Bab 58 Sebuah Tongkat Hijau




Hari ke dua puluh dalam pelarian mereka. Kedua orang ini telah sampai di Santung. Sebuah provinsi di ujung timur Tionggoan. Daerah ini adalah daerah yang unik karena selain memiliki pantai yang indah, juga memiliki pegunungan yang menakjubkan.

Gunung Thay San pun berada di sana.

Sebuah gunung yang disucikan, dan memiliki banyak cerita dan kenangan sejarah.

Bahkan di dunia Kang Ouw pun, nama Thay San ini diabadikan. Orang yang dikagumi dan dianggap sebagai manusia utama disebut Thay San Pek Taw. Thay San berarti gunung Thay San, Pek Tauw berarti bintang utara.

Di jamannya hanya Thio Sam Hong yang mendapat sebutan ini karena ketinggian ilmunya, kedalaman pengetahuannya, dan kehalusan budi pekertinya. Selain beliau, belum ada seorang pun yang pantas disebut Thay San Pek Tauw di jaman ini.

Apakah ini sebabnya setiap 10 tahun sekali terjadi adu tanding memperebutkan posisi Bu Lim Beng Cu di atas puncak gunung Thay San? Agar pemenangnya pantas disebut Thay San Pek Taw?

Cio San memandang jauh.

Puncak gunung menjulang di langit. Ada begitu banyak gunung. Apakah kau ingin menaklukkan gunung ini satu persatu?

Manusia begitu kecil jika dibandingkan dengan alam. Tetapi kenapa selalu manusialah yang begitu sombong menentukan takdir mereka sendiri?

Menumbuhkan rambut sendiri saja tidak mampu. Mengapa begitu berambisi menjadi orang paling hebat di muka bumi?

Kedua orang ini melangkah dengan ringan walaupun jalan mendaki dan penuh bebatuan. Di depan seseorang sudah menunggu.

Seorang kakek tua.

Heran. Kenapa akhir-akhir ini ia sering sekali bertemu dengan kakek tua sakti?

“Salam cianpwee” Cio San menjura.

“Salam pangcu” kakek tua ini ternyata anggota Kay Pang. “Tidak perlu memanggil hamba cianpwee. Hamba hanya anggota rendahan, pangcu. Nama hamba Luk Ping Ho”

Cio San hanya tersenyum. Matanya belum lamur untuk bisa membedakan tingkatan seseorang. Lalu ia berkata,

“Cianpwee ada petunjuk apa kepada boanpwee?”

Lama si kakek terdiam, kemudian malah balas bertanya,

“Kau yang membunuh Ji Hau Leng?”

“Mendiang Ji-pangcu memang sempat bertarung dengan boanpwee. Tapi bukan boanpwee pembunuhnya” jawab Cio San.

“Lalu siapa?” tanya kakek tua

“Beliau bunuh diri”

“Aku tidak percaya” sahut si kakek.

Kalau ada orang bilang tidak percaya, maka mau kau beri alasan dan penjelasan apapun, ia tidak akan percaya. Karena kadang-kadang ‘percaya’ itu berubah menjadi masalah ‘hati’, bukan lagi masalah ‘akal’.

“Ku dengar kau membunuhnya karena kedapatan mencuri kitab 18 Tapak Naga?”

Cio San hanya bisa menggeleng sambil tersenyum pahit.

Begitu hebatnya si otak besar sampai-sampai bisa meminjam tangan tokoh-tokoh sakti seperti kakek ini untuk membunuhnya. Bahkan Pendekar Pedang Kelana pun sebelumnya hampir tertipu oleh si otak besar ini.

“Ji Hau Leng telah kuasuh semenjak kecil. Pembunuhannya membuatku tidak bisa tidur.” Si kakek sudah bangkit berdiri. Tangannya memegang sebuah tongkat berwarna hijau.

Tongkat hijau itu adalah lambang tertinggi di Kay Pang. Tongkat Pemukul Anjing!

