Makanan dan sajian dari Khu Hujin sungguh nikmat. Seperti tak ada habis-habisnya makanan di keluarkan dari dapur. Segala jenis makanan dan arak yang paling enak di seluruh Tionggoan sepertinya disajikan di sini.
Cio San yang memang kesukaannya adalah makanan enak, tentu saja menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia tidak perduli jika ada orang yang menganggapnya rakus. Makanan disajikan untuk dimakan, bukan?
Kerlingan mata gadis-gadis dan para lie-hiap (pendekar wanita) kepadanya bukan tidak ia sadari. Ia tahu, dirinya dan Beng Liong yang menjadi pusat perhatian sekarang ini. Sepak terjang Beng Liong yang gagah dan mengagumkan menjadi daya tarik tersendiri selain ketampanan dan keharuman tubuhnya yang tersohor.
Jika orang memperhatikan, betapa miripnya Beng Liong dan Cio San, tetapi juga terasa mereka sungguh jauh berbeda. Kedua-duanya sama-sama tampan, dan gagah. Muda dan terkenal pula. Siapa juga yang menyangsikan kehebatan ilmu silat mereka?
Tapi Beng Liong halus tutur kata dan gerak geriknya. Sedangkan Cio San lebih sembarangan dan bebas. Jika ketampanan Beng Lion membuat orang kagum dan sungkan, ketampanan Cio San membuat orang ingin akrab dengannya.
“Cio-tayhiap, masih ingat dengan cayhe?” terdengar suara seorang gadis
“Ah, Khu-siocia (nona Khu), bagaimana mungkin cayhe berani lupa?” jawab Cio San sambil menjura.
“Kejadian di restoran Lai-Lai beberapa bulan yang lalu, masih cayhe ingat selalu. Cayhe pun ingat belum sempat berterima kasih kepada tayhiap” kata gadis itu yang rupanya adalah Khu Ling Ling.
“Haha, kenapa panggil tayhiap?, jika aku sudah memanggilnya ‘anak’, bukankah kau harus memanggilnya ‘sicek’ (paman)?” kata Khu Hujin sambil tertawa, dan diikuti tertawa hadirin yang lain.
Tinggal Cio San yang tersenyum masam.
Tiba-tiba seseorang menukas,
“Khu-hujin, lebih pantas lagi jika Khu-siocia memanggil Cio-tayhiap dengan sebutan ‘suami’”
“Hahahahah” semua orang di dalam ruangan itu tertawa terbahak-bahak.
Khu Ling Ling wajahnya memerah, dan untuk menyembunyikannya ia menenggak cawan araknya perlahan-lahan.
Khu Hujin hanya tersenyum simpul memandang cucunya yang malu-malu itu. Lalu katanya,
“Urusan jodoh kan urusan anak muda. Kita yang tua-tua ini mengikut saja”
Seseorang kembali menukas,
“Jika Khu-siocia tidak cepat-cepat mengiyakan, bisa-bisa jodoh sebaik ini direbut gadis-gadis lain”
Semua orang tertawa lagi.
Khu Ling-Ling semakin perlahan meminum cawan araknya.
Cio San senyum-senyum sambil garuk-garuk kepala.
Tapi matanya pun tertumbuk kepada sepasang mata. Mata Kwee Mey Lan yang sejak tadi hampir tak pernah lepas memandang dirinya.
Di dunia ini, hanya perempuan satu-satunya makhluk yang sanggup memandangmu dengan perasaan cinta, benci, rindu, marah, cemburu, dan terluka sekaligus.
Itulah kenapa laki-laki tak pernah paham arti pandangan itu.
“Khu hujin yang kami hormati, dari mana asal usul Cio-tayhiap yang terhormat ini?” tanya salah seorang dari 5 Pedang Butong.
Pertanyaan ini halus dan wajar, tapi mengandung racun.
Khu Hujin tidak langsung menjawab, ia malah memandang Cio San. Begitu beliau ingin membuka mulut, Cio San sudah berdiri dan menjura.
“Rasa-rasanya harus cayhe sendiri yang bercerita tentang asal usul cayhe”
Ia lalu bercerita. Sebuah cerita panjang yang mengagumkan.
Tentang siapa orang tuanya. Bagaiamana mereka meninggal. Lalu kemudian ia berguru di Butongpay. Cerita tentang kematian gurunya Tan Hoat, yang meninggal secara mengenaskan. Cerita tentang pelariannya bersama A Liang. Tentang kehidupannya di dalam goa. Dan lain-lain. Semua ia ceritakan dengan ringkas dan jelas.
Orang-orang hampir tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
“Jadi kau…kau yang membawa lari kitab sakti Kam Ki Hsiang itu?” tanya salah seorang
“Cayhe tidak membawa lari apa-apa tayhiap. Sungguh cayhe tidak berbohong” jawab Cio san jujur.
“Tidak mungkin ilmumu meningkat begitu cepat tanpa guru yang mengajari. Tentunya pasti karena Cin-keng (kitab sakti) “ tukas salah seorang.
“Benar! Kami saja bisa ia kalahkan dalam satu jurus! Jika bukan karena kitab sakti tidak mungkin ada orang yang sanggup berbuat demikian”
Kata salah seorang anggota 5 Pedang Butongpay
“Kembalikan kitab itu!” semua orang kini sudah berdiri.
“Pertanggungjawabkan perbuatanmu!”
“Pengkhianat harus dihukum!”
“Saudara-saudara harap tenang! Mari kita bicarakan baik-baik” Khu Hujin mencoba menenangkan mereka, tetapi suasana sudah terlanjur memanas.
“Dengar!” teriak Cio San.
Kegagahan dan wibawanya kini tampak.
“Aku sudah bilang jika aku tidak mencuri kitab apapun. Siapapun yang tidak percaya, silahkan lakukan apa yang ingin dilakukannya terhadapku!”
“San-ji. Tenanglah” Khu Hujin menyentuh punggung Cio San mencoba untuk menenangkannya.
“Semua sudah seperti ini, hujin. Mungkin ini yang harus terjadi agar semua kesalahpahaman bisa diselesaikan” kata Cio San dengan tenang kepada nyonya besar itu.
“Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu” kata Khu Hujin sambil mengangguk dan tersenyum.
Cio San lalu melompat ke tengah-tengah ruangan yang memang kosong karena tata letak meja tamu-tamu berbentuk lingkaran.
“Aku tidak sanggup mengelak tuduhan, dan tidak punya bukti-bukti yang bisa membersihkan diriku. Siapapun yang merasa tidak puas, silahkan maju”
Golongan Mo Kauw dan Kay Pang yang semenjak tadi diam saja, kini pun mulai marah dan berkata,
“Siapa yang mengganggu ketua kami, akan berhadapan dengan kami!”
Mereka semua telah melompat ke tengah ruangan pula.
“Anggota Mo Kauw dan Kay Pang, dengarkan perintah!” kata Cio San dengan gagah
“Siap dengarkan perintah!” mereka semua berlutut dan berteriak. Teriakan itu membahana mengisi seluruh ruangan.
“Tidak boleh ada satupun anggota yang turut campur dalam masalahku. Jika tidak kuperintahkan bergerak, tidak ada satupun yang boleh meninggalkan mejanya. Sekarang kembali ke tempat semula!”
“Siap laksanakan perintah!”
Mereka semua kembali ke tempat semula. Dengan perasaan kagum dan bangga melihat kegagahan dan keberanian ketua mereka.
Ini baru yang namanya ketua!
“Nah, siapa yang masih tidak puas dengan penjelasanku, silahkan maju” kata Cio San tenang.
Seseorang melompat ke depan,
“Aku”
Tadi saat berkenalan, Cio San tahu orang ini bernama Su Beng Kong. Ketua Kong Tong pay!
“Salam hormat” kata Cio San menjura.
“Tidak berani..tidak berani” mulutnya tersenyum tapi tangannya tidak menjura.
“Jika kau kalah, apa yang akan kau lakukan?” tanya Su Beng Tong.
“Apapun yang kau inginkan” kata Cio San
“Aku ingin kau mengaku salah, dan mengembalikan kitab sakti itu kepadaku”
“Mengembalikan? Memangnya sebelumnya kitab itu punyamu?”
“Kitab itu adalah kitab rebutan orang-orang kang ouw. Sudah menjadi aturan, siapapun berhak merebutnya” kata Su Beng Kong.
“Baiklah. Bagaimana jika aku menang?” tanya Cio San
“Kau tak akan menang!” ia lalu membuat kuda-kuda.
Kong Tong pay terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Jurus ‘Tangan Besi dari Utara’ mereka sudah tersohor di dunia sejak lama.
Terlihat tangan Su Beng Kong mengeras dan mengeluarkan bunyi gemeratak. Seperti ada cahaya yang keluar dari kepalannya.
Jurus pertama!
Tangan Besi Meraih Awan.
Jurus ini terlihat lamban, tetapi menyimpan kekuatan dan tipu daya yang hebat. Tinju itu mengarah ke kepala Cio San. Anak muda ini mencoba menangkisnya, tetapi entah bagaimana tinju itu terbuka dan jari-jarinya sudah mengincar mata Cio San!
Ia hanya memundurkan badannya. Kakinya tetap ‘tertancap’ di tanah. Jari-jari ganas itu tetap mengincar matanya.
Kepalan tangan Su Kong Beng yang satunya lagi sudah menuju ke dada Cio San pula. Sangat cepat dan berat.
Dengan tangan kanannya Cio San hanya ‘menyentuh’ kepalan yang menyerang dadanya itu. Tapi kepalan itu malah meluncur deras ke arah kepala si pemukul sendiri.
Begitu derasnya sampai ia tak bisa menghentikan tangannya sendiri.
Dengan tangan satunya ia terpaksa menangkis serangan tangannya sendiri!
Beng Liong dan 5 Pedang Butongpay yang merupakan murid-murid utama Butongpay saja, belum pernah melihat Thay Kek Kun yang seperti itu. Mampu membelokkan tinju penyerang, untuk menyerang si penyerang itu sendiri!
Betapa kagetnya ketua Kong Tong Pay ini melihat begitu mudah jurusnya dipatahkan oleh anak ingusan seperti Cio San. Ia lalu menyiapkan jurus kedua,
Tangan Besi Menantang Api
Tinjunya dilancarkan sangat cepat. Seperti hendak memadamkan api. Memang angin yang ditimbulkan tinju ini terasa berat dan kuat. Bahkan piring-piring di belakang Cio san ikut tersapu karena angin ini!
Jurus ini malah mengingatkan Cio San kepada jurus 18 Tapak Naga.
Angin deras itu dihadapi dengan angin deras juga oleh Cio san. Dengan menggabungkan 18 tapak Naga dan Thay Kek Kun, ia menciptakan angin berputar yang menghilangkan semua angin serangan dari lawannya itu.
Begitu angin serangannya buyar, segera Su Beng Kong melenting dan dengan kakinya mengincar dagu Cio San. Tendangan mencungkil itu hanya tipuan, karena begitu Cio San menangkis tendangan itu, tinju Su Beng Tong sudah menghujam mengincar batok kepalanya.
Melihat serangan ganas ini, Cio San menerimanya dengan tangan kirinya yang mengeluarkan suara derik ular.
Blaaaangggg!
Terdengar suara seperti baja bertemu baja.
Tubuh Su Kong Beng sampai terlempar ke atas karena beradunya dua tenaga dahsyat itu. Cio San terlempar ke belakang, tapi dengan Thay Kek Kun ia sudah dapat mengatur langkah, dan menyalurkan tenaga dorongan itu ke kakinya.
Dengan menggunakan tenaga dorongan itu, ia malah mampu melenting dengan sangat cepat ke atas menyusul Su Beng Kong. Tendangan mencungkil yang tadi dikeluarkan Su Beng Kong kini dilakukan Cio San dengan lebih dahsyat, lebih cepat, dan lebih bertenaga.
Tendangan ganas itu pun tidak ia lancarkan ke dagu, hanya ke arah paha Su Beng Tong.
Kraaakkkk!
Terdengar suara patah.
Tentu saja tulang paha bagian belakang Su Beng Tong yang patah.
Ia terlempar lebih jauh lagi.
Untunglah Beng Liong sudah menangkapnya dengan menggunakan Thay Kek Kun sehingga ia tidak jatuh terhujam dengan deras ke lantai.
“San-te (adik San), berhati-hatilah” kata Beng Liong yang ditanggapi Cio San dengan senyuman.
“Terima kasih, Liong-ko” kata Cio San sambil menjura.
Aksi Beng Liong menangkap derasnya tubuh Su Beng Tong mendapat decak kagum pujian dari orang-orang karena hal ini sangat susah dilakukan. Tanpa Thay Kek Kun, malah hal ini menjadi mustahil. Karena jika tidak, derasnya tenaga hujaman ini malah berbahaya bagi orang yang mencoba menangkapnya. Sebaliknya jika tenaga orang yang menangkap memang lebih kuat, maka bertemunya tenaga hujaman dan tenaga orang yang menangkap, akan sangat berbahaya bagi orang yang jatuh itu. Itulah sebabnya sangat sulit dilakukan.
Tapi Beng Liong melakukannya dengan santai seperti tanpa kesulitan apapun.
Su Beng Kong meringis kesakitan karena tulang pahanya remuk. Sampai-sampai ia tak sempat mengucapkan terima kasih kepada Beng Liong yang tadi menolongnya. Ia kini duduk saja menyalurkan tenaga dalam ke kakinya, dan telah menotok beberapa titik untuk menghilangkan rasa sakit.
Cio San bertanya kepadanya,
“Su-tayhiap, bagaimana?
Su Beng Kong hanya mengangguk-angguk.
Dengan kalahnya ketua Kong Tong Pay ini, tentu saja mereka yang ilmunya dibawah orang ini, langsung mengkeret dan tak berani buka suara.
Seseorang melompat maju ke depan. Kali ini Cio San juga mengenal namanya, Sengkoan To. Ketua dari partai Pek Thian Pang. Sengkoan To adalah seorang yang berumur 50an, berbadan tegap dan rambutnya setengah botak. Ilmu tombak besinya sudah lumayan cukup memberi nama besar kepadanya.
“Cayhe mohon pelajaran dari Mo Kauw kaucu dan Kay Pang pangcu” katanya menjura.
“Silahkan” kata Cio San sambil memainkan ujung rambutnya.
Tangan kirinya sudah ia lipat ke belakang. Posisi bertarung yang paling disukainya.
Tombak telah keluar!
Sambarannya mengeluarkan suara “wuuuuuunggggg” yang memekakkan telinga. Tombak ini keseluruhannya dibuat dari besi baja murni yang sangat berat.
Dengan Thay Kek Kun, Cio San menyambut tombak itu. Tangan kanannya menerima tombak itu sambil tubuhnya serong ke kiri. Saat tombak itu terpegang, Sengkoan To memutar tombak itu dengan pergelangan tangannya. Gerakan ini sangat kuat, dan memang Sengkoan To telah melatihnya sejak bertahun-tahun, sehingga kekuatan putaran itu sukar dibayangkan.
Siapa yang pergelangan tangannya tidak kuat, tentunya telapak tangan dan jari-jarinya akan hancur jika memegang tombak yang berputar kencang itu.
Begitu merasakan putaran kencang itu mulai menjalar ke lengannya, Cio San melakukan hal yang sangat tepat. Ia tidak melawan putaran itu, melainkan tubuhnya menempel di tombak itu sambil mengikuti alur putarannya yang dahsyat itu.
Sengkoan To yang merasa berat karena tombaknya ketambahan berat badan Cio San sampai terkaget-kaget. Bagaimana mungkin manusia bisa menempel pada badan tombak yang berputar dahsyat seperti itu.
Ia lupa bahwa tadi Cio San bercerita bahwa ia sempat mempelajari gerak ular saat hidup berada dalam gua.
Begitu Cio San menempel di tombak itu, ia menambah tenaga putaran itu menjadi lebih hebat lagi sehingga justru kini Sengkoan To yang tidak bisa menahan putaran tombaknya sendiri.
“Lepaskan tombak!” teriak Cio San.
Tapi Sengkoan tak mau mendengar. Baginya tombaknya adalah harga dirinya, jika lepas, maka hilanglah harga dirinya.
Justru itulah kesalahan terbesarnya.
Putaran tombak yang dayanya sudah berlipat ganda karena putaran tubuh Cio San itu malah menyerang balik pemiliknya sendiri. Sengkoan To yang bertahan melawan tenaga putaran itu malah berteriak kesakitan karena kini tangannya lah yang remuk.
Cio San lalu melompat seketika melepaskan diri dari tombak agar cedera lawannya tidak parah. Begitu ia terlepas dari tombak Cio San dengan kecepatan yang sukar diduga segera 'menyerang' Sengkoan To. Gerakan serangan Thay Kek Kun ini ia lancarkan tepat ke sambungan lengan dan bahu Sengkoan To.
Tubuh Sengkoan To melayang dan berputar pula seperti tombaknya.
Sungguh ia sebenarnya beruntung dan harus berterima kasih. Karena Cio San telah menyelamatkan nyawanya dari kedahsyatan putaran tombaknya sendiri!
Tangan kanannya kini lunglai. Tapi tidak copot dan remuk parah. Ia pun menyadari betapa Cio San telah menyelamatkan nyawanya dan masa depannya sebagai pendekar tombak.
“Terima kasih atas kemurahan hati, tayhiap. Mulai saat ini Sengkoan To dan Pek Thian Pang tak akan mencampuri urusan tayhiap” ia tak dapat menjura karena tangannya lumpuh sementara.
“Sama-sama, Sengkoan-tayhiap. Jika kulihat cedera tanganmu parah namun masih bisa diobati, jika tayhiap menemukan tabib terbaik, maka cedera Tayhiap akan pulih dalam setengah tahun” kata Cio San sambil menjura.
Ia kini menatap lagi orang-orang di sana. Seperti bertanya, “Ada lagi?”
Lam Gak Bun berdiri.
Suami Mey Lan ini pun kemudian buka suara,
“Cayhe tahu ilmu cayhe masih sebatas silat pinggir jalan. Tetapi sejak dulu, Ciangbunjin partai kami telah memerintahkan seluruh anggotanya untuk mencari keberadaan kitab ini. Harap maafkan cayhe yang tidak tahu diri meminta petunjuk dari kaucu.”
Mey Lan seperti hendak mencegahnya, namun sudah terlambat. Lelaki gagah dan tegap itu kini sudah meloncat ke tengah.
Lelaki memang selalu menjadi lebih gagah jika ada kekasihnya di sampingnya.
Lam Gak Bun sendiri bukan tidak tahu bahwa sejak tadi istri barunya itu tak pernah melepas pandangan dari Cio San. Api cemburu membakar hatinya sehingga ia tidak perduli lagi dengan kemampuan sendiri.
“Cayhe bertarung dengan pedang. Silahkan kaucu memilih senjata” katanya.
“Cayhe selalu bertarung dengan tangan kosong apapun senjata lawan” kata Cio San tenang.
“Baik. Semua orang sudah mendengar bahwa Cio tayhiap sendiri yang memilih mengunakan tangan kosong. Berarti bukan cayhe yang berbuat tidak adil” kata Lam Gak Bun kepada semua orang.
Mereka semua mengangguk. Tapi dalam hati mereka ragu, apakah anak muda dari Kun Lun Pay ini sanggup menghadapi Cio San. Ketua partainya sendiri belum tentu sanggup menghadapi Cio San!
Sriiingg!
Ia sudah mengeluarkan pedang dari sarung yang tersandang di punggungnya.
Cio San berpikir, untunglah tidak ada Suma Sun di sini. Jika ada, tentulah si dewa pedang itu yang memaksakan diri maju melawan Lam Gak Bun.
Jurus pertama Ilmu Pedang Sembilan Awan dari Kun Lun Pay.
Hujan Pedang di Barat, Hujan Pedang di timur.
Dan memang gerakannya seperti hujan deras yang melanda tubuh Cio San. Pedang itu menyerang segala titik di tubuh Cio San. Tak tersisa satu pun ruang baginya untuk mundur!
Para hadirian disana pun sontak terkaget-kaget, karena walaupun tersohor, Ilmu Pedang Kun Lun Pay belum pernah terlihat selihay ini!
Pedangnya cepat sekali.
Sangat cepat.
Bahkan hampir-hampir Cio San tak dapat melihatnya.
Tetapi “hampir tak dapat melihat” juga berarti “masih bisa melihat”.
Gerakan menghindar dan menangkis Cio San jauh lebih cepat lagi!
Bagaimana mungkin ada orang bisa menangkis pedang dengan tangan kosong?
Tapi Cio San bisa.
Ia menangkis pedang itu dengan tinjunya. Tinju yang terlihat bercahaya dan mengeluarkan suara derik pula.
Ia telah berhasil menggabungkan jurus Tinju milik Su Beng Kong tadi dengan jurus ular derik miliknya sendiri.
Pedang Lam Gak Bun patah dan hancur berkeping-keping.
Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa!
Dengan amarah membara ia menerjang Cio San. Ilmu tangan kosong Kun Lun Pay pun sangat hebat. Tapi apalah artinya dibandingkan Cio San yang kini di tahap puncak ilmu silat?
Dengan sekali menghindar, ia sudah berhasil menghindari serangan bertubi-tubi Lam Gak Bun. Semua orang bisa melihat betapa Cio San menahan diri untuk tidak menyerang balik Lam Gak Bun.
“Ayo hajar dia, Bun-ko” teriak Mey Lan memberi semangat kepada suaminya.
Mendengar itu jantung Cio San berdegup. Ada perasaan nyeri di hatinya melihat mantan kekasihnya itu berkata seperti itu. Pertarungan satria hebat haruslah bersih dari segala macam pikiran dan gangguan. Mendengarkan hal itu, telah membuat pemusatan pikiran Cio San buyar, dan gerakannya menjadi kacau.
Inti silat Cio San memang adalah pada pemusatan pikiran dan gerakan mengikuti alam. Mengikuti alur serangan lawan, untuk bisa memahami, dan melawan serangan itu. Jika pikiran kacau dan hati tidak tenang, maka segala gerakan yang harusnya alami dan mengalir lancar menjadi terganggu.
Oleh karena itu sebuah tinju milik Lam Gak Bun telah masuk ke ulu hati Cio san.
Tak ada thay kek Kun yang melindunginya. Tak ada tenaga sakti yang menahan tinju itu. Karena pikiran Cio san telah terpenuhi hal selain bertempur. Selain bergerak bebas dan alami.
Tinju itu membuatnya terdorong mundur beberapa tombak. Darah segar keluar dari mulutnya.
Melihat serangannya berhasil, Lam Gak Bun semakin bersemangat.
Orang-orang pun menyorakinya dengan semangat.
Suara sorakan itu menghingar bingar, tetapi kenapa suara Mey Lan saja yang terdengar oleh Cio San?
“Ayo Bun-ko, hajar lagi! Hajar lagi!” suara Mey Lan terdengar bagai menusuk-nusuk telinganya.
Cio San telah kehilangan pemusatan pikirannya. Gerak silatnya menjadi sangat kacau. Pukulan dan tendangan Lam Gak Bun telah masuk berkali-kali ke tubuhnya.
Ia telah kehilangan semangat bertarungnya.
Bukan pukulan dan tendangan Lam Gak Bun yan menyakitinya, nmelainkan teriakan Mey lan yang benar-benar menghujam jantung dan batinnya.
“Kau sudah mencampakkanku, dan kini masih tetap ingin aku mati?”
Hanya itu yang ada di pikiran Cio San.
Perempuan adalah makhluk bumi yang paling aneh. Mereka bisa berubah dari mencintaimu sepenuh hati, menjadi membencimu sepenuh jiwa hanya dalam hitungan detik.
“San-te, berusahalah” terdengar bisikan Beng Liong yang ia kirimkan melalui ilmu mengirimkan suara.
Darah mengucur dari hidung dan mulut Cio San. Tak ada tenaga sakti yang melindunginya lagi. Memang benar kata orang, semua berasal dari pikiran. Jika engkau berpikir bahwa kau adalah orang yang baik, maka segala perbuatanmu akan mengikuti pikiranmu. Jika engkau berpikir bahwa engkau tidak mampu, maka engkau benar-benar tidak akan mampu.
Jika engkau berpikir bahwa dunia ini sudah tiada artinya lagi, maka dunia benar-benar sudah tidak ada artinya lagi.
Jika seseorang jatuh, ia jatuh karena pikiran-pikirannya sendiri.
Jika seseorang bangkit, ia bangkit karena pikirannya sendiri.
Pukulan dan tendangan datang bertubi-tubi menderanya.
Teriakan Mey Lan bertubi-tubi menghujam jiwanya.
“Kalian ingin aku mati? Baik aku mati saja. Mungkin dengan itu kalian akan lebih berbahagia”
Ia berdiri dengan gagah menantang.
Satu serangan ganas dari Lam Gak Bun mengincar jantungnya. Jika ia terpukul, pasti urat-urat jantungnya akan putus dan ia mati seketika!
“Mati? Ya mati saja. Bukan perbuatan yang sulit.”
Aku segera akan menyusul ayah bundaku, kakek dan keluargaku, guruku……
Terbayang semua bayangan orang-orang yang ia cintai.
"Aku akan menyusul kalian, wahai orang-orang tercinta."
Bayangan mereka sudah muncul di depan matanya.
Tapi tidak ada satupun dari mereka yang tersenyum kepadanya. Semua menatap marah!
Jika kau mati, siapa yang mengusut kematian kami? Siapa yang membalaskan dendam kami?
Seketika ia tersadar. Tugas berat belum lagi ia selesaikan. Mengapa ia begitu terlalu mementingkan dirinya sendiri? Terlena oleh perasaan-perasaan hatinya sendiri.
Segala kejadian ini terjadi dalam sekelebatan mata. Tinju Lam Gak Bun belum lagi sampai kepada jantungnya.
Segera semangatnya pulih.
Tidak!
Aku belum boleh mati.
Cinta? Masih bisa dicari yang baru. Yang lebih cantik, yang lebih baik, dan yang lebih setia.
Tapi orang-orang yang ia sayangi yang telah meninggalkannya tak akan mungkin kembali.
Begitu semangatnya pulih, tenaga saktinya kembali melindungi dirinya. Pikirannya telah kembali bersih dari segala kesedihan.
Tinju itu menghujam jantungnya.
Tetapi Thay kek Kun sekali lagi menunjukkan keistimewaannya. Tenaga pukulan itu telah tersalurkan dengan alami, dan jantungnya selamat.
Malah Lam Gak Bun yang kini merasa tangannya telah terhisap oleh pusaran badai yang sangat dahsyat!
“Naga Menggerung Menyesal!” ia meneriakkan kata itu.
Pukulan dahsyat itu pun keluar!
Ilmu legendaris yang dipercayai telah hilang dari dunia persilatan.
18 Tapak Naga!
Lam Gak Bun terlempar dengan luka dalam yang amat parah.
Semua orang berdiri terhenyak. Kaget, kagum, dan takut. Tak menyangka dalam hidup mereka, akan menyaksikan ilmu pukulan yang begitu ternama, begitu sakti, dan begitu menyeramkan.
“Dari mana kau mempelajarinya?” teriak Hong San Hwesio.
“Cayhe melihat Ji Hau Leng menggunakannya, Hong-totiang (tetua Hong)” jawab Cio San jujur.
“Sekali melihat, kau langsung bisa?” tanya Hong Sam Hwesio
“Benar, totiang”
“Kau berbohong” kata sang Hwesio
“Apa maksud totiang?” tanya Cio San heran
“Di dunia ini masakah ada manusia yang sekali lihat langsung bisa melakukannya? Apalagi ilmu dahsyat semacam 18 Tapak Naga?” sanggah sang Hwesio.
Semua orang diam membisu dan mendengarkan.
Hong Sam Hwesio melanjutkan,
“Para hadirin sekalian, ketahuilah. Satu-satunya kitab 18 Tapak Naga yang tersisa di muka bumi ini berada pada ketua kami. Seperti yang saudara sekalian tahu, ketua kami berhak menyimpan dan mempelajari banyak kitab sakti, karena beliau adalah Bu Lim Beng Cu (ketua kaum persilatan).
Tapi kitab-kitab kuno ini, banyak yang tulisannya sudah kabur dan menghilang. Itu karena usianya yang sudah ratusan tahun. Salah satunya adalah 18 tapak naga ini. Sehingga ketua kami memutuskan untuk tidak mempelajarinya, karena jika tidak lengkap, ilmu ini bisa berbahaya dan balik menyerang dirinya sendiri.
Karena hubungan baik Siau Lim Pay kami dengan Kay pang, maka kami mengijinkan mendiang Ji Hau Leng untuk mempelajarinya. Karena memang ilmu 18 Tapak Naga adalah ilmu kebanggan Kay pang. Ia datang ke kuil kami lalu mencatat seluruh isi kitab yang tidak lengkap itu.
Beberapa saat yang lalu, kami mendengar bahwa kitab itu hilang. Dan kini Cio San sudah menguasainya. Saudara sekalian mengerti maksud kami bukan?”
“Mengerti!” semua orang menjawab serempak. Hanya anggota Mo Kauw dan Kay Pang yang tidak menjawab.
Hong Sam Hwesio melanjutkan lagi,
“Beberapa waktu belakangan ini, terjadi begitu banyak pembunuhan, pencurian kitab, dan lain-lain. Apakah saudara-saudara semua tidak curiga siapa pelakunya?
Jika kita lihat ilmu dan kesaktiannya. Dan berapa beruntungnya ia bisa menjadi ketua Mo kauw dan Kay pang, apakah saudara-saudara sekalian tidak curiga?”
“Ya..ya” semua orang mengangguk setuju.
“Cio San! Mengakulah bahwa itu semua adalah perbuatanmu!” Hong Sam Hwesio menudingnya.
“a…aku..ah” Cio San tidak bisa menjawab.
Khu Hujin malah yang membelanya,
“Tuan-tuan, tanpa bukti yang jelas, kita tidak boleh sembarangan menuduh orang. Biarkan aku menahan Cio San disini. Sampai segalanya jelas dan terbukti”
“Semuanya telah terang benderang. Dulu saat kejadian pembakaran kapal Mo Kauw, aku berada di sana. Aku sempat membelanya. Bahkan bekerja sama dengannya untuk mencari pelakunya. Tetapi setelah ku pikir-pikir, Justru orang inilah pelakunya. Saat itu aku berada bersamanya. Aku masuk ke bilikku lalu aku diserang seseorang yang sangat sakti. Saat itu Cio San berada di ruang depan. Begitu penyerang itu menghilang, justru Cio San baru masuk. Saat kami mencari di sekeliling, tiada seseorang pun yang terlihat. Padahal mataku belum lamur!” kata Hong Sam Hwesio dengan keras.
“Ini fitnah…ini fitnah!” seluruh anggota Mo Kauw dan Kay Pang melompat maju ke tengah ruangan.
“Ketua kami adalah orang baik. Kami sudah mengalaminya sendiri. Kami sangat mengenalnya!”
“Anggota Kaypang dan Mo Kauw, dengarkan perintahku! Kalian semua mundur sampai ke gerbang kota bagian timur. Jika tidak kupanggil, jangan menampakkan diri!”
“Tapi…tapi..” mereka semua ragu.
“Laksanakan perintahku!”
Dengan berat hati mereka mengangguk dan pergi dari situ. Bahkan ada yang menangis meneteskan air mata.
Cio San tahu, ia tidak boleh melibatkan anggotanya ini ke dalam masalah yang sudah sedemikan ruwetnya. Ia tidak punya bukti, tidak punya saksi, tidak punya apapun dan siapapun yang sanggup membelanya.
Hanya Khu Hujin yang membelanya, Beng Liong pun kini berdiri di sebelahnya. Hanya mereka berdua yang terlihat perduli dengannya.
Tetapi ia tidak mau melibatkan mereka ke dalam urusan ini. Karena ia tahu siapa pelaku sebenarnya! Siapa otaknya. Dan otaknya berada di sini! Sedang menikmati hasil karya akal kepintarannya.
Hanya saja Cio san tidak punya bukti apapun untuk membuktikannya!
Betapa hebat si otak besar ini!
“Saudara-saudara sekalian! Aku berani bersumpah demi langit dan bumi bahwa bukan aku pelakunya. Tetapi aku tahu kalian tak akan percaya. Maka silahkan kalian menempurku. Tapi kali ini aku jamin, TIDAK ADA SEORANG PUN YANG AKAN SELAMAT”
Dalam kemarahan dan keputusasaannya ia menjadi begitu gagah.
“San-te, tahan dirimu, mari kita bicarakan ini baik-baik, aku akan membelamu”
Cio san tersenyum pahit, “Tidak perlu Liong-ko. Tiada seorang pun yang mendengarkan. Manusia hanya percaya terhadap apa yang ingin dipercayainya”
“Majulah!” kata Cio san menantang
Tak seorang pun berani maju. Mereka telah melihat kedahsyatan jurus pertama 18 Tapak Naga. Siapapun tidak berani ambil resiko menjadi korban kedua keganasan ilmu itu. Bagaimana jika pemuda ingusan ini sudah menguasai seluruh 18 jurusnya?
“Mari kita serang bersama-sama!” ajak Hong Sam Hwesio
“Mari!” semua bilang begitu, tetapi tak ada seorang pun yang bergerak.
Cio San hanya berdiri memainkan ujung rambut sambil melipat tangan satunya ke belakang.
Ruangan seramai itu, tidak ada satupun suara terdengar.
Lalu terdengar suara Duaaaaaaarrrrrrrrrrrr!
Atap ruangan itu telah jebol oleh sebuah ledakan.
Cio San sudah melayang ke atas.
Ada Cukat Tong yang melayang dengan burungnya di sana. Cio San mengaitkan kakinya ke kaki Cukat Tong.
Oran-orang tadi terkaget kaget sekarang sudah sadar jika Cio San akan meloloskan diri, mereka baru bergerak menyerang dengan lemparan tombak, pedang, golok, dan senjata rahasia.
“Naga Terbang Di Langit!”
Jurus kedua 18 Tapak Naga itu datang berbarengan denga teriakan Cio san. Seluruh serangan itu pun musnah oleh angin pukulannya.
Cio San dan Cukat tong terbang membumbung tinggi. Meninggalkan ratusan orang dibawah yang memaki-maki
“Pengecut! Pengecut!”
Khu Ling Ling menggenggam tangan neneknya. Ia menangis bersedih. Khu Hujin hanya bisa menggenggam balik tangan cucunya, dan berkata,
“Kau jangan menangis. Itulah contoh lelaki sejati. Dia tidak lari menyelamatkan diri. Justru jika ia tidak pergi, orang-orang di sinilah yang akan mati semuanya.”
“Lelaki sejati” hanya itu yang keluar dari bibir gadis cantik itu.
0 Response to "Bab 56 Lelaki Sejati"
Posting Komentar