pengamatannya saat berada di sana. “Tapi ngomong-ngomong, mengapa Bwee Hua menceritakan hal ini kepadamu?” tanya Cio San.

“Kata Bwee Hua, kau akan mengerti alasannya,” jawab si dewa pedang.

Cinta. Memangnya ada alasan lain selain cinta?


Cio San termenung, lalu berkata, “Ada beberapa hal mencurigakan di jejak-jejak yang kutemukan. Aku mohon kau dapat memeriksanya. Aku masih belum memiliki ilmu yang cukup tinggi untuk memeriksa hal-hal ini. Misalnya tentang beberapa jejak aneh yang kutemukan, serta beberapa petunjuk yang tidak terlalu penting. Tetapi hatiku belum puas jika belum bisa mendapatkan jawabannya,” kata Cio San.

“Jika kita pergi kesana, jejak-jejak dan petunjuk ini mungkin sudah hilang seluruhnya,” tukas Suma Sun.

“Apabila orang ini pintar, ia tidak akan menghapusnya,” senyum Cio San.

“Mengapa?”

“Karnena jika ia menghilangkannya maka itu akan menunjukkan bahwa ia takut jika rahasianya ketahuan.”

“Menghapus bukti kan akan menutup rahasia?” tanya Suma Sun.

“Benar. Tetapi orang ini ingin membuat kejadian ini sebagai sesuatu yang alami. Jika ia menghilangkan bukti-bukti, maka itu akan menunjukkan bahwa memang benar ada beberapa rahasia yang disembunyikan.”

“Baiklah. Kapan kita berangkat?”

“Kalian kan baru saja datang. Mungkin besok kita sudah bisa berangkat. Namun aku tidak ikut. Aku ingin menyelediki tentang Tujuh Mustika yang kau ceritakan itu. Aku akan menulis surat pengantar bagimu dan Hua-moay. Kau bisa menunjukkan surat itu kepada Pangeran Cu dan pasukan di sana. Dan mereka akan menerimamu dengan baik.”

Esok harinya pagi-pagi sekali, Suma Sun dan Ang Lin Hua sudah siap. Cio San menyerahkan surat pengantar  kepada Suma Sun. Lalu mengantar mereka ke sebuah dermaga kecil di mana sebuah kapal kecil milik ketentaraan sudah siap menunggu mereka.

Saat perjalanan di dermaga yang ramai, terdengar seseorang berteriak, “Pencuri!!!! Tangkap pencuri!!!!”

Orang-orang mulai berkejar-kejaran dan suasana menjadi kacau balau.

Cio San melihatnya sambil tersenyum. Masih ada saja orang mengambil kesempatan di tengah keramaian seperti ini. Tetapi ia kemudian menyadari satu hal. Kejadian pencurian ini adalah sebuah sandiwara. Ia dapat membaca raut wajah orang. Tetapi sayang sungguh sayang, ia menyadari hal ini dengan sangat terlambat. Padahal terlambatnya pun hanya bebearap detik. Suma Sun pun terlambat menyadarinya karena ia tak dapat melihat raut wajah manusia seramai ini.

Sebuah panah meluncur dengan deras. Panah kecil tanpa suara, yang dirancang dengan segala kepintaran manusia.


Panah ini menembus perut Ang Lin Hua!


Related Posts: