Begitu mendarat di atas atap, Cukat Tong menunduk sebentar untuk memperhatikan situasi. Aman. Ada seorang prajurit di dalam tenda yang sedang berjongkok memeriksa sesuatu di pojokan. Sang Raja Maling sejenak memikirkan cara untuk melumpuhkan prajurit itu. Ia lalu bergerak!
Dengan sekali hentakan ia sudah tiba di bawah, dan masuk ke dalam tenda dengan cepat. Tangannya bergerak melempar Am Gi (senjata rahasia). Ketepatan, kecepatan, dan keganasan lemparan ini tidak dapat dibandingkan dengan siapa pun di dunia ini!
Tentu saja siapapun di dunia ini bakalan mampus menerima serangan itu.
Anehnya, sang prajurit tanpa menoleh, dengan santainya menangkap senjata rahasia itu. Bahkan ia tidak merasa terganggu, dan tetap meneruskan pekerjaannya berjongkok memeriksa sesuatu di pojok tenda.
Cukat Tong terhenyak. Namun sekejap ia sadar dan berkata, ”Oh, kau!”
Jika bukan ‘kau’ ini, siapa lagi yang sanggup menangkap lemparannya? Tetapi si “kau” ini tidak menjawab, karena ia masih memperhatikan sesuatu di tanah. Cukat Tong sebenarnya penasaran dengan apa yang dilihat oleh si “kau” ini, tetapi ia memilih diam dan menunggu. Ia takut mengganggu.
Setelah puas, si “kau” ini lantas berdiri, berbalik, dan tersenyum. Katanya, ”Hampir saja aku mampus oleh senjata rahasiamu.’’
“Orang yang mampu membunuhmu belumlah dilahirkan. Kau tidak perlu sok khawatir. Apa yang kau lihat di pojok sana?’’
Si “kau’’ ini tentu saja adalah Cio San. Ia memakai pakaian dan topi prajurit dan wajah yang dicoreng arang. Pantas saja Cukat Tong tidak mengenalnya.
“Dari langit sana aku mengetahui letak keberadaanmu dan Suma Sun. Kenapa tahu-tahu kau sudah berada di sini?” tanya Cukat Tong.
“Wah, mungkin pikiranmu bergeser pada hal lain sehingga untuk sekejap aku hilang dari perhatianmu,” tukas Cukat Tong.
Mereka berbicara dengan santai padahal tak jauh dari sana, keributan besar terus terjadi. Ledakan-ledakan yang dilakukan Cio San ternyata mampu membuat pasukan musuh kocar-kacir.
“Betul juga. Untuk beberapa saat, aku memperhatikan Suma Sun.”
“Oh, apa yang dilakukannya?”
“Masa aku perlu menjawab?”
Keduanya sebisa mungkin menahan tawa. Lalu Cio San berkata, “Bisakah kau memanggil Suma Sun kemari?”
Cukat Tong tidak menjawab. Tubuhnya telah menghilang dari situ dalam sekejap mata. Cio San hanya bisa menggeleng sambil tersenyum, “Orang ini jika ingin menjadi nomer satu di dunia, tentu bisa dilakukannya dengan mudah.”
Entah kenapa senyum Cio San terasa mengandung kesedihan.
Tak berapa lama mereka berdua telah datang. Betapa menyenangkannya berkumpul kembali, padahal mereka baru berpisah beberapa saat.
Cio San menunjukkan sesuatu yang berada di tangannya. Seutas benang.
Suma Sun menunjukkan wajah bertanya. Kata Cio San, “Tolong kau cium bau benang ini.”
Seperti sapi dicocok hidung Suma Sun melakukan permintaan Cio San.
“Sudah hafal baunya?”
Suma Sun mengangguk.
“Benang ini adalah sebuah benang khusus yang dipintal dari bahan yang sangat kuat. Dibutuhkan tenaga dalam yang cukup besar untuk memutuskannya,” kata Cio San sambil menyerahkan benang itu kepada Cukat Tong.
“Oh jadi ini barang yang kau perhatikan tadi di pojok sana?” kata Cukat Tong sambil menerima benang itu. Ia memperhatikan dengan seksama. Lalu katanya, “Setahuku cara untuk membuat benang seperti ini telah lama hilang dari dunia persilatan. Dan benang ini dipakai untuk busur panah!”
Cio San tersenyum dan berkata, “Ya, aku tahu.”
Dari luar terdengar lagi suara gemuruh semakin membahana. Cukat Tong menoleh sekilas ke luar, lalu berkata sambil tersenyum, “Pasukan kekaisaran sudah menyerang kemari. Mereka rupanya sudah berhasil mengumpulkan kekuatan lagi!’’
“Bagus sekali! Jenderal Khu memang hebat,’’ sahut Cio San. Lalu katanya, “Benang ini milik si ‘dia’. Otak dari segala keramaian ini. Jika kau lihat sudutnya, tempat inilah yang paling cocok untuk mengatur pasukan. Dari tempat ini pulalah ia memanah kaisar.”
“Lalu ke mana dia sekarang?”
“Lari. Ia tahu pergerakannya telah gagal,” jawab Cio San.
“Pengecut!” maki Cukat Tong.
“Karena tergesa-gesa, ia meninggalkan seutas benang kecil ini. Mungkin ia baru saja mengganti benang di busurnya.”
“Kau pun keterlaluan. Dapat menemukan benang ini di dalam malam gelap di tengah semak belukar,” tukas Cukat Tong.
Kali ini Suma Sun yang menyahut, “Kebohongan perempuan saja dapat ditemukan dan dipecahkannya, apalagi cuma menemukan benang busuk segala.”
Mereka tertawa terbahak-bahak.
Tahu-tahu badan Suma Sun menegak, ia berkata,”Musuh sudah menyerbu kemari.”
“Mari,” kata Cio San.
“Mari!” mereka menjawab serentak.
Jika kau sudah berkumpul dengan sahabat-sahabatmu yang paling setia, memangnya hal apa lagi yang sanggup menahanmu? Jika masing-masing bersedia berkorban dan mempertaruhkan jiwa raga, memangnya hal apa lagi yang tidak sanggup mereka capai?
Dengan gagah ketiga orang ini keluar tenda dan menunggu di sana. Tak lama rombongan musuh pun tiba!
Raja suku Miao yang memimpin pemberontakan beserta pengawal-pengawalnya. Ada Pek Kwi Bo, si nenek iblis. Ada Lama beserta murid-muridnya yang dulu dikalahkan Cio San saat kejadian bersama pangeran yang terbuang. Dan beberapa pendekar yang cukup kereng penampilannya.
“Kalian sudah terkepung! Menyerahlah!” bentak sang Raja.
Cio San tersenyum dengan santai dan berkata, “Justu pasukan paduka sudah tercerai berai. Sekongkol yang paduka andalkan untuk melawan kaisar pun kini sudah menghilang!”
Terbayang perasaan marah, takut, dan kecewa bercampur menjadi satu. Sang raja dengan berteriak berkata, “Tapi aku menawan kaisarmu!”
“Oh ya? Mana? Mengapa tidak kulihat ia berada di rombongan yang akan melarikan diri ini?”
“Tak usah banyak bacot! Ayo maju kau!” kali ini si nenek iblis yang berteriak. Semburan api beracun dengan ganas keluar bersama teriakannya. Para pendekar dari pihak musuh pun bergerak serempak menyerang ketiga orang di hadapan mereka. Sang raja bersama rombongan yang tersisa memanfaatkan hal ini untuk melarikan diri.
Cio San menerima serangan si nenek iblis dengan telapaknya. Terlihat tangannya bergetar dan mengeluarkan suara menderik. Sebuah jurus telapak kebanggaannya yang ia ciptakan sendiri.
Semburan api si nenek iblis buyar seketika saat bertemu dengan getaran telapak tangan ini. Begitu dahsyat getaran tangan itu sehingga menciptakan angin yang cukup kuat untuk membuyarkan serangan api itu.
Dengan tongkat hitamnya yang mengeluarkan bau belerang, nenek itu melancarkan sebuah jurus tongkat yang sangat cepat. Tongkat untuk menghujam sambil mengeluarkan cahaya api!
Dengan tenang Cio San menerima serangan itu dengan telapak ular deriknya. Traaaang! Traaaaaang! Tangkisannya terdengar bagaikan dua besi baja yang beradu. Melengking dan menusuk-nusuk telinga yang mendengarkan.
Melihat serangan jurus keduanya gagal, si nenek mundur sebentar. Dengan marah ia memutar-mutar tongkatnya di udara. Begitu cepat tongkat itu diputar-putarkannya sehingga menimbulkan cahaya api saat tongkat itu “bergesekkan” dengan udara!
Cahaya api yang indah namun mengerikan. Bagaikan kilat di atas kepala si nenek iblis.
Wuuuuung!
Wuuuuuuung!
Wuuuuuuuuuung!
Suara tongkat dan cahaya indah nan mengerikan itu terus datang mengalir.
