Bab 58 Sebuah Tongkat Hijau




Hari ke dua puluh dalam pelarian mereka. Kedua orang ini telah sampai di Santung. Sebuah provinsi di ujung timur Tionggoan. Daerah ini adalah daerah yang unik karena selain memiliki pantai yang indah, juga memiliki pegunungan yang menakjubkan.

Gunung Thay San pun berada di sana.

Sebuah gunung yang disucikan, dan memiliki banyak cerita dan kenangan sejarah.

Bahkan di dunia Kang Ouw pun, nama Thay San ini diabadikan. Orang yang dikagumi dan dianggap sebagai manusia utama disebut Thay San Pek Taw. Thay San berarti gunung Thay San, Pek Tauw berarti bintang utara.

Di jamannya hanya Thio Sam Hong yang mendapat sebutan ini karena ketinggian ilmunya, kedalaman pengetahuannya, dan kehalusan budi pekertinya. Selain beliau, belum ada seorang pun yang pantas disebut Thay San Pek Tauw di jaman ini.

Apakah ini sebabnya setiap 10 tahun sekali terjadi adu tanding memperebutkan posisi Bu Lim Beng Cu di atas puncak gunung Thay San? Agar pemenangnya pantas disebut Thay San Pek Taw?

Cio San memandang jauh.

Puncak gunung menjulang di langit. Ada begitu banyak gunung. Apakah kau ingin menaklukkan gunung ini satu persatu?

Manusia begitu kecil jika dibandingkan dengan alam. Tetapi kenapa selalu manusialah yang begitu sombong menentukan takdir mereka sendiri?

Menumbuhkan rambut sendiri saja tidak mampu. Mengapa begitu berambisi menjadi orang paling hebat di muka bumi?

Kedua orang ini melangkah dengan ringan walaupun jalan mendaki dan penuh bebatuan. Di depan seseorang sudah menunggu.

Seorang kakek tua.

Heran. Kenapa akhir-akhir ini ia sering sekali bertemu dengan kakek tua sakti?

“Salam cianpwee” Cio San menjura.

“Salam pangcu” kakek tua ini ternyata anggota Kay Pang. “Tidak perlu memanggil hamba cianpwee. Hamba hanya anggota rendahan, pangcu. Nama hamba Luk Ping Ho”

Cio San hanya tersenyum. Matanya belum lamur untuk bisa membedakan tingkatan seseorang. Lalu ia berkata,

“Cianpwee ada petunjuk apa kepada boanpwee?”

Lama si kakek terdiam, kemudian malah balas bertanya,

“Kau yang membunuh Ji Hau Leng?”

“Mendiang Ji-pangcu memang sempat bertarung dengan boanpwee. Tapi bukan boanpwee pembunuhnya” jawab Cio San.

“Lalu siapa?” tanya kakek tua

“Beliau bunuh diri”

“Aku tidak percaya” sahut si kakek.

Kalau ada orang bilang tidak percaya, maka mau kau beri alasan dan penjelasan apapun, ia tidak akan percaya. Karena kadang-kadang ‘percaya’ itu berubah menjadi masalah ‘hati’, bukan lagi masalah ‘akal’.

“Ku dengar kau membunuhnya karena kedapatan mencuri kitab 18 Tapak Naga?”

Cio San hanya bisa menggeleng sambil tersenyum pahit.

Begitu hebatnya si otak besar sampai-sampai bisa meminjam tangan tokoh-tokoh sakti seperti kakek ini untuk membunuhnya. Bahkan Pendekar Pedang Kelana pun sebelumnya hampir tertipu oleh si otak besar ini.

“Ji Hau Leng telah kuasuh semenjak kecil. Pembunuhannya membuatku tidak bisa tidur.” Si kakek sudah bangkit berdiri. Tangannya memegang sebuah tongkat berwarna hijau.

Tongkat hijau itu adalah lambang tertinggi di Kay Pang. Tongkat Pemukul Anjing!

Mau tak mau melihat tongkat itu, hati Cio San menjadi tergetar juga. Tongkat ini telah menjadi legenda selama ratusan tahun. Melewati ribuan pertarungan. Mengalahkan jutaan musuh. Jika ada benda yang paling berharga dalam dunia Kang Ouw, tongkat ini pasti adalah salah satunya.

“Cio San, dosamu sudah terlalu besar. Bukan hanya kematian Ji Hau Leng saja yang kudengar.” Si kakek telah memasang bhesi (kuda-kuda).

Jurus pertama dari Jurus Pemukul Anjing

“Anjing Marah Menutup Jalan”

Cio San hanya berdiri memainkan rambutnya.

 Tangan satunya terlipat ke belakang.

“Perhatikan serangan”

Lalu si kakek bergerak.

Suara berdenging keluar dari tongkat berwarna hijau itu. Tongkat itu datangnya lebih cepat dari suara yang sampai ke telinga Cio San.

Alangkah kagetnya Cio San ketika tahu-tahu tongkat itu telah menghujam ke batok kepalanya. Ia tak lagi bisa menghindari!

 Hanya bisa menerima serangan itu menghancurkan batok kepalanya!

Serangan itu telah menemui sasarannya.

Batok kepala Cio San tidak hancur.

Ada Thay Kek Kun yang melindunginya. Ada lagi satu ilmu yang tak pernah digunakan Cio San.

Ilmu Menghisap Matahari.

Tongkat itu lengket di kepala Cio San. Si kakek tua itu terkaget-kaget ketika tidak bisa memecahkan batok kepala Cio San, dan juga tidak bisa menarik kembali tongkatnya.

“Cianpwee, jangan kerahkan lweekang (tenaga dalam). Atau nanti tenaga cianpwee terhisap” kata Cio San.

Si kakek menurut saja, karena ia merasa tenaga dalamnya mulai tersedot.

Biasanya ilmu Menghisap Matahari hanya akan menyedot habis tenaga musuh, sampai musuh itu menjadi arang. Atau jika pemilik ilmu Menghisap Matahari menghentikan serangannya. Tetapi jika musuh tetap berusaha menyalurkan tenaga untuk menyerang, maka Ilmu Menghisap Matahari akan terus menerus menyedot tenaganya.

Cio San berhasil ‘menjinakkan’ ilmu Menghisap Matahari itu dengan Thay Kek Kun. Ia berhasil menggabungkan kedua ilmu dahsyat itu. Ilmu Menghisap Matahari menjadi lebih lembut, lebih ‘manusiawi’. Tapi justru menjadi lebih mudah digunakan.

Dengan menggabungkan Thay Kek Kun dengan Ilmu Menghisap Matahari kedua ilmu itu memang berkurang kedahsyatannya. Tapi justru itu Cio San malah senang.

Karena ia tidak suka membunuh orang.

Kedua ilmu saling mengurangi, tapi dalam sisi yang lain saling menambahi juga.

Kedahsyatannya berkurang, tetapi keefektifannya bertambah.

Sekarang malah tongkat hijau itu telah berada di tangan Cio San.

Si kakek tua terbelalak.

Cio San mengambil tongkat ‘suci’ itu dari tangannya seperti mengambil permen dari anak kecil.

“Silahkan cianpwee” kata Cio San sambil berlutut, ia menyerahkan tongkat itu dengan penuh hormat.

Si kakek tetap menatapnya dengan terbelalak.

“Mengapa kau mengampuniku?” tanya si kakek.

“Karena ini semua salah paham, cianpwee” Cio San masih berlutut.

“Boanpwee bersumpah bukan boanpwee yang membunuh Ji Hau Leng. Ia benar-benar bunuh diri.”

“Apa sebab ia bunuh diri?” tanya si kakek.

Cio San sambil berlutut menjelaskan semuanya.

Kakek itu mendengarkan sambil meneteskan air mata. Anak asuhan kesayangannya hidupnya bisa berakhir demikian menyedihkan.

“Kau tahu siapa si otak besar itu?” tanya si kakek kemudian.

“Boanpwee sedang dalam perjalanan mencarinya” jawab Cio San.

“Baik. Aku kini percaya sepenuhnya kepadamu, pangcu”

Jika ada orang yang bisa membunuhmu, tapi ia mengampunimu, tentu saja mau tidak mau kau harus percaya kepada kata-katanya.

Ia malah kini berlutut juga di hadapan Cio San.

Lalu ia bersoja (bersujud) di depan Cio San.

“Maafkan semua kesalahpahaman ini” kata si kakek.

“Cianpwee harap bangkitlah” Cio San mengangkat tubuh si kakek itu

Si kakek menatapnya, lalu menyodorkan tongkat hijau ini,

“Anda memang pantas dan berhak menjadi ketua Kay Pang” katanya

Cio San tidak berani menerima tongkat itu. Tongkat hijau itu memang adalah tanda kehormatan ketua Kay Pang. Siapa yang memegangnya berarti ia adalah ketua Kay Pang.

Cio San hanya berkata,

“Boanpwee tidak pantas memegangnya, cianpwee. Harap cianpwee simpankan sampai muncul ketua Kay Pang yang sebenarnya dan yang paling pantas”

“Pangcu adalah orang yang paling pantas menjadi ketua”

“Boanpwee hanya seorang lelaki yang melaksanakan permintaan terakhir sahabatnya” kata Cio San menggeleng. Lalu katanya, “Boanpwee mengerti betapa sucinya tongkat ini. Tidak mungkin pula boanpwee bawa-bawa. Harap cianpwee saja yang menyimpannya, sampai tiba saatnya harus diserahkan kepada yang berhak”

Lama si kakek berpikir lalu ia akhirnya berkata,

“Baiklah”

Mereka kemudian bangkit dan berdiri.

“Apakah pangcu benar-benar sudah menguasai 18 Tapak Naga?” tanya si kakek.

“Baru 3 jurus awal.” Jawab Cio San. “Boanpwee melihat menidang Ji-pangcu menggunakannya”

“Sekali lihat kau langsung bisa?” tanya si kakek.

Cio San hanya mengangguk.

Si kakek kemudian berkata,

“Cayhe (aku) sendiri pun belum pernah melihat ilmu dahsyat itu. Kitab aslinya memang tidak pernah ada dan hanya diajarkan turun temurun. Puluhan tahun yang lalu Kay Pang mengalami kemunduran, sehingga ilmu 18 Tapak naga seperti punah.

Salinan ilmu ini tersimpan di sebuah kain sutra yang disimpan dalam sebuah golok. Lalu setelah mengalami berbagi kejadian, salinan itu kini dikuasai oleh ketua Siau Lim Pay, Bu Lim Beng Cu yang sekarang.

Sebelum Ji Hau Leng menjadi ketua Kay Pang, aku sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Beberapa bulan yang lalu saat mendengar bahwa ia telah menguasai 18 Tapak Naga, aku sangat senang mendengarnya. Saat itu aku memutuskan untuk mencarinya. Saat sampai di markas, aku baru tahu bahwa beberapa hari sebelumnya ia tewas di tanganmu. Dengan marah aku mengambil tongkat pemukul anjing dan mencarimu sampai ke sini” jelas si kakek.

“Jurus pertama cianpwee, apakah itu jurus pertama dari ilmu Pemukul Anjing yang tersohor itu?” tanya Cio San.

“Benar”

“Hebat sekali. Boanpwee bahkan tidak sanggup menghindar”

“Tapi dengan ilmumu, pangcu bukankah tidak perlu menghindar?”

“Haha. Boanpwee hanya beruntung”

“Beruntung?”

“Benar cianpwee. Karena bingung, boanpwee secara tidak sengaja melancarkan Thay Kek Kun dan ilmu Menghisap Matahari sekaligus. Kedua ilmu ini memang dasarnya adalah ilmu bertahan, bukan ilmu menyerang. Eh tahu-tahunya, tenaga kedua ilmu saling berlawanan tapi juga saling melengkapi hingga terjadilah hal seperti tadi”

“Bagaimana jika pangcu hanya melancarkan salah satunya saja?”

“Jika menggunakan Thay Kek Kun, tenaga dalam cianpwee mungkin tidak akan terhisap tapi akan kembali kepada diri sendiri. Jika hanya pakai Ilmu Menghisap Matahari saja, tenaga cianpwee akan terhisap seluruhnya dan tubuh cianpwee akan hangus terbakar”

“Bukankah dengan menggabungkan kedua ilmu itu, seharusnya kekuatannya menjadi lebih dahsyat lagi?” tanya si kakek.

“Malah sebaliknya, cianpwee. Ilmu Menghisap Matahari dan Thay Kek Kun adalah sama-sama ilmu bertahan. Prinsipnya hampir sama. Oleh sebab itu keduanya berada di kutub yang sama. Jika diibaratkan besi berani (magnet), kedua ilmu ini akan saling tolak menolak. Itulah sebabnya kekuatannya jauh berkurang jika dipakai bersama-sama.” jelas Cio San.

“Oh begitu rupanya. Oh iya, ada satu hal yang lupa kukatakan padamu, pangcu”

“Ada petunjuk apa, cianpwee?”

“Setiap pangcu dari Kay Pang harus menguasai Jurus Pemukul Anjing” tukas si kakek.

Cio San hanya menghela nafas. Begitu banyak tanggung jawab yang harus diembannya. Sekarang ketambahan lagi harus mempelajari Jurus Pemukul Anjing. Bukannya ia tidak senang mempelajari ilmu silat baru, hanya saja ia takut, ketambahan ilmu baru akan membuat ilmu silat yang pernah dipelajarinya akan menjadi membingungkan.

“Ketua baru Kaypang, harap terima pengajaran” seru si kakek.

Cio San berlutut.

“Nona, harap menyingkir sebentar” kata si kakek kepada Ang Lin Hua yang sejak tadi sudah memilih duduk di atas batu besar di bawah sebuah pohon.

Ang Lin Hua mengerti dan ia segera berlalu dari situ.


Si kakek mematahkan ranting bambu kecil, lalu berkata “Jadikan ini sebagai senjatamu. Lalu ikuti gerakanku, pangcu”

“Baik, cianpwee”

Segera si kakek bersilat. Cio San mengikuti gerakan-gerakannya dengan sebaik-baiknya. Semuanya hanya ada 10 jurus. Tapi merupakan jurus sangat dahsyat.

“Pangcu sudah hafal kesemua gerakan tadi?” tanya si kakek.

“Hampir” jawab Cio San pendek.

“Baik. Coba tolong pangcu lakukan semua gerakan itu”

Cio San melakukannya. Kesepuluh jurus itu dilancarkan dengan tenaga dalam tinggi dan kecepatan yang mengagumkan.

Si kakek mengerutkan kening.

“Pangcu apakah belum hapal? Banyak gerakan-gerakan pangcu yang salah”

“Eh, maaf cianpwee” kata Cio San sambil garuk-garuk kepala.

“Harap perhatikan lagi”

Si kakek mulai bersilat. Kekuatan dan kecepatannya sedikit lebih hebat dibandingkan yang tadi Cio San peragakan.

“Sudah hapal?” tanyanya.

“Sedikit” jawab Cio San.

“Harap perlihatkan, pangcu” pinta si kakek.

Cio San melakukannya.

Kini jauh lebih salah dan keliru ketimbang saat pertama tadi.

Si kakek menggeleng-geleng kecewa.

“Pangcu apakah sedang ada beban berat sehingga tidak memusatkan pikiran?” tanya si kakek.

“Tidak, cianpwee”

“Lalu kenapa sekarang gerakannya tambah keliru seluruhnya?”

“Boanpwee hanya berpikir, cianpwee”

“Apa yang pangcu pikirkan?”

“Bagaimana jika gerakan serangan musuh berbeda seluruhnya”

“Maksud pangcu?”

“Bagaimana jika saat kita melancarkan jurus pertama terhadap musuh, kemudian musuh menerima serangan itu dengan jurus seperti ini?”

Cio San lalu melancarkan sebuah jurus serangan. Jurus serangan yang tidak terlalu dahsyat, namun terlihat mantap dan efektif!

Si kakek terbelalak, lagi.

“Eh coba kau tunjukkan jurusmu tadi. Coba ku serang kau dengan jurus pertama”

Setelah itu ia menyerang Cio San dengan jurus pertama Pemukul Anjing. Cio San menerima serangan itu dengan sebuah jurus yang baru saja ditunjukkannya tadi.

Jurus sederhana, tidak cepat, tapi tepat. Sangat tepat.

Si kakek melongo ketika tongkat bambu Cio San telah berhenti tepat di depan hidungnya.

Hanya dengan sebuah gerak tipuan biasa, Cio San telah mampu menaklukkan jurus pertama dari Ilmu Pemukul Anjing.

“Kau..kau..bagaimana bisa?”

“Itu karena sebelumnya boanpwee telah melihat dan mempelajari jurus Pemukul Anjing dari cianpwee, sehingga boanpwee bisa menciptakan jurus penangkalnya. Kalau orang baru pertama kali melihat jurus ini, tentu tak akan mampu menciptakan penangkalnya” jelas Cio San.

“Ah jadi karena itu, di benakmu kau mampu menciptakan jurus penangkalnya, sehingga kau merubah Jurus Pemukul Anjing menjadi berbeda?” tanya si kakek.

“Benar sekali, cianpwee”.

“Baiklah. Coba ku serang kau dengan kesepuluh jurus Pemukul Anjing, dan kau hadapi dengan ilmu penangkal yang sudah kau ciptakan”

Cio San mengangguk.

Jurus kedua sudah dilancarkan si kakek.

Cio San menangkalnya dengan pukulan tongkat yang sederhana.

Jurus demi jurus berlalu.

Semuanya berhasil diatasi Cio San.

Si kakek hanya bisa diam membisu.

“Mengapa bisa menjadi seperti ini?” tanyanya kemudian.

“Itu mungkin ketika pertama kali diciptakan jurus ini hanya digunakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kelas tinggi. Sehingga memang ditujukan untuk menghadapi ilmu-ilmu hebat. Musuh yang ketinggiaan ilmunya sudah mencapai tahap akhir, pasti akan melawan dengan jurus-jurus kelas tinggi dan dahsyat pula. Sehingga ia tidak melihat celah kosong yang bisa dihadapi dengan gerak sederhana” jelas Cio San.

“Hmmm. Masuk akal juga. Atau bisa saja ilmu itu ketika diturunkan turun temurun kepada kami, telah kehilangan kedahsyatannya karena pemahaman kami sendiri yang kurang mendalam terhadap jurus-jurus ini” kata si kakek.

Cio San mengangguk-angguk. Sebuah ilmu memang dalam perjalananannya akan semakin menurun atau semakin dahsyat. Cuma lebih sering ilmu silat itu menjadi menurun. Itu karena ilmu silat bergantung sekali terhadap pemahaman si pelaku, keadaan sekitar, pengalaman, dan lain-lain.

“Jadi saat pangcu memainkan ilmu silat Pemukul Anjing yang ‘ngawur’ tadi, apakah sudah sekalian menutup lubang dan kekurangannya?” tanya si kakek

“Kurang tahu, cianpwee. Boanpwee hanya bersilat ala kadarnya saja. Semua mengalir secara naluriah saja. Jika musuh menyerang dengan cara yang lain, mungkin jurusnya akan berubah lagi” kata Cio San sambil garuk-garuk kepala.

“Bagaimana kalau kita coba saja?” tukas Cio San tiba-tiba.

“Cianpwee seranglah boanpwee dengan jurus apa saja yang lain. Karena kekuatan dan kecepatan cianpwee jauh lebih tinggi dari boanpwee, seharusnya kita bisa melihat hasilnya” kata Cio San lagi.

Si kakek lalu menyerang.

Jurus-jurus asli Kay Pang yang ia lakukan sangat cepat dan sangat bertenaga.

Cio San yang sudah kalah cepat, sudah tidak mungkin menghindar. Oleh karena itu sejak awal dia sudah memutuskan untuk tidak menghindar.

Ia malah bergerak maju menyerang.

Ini seperti bunuh diri. Karena pasti Cio San terhantam lebih dulu.

Tapi ada satu hal yang sudah ia pikirkan lebih dulu. Tongkat bambunya lebih panjang dari tongkat si kakek. Jangkauan tangannya lebih panjang dari jangkauan si kakek.

Oleh sebab itu serangannya sampai lebih dulu.

Menjadi lebih dahsyat, karena musuh menyerang sangat cepat dan penuh kekuatan.

Seperti saat kita bergerak berlari menabrak tembok. Jika berjalan pelan, rasa sakitnya tidak seberapa. Tapi jika kita berlari sekuat tenaga dan menabrak tembok, maka rasa sakitnya menjadi luar biasa.

Seperti itulah kejadiannya.

Jurus demi jurus dilancarkan si kakek, tapi ia seperti menghujam tembok. Itulah kenapa di setiap jurus ia selalu menghentikan serangannya. Karena ujuang tongkat bambu Cio San selalu mencapainya terlebih dahulu sebelum serangannya sendiri sampai kepada sasaran.

“Hebat!” pujinya.

“Kau memanfaatkan situasi dan kelebihanmu sendiri untuk menutupi kekurangan” si kakek kagum. Tapi ia lalu bertanya,

“Bagiamana jika tubuhmu pendek, dan tongkatmu juga pendek? Tentunya kau tak akan bisa menggunakan serangan seperti tadi?”

“Boanpwee akan mencari cara lain” jawab Cio San sambil tersenyum.

Si kakek mengangguk-angguk.

“Sudah setua ini aku baru benar-benar paham, bahwa ilmu silat memang bukan sebuah bentuk jurus yang baku melainkan mengalir mengikuti keadaan diri sendiri dan alam sekitar”

Si kakek lalu jatuh berlutut dan menjura,

“Terima kasih atas petunjuknya, tayhiap!”

Ia memanggil Cio San tayhiap!

Penghargaan tertinggi dalam dunia Kang Ouw.

Cio San malah berlutut dan bersujud,

“Terima kasih atas petunjuk, suhu”

“Ah aku tak pantas pangcu panggil sebagai suhu, justru seharusnya aku lah yang memanggil pangcu demikian”

Mereka berdua berdiri. Ada perasaan saling menghormat yang dalam.

Mereka hanya saling pandang dan saling mengagumi kehebatan satu sama lain.

Anak muda yang penuh bakat, dan orang tua sakti yang rendah hati.

Saling mengakui kehebatan masing-masing.

Di dunia ini jarang sekali ada orang yang mau mengakui kehebatan, kepandaian, dan kelebihan orang lain. Kita biasanya lebih suka mencibir. Karena sesungguhnya kita begitu iri dengan apa yang mereka miliki.

Orang jika sudah mampu mengakui orang lain, maka ia sebenarnya telah menaiki satu tahap dalam kebijaksanaan. Ia membuka diri terhadap perubahan, agar dapat memperbaiki dirinya.

Dari kejauhan terlihat titik hitam di atas langit.

Setelah semakin dekat titik itu menjelma menjadi sekawanan burung yang terlihat ramai sekali.

Cukat Tong dan Suma Sun bergelantungan kepada burung-burung itu.

Cio San tersenyum.

Selamat datang sahabat!

Related Posts:

Bab 57 Di Tepi Hutan Bambu



“Di mana anggota Kay Pang dan Mo Kauw?” tanya Cio San.

“Seperti perintahmu, mereka pergi ke arah gerbang timur” jawab Cukat Tong.

“Baik, ayo kita cari mereka”

Tak sampai berapa lama terbang, rombongan ratusan orang itu sudah kelihatan berlari dengan cepat ke arah timur. “Itu mereka” kata Cukat Tong.

Segera mereka menukik ke bawah.

Dengan ginkangnya Cio San meluncur dengan indah ke bawah. Tahu-tahu ia sudah muncul di hadapan ratusan orang anak buahnya itu.

“Saudara-saudara. Aku meminta maaf hal ini harus terjadi. Apakah kalian masih percaya kepadaku?”

“Percaya sepenuhnya tuan!” jawab mereka semua dengan lantang.

“Baiklah. Mulai hari ini kita semua berpisah. Silahkan berpencar sendiri-sendiri. Manusia-manusia munafik yang tadi telah menuduhku, mungkin akan mencari alasan untuk menyerang Kay Pang dan Mo Kauw. Partai kita telah mengalami berbagai macam hal dan cobaan. Kita tak akan mungkin kalah hanya karena masalah begini saja bukan?”

“Tak akan pernah!” jawab mereka serentak.

“Baiklah. Aku akan bertemu dengan saudara lagi secepatnya. Tunggu perintah dari ku. Cun-totiang, mohon totiang segera ke kotaraja. Bawa beberapa orang yang paling engkau percaya. Tunggu perintahku. Jangan keluar kotaraja sebelum ada perintah dariku”

“Siap pangcu!” jawab Pengemis Cun

“Yan Bun Thian, kau bertugas melanjutkan perjalanan ke puncak Thay San. Bawa beberapa orang saudara pula bersamamu”

“Siap kaucu!” jawab Yan Bun Thian.

“Ketua cabang Mo Kauw di kota ini, silahkan maju” kata Cio San

Seorang pemuda yang lumayan tampan maju ke depan. Dia tadi tidak ikut mabuk-mabukan karena ada beberapa urusan sebentar. Tadi ia pun datang sendirian ke rumah Khu Hujin. Untuk menyemunyikan jati dirinya. Kini ketika Mo Kauw sedang mengalami kerulitan, ia bergabung kembali.

“Gouw Sam menerima perintah” kata pemuda tampan itu.

“Jaga jangan sampai Mo Kauw di kota ini hancur berantakan. Tetap siapkan orang untuk menguatkan pertahanan kita. Aku akan memerinthakan anggota dari kota lain untuk membantumu”

“Siap. Ada lagi kaucu?” tanya Gouw Sam.

“Mata-matai Khu Hujin dan anggota-anggotanya. Aku butuh kabar tentang pergerakan mereka”

Semua orang terhenyak. Khu hujin kan baru saja mengangkat anak kepadanya?

Cio San rupanya paham isi hati anggotanya, ia lalu tersenyum dan berkata,

“Jangan khawatir. Percayalah kepadaku”

Entah kenapa senyumnya ini bisa begitu meyakinkan semua orang. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat orang cepat percaya dan merasa dekat.

“Baiklah saudara-saudara. Silahkan berpencar!”

Begitu kata-katanya selesai diucapkan. Semua orang sudah menghilang dari hadapannya.

Hanya ada satu orang yang tetap tinggal.

Ang Lin Hua.

Gadis cantik itu menatapnya.

Ada satu kelebihan perempuan. Yaitu ketika ia menatapmu, ia sanggup membuatmu merasa sebagai orang yang paling berdosa di muka bumi ini.

Cio San tak tahu apa yang harus ia perintahkan kepada nona ini. Ia takut jika ia membuka mulut dan mengeluarkaan perkataan yang salah, tatapan nona ini malah akan membetot sukmanya.

“Cukat Tong! Kau bisa membawa seorang lagi?”

“Tidak bisa! Membawa dua orang saja sudah sangat payah” jawab Cukat Tong.

“Baiklah. Kita berpisah di sini. Kita bertemu beberapa hari lagi”

“Baik” Cukat Tong segera pergi. Ia tidak bertanya bertemu di mana dan kapan. Tapi segera ia bertanya, " Bagaimana dengan Suma Sun?"

"Suma Sun adalah Suma Sun" jawab Cio San enteng.

"Haha. Betul juga" Cukat Tong hanya tertawa dan menghilang dari situ bersama burun-burungnya

Cio San menoleh kepada Ang Lin Hua

“Nona ikutlah denganku”

Ang Lin Hua mengangguk.

Cio San telah menggenggam tangannya. Mereka berlari kencang sekali.

Ketika gelap, mereka telah sampai di sebuh hutan.

“Kita istirahat sebentar” kata Cio San.

Ang Lin Hua mengangguk.

Kadang-kadang hal yang paling menyenangkan dari perempuan bukanlah kecantikan atau dandanannnya. Tapi adalah saat ketika ia mengangguk mengiyakan terhadap semua perkataanmu.

Cio San segera melompat ke pucuk pepohonan dan memetik beberapa buah-buahan segar.

“Silahkan nona” katanya

“Terima kasih. Kaucu”  kata Ang Lin Hua.

Mereka makan dengan lahap dan tenang.

“Nona kenapa sejak tadi diam saja”

“Tidak apa-apa, kaucu”.

Jika perempuan mendiamkanmu dan berkata tidak ada apa-apa. Itu berarti engkau telah membuat kesalahan besar terhadapnya.

Cio San paham ini.

“Katakan saja, nona”

“Mo Kauw adalah partai besar dan selama ini tidak ada orang yang berani macam-macam dengan kita” kata Ang Lin Hua.

“Kau marah karena aku tidak melawan balik?”

Si nona hanya diam dan menatap Cio San.

“Aku hanya tak ingin membunuh orang” kata Cio San

“Tapi mereka semua ingin membunuh tuan” sahut Ang Lin Hua

Cio San hanya tersenyum dan memainkan ujung rambutnya.

“Orang rendahan macam Lim Gak Bun itu pun bahkan bisa kubunuh dengan satu pukulan” kata si nona

Senyum Cio San tambah lebar. Ia baru ingat ternyata luka di tubuhnya parah juga. Tapi kenapa sekarang sakitnya sudah berkurang seluruhnya?

“Kenapa tuan membiarkan ia mempermalukan tuan?”

Perempuan yang cantik, jika marah biasanya kecantikannya tidak hilang. Tapi kau justru lebih takut kepadanya daripada kepada setan gunung.

Oleh sebab itu Cio San diam saja.

“Apakah karena istrinya itu?” kata Ang Lin Hua.

Memang di dunia ini, satu-satunya makhluk yang bisa mengerti perasaan perempuan, hanyalah perempuan sendiri.

Cio San hanya bisa menatap Ang Lin Hua.

Laki-laki paling pintar di seluruh dunia pun kadang menjadi manusia paling bodoh di hadapan seorang perempuan. Hal senyata ini kenapa masih ada orang yang menganggap laki-laki lebih kuat daripada perempuan?

“Benar, bukan?”

Cio San tidak bisa menjawabnya.

“Tuan, jika itu urusan pribadi tuan, hamba tak akan mencampuri. Tetapi tuan membawa nama besar Mo Kauw di pundak tuan”

“Aku mengerti, nona. Maafkan aku memang punya banyak kekurangan”

Laki-laki jika ingin mengakui kesalahannya pasti akan berkata seperti itu.

“Sebenarnya siapa perempuan itu? Apakah kekasih lama tuan?”

“Ya”

“Ia meninggalkan tuan?”

“Ya”

“Kenapa tidak cari yang baru?”

“Mencari kekasih kan tidak semudah mencari anggota Mo Kauw atau Kay Pang” kata Cio San sambil tertawa.

Ang Lin Hua tidak tertawa.

“Mengapa kini ia begitu benci kepada, tuan?”

“Aku sendiri tidak tahu”

“Apakah tuan pernah mengkhianatinya atau membohonginya?”

“Setahuku tidak pernah”

“Hanya ada dua hal yang membuat perempuan berpaling dari laki-laki. Pengkhianatan laki-laki atau adanya laki-laki yang lain”

“Menurutmu, urusanku ini masuk bagian yang mana?”

