Bab 55 Pernah Datang, Pernah Hidup, Pernah Cinta




Ketika ia kembali lagi, teman-temannya masih menunggunya di tempat yang sama.

“Terlambat” kata Cio San. “Mari kita lanjutkan saja perjalanannya”

Mereka pun berangkat. Di jalan Cio San bertanya,

“Bagaimana kalian bisa sampai tertangkap?”

“Seseorang menaruh racun ke dalam makanan kami. Untunglah racun itu bukan racun yang berbahaya. Hanya untuk membius. Setelah bangun tahu-tahu kami sudah tertotok” jelas Cukat Tong.

“Kalian makan di mana?” tanya Cio San lagi.

“Saat itu kami berhenti di sebuah warung pinggir jalan di dekat hutan. Warung biasa yang memang buka di tempat seperti itu, khusus bagi pelancong-pelancong yang melintas antar kota” kata Cukat Tong.

“Oh” kata Cio San sambil mengangguk-angguk.

“Kau sendiri, apa saja yang kau alami?” Cukat Tong balas bertanya.

Cio San menjelaskan kejadian di bukit bunga Bwee, pertemuan dan perkelahiannya dengan Ji Hau Leng, serta kejadian di Kay Pang.

“Jadi kau sekarang Kay Pang pangcu?”

“Secara tidak resmi. Haha” kata Cio San sambil tertawa.

“Eh, apa yang membuatmu curiga sehingga kau tadi kembali lagi ke lembah seribu kupu-kupu?” tanya Cukat Tong lagi.

“Pada awalnya, aku bingung. Karena aku tahu Man-wangwe tidak berbohong saat ia berkata ia tidak tahu keberadaan kalian. Bahasa tubuh dan raut wajahnya memang memperlihatkan bahwa ia berkata jujur. Karena itulah aku sempat ragu.”

“Tapi begitu melihat keyakinan Suma Sun, aku justru yakin jika Man-wangwe berbohong. Mungkin Man-wangwe sangat ahli dalam berbohong sehingga aku tidak bisa membedakannya”

“Nah, saat Bwee Hua menceritakan semua cerita bohongnya, aku justru percaya! Padahal justru sebaliknya, Man-wangwe yang berkata jujur, dan Bwee Hua yang berbohong. Rupanya justru Bwee Hua lah yang menguasai ilmu berbohong ini, haha”

“Memangnya ada ilmu demikian?” tanya Cukat Tong.

“Mencuri saja ada ilmunya, kenapa berbohong tidak?” tukas Cio San.

“Lalu apa yang membuatmu curiga sehingga kembali lagi?”

“Aku melihat si nenek tua itu menggunakan pewarna kuku dan gelang”

“Heh, memangnya apa hubungannya?”

“Pada awalnya aku tidak menyadari. Tapi setelah kita keluar lembah tadi, ada sebuah kesalahan yang dibuat Bwee Hua yang terlambat kusadari”

“Apa?”

“Bwee Hua bilang, ibunya sudah lama menjadi seperti itu. Kehilangan kecantikannya dan sudah tidak pernah mengurusi diri lagi. Jika perempuan tidak perduli lagi dirinya, masakah masih bisa pakai pewarna kuku dan gelang segala?”

“oh, begitu” tukas Cukat Tong.

“Begitulah, saat aku kembali si nenek tua itu sudah mati”

“Bwee Hua tega membunuh ibunya sendiri?”

“Tentunya itu bukan ibunya. Beng Liong benar. Bwee Hua yang asli ya Bwee Hua yang muda itu. Rupanya ia benar-benar sudah menguasai ilmu merawat tubuh sehingga tubuhnya benar-benar awet muda seperti itu” jelas Cio San. Lalu lanjutnya,

“Sebenarnya kau tahu kan siapa Bwee Hua itu sebenarnya?”

“Eh, bicara apa kau ini?” kata Cukat Tong sedikit tergagap.

“Sudahlah, kita bahas lain kali saja” kata Cio San sambil menepuk pundak Cukat Tong.

Dalam 3 hari,  perjalanan mereka sampai di kota Tho Hoa. Selama perjalanan, Cio San membantu memulihkan keadaan Suma Sun. Si Dewa Pedang ini pulih dengan cepat. Mungkin karena tenaga sakti dari Cio San, dan tenaga dalamnya sendiri. Ia kini sudah dapat berjalan sendiri dan pendengarannya berangsur-angsur membaik. Menurut perhitungan Cio San, dalam 1 bulan saja, Suma Sun mungkin sudah akan pulih seperti sedia kala.

Begitu memasuki gerbang kota Tho Hoa, sudah ada orang yang menyambut mereka. Cio San masih mengingat orang ini. Dia adalah Huan Biau. Orang yang dulu datang ke restoran Lai Lai untuk memperbaiki bangunan Lai Lai yang hancur karena pertempuran.

“Selamat datang para hoohan (orang gagah). Nama cayhe adalah Huan Biau. Orang suruhan Khu Hujin. Beliau mengundang hoohan sekalian untuk sudi mampir ke kediaman beliau” kata orang itu sambil menjura.

“Salam hormat kepada kaucu dan Seng Koh (perawan suci)!” tiba-tiba hadir pula beberapa orang memberi hormat kepada Cio San. Ia masih ingat, orang-orang ini pernah datang ke Istana Ular dulu.

“Salam. Berdirilah” kata Cio San

“Kami telah menyiapkan tempat bagi kaucu, Seng Koh, Cukat-tayhiap, dan Suma-tayhiap untuk beristirahat” kata salah satu dari anggota Mo Kauw yang baru datang itu.

“Anggota Kay Pang menyambut pangcu!” terdengar teriakan lagi. Ternyata ada beberapa anggota Kay Pang yang datang. Dalam rombongan itu ada pengemis Cun juga.

“Aishh” kata Cio San sambil eleng-geleng kepala. Ia menyambut kedatangan para anggota Kay Pang itu sambil menjura dan tersenyum,

“Apa kabar? Cun-totiang?”

“Baik pangcu” pengemis Cun menjura.

Huan Biau berkata,

“Aih, Cio-tayhiap masih muda begini sudah menjadi kaucu dan pangcu 2 partai terbesar di Kang Ouw” pujinya sambil menjura.

“Ah..tidak berani..tidak berani. Justru tugas seberat ini tidak berani ku pegang” kata Cio San

“Aha, tidak berani pegang tugas kan bukan berarti tidak pantas” kata Huan Biau tersenyum.

Cio San hanya menghela nafas dan tersenyum.

“Sesungguhnya cayhe bingung harus menerima undangan yang mana”

“Semua cayhe serahkan kepada kebijakan tayhiap” kata Huan Biau.

“Hmmmm”

“Perlu tayiap ketahui, Khu hujin kini sedang tidak berada di tempat. Nanti malam baru pulang. Tapi beliau memesan kepada cayhe untuk segera mengundang tayhiap, karena besok di rumah Khu hujin akan diadakan perjamuan”

“Perjamuan?”

“Iya. Beberapa hari ini, kota kami banyak didatani orang gagah. Rupanya kota kami ini dijadikan tempat persinggahan para orang gagah menuju puncak Thay San. Karena begitu banyaknya, sehingga Khu Hujin merasa, harus membuat penyambutan yang selayaknya bagi orang-orang gagah” jelas Huan Biau.

“Oh begitu. Baik. Begini saja. Bagaimana jika cayhe dan sahabat-sahabat cayhe datang besok saja pada acara perjamuan besok siang?”

“Baik. Tidak apa-apa”

“Baiklah. Terima kasih sekali atas undangan Khu hujin. Dan terima kasih Huan-enghiong sudah mau bersusah payah menyambut kami di depan gerbang sini” kata Cio San sopan.

“Ah tidak berani..tidak berani. Cio-tayhiap terlalu sungkan. Baiklah cayhe minta diri. Kita bertemu besok di kediaman hujin?”

“Baik. Terima kasih Huan-enghiong” kata Cio San sambil menjura.

“Terima kasih. Cayhe mohon diri. Selamat siang”

Huan Biau pun pergi.

Cio San lalu bertanya,

“Menurut kalian, bagaimana enaknya ini? Apakah aku harus ke markas Mo Kauw dulu atau ke markas Kay pang?” tanyanya.

Semua orang tidak ada yang berani menjawab.

Jika Cio San memilih pergi ke markas Mo Kauw, maka ia meremehkan Kay Pang. Tetapi jika ia pergi ke markas Kay Pang, maka ia meremehkan Mo Kauw.

“Begini saja. Aku menginap saja di penginapan. Dengan begitu semua akan merasa adil. Semua anggota Mo Kauw dan Kay Pang bersiap-siap dan berjaga-jaga di penginapan itu. Jika kupanggil harus datang. Bagaimana?”

“Setuju!” mereka menjawab dengan kompak.

“Bagus. Sekarang tunjukan padaku penginapan yang bagus”

Supaya tidak terlalu mencolok, Cio San membubarkan dulu puluhan anggota Mo Kauw dan Kay Pang yang tadi menyambutnya. Ia hanya meminta satu orang dari Mo Kauw untuk mengantarkannya ke penginapan. Sampai di sana mereka memesan 3 kamar. Satu untuk Ang Lin Hua dan Sie Peng. Satu untuk Cukat Tong dan Yan Thian Bu. Satunya lagi untuk Cio San dan Suma Sun.

Mereka beristirahat sampai pagi di sana.

Paginya Cio san sudah rapi.

Ia keluar untuk melihat-lihat keadaan kota sekitarnya. Kota yang sangat indah, megah, dan maju sekali. Rupanya perdagangan Kh Hujin yang sukses, turut mengangkat maju kotanya ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ini juga adalah kota gurunya, Kam Ki Hsiang?

Berpikir bahwa dulu gurunya dan Khu Hujin pernah memadu kasih di kota ini, menimbulkan perasaan haru dalam hatinya.

Sambil jalan-jalan ia bertemu dengan banyak anggota Kay pang dan Mo Kauw. Cio San berbincang-bincang dengan mereka. Bertanya-tanya banyak hal. Bahkan juga mentraktir mereka minum arak.

Kaum laki-laki memang jika sudah berkumpul, terlihat sangat menikmati waktu mereka.

Cio San dan puluhan anggota Mo Kauw dan Kay Pang itu pesta arak sampai mabuk. Bahkan mereka mampir juga ke rumah judi untuk sedikit bersenang-senang. Ini untuk pertama kalinya Cio San bermain judi. Rasanya menyenangkan!

Entah karena beruntung, atau karena otaknya yang cerdas, Cio San menang banyak hari itu. Uang hasil kemenangannya ia bagi-bagi. Bahkan dipakai juga untuk membeli arak lagi.

Orang-orang yang lalu lalang walaupun tidak terlalu terganggu, setidaknya merasa risih juga dekat-dekat dengan puluhan orang berpenampilan kotor dan awut-awutan itu. Cio san yang tadinya rapi dan bersih kini juga sudah ikut awut-awutan dan ketularan kotor.

Dalam hatinya, terdapat perasaan yang sangat riang. Ia jauh lebih nyaman berkumpul dengan orang-orang seperti ini, daripada berkumpul dengan orang-orang ‘terhormat’ yang baginya kadang terlalu banyak basa-basi dan aturan.

Walaupun sejak kecil Cio San sudah diajari sopan santun, dan tata bahasa yang tinggi oleh ayahnya, tetap saja ia merasa lebih enak bergaul dengan para “Siau Jin” (orang rendahan). Baginya mereka adalah bagian dari dirinya, dan dirinya adalah bagian dari mereka.

Saat enak-enakan mabuk dan duduk di tepi jalan, mata Cio San tertumbuk pada seseorang.

Mey Lan!

Mengapa Mey Lan ada disini?

“Kalian tunggu di sini ya, aku segera kembali” katanya kepada para anak buahnya.

“Siap ketua!”

Ia lalu bangkit dan menguntit Mey Lan.

Rupanya Mey Lan sedang berbelanja. Ia memasuki sebuah toko perhiasan yang sangat besar. Saat membaca papan namanya, tahulah Cio San jika itu adalah toko milik Khu Hujin juga.

Lama sekali Mey Lan berada di toko itu.

Ada dua hal kesukaaan perempuan yang lelaki paling malas menungguinya. Berbelanja dan berdandan. Ironisnya, jika hasil belanja itu ia pakai, dan hasil dandanannya terlihat cantik, justru laki-lakilah yang paling bahagia.

Kini Mey Lan telah keluar toko itu. Wajahnya terlihat lebih berseri-seri daripada sebelum masuk tadi. Rupanya ia sudah membeli barang yang disukainya.

Kerinduan dan rasa kangen setelah sekian lama berpisah, membuat Cio San sudah tak dapat menahan dirinya lagi.

“Meymey” panggilnya.

Kwee Mey Lan menoleh.

Ketika dilihatnya orang yang memanggilnya itu tidak ia kenal, ia meneruskan lagi jalannya.

“Meymey pasti sudah lupa ya?” kata Cio San lagi.

Mey Lan hafal sekali suara itu. Tapi kenapa pemilik suaranya berbeda?

“Tuan apa salah mengenal orang?” tanyanya

“Ah tentunya meymey pangling dengan aku ya. Aku adalah San-ko (kakak San) mu” kata Cio San sambil tersenyum.

“San-ko? Hah? Bagaimana mungkin. Kau mabuk ya?” ia berkata begitu karena mencium arak dari mulut dan tubuh Cio San. Cepat-cepat ia berpaling dan ingin berlari

Jika ada orang berbau arak yang tidak kau kenal menyapamu, tentulah kau akan berpikir dia sedang mabuk berat.

“Masih ingat di telaga Lin Cin? Kau berlari mengejar kupu-kupu sampai terjatuh dan lututmu luka? Kau memintaku untuk tidak menceritakannya kepada ayahmu. Karena ia telah melarangmu untuk pergi kesana mengejar kupu-kupu. Karena saat kau kecil, kau pernah terperosok di jurang karena hal itu”

“Atau kau masih ingat saat malam-malam kita menyelinap pergi ke toko man thau karena tiba-tiba kau ingin makan man thau. Saat pulang kau ku ajak adu lari”

“Atau masih ingat kah kau saat kau kupetikkan bunga lalu kau marah-marah karena kau lebih suka bunga tetap menempel pada pohonnya?”

Mey Lan berbalik. Cerita itu tentu saja diingatnya.

Diingat sepenuh hatinya.

Kenapa orang kotor berbau arak di depannya ini tahu sekali?

“San-ko…kenapa…kenapa wajahmu berubah? Kau  bukankah tadi yang berada dipinggir jalan bersama orang-orang itu kan? Aku melihat kalian keluar dari rumah judi”

“Saat bersama engkau dulu, aku sedang sakit. Sakit itu mempengaruhi wajahku sehingga pucat dan berkerut-kerut. Aku pun pergi meninggalkanmu adalah untuk menyembuhkan sakitku itu. Kini aku sudah sembuh”

“Aih benarkah. Aku turut bahagia untukmu San-ko” kata Mey Lan sambil tersenyum.

Tapi Cio San merasakannya.

Sesuatu yan berbeda.

Kenapa senyumnya terasa pahit? Kenapa ia tidak segera lari memelukku? Apakah karena aku kotor dan berbau arak?

“Kau..kau ada apa ke kota ini?” tanya Mey Lan. Ia tidak melangkah maju ke depan, tapi agak mundur sedikit ke belakang.

“Eh..aku berkelana saja. Sebenarnya aku dalam perjalanan pulang ke Lai-Lai”

“Oh” Mey Lan hanya mengangguk-angguk.

Mengapa semua ini terasa aneh?

“Lan-mey (adik Lan), siapa ini?” tiba-tiba ada suara yang keluar dari toko di sebelah Cio San.

“Eh, Bun-ko (kakak Bun)” Mey Lan terlihat kaget. “Perkenalkan, ini A San. Dulu pernah bekerja sebagai pegawai ayah. Dia tukang masak kami” katanya

“Oh..” kata orang yang dipanggil Bun-ko oleh Mey Lan ini.

“Salam kenal” kata Cio San menjura. Padahal lelaki di depannya ini tidak menjura kepadanya.

“A San, ini suamiku namanya Lim Gak Bun. Dia pendekar dari Kun Lun Pay” kata Mey Lan kepadanya.

“Ah, pendekar dari Kun Lun Pay? Sungguh gagah” puji Cio San tulus sambil menjura lagi.

Lim Gak Bun hanya mengangguk sedikit.



“Kau sudah selesai berbelanja?” tanya Lam Gak Bun.

“Belum. Masih ada beberapa barang lagi yang harus ku beli” kata Mey Lan.

“Perlu kutemani?”

“Tidak usah, Bun-ko. Kau tunggu saja di restoran itu. Aku sebentar saja, kok” kata Mey Lan.

“Baiklah” Ia menoleh dan mengangguk sedikit kepada Cio San lalu kembali ke restoran tempat tadi ia menunggu.

“A San, aku pergi dulu. Sampai jumpa ya. Kau mampir-mampir lah ke Lai Lai” kata Mey Lan

Ditinggal pergi oleh dua orang ini, Cio San jadi bingung sendiri. Akalnya sudah bisa membaca cerita yang baru saja terjadi di depannya.

Segera ia pergi juga. Tapi ia memutar jalan. Begitu dilihatnya Mey Lan memasuki sebuah sebuah jembatan kecil, dia pun sudah tiba di belakang Mey Lan.

“Meymey, kau bisa jelaskan semua kejadian tadi?”

Mey Lan berhenti berjalan. Ia hanya diam dan tidak menoleh.

Ketika menoleh, air mata sudah menetes dari pipinya.

“Kau kemana saja selama ini? Selama beberapa bulan ini kenapa kau begitu egois dan meninggalkan aku? Apa kau tahu aku kesepian, dan merindukanmu?”

Cio San tak tahu harus berkata apa.

“Lalu dia datang. Dengan segala kegagahannya. Dengan segala perhatiannya. Ia mengisi ruangan kosong yang telah kau tinggalkan. Apakah aku salah memilihnya? Apakah aku terlalu bodoh untuk tidak menunggumu? Menunggu kepulanganmu yang tidak pernah pasti. Bagaimana jika kau tidak pernah kembali?”

“Apa kau akan menuduhku kejam karena memilih sesuatu yang pasti daripada sesuatu yang tidak pasti?”

“Aku..aku hanya bosan menunggumu. Aku bosan dalam ketidakpastian. Umurku bertambah. Waktu berjalan sangat cepat dan tahu-tahu kita menjadi tua. Lalu dia datang. Menawarkan tangannya untuk kugenggam. Menawarkan hidupnya untuk ku masuki. Apakah aku salah?”

“Ia menwarkan hidup yang menggairahkan. Petualangan. Dunia dan tempat baru yang tidak pernah ku lihat. Aku tak ingin seumur hidup menghabiskan waktu di Lai Lai. Aku ingin berkembang dan melihat dunia luar. Aku ingin merasakan serunya berpetualang.”