Wuuuuung!
Wuuuuuuuuuung!
Perlahan-lahan suaranya mulai merasuk sukma dan raga. Cahayanya membuat mata Cio San sedikit demi sedikit mulai terpana dan kabur.
Seoah-olah jiwanya mulai tersedot ke dalam riuh suara dan cahaya yang dihasilkan oleh tongkat itu. Pelan. Perlahan. Sedikit demi sedikit.
Nenek ini rupanya menguasai sejenis ilmu untuk menguasai ruh dan jiwa manusia. Alangkah mengerikannya. Perlahan-lahan Cio San kehilangan kesadarannya. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Dunia beranjak menghilang.
Suma Sun dan Cukat Tong pun sedang sedang menghalau musuh. Sehingga tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Bagi mereka, saat ini Cio San dan si nenek iblis sedang berhadap-hadapan seperti biasa saling memperhitungkan keadaan musuh.
Suma Sun mengeluarkan pedang karatan yang ia simpan dibalik bajunya. Untuk melawan musuh seperti ini, ia tidak perlu mengeluarkan ilmunya yang paling tinggi. Ia justru ingin mencoba menggunakan pedang karatan pemberian Oey Kun Peng.
Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru.
Pedang ini ringan, namun ketika dipakai untuk menyerang terasa bobotnya bertambah. Pantasan saja satu jurus tusukan dari Oey Kun Peng terasa sangat dahsyat. Ternyata pedang ini sendiri memberi daya kecepatan dan serang yang tak pernah diduganya.
Betapa senangnya hatinya.
Kesempatan ini digunakannya untuk menggunakan ilmu pedangnya yang untuk sementara waktu telah ia tinggalkan. Ilmu pedang keluarga Suma!
Jurus pedang tangan kidal yang belum ada lawannya sampai saat ini. Mengandalkan langkah-langkah sederhana untuk memperpendek jarak lawan dan menciptakan sudut serangan, sekaligus menutup kesempatan lawan untuk balas menyerang.
Puluhan musuh yang menyerangnya, namun ia bergerak dengan sederhana dan mengalir dengan tenang.
Seeeettt
Seeeeeetttt
Langkah-langkahnya halus. Setiap ia bergerak, ada satu atau dua yang tumbang. Ia bagaikan melangkah dari “sini” ke “sana” dengan lugas. Meliuk. Memutar tubuh. Berhenti. Bergerak lagi. Melangkah.
Begitu anggun. Begitu mematikan.
Tanpa suara. Tanpa darah.
Yang ada hanya kematian.
Inilah sosok Suma Sun yang paling membuatnya terkenal. Ketika ia memegang pedang!
Bagaimana ilmu seseorang yang telah mencapai tahap “tanpa pedang”, ketika ia kembali memegang pedang?
Apakah ia telah melebihi tahap tertinggi dalam ilmu pedang?
“Tanpa pedang” menjadi “Kembali memegang pedang”.
Langkahnya terhenti. Tubuh manusia bergelimpangan. Ia berdiri dengan tenang. Angin malam membuat pakaiannya yang putih bersih melambai-lambai dengan indahnya.
Begitu mengherankan orang yang sanggup membunuh manusia sedemikian banyaknya, tidak memiliki sedikit pun bercak darah pada tubuh atau bajunya.
Tangannya tetap menjulur ke depan. Pedang tetap ia pegang. Rambutnya melambai dengan indah. Di saat-saat seperti inilah manusia menyadari: Jika Suma Sun bertarung dengan dewa pencabut nyawa, maka kemungkinan besar Suma Sun lah pemenangnya.
Cukat Tong pun telah selesai melumpuhkan lawan-lawannya. Dengan segera ia berlari untuk mengejar rombongan raja yang telah melarikan diri sana. Ia tidak menyadari bahwa kini sahabat terbaiknya sepenuhnya telah dikuasai oleh si nenek iblis. Jika ia menyadarinya, tentu ia tak akan pergi beranjak dari situ.
Dunia terasa gelap bagi Cio San. Ia bahkan tak lagi mengenal namanya sendiri.
“Aku lah tuanmu!” terdengar bisikan yang tak mampu dijawabnya.
“Tunduk padaku!” ingin ia melawan bisikan itu tetapi ia tak mampu.
“Bunuh Suma Sun!” perintah itu datang seolah menguasai jiwa raganya. Ia mendengarnya, ia ingin melawannya, tetapi ia tidak mampu. Malahan dari bibirnya ia mengucapkan pula kata-kata itu, “Bunuh Suma Sun!”
Daftar Isi