Dengan sendirinya Ang Lin Hua tidak perlu menjawab.
Ia lalu mengalihkan pembicaraan,

“Tuan sudah tahu bukan siapa si otak besar ini?”

“Sudah”

“Kenapa tidak dibunuh saja?”

“Aku kan sudah bilang aku tidak akan membunuh orang lagi” tukas Cio San.

“Tapi bukankah jika tuan membunuhnya, itu dapat menghentikan banyaknya kejahatan yang akan ia timbulkan?” tanya Ang Lin Hua.

Cio San tak dapat berkata apa-apa.

Ia hanya takut, beban itu terlalu berat untuk ia pikul.

Ada sementara hal di dunia ini, yang semua orang di muka bumi ini yakin kau sanggup melakukannya, dan hanya kau lah yang sanggup melakukannya. Tapi dalam hatimu, kau tahu bahwa sesungguhnya kau tak memiliki kemampuan apa-apa.

“Aku tak punya hak untuk mengadili atau menghukum seseorang. Jika aku melakukannya pun, aku harus memiliki bukti yang kuat dan nyata” kata Cio San.

“Tuan, berhentilah bersikap gagah dan suci. Mohon maaf jika hamba harus mengatakan ini. Tapi tuanlah yang selama ini terus difitnah, terus dikorbankan, dan terus dilukai. Mengapa tidak berdiri dan pergi menantangnya? Dengan ilmu dan kemampuan tuan, tidak ada satu orang manusia pun yang tidak sanggup tuan hadapi” ada secuil kemarahan di mata Ang Lin Hua.

“Dan bagaimana jika aku salah? Bahwa dugaanku keliru dan aku kesalahan tangan membunuh orang yang tidak bersalah?” tanya Cio San

“Aku saja yakin sepenuhnya kepada tuan, kenapa tuan sendiri tidak yakin terhadap diri tuan sendiri?” kata Ang Lin Hua balas bertanya.

“Aku bukan Tuhan yang selalu benar, yang selalu adil penghakimannya. Aku hanya percaya bahwa orang yang berbuat kesalahan, suatu saat akan menerima hasil dari apa yang ditanamnya”

“Sekali lagi hamba mohon maaf, tapi bagi hamba perkataan itu adalah perkataan pengecut”

Di dunia ini, baru satu orang inilah yang berani menyebutnya ‘pengecut’.

Kadang-kadang kau marah jika ada orang mengatakan hal ini kepadamu. Tapi lebih sering kemarahanmu muncul karena jauh di lubuk hatimu kau tahu perkataannya benar.

Tapi Cio San tak marah. Ia hanya tersenyum dan berkata,

“Aku akan menghentikannya pada saatnya. Jika saat itu tiba ia tak akan sanggup berkelit dan lari lagi. Tapi tidak saat ini.”

“Dan tuan rela melihat banyak korban yang akan jatuh saat tuan membiarkannya berkeliaran saat ini?” tanya Ang Lin Hua.

Kau tahu beratnya menjadi pemimpin?

Itu adalah saat di mana semua orang yang kau pimpin merasa dirinya benar, dan segala keputusan yang kau ambil salah di hadapan mereka.

Cio San tahu ia tidak cocok dan tidak pantas menjadi pemimpin. Ia lebih suka hidup dengan bebas tanpa memikirkan segala tetek bengek urusan dunia. Jika boleh memilih, tentu ia akan memilih hidup sendirian di atas puncak Butong San ditemani sebuah Khim.

Para pemimpin sejati tidak diciptakan, dimunculkan, dipilih, atau diperjuangkan.

Mereka dilahirkan.

Oleh sebab itu sungguh dungu dan tolol jika ada orang yang merasa dirinya pantas menjadi pemimpin. Mengajukan dirinya untuk dipilih sebagai pemimpin. Karena pemimpin sejati itu datang di saat dunia begitu membutuhkan kehadirannya.

Kau boleh ditakdirkan lahir sebagai kaisar. Tapi belum tentu ditakdirkan lahir sebagai pemimpin. Karena kaisar hanyalah jabatan. Sedangkan pemimpin adalah anugerah.

Anugerah yang datang dari langit kepada manusia.

Karena itu kaisar boleh berganti setiap masa. Tapi pemimpin sejati hanya datang di saat masa tertentu hanya untuk membuat dunia sedikit lebih cerah dan indah di tengah kemuraman dan ketidakadilan.

Cio San sungguh-sungguh paham bahwa ia tak memiliki takdir seperti itu,

Tapi bukankah kita baru mengetahui takdir setelah takdir itu terjadi?

Siapa yang menyangka seorang anak kurus yang sakit-sakitan mampu menjadi lelaki dewasa yang ilmu silatnya sangat mengagumkan?

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Tujuannya tentu saja adalah puncak Thay San. Tetapi mereka memilih jalur yang jarang ditempuh oleh orang lain yang berupa jalur mendaki yang curam, hutan-hutan lebat, dan lembah-lembah tak bernama.

Selama di perjalanan Ang Lin Hua terus melatih ilmu yang dipelajarinya dari Cio San. Kecantikannya pulih seluruh walaupun rambutnya masih tetap putih.

Di hari kesembilan mereka beristirahat di tepi sebuah hutan bambu. Musim gugur telah merayap datang. Walaupun bambu-bambu masih menguning, dedaunannya sudah mulai berhamburan dengan indah.

Mereka bersandar di bawah pohon pinus. Menikmati angin pegunungan yang sejuk dan lembut.

Lalu tiba-tiba seseorang muncul di hadapan mereka.

Entah dari mana dia.

Tahu-tahu muncul seperti setan di hadapan mereka berdua.

Orang yang bisa tahu-tahu muncul di hadapan Cio San tanpa sebelumnya ia sadari, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari tangan sebelah.

“Kau yang bernama Cio San?”

Ia adalah seorang kakek tua yang masih terlihat gagah di umurnya yang sekitar 80 tahun. Rambutnya dikuncir sederhana. Pakaiannya pun sederhana.

Cio San dan Ang Lin Hua berdiri dan menjura,

“Boanpwee (saya yang lebih muda) adalah Cio San dan ini sahabat boanpwee bernama Ang Lin Hua”

“Pilih senjatamu” kata kakek tua itu.

“Boanpwee tidak membawa senjata” kata Cio San

“Aku tahu. Orang sepertimu kan bisa pakai apa saja. Ambil apa saja!” kata kakek tua itu tegas.