“Aku…aku tak ingin hidupku dihabiskan hanya untuk memasak saja.”

“San-ko bisa mengerti aku?”

Cio San mengangguk. Walau air matanya menetes pun, ia tetap mengangguk.

Entah kenapa hujan pun turun. Mungkin langit ingin membantunya menyembunyikan air mata. Ataukah langit pun ingin turut menangis bersama mereka.

Perempuan meneteskan air mata.

Lelaki pun juga.

Langit pun juga.

Seluruh dunia sebenarnya menangis. Lalu kenapa perempuan disalahkan karena terlalu sering menangis? Dan kenapa pula lelaki disalahkan karena ikut meneteskan air mata juga?

Manusia menangis, karena sudah tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari mulut mereka.

Seharusnya namanya bukan air mata. Harusnya namanya adalah air hati. Karena air itu benar-benar lahir dari hati. Mata hanya muaranya.

Entah kenapa pula hujan menjadi selebat ini?

Kedua orang itu berdiri di atas jembatan.

Saling menatap dan tak bergerak.

Lalu Cio San mengangguk dan berkata,

“Meymey pergilah. Aku telah rela. Aku tak akan menahanmu, tak akan menuduhmu yang macam-macam. Tak akan menyalahkanmu. Semua ini adalah kesalahanku.” Ia berkata begitu sambil tersenyum.

Mey Lan pun tersenyum.

Bagaimana pun lelaki di depannya ini pernah datang mengisi hari-harinya. Pernah hidup di dalam mimpi-mimpinya. Dan pernah cinta di dalam relung hatinya.

“Pernah datang, pernah hidup, dan pernah cinta” hanya ucapan itu yang keluar dari bibir Mey Lan.

Tapi Cio San mengerti sekali artinya.

Kata “pernah” adalah kata yang paling menghujam jiwa.

Karena pernah, bisa berarti “sudah tidak”.

Jika perempuan yang kau cintai sudah tidak mencintaimu, maka adalah hal yang paling memalukan untuk memaksanya kembali mencintaimu. Karena cinta adalah hal yang paling tidak bisa dipaksakan di muka bumi ini.

Hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah merelakannya pergi, sambil menyimpan baik-baik kenangan yang tersisa.

Hal terbaik yang bisa kau harapkan adalah mengharapkannya bahagia bersama siapapun yang kini ia cintai.

Yang paling terhormat adalah mundur sejauh-jauhnya dan mengakui kekalahanmu. Bahwa kau tak mampu mempertahankan hal paling penting dalam hidupmu.

Jika kau memaksakannya untuk kembali kepadamu, bukankah itu berarti kau tak cinta kepadanya? Jika kau cinta, maka kau akan ikut bahagia melihatnya bahagia.

Kau boleh menangis atau meratap. Tapi kau pun tak boleh menipu dirimu sendiri dengan berharap bahwa masih ada sedikit sisa-sisa cinta di hatinya untukmu.

Karena jika wanita sudah pergi, maka ia akan pergi selamanya. Ia tak akan meninggalkan sisa-sisa cintanya kepadamu.

Maka, kau hanya bisa mengucapakan “selamat jalan” kepadanya. Berharap ia akan menemukan apa yang selama ini dicari-carinya.

Kau pun tak mungkin bisa membencinya, karena sebenci-bencinya kau kepadanya, toh dalam hatimu kau tahu kau menyayanginya.

Cinta di hati lelaki, kadang hilang tak berbekas. Namun kadang juga masih menempel bagai noda yang tak bisa hilang.

Noda noda ini mengisi hatimu, menjadikan hidupmu lebih berwarna. Memberimu banyak pelajaran tentang kehidupan.

Bahkan mungkin noda inilah yang membangkitkanmu dari tidur panjang dan kelenaanmu. Karena kadang kebahagiaan membuat orang terlena dan cepat puas.

Hanya rasa sakitlah yang membuat seseorang bangkit dan menyongsong kehidupan. Hanya kepedihanlah yang mampu memicu seseorang untuk memperbaiki masa depannya.

Dan di suatu saat nanti, di masa depan nanti, kau akan menatap hari ini dengan penuh senyuman, dan berkata:

“Hari itu adalah hari di mana aku jatuh, tapi juga hari di mana aku bangkit”

Hari itu yang membuatku kini kuat dan gagah seperti sekarang ini.

Hari itu adalah hari dimana aku membuktikan diri kepada dunia bahwa tak ada satu pun hal yang mampu menistakan harga diriku!

Tak ada satu pun hal yang mampu memisahkanku dari takdir masa depanku!

Tak ada satu pun hal yang mampu meruntuhkan jiwaku!

Api Jiwaku tak akan padam oleh banyaknya air mata yang ku teteskan hari ini!


Cio San lalu berbalik pergi. Mey Lan memanggilnya,

“San-ko, maukah kau mendengar pesan terakhirku untukmu?”

Ia tak melanjutkan langkahnya. Bibirnya berujar pelan, “katakanlah”

“Kau hiduplah sebagai orang baik. Karena aku tahu kau adalah orang yang baik. Berusahalah untuk melihat dunia lebih terbuka dan lebih luas. Ada hal-hal di dunia ini yang masih bisa kau pelajari. Jadilah pria yang yang bisa melindungi kekasihnya. Jadilah pria yang bisa menghidupi kekasihnya. Kau tahu maksudku. Bukan?”

Cio San melangkah pergi.

Ia takut jika ia menoleh, ia tak akan sanggup pergi. Sama seperti dulu saat pertama kali ia meninggalkan Mey Lan.

Tapi di lubuk hatinya ia tahu, perginya kali ini adalah kepergian untuk selama-lamanya dari kehidupan Mey Lan.

Ia pun tahu, walaupun hatinya sanggup merelakannya, bibirnya ini tentu saja tak sanggup mengucapakan “selamat tinggal”.

Heran. Mengapa ia yang melangkah pergi, tetapi terasa justru nona itu lah yang pergi?

Orang-orang yang meninggalkanmu?

Mereka tidak benar-benar pergi,

Mereka menjadi bagian dari dirimu,

Menjadi pembentuk jiwamu,

Dalam hatinya ia tahu, sangat menyakitkan untuk berpisah dengannya, tapi amat jauh menyakitkan untuk bertemu kembali dengannya

Langkahnya tetap ia ayunkan. Walaupun setiap langkah itu terasa bagai anak panah yang menghujam dadanya. Ia tetap melangkah. Selain melangkah pergi, memangnya apa yang bisa kau lakukan terhadap perempuan yang sudah tidak mencintaimu?

Datang.

Pergi.

Bukankah itu inti dari kehidupan manusia?

Mengapa tak ada seorang pun yan menyadarinya? Jika manusia menyadarinya tentulah mereka tak akan banyak menangis.

Jika kau benar-benar pergi dari kehidupannya, jalan satu-satunya untuk tetap mencintainya adalah bukan berusaha untuk memilikinya lagi. Jalan satu-satunya adalah mendoakannya setiap saat. Mendoakan agar ia benar-benar bahagia atas pilihan-pilihannya.

Doa yang tulus seperti itu adalah doa-doa yang menggetarkan langit.

Di dunia ini, begitu banyak orang seperti ini. Yang tetap mendoakan hal terbaik bagi orang yang pernah menyakiti dan melukainya. Orang-orang seperti inilah yang pantas di sebut sebagai PARA PENGGETAR LANGIT.

Langit pun tergetar oleh ketulusan mereka.

Apalagi dunia?

Dunia mungkin akan menertawakan mereka. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, orang-orang di dunia in pun mengakui betapa beruntungnya mereka menjadi orang-orang yang tulus.

Cio San melangkah pergi. Entah ia kini sudah berada di mana.

Ia duduk di pinggir sungai. Sudah beberapa jam ia ada di sana. Melihat airnya yang bening yang menadahi hujan yang deras. Hati manusia haruslah seperti itu.

Apapun ia terima, dan menjadikannya bagian dari dirinya. Orang boleh melemparkan apapun ke sungai. Langit boleh menurunkan apapun ke sungai. Tapi sungai tetaplah sungai. Dengan kelembutannya, ketenangannya, dan kedamaiannya.

Ia kini duduk dan tersenyum. Senyum yang gagah. Seorang laki laki boleh dilukai, boleh dihina, boleh diremehkan. Tetapi ia akan bangkit dan membuktikan bahwa ia justru lebih baik dari semua itu.

Lelaki seperti ini, akan menjatuhkan hati siapa saja. Waktulah yang akan membuktikan semuanya.

“tolong..tolong” tiba tiba terdengar suara seorang wanita.

Sekejap saja Cio San sudah berada di hadapan wanita itu, “Ada apa?”

“Anakku tercebur selokan. Airnya menyeretnya. Tolong tuan..tolong tuan”

Dengan pandangannya yang tajam, Cio San sudah berhasil melihat anak itu. Dengan sekali gerakan ia sudah melompat, menangkap anak itu sambil bersalto.

“Oh terima kasih…terima kasih….” Kata Ibu itu sambil menangis. Cio San memeriksa anak itu, “untunglah belum terlambat” Dengan sekali menekan sebuah titik di dadanya, anak itu sudah memuntahkan air yang tadi ditelannya.

“terima kasih tuan…terima kasih”

Cio San mengangguk, dan beranjak pergi.

Ada kebahagiaan di hatinya saat menolong orang.

Memang kebahagiaan terbaik adalah saat engkau berguna bagi orang lain.

Jika di dunia ini pilihanmu cuma bahagia dan kecewa, mengapa kau pilih kecewa?

Ia berjalan lagi. Tubuhnya kini bau comberan setelah tadi menolong dan menggendong anak kecil yang terjatuh itu. Tiba-tiba ia teringat,

“Ah bukankah undangan Khu Hujin itu saat ini ya?” katanya dalam hati. Ia lalu pergi ke tempat kediaman Khu Hujin.

Rumahnya sungguh besar. Tanah halamannya saja luasnya hampir tak dapat dipercaya. Di gerbang depan rumah ini sudah terlihat keramaian. Huna Biau berada di depan menerima tamu. Hujan sudah tidak sederas tadi, tapi masih banyak tamu yang datang memakai payung.

“Ah Cio-tayhiap silahkan-silahkan” kata Huan Biau menyambutnya. Ia tidak bisa bercakap-cakap lama dengan Cio San karena harus menyambut tamu yang lain.

Cio San melangkah masuk. Banyak sekali orang yang datang. Semua datang dengan pakaian bagus dan kering. Hanya Cio San yang muncul dengan pakaian basah dan berbau comberan pula. Di halaman ini ia banyak menemui orang tak dikenalnya.

Tapi ada juga beberapa orang yang ia kenal,

5 pedang butongpay salah satunya,

“Selamat siang saudara” katanya sambil menjura.

Mereka menatapnya penuh kebencian. “Selamat siang” mereka menjawab pendek. Lalu mempercepat jalannya.

Cio San tersenyum saja sambil geleng-geleng.

Mereka kemudian sampai ke sebuah balairung yang sangat luas. Sudah banyak meja yang tertata disana. Orang sebanyak ini, tidak ada satu pun yang tak dapat tempat. Semua duduk di meja masing-masing. Karena di setiap meja terdapat nama-nama.

Cio San melihat ada Mey Lan juga bersama suaminya. Gaunnya terlihat cantik. Perhiasan yang dipakainya pun tampak sangat indah.

Melihat Cio San datang, Mey Lan malah semakin mesra kepada suaminya. Menggelayut di lengannya, dan berbicara sangat mesra kepada suaminya itu.

Wanita jika memiliki kekasih, sejelek apapun, ia tetap ingin memamerkannya kepada dunia.
Tetapi lelaki jika memiliki kekasih buruk rupa, sebisa mungkin ia menyembunyikan mereka di dapur.

Dan kadang-kadang, jika seorang wanita tahu kau menyukainya, maka ia akan semakin mesra kepada kekasihnya di hadapanmu. Hanya untuk sekedar membuatmu merasa gila.

Cio San tersenyum saja melihatnya. Lam Gak Bun tidak membalas senyuman itu dan berlagak tidak kenal. Tukang masak seperti A San, mana berharga di depan matanya?

Ia menuju meja satu persatu. Mencari namanya. Orang yang sudah duduk duluan di meja, seperti hendak menutup hidung ketika ia lewat. Penampilannya saat itu memang jauh lebih buruk dari angota Kay Pang manapun.

Di meja berikutnya pun, Cio San diperlakukan sama.

“Meja ini bukan untukmu!” bentak orang yang duduk di situ.

“Baik. Maaf-maaf” kata Cio San sambil tersenyum dan terbungkuk-bungkuk.

Dia sudah mengelilingi semua meja, tapi tidak ada satu pun tempat baginya. Orang-orang di sana pun tak ada yang mau jika Cio San duduk di situ. Akhirnya dia memilih berdiri saja di pojok belakang ruangan.


Saat ini, kau mungkin hanya duduk di pinggiran. Menatap orang yang lewat, melihat tawa dan kebahagiaan mereka. Lalu mungkin kau bertanya-tanya kepada dirimu sendiri, "kapan aku akan seperti mereka?". Hingga tanpa kau sadari, ketika dunia berputar, orang lain lah yang bertanya-tanya kepadamu " Kapan aku seperti engkau?"

Tibalah saatnya.

Sang tuan rumah memasuki ruangan.

Khu hujin nampak sangat cantik dan berwibawa.

Beliau berbasa-basi sebentar. Mengucapkan selamat datang kepada tamu. Acara ini memang hanya sekedar acara ramah tamah, guna saling memperkenalkan diri.

Para enghiong yang berada di sana juga semuanya orang-orang tersohor. Cio San beruntung sekali diundang kesini, dengan begitu ia dapat mengenal banyak orang.

“Semua sudah memperkenalkan nama, bukan? Kini saatnya aku memperkenalkan seseorang yang sangat dekat denganku. Bahkan sudah kuanggap anak sendiri. Para enghiong harap perkenalkan, Cio San. Kaucu dari Mo Kauw sekaligus Pangcu dari Kay pang”

Cio San terhenyak. Orang-orang di sana lebih terhenyak lagi.

Siapa gerangan di dunia ini yang bisa menjadi ketua dari dua partai yang jumlah anggotanya paling banyak di seluruh dunia Kang Ouw ini?

“Mari San-ji maju saja, jangan malu-malu” Khu Hujin memanggilnya San-ji, Anak San!

Cio San melangkah maju.

Betapa kaget orang-orang ketika tahu bahwa Pangcu merangkap kaucu ini adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang bajunya kotor serta tubuhnya berbau comberan ini? Dari mulutnya tercium bau arak pula!

“Kau dari mana saja San-ji? Mengapa basah kuyup begitu?” tanya Khu Hujin sambil tersenyum.

Entah mengapa Cio San merasa Khu Hujin ini memandangnya seperti pandangan seorang ibu memandang calon menantunya.

“Anak tadi terpeleset dan jatuh ke dalam comberan, Hujin”

“Hahaha” semua orang tertawa.

Seorang Kaucu merangkap Pangcu bisa jatuh terpeleset ke dalam comberan?

Jika ini bukan hiburan lawak yang disiapkan Khu hujin, orang-orang ini pasti menyangka mereka sedang bermimpi.

“Bajumu baru saja disiapkan. Kau ganti bajulah dulu” kata Khu Hujin.

Seorang pelayan menjemput Cio San dan mengantarkannya mandi dan membersihkan diri. Begitu kembali lagi, terperangah lah orang-orang melihat ketampanan dan kegagahan Cio San.

Tiba-tiba terdengar suara.

“Tamu dari Kaypang dan Mo Kauw sudah tiba”

Ratusan orang di luar kini memasuki ruangan. Herannya ruangan ini seperti mampu menampung lagi ratusan orang ini. Bahkan meja-meja sudah disiapkan dengan cepat bagi mereka.

Ada Cukat Tong, dan Ang Lin Hua ada juga di dalam rombongan ini.

“Ah, ada Raja Maling dan putri mendiang Ang-kaucu, Ang-siocia. Selamat datang” sambut Khu Hujin.

Semua orang menoleh. Ingin melihat seperti apa rupa si Raja Maling. Mereka juga terpesona dengan Ang Lin Hua yang cantik. Walaupun rambutnya masih putih semua, wajahnya kini telah kehilangan kerutan-kerutannya.

Cio San tersenyum memandang mereka.

Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menjadi serba salah seperti ini.

Berdiri di depan, dan menjadi pusat perhatian orang-orang.

Terdengar lagi suara dari luar.

“Beng Liong-tayhiap dari Butongpay dan Hong Sam Hwesio dari Siau Lim Pay tiba”

Semua orang kembali menoleh.

Hong Sam Hwesio muncul dengan wajah tersenyum dan wibawa yang sangat kuat. 

Yang paling mencengangkan tentu saja Beng Liong. Wajah tampannya, wangi tubuhnya, serta ketenangan dan pembawaannya yang begitu gagah, membuat hadirin perempuan yang ada di sana semua terpana.

Dalam ruangan itu, ada dua orang pria tampan yang membuat para wanita tak berani bernafas. Jika mereka disuruh memilih, mereka tentu akan melakukannya sambil tutup mata. Kedua-duanya sama tampan, sama gagah, dan sama menawannya.

“Mari Liong-tayhiap, dan Hong-totiang (tetua Hong), silahkan duduk di sini” kata Khu Hujin mempersilahkan. Dalam budaya Tionghoa, orang yang paling terhormat duduk di sebelah tuan rumah.

Mereka berdua duduk di sebelah kiri Khu Hujin. Hong Sam hwesio duduk di sebelah Khu Hujin, sedankan Beng Liong duduk di sebelah Hong Sam Hwesio.

Masih ada satu kursi kosong di sebelah kanan Khu Hujin.

“Aih, San-ji, mengapa kau berdiri saja di sana? Mari duduk sini”

Duduknya tepat di sebelah kanan Khu Hujin.

Cio San merasa malu sekali duduk di sana. Apalagi ia kini merasa sebagai pusat perhatian. Semua hadirin kini memandangnya. Walaupun sambil bercakap-cakap dan menikmati hidangan, pandangan mereka tidak lepas dari Cio San.

Di dunia ini, masakah ada orang seberuntung itu?

Menjadi ketua Mo Kauw, menjadi ketua Kay Pang, dan bahkan dianggap sebagai anak oleh wanita paling berkuasa dan paling kaya di seluruh Tionggoan.

Masih sangat muda dan tampan pula.

Ia tak pernah menyangka hidupnya akan seperti ini. Mendapat kehormatan seperti ini.


Cio San pun tahu ada sepasang mata yang tak pernah melepaskan pandangan darinya.

Mey Lan.

Dari kejauhan ia memandang Cio San.

Entah apa arti sinar matanya itu.

Tak terasa, bibir Cio San pun berucap,

"Pernah datang, pernah hidup, pernah cinta"


Related Posts:

0 Response to "Bab 55 Pernah Datang, Pernah Hidup, Pernah Cinta"

Posting Komentar