Mau tak mau melihat tongkat itu, hati Cio San menjadi tergetar juga. Tongkat ini telah menjadi legenda selama ratusan tahun. Melewati ribuan pertarungan. Mengalahkan jutaan musuh. Jika ada benda yang paling berharga dalam dunia Kang Ouw, tongkat ini pasti adalah salah satunya.

“Cio San, dosamu sudah terlalu besar. Bukan hanya kematian Ji Hau Leng saja yang kudengar.” Si kakek telah memasang bhesi (kuda-kuda).

Jurus pertama dari Jurus Pemukul Anjing

“Anjing Marah Menutup Jalan”

Cio San hanya berdiri memainkan rambutnya.

 Tangan satunya terlipat ke belakang.

“Perhatikan serangan”

Lalu si kakek bergerak.

Suara berdenging keluar dari tongkat berwarna hijau itu. Tongkat itu datangnya lebih cepat dari suara yang sampai ke telinga Cio San.

Alangkah kagetnya Cio San ketika tahu-tahu tongkat itu telah menghujam ke batok kepalanya. Ia tak lagi bisa menghindari!

 Hanya bisa menerima serangan itu menghancurkan batok kepalanya!

Serangan itu telah menemui sasarannya.

Batok kepala Cio San tidak hancur.

Ada Thay Kek Kun yang melindunginya. Ada lagi satu ilmu yang tak pernah digunakan Cio San.

Ilmu Menghisap Matahari.

Tongkat itu lengket di kepala Cio San. Si kakek tua itu terkaget-kaget ketika tidak bisa memecahkan batok kepala Cio San, dan juga tidak bisa menarik kembali tongkatnya.

“Cianpwee, jangan kerahkan lweekang (tenaga dalam). Atau nanti tenaga cianpwee terhisap” kata Cio San.

Si kakek menurut saja, karena ia merasa tenaga dalamnya mulai tersedot.

Biasanya ilmu Menghisap Matahari hanya akan menyedot habis tenaga musuh, sampai musuh itu menjadi arang. Atau jika pemilik ilmu Menghisap Matahari menghentikan serangannya. Tetapi jika musuh tetap berusaha menyalurkan tenaga untuk menyerang, maka Ilmu Menghisap Matahari akan terus menerus menyedot tenaganya.

Cio San berhasil ‘menjinakkan’ ilmu Menghisap Matahari itu dengan Thay Kek Kun. Ia berhasil menggabungkan kedua ilmu dahsyat itu. Ilmu Menghisap Matahari menjadi lebih lembut, lebih ‘manusiawi’. Tapi justru menjadi lebih mudah digunakan.

Dengan menggabungkan Thay Kek Kun dengan Ilmu Menghisap Matahari kedua ilmu itu memang berkurang kedahsyatannya. Tapi justru itu Cio San malah senang.

Karena ia tidak suka membunuh orang.

Kedua ilmu saling mengurangi, tapi dalam sisi yang lain saling menambahi juga.

Kedahsyatannya berkurang, tetapi keefektifannya bertambah.

Sekarang malah tongkat hijau itu telah berada di tangan Cio San.

Si kakek tua terbelalak.

Cio San mengambil tongkat ‘suci’ itu dari tangannya seperti mengambil permen dari anak kecil.

“Silahkan cianpwee” kata Cio San sambil berlutut, ia menyerahkan tongkat itu dengan penuh hormat.

Si kakek tetap menatapnya dengan terbelalak.

“Mengapa kau mengampuniku?” tanya si kakek.

“Karena ini semua salah paham, cianpwee” Cio San masih berlutut.

“Boanpwee bersumpah bukan boanpwee yang membunuh Ji Hau Leng. Ia benar-benar bunuh diri.”

“Apa sebab ia bunuh diri?” tanya si kakek.

Cio San sambil berlutut menjelaskan semuanya.

Kakek itu mendengarkan sambil meneteskan air mata. Anak asuhan kesayangannya hidupnya bisa berakhir demikian menyedihkan.

“Kau tahu siapa si otak besar itu?” tanya si kakek kemudian.

“Boanpwee sedang dalam perjalanan mencarinya” jawab Cio San.

“Baik. Aku kini percaya sepenuhnya kepadamu, pangcu”

Jika ada orang yang bisa membunuhmu, tapi ia mengampunimu, tentu saja mau tidak mau kau harus percaya kepada kata-katanya.

Ia malah kini berlutut juga di hadapan Cio San.

Lalu ia bersoja (bersujud) di depan Cio San.

“Maafkan semua kesalahpahaman ini” kata si kakek.

“Cianpwee harap bangkitlah” Cio San mengangkat tubuh si kakek itu

Si kakek menatapnya, lalu menyodorkan tongkat hijau ini,

“Anda memang pantas dan berhak menjadi ketua Kay Pang” katanya

Cio San tidak berani menerima tongkat itu. Tongkat hijau itu memang adalah tanda kehormatan ketua Kay Pang. Siapa yang memegangnya berarti ia adalah ketua Kay Pang.

Cio San hanya berkata,

“Boanpwee tidak pantas memegangnya, cianpwee. Harap cianpwee simpankan sampai muncul ketua Kay Pang yang sebenarnya dan yang paling pantas”

“Pangcu adalah orang yang paling pantas menjadi ketua”

“Boanpwee hanya seorang lelaki yang melaksanakan permintaan terakhir sahabatnya” kata Cio San menggeleng. Lalu katanya, “Boanpwee mengerti betapa sucinya tongkat ini. Tidak mungkin pula boanpwee bawa-bawa. Harap cianpwee saja yang menyimpannya, sampai tiba saatnya harus diserahkan kepada yang berhak”

Lama si kakek berpikir lalu ia akhirnya berkata,

“Baiklah”

Mereka kemudian bangkit dan berdiri.

“Apakah pangcu benar-benar sudah menguasai 18 Tapak Naga?” tanya si kakek.

“Baru 3 jurus awal.” Jawab Cio San. “Boanpwee melihat menidang Ji-pangcu menggunakannya”

“Sekali lihat kau langsung bisa?” tanya si kakek.

Cio San hanya mengangguk.

Si kakek kemudian berkata,

“Cayhe (aku) sendiri pun belum pernah melihat ilmu dahsyat itu. Kitab aslinya memang tidak pernah ada dan hanya diajarkan turun temurun. Puluhan tahun yang lalu Kay Pang mengalami kemunduran, sehingga ilmu 18 Tapak naga seperti punah.

Salinan ilmu ini tersimpan di sebuah kain sutra yang disimpan dalam sebuah golok. Lalu setelah mengalami berbagi kejadian, salinan itu kini dikuasai oleh ketua Siau Lim Pay, Bu Lim Beng Cu yang sekarang.

Sebelum Ji Hau Leng menjadi ketua Kay Pang, aku sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Beberapa bulan yang lalu saat mendengar bahwa ia telah menguasai 18 Tapak Naga, aku sangat senang mendengarnya. Saat itu aku memutuskan untuk mencarinya. Saat sampai di markas, aku baru tahu bahwa beberapa hari sebelumnya ia tewas di tanganmu. Dengan marah aku mengambil tongkat pemukul anjing dan mencarimu sampai ke sini” jelas si kakek.

“Jurus pertama cianpwee, apakah itu jurus pertama dari ilmu Pemukul Anjing yang tersohor itu?” tanya Cio San.

“Benar”

“Hebat sekali. Boanpwee bahkan tidak sanggup menghindar”

“Tapi dengan ilmumu, pangcu bukankah tidak perlu menghindar?”

“Haha. Boanpwee hanya beruntung”

“Beruntung?”

“Benar cianpwee. Karena bingung, boanpwee secara tidak sengaja melancarkan Thay Kek Kun dan ilmu Menghisap Matahari sekaligus. Kedua ilmu ini memang dasarnya adalah ilmu bertahan, bukan ilmu menyerang. Eh tahu-tahunya, tenaga kedua ilmu saling berlawanan tapi juga saling melengkapi hingga terjadilah hal seperti tadi”

“Bagaimana jika pangcu hanya melancarkan salah satunya saja?”

“Jika menggunakan Thay Kek Kun, tenaga dalam cianpwee mungkin tidak akan terhisap tapi akan kembali kepada diri sendiri. Jika hanya pakai Ilmu Menghisap Matahari saja, tenaga cianpwee akan terhisap seluruhnya dan tubuh cianpwee akan hangus terbakar”

“Bukankah dengan menggabungkan kedua ilmu itu, seharusnya kekuatannya menjadi lebih dahsyat lagi?” tanya si kakek.

“Malah sebaliknya, cianpwee. Ilmu Menghisap Matahari dan Thay Kek Kun adalah sama-sama ilmu bertahan. Prinsipnya hampir sama. Oleh sebab itu keduanya berada di kutub yang sama. Jika diibaratkan besi berani (magnet), kedua ilmu ini akan saling tolak menolak. Itulah sebabnya kekuatannya jauh berkurang jika dipakai bersama-sama.” jelas Cio San.

“Oh begitu rupanya. Oh iya, ada satu hal yang lupa kukatakan padamu, pangcu”

“Ada petunjuk apa, cianpwee?”

“Setiap pangcu dari Kay Pang harus menguasai Jurus Pemukul Anjing” tukas si kakek.

Cio San hanya menghela nafas. Begitu banyak tanggung jawab yang harus diembannya. Sekarang ketambahan lagi harus mempelajari Jurus Pemukul Anjing. Bukannya ia tidak senang mempelajari ilmu silat baru, hanya saja ia takut, ketambahan ilmu baru akan membuat ilmu silat yang pernah dipelajarinya akan menjadi membingungkan.

“Ketua baru Kaypang, harap terima pengajaran” seru si kakek.

Cio San berlutut.

“Nona, harap menyingkir sebentar” kata si kakek kepada Ang Lin Hua yang sejak tadi sudah memilih duduk di atas batu besar di bawah sebuah pohon.

Ang Lin Hua mengerti dan ia segera berlalu dari situ.


Si kakek mematahkan ranting bambu kecil, lalu berkata “Jadikan ini sebagai senjatamu. Lalu ikuti gerakanku, pangcu”

“Baik, cianpwee”

Segera si kakek bersilat. Cio San mengikuti gerakan-gerakannya dengan sebaik-baiknya. Semuanya hanya ada 10 jurus. Tapi merupakan jurus sangat dahsyat.

“Pangcu sudah hafal kesemua gerakan tadi?” tanya si kakek.

“Hampir” jawab Cio San pendek.

“Baik. Coba tolong pangcu lakukan semua gerakan itu”

Cio San melakukannya. Kesepuluh jurus itu dilancarkan dengan tenaga dalam tinggi dan kecepatan yang mengagumkan.

Si kakek mengerutkan kening.

“Pangcu apakah belum hapal? Banyak gerakan-gerakan pangcu yang salah”

“Eh, maaf cianpwee” kata Cio San sambil garuk-garuk kepala.

“Harap perhatikan lagi”

Si kakek mulai bersilat. Kekuatan dan kecepatannya sedikit lebih hebat dibandingkan yang tadi Cio San peragakan.

“Sudah hapal?” tanyanya.

“Sedikit” jawab Cio San.

“Harap perlihatkan, pangcu” pinta si kakek.

Cio San melakukannya.

Kini jauh lebih salah dan keliru ketimbang saat pertama tadi.

Si kakek menggeleng-geleng kecewa.

“Pangcu apakah sedang ada beban berat sehingga tidak memusatkan pikiran?” tanya si kakek.

“Tidak, cianpwee”

“Lalu kenapa sekarang gerakannya tambah keliru seluruhnya?”

“Boanpwee hanya berpikir, cianpwee”

“Apa yang pangcu pikirkan?”

“Bagaimana jika gerakan serangan musuh berbeda seluruhnya”

“Maksud pangcu?”

“Bagaimana jika saat kita melancarkan jurus pertama terhadap musuh, kemudian musuh menerima serangan itu dengan jurus seperti ini?”

Cio San lalu melancarkan sebuah jurus serangan. Jurus serangan yang tidak terlalu dahsyat, namun terlihat mantap dan efektif!

Si kakek terbelalak, lagi.

“Eh coba kau tunjukkan jurusmu tadi. Coba ku serang kau dengan jurus pertama”

Setelah itu ia menyerang Cio San dengan jurus pertama Pemukul Anjing. Cio San menerima serangan itu dengan sebuah jurus yang baru saja ditunjukkannya tadi.

Jurus sederhana, tidak cepat, tapi tepat. Sangat tepat.

Si kakek melongo ketika tongkat bambu Cio San telah berhenti tepat di depan hidungnya.

Hanya dengan sebuah gerak tipuan biasa, Cio San telah mampu menaklukkan jurus pertama dari Ilmu Pemukul Anjing.

“Kau..kau..bagaimana bisa?”

“Itu karena sebelumnya boanpwee telah melihat dan mempelajari jurus Pemukul Anjing dari cianpwee, sehingga boanpwee bisa menciptakan jurus penangkalnya. Kalau orang baru pertama kali melihat jurus ini, tentu tak akan mampu menciptakan penangkalnya” jelas Cio San.

“Ah jadi karena itu, di benakmu kau mampu menciptakan jurus penangkalnya, sehingga kau merubah Jurus Pemukul Anjing menjadi berbeda?” tanya si kakek.

“Benar sekali, cianpwee”.

“Baiklah. Coba ku serang kau dengan kesepuluh jurus Pemukul Anjing, dan kau hadapi dengan ilmu penangkal yang sudah kau ciptakan”

Cio San mengangguk.

Jurus kedua sudah dilancarkan si kakek.

Cio San menangkalnya dengan pukulan tongkat yang sederhana.

Jurus demi jurus berlalu.

Semuanya berhasil diatasi Cio San.

Si kakek hanya bisa diam membisu.

“Mengapa bisa menjadi seperti ini?” tanyanya kemudian.

“Itu mungkin ketika pertama kali diciptakan jurus ini hanya digunakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kelas tinggi. Sehingga memang ditujukan untuk menghadapi ilmu-ilmu hebat. Musuh yang ketinggiaan ilmunya sudah mencapai tahap akhir, pasti akan melawan dengan jurus-jurus kelas tinggi dan dahsyat pula. Sehingga ia tidak melihat celah kosong yang bisa dihadapi dengan gerak sederhana” jelas Cio San.

“Hmmm. Masuk akal juga. Atau bisa saja ilmu itu ketika diturunkan turun temurun kepada kami, telah kehilangan kedahsyatannya karena pemahaman kami sendiri yang kurang mendalam terhadap jurus-jurus ini” kata si kakek.

Cio San mengangguk-angguk. Sebuah ilmu memang dalam perjalananannya akan semakin menurun atau semakin dahsyat. Cuma lebih sering ilmu silat itu menjadi menurun. Itu karena ilmu silat bergantung sekali terhadap pemahaman si pelaku, keadaan sekitar, pengalaman, dan lain-lain.

“Jadi saat pangcu memainkan ilmu silat Pemukul Anjing yang ‘ngawur’ tadi, apakah sudah sekalian menutup lubang dan kekurangannya?” tanya si kakek

“Kurang tahu, cianpwee. Boanpwee hanya bersilat ala kadarnya saja. Semua mengalir secara naluriah saja. Jika musuh menyerang dengan cara yang lain, mungkin jurusnya akan berubah lagi” kata Cio San sambil garuk-garuk kepala.

“Bagaimana kalau kita coba saja?” tukas Cio San tiba-tiba.