Cio San pergi dan mematahkan sebuah ranting pohon. Ia kembali dan berkata,

“Boanpwee hanya menemukan ini”

Entah bagaimana di tangan si kakek pun sudah ada ranting yang sama panjangnya dengan ranting di tangan Cio San. Ia sendiri tak tahu kapan si kakek bergerak mengambil ranting itu.

“Jika kau punya permintaan terakhir, katakan sekarang. Sebisa mungkin akan kulaksanakan setelah kau mati” si kakek berkata itu dengan ringan seolah-olah Cio San memang sudah akan mati.

“Tidak ada” kata Cio San enteng pula

“Bagus. Kuberi kesempatan menyerang tiga kali. Silahkan”

“Cianpwee (anda yang lebih tua) tak akan menyerang sebelum boanpwe menyerang?”

“Kau meragukan kata-kataku?”

“Tentu tidak. Baiklah”

Ia berkata “baiklah” tapi tidak menyerang. Ia justru duduk dengan tenang membuka buntalan perbekalan yang biasanya dibawa Ang Lin Hua.

“Marilah minum dulu cianpwee” katanya tersenyum sambil membuka guci arak yang sangat wangi bau isinya.

“Aku datang untuk membunuhmu. Bukan untuk minum”

“Silahkan cianpwee. Tapi bukankah cianpwee sendiri yang berjanji untuk tidak menyerang boanpwee sebelum boanpwee menyerang 3 kali?” katanya sambil tersenyum. Ia bangkit lalu menyodorkan secawan arak kepada kakek tua itu.

Si kakek hanya menatap cawan anggur itu dan bekata,

“Aku kagum dengan kecerdasanmu. Tetapi mengapa kau pakai untuk melakukan hal-hal bejat?”

“Cianpwee apakah selama beberapa hari ini menelusuri jejak boanpwee apakah karena mendengar keributan di rumah Khu hujin?”

Si kakek hanya diam. Karena kadang-kadang diam berarti mengiyakan.

“Sesungguhnya tidak ada satu pun hal yang sanggup membuktikan ketidakbersalahan boanpwee. Tetapi jika cianpwee memang ingin membunuh boanpwee, baiklah. Harap perhatikan serangan”

Dengan ranting kayu ia menyerang pundak kakek tua itu tiga kali. Tapi serangan itu sungguh aneh. Tidak ada sesuatu pun di dalam serangan itu. Hanya 3 kali sentuhan ke pundak kakek itu. Sentuhan yan sopan dan halus.

“Nah. Bonapwee hanya meminta, jika hari ini boanpwee mati, boanpwee memohon agar cianpwee mengusut siapa yang benar-benar bertanggung jawab di balik semua kejadian ini, dan cianpwee menghukumnya atas kejahatannya. Di dunia ini mungkin hanya cianpwee yang pantas melakukannya”

Selesai berkata begitu ia berpaling kepada Ang Lin Hua dan tersenyum.

“Aku pergi duluan”

Ang Lin Hua bisa berdiri menatapnya dan meneteskan air mata.

Cio San lalu lalu kembali menghadap si kakek dan berkata,

“Silahkan cianpwee”

Ia duduk berlutut dan kepalanya menengadah sambil tersenyum. Saat ini terasa seluruh beban di pundaknya terangkat sepenuhnya. Jika kakek sakti di hadapannya ini sudah mau turun tangan, tentulah keadaan dunia Kang Ouw akan membaik sepenuhnya.

Si kakek termenung dan tak sanggup berkata apa-apa. Ia lama terdiam, lalu kemudian berkata,

“Berdirilah. Hidupku sudah mengalami berbagai hal sehingga aku tahu mana orang yang jujur dan mana yang bukan”

Dengan kecewa Cio San berdiri. Di dunia ini orang yang kecewa karena tidak jadi mati mungkin hanya Cio San seorang.

“Kau tahu siapa aku?” tanya si kakek.

“Pengetahuan boanpwee sungguh cetek, tapi jika boanpwee tidak salah, cianpwee adalah sang pendekar pedang kelana, Can Li Hoa-tayhiap”

Si kakek hanya mengangguk.

“Perlihatkan silatmu” katanya.

Jika seorang sepuh dan dikagumi di dalam dunia kang ouw memintamu memperlihatkan silatmu, itu berarti ia memujimu.

Cio San lalu bergerak. Bergerak sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Gerakannya lugas, luwes, lincah, dan penuh tenaga. Ia bergerak seperti sedang bertarung dengan musuh bebuyutannya. Padahal ia bersilat seorang diri.

Entah sudah berapa jurus. Entah jurus apa. Entah berapa lama.

Sang kakek menyaksikan dengan kagum, dan sesekali memuji,

“Bagus!”

“Gerakan hebat!”

“Pintar sekali!”

Begitu Cio San selesai bersilat, si kakek tersenyum senang. Lalu bertanya,

“Kau menciptakan sendiri gerakan-gerakan itu bukan?”

“benar cianpwee”

“Memang. Ilmu silat seperti itu tak akan mampu dipelajari manusia. Silat seperti itu hanya lahir dari pemikiran yang cerdas. Belajar seribu tahun pun tidak ada manusia yang sanggup menguasainya.”

“Cianpwee terlalu memuji” kata Cio San menjura.

“Selama puluhan tahun aku mencari orang untuk mewariskan ilmu pedangku, syukurlah hari ini ku temukan orangnya” kata si kakek, lalu lanjutnya

“Tapi kau tak akan ku angkat menjadi murid”

“Dengan pemahamanmu kau tak perlu orang untuk mengajarimu. Justru jika ada orang yang mengajarimu, kau tak akan bisa mengerti”

Dengan mata dan pengalamannya si kakek bisa memahami pribadi Cio San. Hal yang dulu tidak dapat dilihat oleh para guru di Butongpay. Karena memang di dunia ini ada orang yang jika belajar sendiri kemajuannya justru lebih cepat dibandingkan jika diajari orang lain.

“Bolehkah aku meminta tolong kepadamu, Cio San?” tanya si kakek.

“Apapun, cianpwee” jawab Cio San penuh hormat.

“Lihatlah permainan pedangku”

“Baik, cianpwee”

“Ilmu pedang ini sangat dalam tapi juga sangat dangkal. Kau tidak perlu mempelajarinya. Cukup kau lihat dan pikirkan saja maksud gerakan-gerakannya. Aku hanya akan memperlihatkannya kepadamu sekali saja. Seberapa jauh jodohmu terhadap ilmu pedang ini, hanya Thian yang tahu” kata si kakek.

Segera si kakek bersilat. Ia hanya menggunakan ranting pohon.

Gerakan sederhana. Tapi indah. Tidak ada gerakan percuma. Hampir seperti ilmu pedang Suma Sun. Tapi terlihat lebih indah, lebih luwes, dan lebih bertenaga.

“Kau sudah lihat?”

“Sudah cianpwee”

“Seberapa dalam yang kau paham?”

“Tidak paham sama sekali” kata Cio San jujur.

“Hahaha bagus. Sekarang aku akan menyerangmu. Perhatikan serangan”

Si kakek menyerang dengan dahsyat.

Cio San menyambutnya dengan cara yang sama.

Dua orang bersilat dengan jurus yang sama, tapi juga terlihat seperti jurus yang berbeda satu sama lain.

Ratusan jurus mereka lalui. Bagi Cio San ini pertempuran paling lama yang pernah dijalaninya. Bagi si kakek ini pertempuran paling menyenangkan yang pernah dialaminya.

Mereka berdua bertarung dengan gembira.

Setelah selesai, si kakek berkata,

“Kini kau sudah menguasai ilmu pedangku. Aku tidak menganggapmu sebagai murid dan kau jangan memanggilku sebagai guru. Aku hanya meminta kau menjaga ilmu pedang ini. Jika kau menemukan seseorang yang berbakat dan memiliki jiwa yang lurus, ajarkanlah ilmu pedangku ini kepadanya.”

“Boanpwee berjanji, cianpwee. Boanpwee memiliki seorang sahabat yang sangat berbakat dalam ilmu pedang”

“Maksudmu Suma Sun?” tanya si kakek

“Benar, cianpwee”

“Ilmu pedangnya tak akan berkembang lagi”

‘Ah…”

“Kau mengasihaninya? Ilmu pedangnya tak akan berkembang karena dia telah memilih jalur lain”

“Jalur apa, suhu?”

“Ia memilih ilmu membunuh”

Lanjut si kakek,

“Ketahuilah, orang jika terlalu berbakat dalam ilmu pedang, maka lama kelamaan ia akan kehilangan jati dirinya. Lama-lama ia berubah dari manusia menjadi sebuah besi dingin yang tajam. Padahal pedang seharusnya tetap menjadi pedang, dan manusia tetap menjadi manusia”

“Itulah sebabnya aku memilihmu. Karena kau tidak memiliki jiwa dan bakat ilmu pedang sebesar  Suma Sun. Pada akhirnya ilmu pedangmu akan jauh melampauinya.”

“Maksud cianpwee, boanpwee akan sanggup mengalahkannya?” tanya Cio San

“Ya. Kau akan sanggup mengalahkannya. Tapi kau tidak akan sanggup membunuhnya. Justru ialah yang mungkin akan membunuhmu”

“Teecu mengerti”

“Kau mengerti?”

“Ilmu pedang dan ilmu membunuh dengan pedang, adalah dua hal yang jauh berbeda. Meskipun terlihat tiada perbedaannya, siapapun yang mencoba memahami, tentu suatu saat akan melihat perbedaannya” kata Cio San.

“Haha, Bagus…Bagus. Aku tak salah menitipkan ilmu pedang ini kepadamu. Kau memiliki bakat menjadi pendekar besar. Hanya saja kau tak memiliki bakat menjadi pendekar pedang” kata si kakek. “Tetapi justru orang yang tidak memiliki bakat besar lah yang kadang-kadang berhasil. Di dunia ini kejadian seperti ini sudah sangat sering ku lihat”

Lalu si kakek berkata,

“Aku jarang sekali terjun ke dalam urusan Bu Lim (persilatan). Tetapi sewaktu-waktu, jika ada manusia-manusia bejat merajalela, aku baru mau turun tangan. Sudah sangat lama aku menghilang ke selatan, dan baru kali ini kembali. Urusan pembunuhan bertopeng ini harus segera kau selesaikan supaya aku dapat tidur dan mati dengan tenang”

Kata-kata ini menghujam dada Cio San. Ia tahu saat perpisahan segera tiba. Itulah sebabnya butir-butir air mata mengalir di pipinya.

“Bagus. Bagus. Kau punya hati yang lemah lembut. Itu tandanya kau masih memiliki nurani. Sungguh mataku tak salah memilihmu.”

“Cio San, mungkin sampai di sini jodoh kita. Kita tak akan bertemu lagi. Tapi pertemuan beberapa jam ini, sudah cukup bagiku. Memuaskan pencarianku selama ini. Ada kau, aku bisa menghilang dengan tenang”

“Cianpwee, perkenankan boanpwee untuk berbakti kepadamu. Walau hal kecil, setidaknya bisa memuaskan hati boanpwee”

“Silahkan”

Cio San lalu berlutut dan membersihkan sepatu kakek itu. Ini ia lakukan dengan air mata berlinang-linang. Bahkan sepatu itu pun basah oleh air matanya. Ia bersujud dan menciumi kaki sang kakek.

Mengapa orang-orang seperti ini selalu menghilang begitu cepat dari hidupku?

Ia lalu berdiri, membersihkan baju orang yang sangat dihormatinya itu dari dedauanan yang gugur.

Sang kakek menatapnya sambil tersenyum, tapi air matanya berlinang pula.

“Sungguh aku tidak salah. Sungguh aku tidak salah” begitu yang terbesit di hati si kakek tua.

Akhirnya mereka berpelukan. Dua orang yang baru bertemu selama beberapa jam, tapi saat berpisah sungguh menyentuh nurani mereka.

Dan mereka pun berpisah. Si kakek berjalan dengan tenang dan hilang di balik pepohonan. Cio San bersujud sampai entah berapa lama.

Manusia. Jika ia menunjukkan kasih sayang dan cinta, barulah ia menjadi manusia seutuhnya. Karena kemanusiaan seseorang sungguh tidak diukur dari pangkatnya, jabatannya, hartanya, atau segala kebanggaannya. Kemanusiaan seseorang hanya bisa diukur dari seberapa tulusnya ia mencintai orang lain. Betapa berartinya ia bagi orang lain bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa.

Selain cinta dan kasih sayang, memangnya apa yang bisa dibanggakan manusia? 


Related Posts: