Serigala memang tak perlu terburu-buru mengejar mangsa. Jika mangsanya kecil, serigala akan segera membunuhnya. Tapi jika musuhnya lebih besar daripada dirinya, maka ia akan menunggu dan menunggu sampai si musuh lengah dan kehabisan tenaga.
Serigala akan semakin tenang jika menghadapi musuhnya.
Suma Sun pun seperti itu. Jika kau melihatnya semakin tenang dan lembut. Itu berarti ia sedang bersiap-siap bertempur.
Cio San paham hal ini oleh sebab itu ia tidak bertanya apa-apa kepada Suma Sun. Mereka berjalan kaki dengan santai tanpa berbicara.
Ia memilih bercakap-cakap dengan pengemis Cun.
“Ku pikir, totiang harus mendengar semua ceritaku dari awal. Tapi sebelumnya, aku hanya ingin bertanya. Apakah totiang yakin bahwa di dunia ini ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan?”
“Tidak ada orang yang sempurna, pangcu” kata pengemis Cun
“Totiang memanggilku pangcu. Apakah totiang menganggapku tetap sebagai Kay pang pangcu?” tanya Cio San.
“Tentu saja, pangcu”
“Dengan segala kejadian tadi, pandangan totiang terhadapku tidak berubah?”
“Tidak. Walaupun cayhe tahu ada banyak rahasia dibalik semua ini. Cayhe tetap percaya kepada pangcu”
“Kenapa?”
“Tak ada alasan”
Memang ada saat saat di mana saat kita bertemu orang yang tak kita kenal, kita kadang-kadang percaya penuh kepadanya. Orang yang memakai akal sehat tentu tidak akan melakukannya. Tapi kadang-kadang akal sehat kita kalah oleh perasaan. Jika sudah percaya, maka apapun yang dia lakukan, kita akan percaya. Tapi jika sudah tidak percaya, sebenar dan sebaik apapun tindakannya, kita tetap tidak akan percaya.
Kejadian seperti itu rasa-rasanya memang sudah umum.
“Jika ku katakan kepada totiang bahwa mendiang Ji-pangcu pernah melakukan kesalahan, apakah totiang akan percaya?” tanya Cio San
“Tidak ada orang yang bersih dari kesalahan, pangcu. Tapi kesalahan apa yang pangcu maksud?”
Cio San lalu bercerita dari awal. Tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang bertopeng. Tentang sehalanya. Dan tentang Ji Hau Leng yang kekasihnya disandera. Sehingga akhirnya harus melakukan banyak ‘dosa’. Dan kemudian memilih mati bunuh diri untuk menebus dosa-dosanya.
“Aihhhhh. Cayhe tidak mengerti mengapa bisa sedalam itu urusannya” kata pengemis Cun.
“Apakah totiang percaya seluruh ceritaku?” tanya Cio San
“Mau percaya juga berat. Mau tidak percaya, kenyataannya sangat masuk akal. Ketahuilah, pangcu. Cayhe sendiri banyak melihat perubahan-perubahan dalam diri mendiang Ji-pangcu dalam setahun belakangan ini. Beliau sering sekali melamun. Ketika cayhe tanya ada apa, beliau hanya tersenyum dan tidak menjawab apa-apa. Beliau pun sering ‘menghilang’. Lebih banyak berada di luar markas. Tidak ada seorang pun yang tahu kemana beliau pergi. Padahala jaringan partai kamu terbesar dan paling hebat dalam mencari berita. Jangankan pangcu kami sendiri, nyamuk dan lalat pun kami tahu keberadaannya.”
“Banyak juga keputusan-keputusan dan kebijakan beliau yang cayhe rasa cukup janggal”
“seperti apa?” tanya Cio San
“Banyak pangcu. Hamba tidak ingat satu persatu. Yang paling cayhe ingat adalah keputusan beliau untuk membuka penerimaan anggota sebebas-bebasnya. Padahal dulu partai kami adalah partai yang paling ketat keanggotaannya. Tidak sembaran oran atau sembarang pengemis bisa menjadi anggota”
“Hmmm: Cio San hanya mengagguk angguk saja.
“Apakah kebijakan itu ada hubungannya dengan semua kejadian pembunuhan ini, pangcu?”
“Tentu saja” jawab Cio San pendek.
“Lalu bagaimana dengan surat yang tadi dibawa Han Siauw? Cayhe perhatikan, surat itu asli. Tak ada bedanya dengan tulisan tangan mendiang Ji-pangcu”
“Surat itu tentunya palsu. Si otak besar pasti telah menyiapkannya, begitu dilihat Ji Hau Leng bunuh diri. Pergerakan si otak besar ini lumayan cepat, sampai-sampai dia bisa menyusun rencana dan membuat suart palsu sedemikian cepat”
Lanjut Cio San,
“Saat aku kecil dulu, aku ingat ayahku pernah bercerita tentang seorang Siucai (sastrawan) yang mampu meniru tulisan dan lukisan siapa saja. Aku lupa siapa namanya. Tentunya orang-orang seperti ini yang memalsukan tulisan dan cap perguruan Kay Pang”
“Hmmm, masuk akal”
Pengemis Cun hanya merenung. Hatinya bersedih oleh kejadian yang baru saja lewat. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa.
Lalu ia berkata,
“Lalu pangcu membawa saya untuk mengikuti pangcu kesini untuk apa?”
“Aku hanya menyelamatkanmu dari si otak besar”
“Hah?”
“Tentunya jika aku tidak ada di sana, pemberontakan akan segera terjadi. Orang-orang si otak besar yang ia susupkan kesana pasti akan membunuhmu jika mereka tahu engkau berpihak kepadaku”
Penemis Cun mengangguk-angguk.
“Jika kau mengangapku sebagai pangcumu, aku inin memberi perintah kepadamu”
“Hamba siap terima perintah” katanya sambil berlutut.
“Kau harus ‘menghilang’ untuk sementara. Atur langkah baik-baik. Cari anggota-anggota Kay Pang yang sekiranya setia dan percaya kepadamu. Kalian harus bersiap-siap karena mulai saat ini aku yakin kay pang akan dikuasai oleh antek-antek si otak besar. Selain itu, aku memintamu untuk pergi ke kotaraja. Seledikilah pergerakan Kay Pang di sana. Segera laporkan kepadaku jika ada perkembangan”
“Baik, pangcu. Eh tapi bagaimana hamba harus mencari pangcu?”
“Pergilah ke Khu Hujin. Kau tahu siapa dia bukan? Nah, katakan bahwa engkau punya pesan untukku. Biar Khu Hujin yang akan mengurusnya”
“Baik. Hamba segera berangkat” pngemis Cun lalu menghilang dari sana.
“Apa hubungannya Khu Hujin dengan semua ini?” tanya Suma Sun. Ia sepertinya tertarik
“Sangat berhubungan.”
Suma Sun hanya mengangguk-angguk.
Perjalanan mereka dilakukan dengan tidak berburu-buru. Mereka berdua beristirahat, menikmati makanan, dan bahkan mandi dan menyegarkan diri saat terang tanah.
Dalam pertarungan, seorang petarung haruslah dalam kondisi terbaik. Kekuarangan satu hal kecil saja akan membuat mereka kalah. Tubuh harus segar. Asupan gizi harus penuh. Tidak ada luka, tidak ada cedera. Tidak ada masalah yang merisaukan hati.
Bahkan luka di ujung kuku saja bisa membuatmu kalah.
Kondisi daerah pertarungan tempat engkau bertarung pun harus kau kuasai. Pepohonannya. Rerumputannya. Tanahnya. Letak arah sinar matahari. Arah angin. Bahkan jam berapa engkau bertarung itu pun harus kau perhitungkan.
Suma Sun memang ahlinya dalam bidang itu. Makanya Cio San menurut saja apa kata Suma Sun. Suma Sun bilang tidur, maka ia manut tidur. Suma Sun bilang makan, ia manut makan. Bahkan jika Suma Sun menyuruhnya buang air, ia akan menurut.
Kini setelah mandi dan sarapan, mereka duduk menikmati sinar matahari pagi.
“Setelah melihat sendiri gerakan pedangmu tadi, aku yakin aku tidak dapat menangkap pedangmu” kata Cio San.
“Kau bisa melihat pedangku?” tanya Suma Sun
“Bisa”
“Ah…” ada kekecewaan dalam suaranya.
“Tapi aku kan tidak bisa menangkapnya” sanggah Cio San
“Tetap saja kau bisa melihatnya” kata Suma Sun dingin. Lanjutnya, “Jika bukan karena kita akan bertempur melawan musuh di depan, saat ini juga aku sudah ingin bertempur denganmu”
“Aku kan sudah bilang aku tidak bisa menangkap pedangmu” kata Cio San
“Tapi kau tidak bilang bahwa aku sanggup mengalahkanmu” tukas Suma Sun. Kata-katanya malah jauh lebih tenang dan dingin. Ini pertanda bahwa ia sudah mulai memasuki ‘gaya tempur’ nya.
Cio San geleng-geleng kepala. Mengapa di dunia ini ada orang seperti ini?
“Musuh di depan kita, apakah adalah seseorang yang selama ini kau cari-cari?” tanya Suma Sun.
“Mungkin saja” tukas Cio San santai.
“Kau tak akan bisa menempurnya sendirian” kata Suma Sun
“Aku tahu. Karena itulah aku mengajakmu”
“Mengapa kau begitu yakin aku mau menerima ajakanmu?”
“Karena kau pun mencari dia, bukan?”
Suma Sun sedikit kaget, “Darimana kau tahu?”
“Kau memiliki dendam terhadapnya. Karena itulah kau mau datang ketika dulu dipanggil Cukat Tong. Jika bukan karena urusanmu sendiri, kau tentu tidak akan mau datang” jelas Cio San.
“Kau hebat” kata Suma Sun.
“Jika kau yang mengatakannya, aku baru percaya baru aku hebat” kata Cio San sambil tersenyum. Tapi Suma Sun tidak tersenyum.
“Baru kali ini aku merasakan takut kepada seseorang” kata-katanya lambat dan pelan. Terasa semakin lembut dan halus terdengar. “Musuh sekuat apapun, bahkan yang lebih kuat dari aku pun aku tak pernah takut. Hanya kepadamu aku baru merasakannya. Ternyata seperti ini rasanya”
“Jika kau bertarung denganku dalam kondisi seperti ini, kau pasti akan kalah” kata Cio San.
“Tentu saja” Ia mengaku kalah dengan santai dan ringan. Padahal orang seperti Suma Sun harga dirinya sangat tinggi.
“Orang yang akan kita hadapi apakah ada 2 orang?” tanya Cio San
“Kau tahu?” Suma Sun balik bertanya.
“Jika cuma satu orang, tentu kau bisa menghadapinya sendirian”
Suma Sun mengangguk. Dia memeluk erat pedangnya. Di dunia ini hal yang paling disayanginya tentulah pedang itu.
“Apakah mereka sehebat itu?” tanya Cio San lagi.
“Ilmunya sudah ia kuasai puluhan tahun. Tempat yang kita datangi ini adalah tempatnya. Ia sudah menang beberapa langkah”
“Apa yang membuatmu yakin kita akan menang?”
“Ada kau dan aku”
Ini bukan kesombongan. Jika ia tidak yakin benar, sudah pasti ia tak akan mau bertempur.
“Mari kita lanjutkan perjalanan”
Mereka pun berangkat. Sampai sore hari tibalah mereka di sebuah lembah yang indah. Begitu banyak bunga dan kupu-kupu membuat tempat ini menjadi sangat indah. Cio San jadi teringan Mey Lan. Biasanya Mey Lan paling suka tempat seperti ini.
“Tempat seindah ini, siapa yang menyangka menyimpan kematian?”
“Belum pernah ada kematian di sini” sahut Suma Sun.
“Oh” Jika Suma Sun yang bicara, Cio San menurut saja.
Manusia-manusia yang bernaluri tinggi seperti Suma Sun memang pendapatnya lebih bisa dipegang. Ini karena mereka lebih mengandalkan perasaan mereka. Suma Sun yang mengalami kebutaan mungkin sejak lahir, telah terbiasa mengasah perasaannya ini sehingga menjadi sangat tajam.
Posisi tubuh Suma Sun tiba-tiba menegak. Gerakannya menjadi lamban. Jalannya menjadi perlahan. Ia telah merasakan bahaya di depan!
Telinga Cio San sendiri belum mendenar apa-apa.
“Kau mendengar apa?” tanya Cio San
“Ada orang di depan. Langkahnya tidak terdengar. Tapi aku bisa merasakan hawa pembunuhnya”
Tak berapa lama, tampaklah seseorang di depan.
“Ah, Mo Kauw kaucu dan Ang Hoat Kiam Sian” kata orang itu sambil tersenyum.
Penampilannya biasa saja. Seperti seorang pedagang pasar yang kelebihan berat bedan. Senyumnya ramah dan bersahabat.
“Salam hormat” kata Cio San menjura. Suma Sun diam saja.
“Salam hormat” kata orang itu sambil balas menjura.
“Mari silahkan duduk dulu” Ia berkata ramah sambil mengajak mereka duduk di sebuah pavilliun kecil di tepi kolam. Pemandangannya sungguh indah.
Cio San dan Suma Sun mengikutinya saja. Mereka kemudian duduk di paviliun itu.
“Cayhe punya seguci arak. Tapi entah tuan-tuan ada minat tidak untuk sekedar menghabiskan beberapa cangkir bersama cayhe?”
“Tentu saja minat, tuan…” Cio San menggantungkan kata-katanya.
“Nama cayhe Man Tho Li” katanya sambil tersenyum.
Siapa pun yang punya telinga di dunia, pasti pernah mendengar nama ini. Man Tho Li. Pria terkaya di seluruh Tionggoan. Harta pribadinya saja bahkan mungkin lebih banyak dari kaisar sendiri!
Tak disangka, orang bernama Man Tho Li ini cuma seorang bertubuh tambun berpakaian sederhana.
“Ah, ternyata cayhe berhadapan dengan Man-wangwe (saudagar Man). Maafkan mata cayhe yang lamur dan tidak mengenal orang. Sungguh ini sebuah kehormatan” kata Cio San.
“Aha..tidak berani..tidak berani. Justru ini sebuah kehormatan bagi cayhe bisa bertemu langsung dengan jagoan-jagoan terkemuka di jaman ini” katanya Lalu ia bertanya,
“Apakah gerangan yang membawa enghiong ji-wi (dua orang satria) ini kemari?” katanya sambil menuangkan arak ke dalam cangkir.
“Kami mencari 4 orang sahabat kami. Mungkin telah tersesat jalan hinga kemari. Kami pun hanya mencari-cari saja tanpa tujuan” kata Cio San
“Eh? Siapa nama 4 sahabat Cio-kaucu?” tanya Man-wangwe
“Cukat Tong, Ang Lin Hua, Sie Peng dan Yan Tian Bu” jawab Cio San.
Man-wangwe berpikir sebentar, lalu berkata,
“Maksud kaucu, Cukat Tong raja maling dan Ang Lin Hua putri mendiang Ang-kaucu?”
“Benar sekali” jawab Cio San
“Lalu Sie Peng dan Yan Tian Bu ini siapa?” tanya Man wangwe lagi
“Mereka adalah anak buah cayhe, wangwe”
“Hmmmm…. Aku yakin mereka tidak ada di sini” kata Man wangwe
“Eh?” Cio San hanya bisa menoleh ke Suma Sun.
“Mereka ada di sini” kata Suma Sun tenang.
“Apa Suma-tayhiap tidak keliru? sudah, begini saja. Mari kita sama-sama ke dalam dan ji-wi enghiong bisa memeriksa sendiri.
Habis bicara begitu ia bangkit dan mempersilahkan mereka mengikutinya.
Dari jauh rumah Man-wangwe terlihat sangat indah. Sebuah rumah yang walaupun tidak begitu besar, terlihat megah dan cantik sekali.
Begitu memasuki rumah itu, tampaklah perabotan-perabotan yang sederhana sekali. Orang terkaya di dunia ternyata hidup begitu sederhana.
“Silahkan ji-wi enghiong memeriksa seluruh ruangan yang ada” katanya mempersilahkan.
Dengan agak rikuh Cio San memeriksa setiap ruangan. Suma Sun hanya berdiri saja dengan tenang sambil memeluk pedangnya.
Setiap ruangan yang di masukinya memang tidak ada hal yang mencurigakan. Cio San sampai berpikir bahwa mungkin saja Suma Sun bisa salah. Ketika sampai di depan ruangan terakhir yang pintunya terlihat cukup indah, Man wangwe berkata,
“Harap kaucu jangan masuk ke sana”
“Kenapa?”
“Itu kamar istri cayhe yang sedang sakit”
“Mereka berada di kamar itu” sahut Suma Sun.
“Suma-tayhiap! Jangan asal bicara” ucapannya masih tenang tapi kemarahannya sudah mulai tampak.
“Kau ingin bertarung?” tanya Suma Sun
“Cayhe bukan pesilat. Tapi siapapun yang mengganggu ketenangan istri cayhe, akan cayhe hadapi”
“Majulah” kata Suma Sun tenang.
Cio San bingung harus berkata apa. Dalam hatinya, tentu saja ia percaya Suma Sun.
Man-wangwe membuat kuda-kuda.
Suma Sun berdiri tegak. Ia telah menyelipkan pedang di pinggangnya.
Man wangwe bergerak!
Gerakannya sungguh cepat sekali. Untuk ukuran orang segemuk dia, gerakannya bahkan sama lincahnya dengan Ji Hau Leng! Cio San saja hampir tak percaya.
Pukulannya sederhana.
Suma Sun telah menggenggam pedangnya.
Begitu jarak keduanya semakin dekat, tiba-tiba dari mulut Man-wangwe terdengar teriakan yang sangat dahsyat!
Teriakan itu menghanucrkan seluruh isi ruangan yang ada. Perabotan pecah, pintu-pintu jebol, bahkan dinding tebal pun retak-retak.
“Auman Singa!” bisik Cio San dalam hati. Ia telah mengeluarkan tenaga dalamnya dan menutup jalan pendengarannya. Tapi tetap saja ia terlambat sedikit. Kecepatan suara, jauh lebih cepat dari kecepatan gerakan manusia.
Yang paling menderita adalah Sum Sun!
Ia tak menyangka Man-wangwe akan menyerangnya dengan ilmu Auman Singa. Ilmu itu telah menyerang gendang telinganya dengan sangat cepat. Apalagi telinganya memang jauh lebih peka dari siapa saja, sehingga membuat serangan ilmu Auman Singa itu memiliki efek yang berlipat ganda kepadanya. Menutup jalan pendengaran pun sudah tidak sempat.
“Arggggggghhhhhhhhh,” ia terjatuh berlutut sambil menutup telinga.
Pukulan dahsyat Man Wangwe pun kini sudah sangat dekat dengan kepalanya.
Dengan gerakan yang tak terduga, Suma Sun sudah menghindari pukulan itu. Entah bagaimana caranya!
Mungkin nalurinya yang kini bekerja sekarang. Selama ini, ia selalu bertarung mengandalkan pendengarannya. Kini pendengarannya tak berfungsi sama sekali, tapi ia mampu menghindari pukulan ganas itu. Hanya pengalaman bertarung lah yang membuat naluri seorang petarung menjadi sedemikian tajam!
Ingin Cio San membantu Suma Sun. Tetapi Cio San tahu, mengeroyok bukanlah perbuatan para satria. Apalagi ia tahu juga, bahwa Suma Sun tentu tak ingin orang lain mencampuri pertarungannya.
Kini pedang Suma Sun telah terlepas dari tangannya. Seorang pendekar tanpa pedangnya, bagaikan serigala tanpa cakar dan taringnya.
Terlihat wajah Suma Sun pucat dan ia meringis menahan sakit. Tapi sikapnya masih tenang. Setelah berhasil menghindari pukulan ganas Man-wangwe, kini Suma Sun telah berhasil mengatur jarak dari Man wangwe.
“Hebat!” puji Man wangwe.
“Selama ini belum pernah ada orang yang lolos dari seranganku ini” katanya.
Percuma saja ia berkata-kata karena Suma Sun tidak bisa mendengar apa-apa.
Serangan Man-wangwe kini datang lagi. Pukulan bertubi-tubi yang mengincar berbagi tempat di tubuh Suma Sun. Ada yang berhasil ia hindari dan tangkis, tetapi ada beberapa pukulan juga yang masuk.
Suma Sun terlempar menghantam dinding di belakangnya. Hantaman ini bahkan sampai menjebol dinding itu.
Masih belum puas, Man-wangwe mengejar tubuh yang terlempar itu dan kembali melancarkan serangan pukulan dan tendangan yang maha dahsyat. Jika orang lain yan menerima pukulan dan tendangan itu, tentunya tubuhnya akan remuk.
Tapi tubuh Suma Sun telah ditempa oleh banyak hal. Walaupun terluka, setidaknya tidak sampai membuat ia mati.
Melihat pemandangan ini hati Cio San bagai tersayat-sayat. Ia sudah ingin maju bergerak, tetapi di lihatnya Suma Sun telah kembali berdiri degan gagah!
Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Beberapa tulangnya ada yang patah. Tetapi ia tetap berdiri gagah bagaikan serigala yang sedang terluka!
“Hebat!’ tak terasa pujian itu keluar dari mulut Cio San.
Man wangwe kembali melancarkan jurus-jurusnya yang ganas. Pukulannya datang bagai air bah. Tendanganya datang menghujam bagai angin badai. Semua coba ditangkis dan dihindari oleh Suma Sun. Tapi berkali-kali juga pukuan dan tendangan itu ada yang lolos dan mengenai tubuhnya.
Suma Sun terjatuh berlutut. Serangan-serangan ini terlalu dahsyat baginya.
Ia jatuh dan kedua tangannya kini menahan tubuhnya agar tidak jatuh tertelungkup.
Satu lagi serangan, dan Suma Sun akan habis riwayatnya!
Dan serangan itu pun tiba. Man-wangwe mengatupkan kedua telapak tangannya membentuk sebuah tinju yang sangat mengerikan. Inilah ilmu andalannya “Tinju Palu Besi Menghujam Sukma”. Cio San tercekat!
Sudah tak ada harapan lagi baginya untuk menolong Suma Sun!
Gerakan tinju itu sangat dahsyat, sangat cepat, sangat ganas. Menghujam ke batok kepala bagian belakang Suma Sun.
Jleb!
Ia pun roboh!
Roboh kehilangan nyawanya!
Tapi bukan Suma Sun.
Man-wangwe lah yang roboh
Sebuah luka di dahinya.
Tak ada darah.
Hanya ada kematian.
Suma Sun masih berlutut. Di tangan kanannya terdapat sebuah bambu kecil yang tidak begitu panjang.
Bambu pecahan perabot kursi yang tadi pecah dan hancur karena pertarungan mereka yang dahsyat.
Cio San jadi ingat kata-kata Suma Sun,
“Aku tidak percaya pedangku. Tetapi aku percaya kepada diriku”
Dan Suma Sun benar-benar membuktikannya.
Cio San segera bergegas ke Sum Sun. Dengan nalurinya, Suma Sun tahu jika orang yang datang bukan untuk menyerangnya. Ia diam saja ketika Cio San menempelkan tangan ke pundaknya dan menyalurkan tenaga saktinya.
Tak berapa lama Suma Sun mulai merasa badannya segar kembali. Walaupun tulangr rusuk, lengan, serta tulang pahanya patah, seluruh organnya terlindungi. Hal ini karena Suma Sun sendiri memiliki tenaga sakti yang dilatihnya bertahun-tahun sejak kecil.
Cio San lalu menotok beberapa titik yang berhubungan dengan indra pendengaran Suma Sun. Begitu ditotok, si dewa pedang ini merasakan sakit di telinganya mulai menghilang. Pendengarannya berangsur-angsur pulih. Sedikit demi sedikit ia sudah bisa mendengar suara.
“Untung tenaga dalammu sangat tinggi, walaupun kau terlambat sedikit, setidaknya tenaga dalammu berhasil melindungi gendang telingamu dari cedera yang parah. Jika kau beristirahat memulihkan diri selama beberapa bulan, ku kira pendengaranmu akan kembali seperti semula” jelas Cio San
Suma Sun hanya mengangguk-angguk dan berkata, “Terima kasih” Sambil berkata begitu ia melanjutkan semedhi untuk memulihkan kekuatannya.
Cio San sendiri segera berdiri. Ia melangkah ke pintu besar tadi. Pintu yang menimbulkan semua perkelahian ini. Pertarungan sedahsyat tadi tidak merusak pintu itu secuil pun.
Ia membukanya.
Bau harum bercampur sedikit bau darah terhembus dari dalam ruangan itu.
Ruangan yang biasa saja.
Bwee Hua Sian duduk di sebuah kursi, di sebelahnya terdapat tempat tidur. Seorang nenek tua terbaring lemah di atas tempat tidur itu.
“Terima kasih” itulah kata-kata yang keluar dari bibir Bwee Hua Sian.
Cio San hampir tidak mengerti untuk apa Bwee Hua Sian mengucapkan kata-kata itu. Ia hanya tersenyum memandang Bwee Hua Sian.
“Kau harus berterima kasih kepada Suma Sun” kata Cio San.
“Aku tahu, aku mendengar semua kejadian tadi dari sini” kata Bwee Hua Sian sambil tersenyum pula. Wajahnya terlihat tenang dan gembira. Seperti sebuah beban telah terlepas dari pundaknya.
“Orang ini, apakah gurumu?” tanya Cio San
“Aku lebih memilih memanggilnya ibu. Aku ingin bercerita banyak hal, tapi aku yakin kau sudah tahu begitu banyak”
“Aku lebih memilih kau yang menceritakannya.” Sahut Cio San sambil tersenyum.
“Baiklah”
Ia pun memulai ceritanya,
“Sebenarnya, yang bernama asli Bwee Hua Sian adalah ibuku ini. Beliaulah yang dijuluki wanita paling cantik dan paling kaya sedunia. Beliau yang memungutku dari jalan saat keluargaku dibunuh orang dahulu.
Beliau yang mendidikku silat. Mengajarkanku banyak hal, termasuk merawat tubuh hingga tetap terjaga seperti ini”
“Ah, aku tahu umurmu belum 60 tahun. Mungkin baru sekitar 30-35 tahun. Tapi harus kuakaui, wajah dan perawakanmu seperti anak perempuan berumur 17” tukas Cio San sambil tersenyum.
“Haha. Memang benar kata orang, kau tak dapat menipu Cio San. Beng Liong salah mengambil kesimpulan. Karena memang selama ini aku selalu menyamar menjadi ibuku. Menggunakan namanya dalam setiap aksi-aksiku.”
“Ibuku lah yang berumur 60 tahun. Dan kecantikannya memang benar-benar terjaga. Kau pasti heran mengapa ibuku terlihat menderita seperti ini kan? Itu karena bajingan Man-wangwe!” ada kemarahan terlihat di matanya.
“Kau tahu kenapa bajingan itu bisa menjadi orang terkaya di dunia? Itu karena dia berhasil memperdaya ibuku. Beberapabelas tahun yang lalu, ia sangat tampan walaupun sudah lumayan berumur. Ibuku jatuh cinta kepadanya. Mereka kemudian menikah. Dia seorang yang biasa-biasa saja waktu itu. Karena ibuku lah ia menjadi kaya raya. Orang berhati culas itu perlahan-lahan meracuni ibuku sedikit demi sedikit. Racun itu mengambil kecantikannya. Bahkan juga mengambil ilmu silatnya. Untunglah aku tidak ikut teracuni juga karena aku tinggal terpisah dengan ibu”
“Dengan segenap kekuasaan ibuku, yang memiliki banyak pengaruh, anak buah, dan sebagainya, si bajingan itu kemudian mulai melaksanakan rencana bejatnya. Ia ingin menguasai dunia Kang Ouw. Ia ingin merebut jabatan Bu Lim Beng Cu yang akan diadakan 2 bulan ini. Selama beberapa tahun ia mulai menyingkirkan saingan-saingannya. Semua dilakukannya dengan cermat dan pintar.”
“Ia juga mengancamku untuk turut menjadi anak buahnya. Ia memanfaatkan aku untuk menjalankan semua rencananya. Memikat para pendekar. Merayu mereka, menggoda mereka. Dan semuanya memang benar-benar terlaksana dengan baik. Sungguh perih hatiku menjalaninya. Karena aku melakukannya demi ibuku ini”
“Dan seperti yang kau tahu, segala kejadian-kejadian mengerikan yang ada di dunia persilatan semua akibat si bajingan itu”
Ia meneteskan air mata.
Jika perempuan sudah meneteskan air matanya, itu adalah tanda bagi lelaki untuk berhenti bicara.
“Biar ku periksa ibumu” kata Cio San
“Ahhh…ahhh tolooooong…toloooong” si nenek tua yang berada di atas ranjang itu berteriak sekencang-kencangnya karena ketakutan. Seperti memandan mayat yang baru bangkit dari kubur.
“Ah, Cio-tayhiap, maafkan lah ibuku….beliau..beliau menjadi seperti ini sejak kejadian yang lampau. Beliau takut kepada laki-laki. Jika ada yang mendekatinya, ia akan memangis dan berteriak. Segala kecantikan, dan kelembutannya hilang. Ia sudah seperti kehilangan dirinya sendiri. Sudah tidak memperdulikan dirinya sendiri lagi…..” sambil berkata begitu, “Bwee Hua” muda mendekati nenek itu dan menenangkannya. Dengan lembut ia mencium, dan berbisik-bisik di telinga ‘ibu’ nya untuk menenangkannya.
Setelah ibunya tenang, Bwee Hua muda lalu bertanya kepada Cio San,
“Kau tahu, aku sengaja menculik keempat sahabatmu, adalah untuk sebuah maksud. Karena bukan Man-wangwe yang memerintahkannya”
“kau menculik mereka, sebenarnya adalah untuk memancingku kemari, bukan? Untuk meminjam tanganku mengalahkan Man-wanwe” tukas Cio San
“Benar sekali. Ia sendiri tidak tahu jika aku menculik sahabatmu dan kubawa kemari. Karena ia sendiri paham, jika kau sampai mengendus keberadaannya, maka segala rencananya akan berantakan”
“Lalu dimana sahabat-sahabatku?”
“Tenang, mereka aman” Bwee Hua muda lalu berdiri dan berjalan menuju sebuah lemari. Begitu lemari itu dibuka, ia menekan sebuah tombol rahasia di dalamnya. Terdengar bunyi berderit, dan tampaklah sebuah ruanan rahasia di balik lemari itu.
“Silahkan” katanya
Cio San memasuki ruangan itu dan melihat keempat sahabatnya berada di dalamnya. Walaupun mereka tertotok, keadaan mereka sehat-sehat saja dan tak kurang suatu apa. Melihat itu Cio San pun lega.
“Aku memperlakukan mereka dengan baik. Kau jangan khawatir. Tapi sebelumnya aku minta maaf telah melakukan semua ini. Sungguh ini semua bukan keinginanku” katanya sambil melepas totokan ke empat sahabat Cio San itu.
Begitu totokan mereka terlepas, keempatnya segera bersemedhi untuk mengunpulkan kekuatan. Ditotok selama berhari-hari membuat mereka lemas dan kehilangan tenaga.
Bwee Hua lalu berkata,
“Biarkan aku merawat ibuku di akhir sisa-sisa hidupnya ini. Kau tahu beliau sekarang sekarat. Setelah itu, aku akan datang ke puncak Thay San untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku”
“Baik” kata Cio San.
“Eh, aku masih punya satu pertanyaan lagi. Di mana kau sembunyikan kekasih Ji Hau Leng?” tanya Cio San
“kekasih Ji Hau Leng? Aku tidak menyembunyikannya” jawab Bwee Hua
Cio San memandangnya lama, ia lalu tersadar,
“Ah…tentunya kau lah kekasih Ji Hau Leng”
Terlihat wajah Bwee Hua menjadi sangat sedih.
“Kau sudah tahu apa yang terjadi dengannya, bukan?”
Bwee Hua hanya menganguk dan menangis. Cio San tak tahu harus berkata apa-apa.
Mereka semua lalu pergi dari situ. Meninggalkan Bwee Hua muda yang merawat ibundanya tercinta. Cukat Tong dan Yan Tian Bu membantu memapah Suma Sun yang terluka parah.
Lembah Seribu Kupu-Kupu yang begitu indah. Menyimpan cerita yang begitu menyedihkan.
Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil sampai tiba di sebuah hutan bambu di luar lembah.
“Aih, ada yang salah!” tiba-tiba Cio San tercekat.
Segera ia bergegas lari kembali ke rumah tadi. Keadaannya masih berantakan seperti tadi mereka tinggalkan. Mayat Man-wangwe pun masih di sana.
Tapi tiada seseorang disana.
Hanya ada bau darah.
Dan sebuah mayat tergeletak di atas tempat tidur.
Bwee Hua ‘tua’ mati dengan mata mendelik dan leher hampir putus.
Cio San mengepalkan tangan.
“Mengapa aku sampai tertipu siluman rubah itu?”
Katanya sambil garuk-garuk kepala.
0 Response to "Bab 54 Di Lembah Seribu Kupu-Kupu"
Posting Komentar