“Cianpwee seranglah boanpwee dengan jurus apa saja yang lain. Karena kekuatan dan kecepatan cianpwee jauh lebih tinggi dari boanpwee, seharusnya kita bisa melihat hasilnya” kata Cio San lagi.

Si kakek lalu menyerang.

Jurus-jurus asli Kay Pang yang ia lakukan sangat cepat dan sangat bertenaga.

Cio San yang sudah kalah cepat, sudah tidak mungkin menghindar. Oleh karena itu sejak awal dia sudah memutuskan untuk tidak menghindar.

Ia malah bergerak maju menyerang.

Ini seperti bunuh diri. Karena pasti Cio San terhantam lebih dulu.

Tapi ada satu hal yang sudah ia pikirkan lebih dulu. Tongkat bambunya lebih panjang dari tongkat si kakek. Jangkauan tangannya lebih panjang dari jangkauan si kakek.

Oleh sebab itu serangannya sampai lebih dulu.

Menjadi lebih dahsyat, karena musuh menyerang sangat cepat dan penuh kekuatan.

Seperti saat kita bergerak berlari menabrak tembok. Jika berjalan pelan, rasa sakitnya tidak seberapa. Tapi jika kita berlari sekuat tenaga dan menabrak tembok, maka rasa sakitnya menjadi luar biasa.

Seperti itulah kejadiannya.

Jurus demi jurus dilancarkan si kakek, tapi ia seperti menghujam tembok. Itulah kenapa di setiap jurus ia selalu menghentikan serangannya. Karena ujuang tongkat bambu Cio San selalu mencapainya terlebih dahulu sebelum serangannya sendiri sampai kepada sasaran.

“Hebat!” pujinya.

“Kau memanfaatkan situasi dan kelebihanmu sendiri untuk menutupi kekurangan” si kakek kagum. Tapi ia lalu bertanya,

“Bagiamana jika tubuhmu pendek, dan tongkatmu juga pendek? Tentunya kau tak akan bisa menggunakan serangan seperti tadi?”

“Boanpwee akan mencari cara lain” jawab Cio San sambil tersenyum.

Si kakek mengangguk-angguk.

“Sudah setua ini aku baru benar-benar paham, bahwa ilmu silat memang bukan sebuah bentuk jurus yang baku melainkan mengalir mengikuti keadaan diri sendiri dan alam sekitar”

Si kakek lalu jatuh berlutut dan menjura,

“Terima kasih atas petunjuknya, tayhiap!”

Ia memanggil Cio San tayhiap!

Penghargaan tertinggi dalam dunia Kang Ouw.

Cio San malah berlutut dan bersujud,

“Terima kasih atas petunjuk, suhu”

“Ah aku tak pantas pangcu panggil sebagai suhu, justru seharusnya aku lah yang memanggil pangcu demikian”

Mereka berdua berdiri. Ada perasaan saling menghormat yang dalam.

Mereka hanya saling pandang dan saling mengagumi kehebatan satu sama lain.

Anak muda yang penuh bakat, dan orang tua sakti yang rendah hati.

Saling mengakui kehebatan masing-masing.

Di dunia ini jarang sekali ada orang yang mau mengakui kehebatan, kepandaian, dan kelebihan orang lain. Kita biasanya lebih suka mencibir. Karena sesungguhnya kita begitu iri dengan apa yang mereka miliki.

Orang jika sudah mampu mengakui orang lain, maka ia sebenarnya telah menaiki satu tahap dalam kebijaksanaan. Ia membuka diri terhadap perubahan, agar dapat memperbaiki dirinya.

Dari kejauhan terlihat titik hitam di atas langit.

Setelah semakin dekat titik itu menjelma menjadi sekawanan burung yang terlihat ramai sekali.

Cukat Tong dan Suma Sun bergelantungan kepada burung-burung itu.

Cio San tersenyum.

Selamat datang sahabat!

Related Posts:

0 Response to "Bab 58 Sebuah Tongkat Hijau"

Posting Komentar