Tan Cin mengeluarkan sebuah sempritan dari sakunya, lalu meniupnya. Tak berapa lama serombongan perempuan cantik sudah datang.
“Kau berhasil!” tukas salah seorang.
Tan Cin tersenyum, “Menaklukan laki-laki yang bernama besar seperti dia ternyata sangat mudah”
“Kerja yang bagus” kata salah seorang memuji.
Li Hiang saat melihat mereka tetap tersenyum, ujarnya “Memang benar cerita yang kudengar. Para gadis Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih) memang cantik-cantik”
“Tutup mulutmu” seorang gadis memarahinya, tapi saat memandang wajah Li Hiang, gadis itu terhenyak. Orang buta pun terhenyak memandang Li Hiang.
Beberapa orang gadis lalu memondong tubuh Li Hiang untuk diletakkan diatas sebuah kereta yang sudah mereka siapkan. Setelah membongkar-bongkar barang bawaan Li Hiang, mereka akhirnya menemukan yang mereka cari.
“Ada!” wajah mereka semua gembira.
Saat ditarik, pedang itu memancarkan cahaya keungu-unguan. Tentu saja benda inilah yang mereka cari.
“Jika kalian mencari pedang itu, kenapa tidak meminta saja? Tidak perlu repot-repot menculikku” ujar Li Hiang sambil tertawa.
“Mulutmu seperti perempuan. Terlalu cerewet” bentak salah seorang.
Mereka lalu berangkat pergi dari situ sambil menyekap Li Hiang di dalam kereta. Dibutuhkan perjalanan berhari-hari untuk sampai ke markas mereka. Sepanjang perjalanan Li Hiang menolak untuk makan dan minum. Hanya sekali-sekali saja ia mau menerima roti atau buah pemberian nona-nona itu.
“Jika kau tidak mau makan, kami tak perduli. Tapi jika sampai kau mati di perjalanan, guru akan memarahi kami” kata seorang gadis. Wajahnya cukup ramah. Pipihnya sedikit montok. Li Hiang senang memandang wajahnya.
“Terima kasih” Li Hiang terima saja ketika ia disuapi nona itu. “Nona baik sekali. Tidak seperti yang lain. Mereka semua judes” kata Li Hiang sambil tersenyum.
“Makanya kau harus menurut kata-kataku. Kalau tidak, aku akan lebih judes daripada mereka” tukas si nona pipi montok.
“Baiklah cici (kakak perempuan) yang baik” kata Li Hiang.
“Eh, kau memanggilku kakak? Ditengok dari wajah saja, sudah jelas kau lebih tua daripada aku”
“Memangnya berapa umur cici yang baik?” tanya Li Hiang serius. Jika bertanya, orang akan merasakan pertanyaannya sungguh-sungguh dan ia benar ingin tahu.
“Umurku 20 tahun. Dan kau jangan memanggil aku cici”
“Dua puluh tahun? Wah, tadinya aku ingin menggodamu karena ku kira kau seorang nona cilik”
“Nona cilik?”
“Benar. Dilihat dari wajahmu, tak ada seorang pun yang percaya kau berumur 20 tahun”
“Memangnya tampangku seperti orang berumur berapa?” tanya si nona penasaran.
“Paling banyak 16 tahun atau 17 tahun” jelas Li Hiang.
Pipi nona yang montok itu memerah. Lalu ia berkata, “Kau tak perlu menggodaku!” sambil berbalik pergi.
Tapi sebelum pergi, ia menoleh dan berkata, “Jika kau ingin makan sesuatu, mintalah kepadaku.”
Li Hiang mengangguk, dan berkata dengan tulus “Terima kasih, nona”
Pelajaran kelima: perempuan paling suka dianggap lebih muda.
Tentu saja Li Hiang amat memahami pelajaran ini.
Dengan pendengarannya yang tajam, ia bisa mendengar nona-nona itu membicarakan dirinya.
“Eh kau harus hati-hati jika berbicara kepadanya, kata suhu ia pintar merayu” kata salah seorang.
“Benar” yang lain mengiakan.
“Ah dia tidak sehebat itu” seorang nona membantah.
“Hei Cin Cin, saat kau bersamanya, apa ia merayumu?” tanya salah seorang.
“Ih, dia sih tidak sehebat kabar yang terdengar. Kami cuma mengobrol biasa dan sama sekali ia tidak merayuku. Kecuali saat ia mencoba memelukku” jelas Tan Cin yang rupanya bernama Cin Cin.
“Ia memelukmu?” serempak mereka bertanya.
“Waaaah, kau beruntung sekali”
“Aih, aku sih, mana mau dipeluk laki-laki kurang ajar macam begitu” tukas salah seorang.
“Eh kau tidak boleh menyalahkan dia, dia kan hanya menjalankan perintah suhu” timpal salah seorang.
Li Hiang tersenyum.
Perempuan. Mereka begitu akrab, tapi begitu suka menyimpan perasaan tidak suka satu sama lain. Seakrab-akrabnya perempuan, pasti memendam ketidaksukaannya kepada sahabatnya. Hal ini entah sudah menjadi bagian dari sifat mereka, atau karena pengaruh lingkungan, Li Hiang hanya tertawa.
Ia mencoba beristirahat. Perjalanan masih panjang. Dan gadis-gadis di luar kereta masih bertanya-tanya mengapa lelaki ini masih tetap tenang dan menjaga kesopanannya.
Keeseokan paginya, cahaya mentar bersinar menembus jendela kereta. Tiga orang wanita di dalam kereta duduk dengan sigap di hadapannya. Seolah-olah lelaki yang baru bangun tidur adalah seekor singa yang siap menerkam mereka.
“Selamat pagi sam-wi-siocia (tiga nona)” ucapan salam ini dilontarkan dengan sopan dan ringan, seolah-olah ia bukan tawanan nona-nona ini.
“Pa...pagi” nona pipi montok menjawab dengan ragu-ragu, diikuti pelototan mata kedua nona yang lain.
“Eh, kalian belum tidur?” tanya Li Hiang.
“Apa perdulimu?” jengek salah seorang.
“Manusia jika kurang tidur, kulit akan mengendur, kantong mata akan timbul, pipi menjadi tembem. Jika keseringan, tak lama lagi gadis cantik akan berubah menjadi nenek-nenek. Apa kalian belum mendengar hal ini?”
Mendengar penjelasan Li Hiang mau tidak mau ketiga nona itu tergetar juga hatinya. Maklumlah, menjadi tua adalah ketakutan wanita di manapun di dunia ini.
Lanjut Li Hiang, “Banyak-banyaklah minum air putih, hal ini lumayan membantu”
“Tidak perlu sok memberi perhatian!” bentak nona manis yang tubuhnya agak sedikit terlalu kurus. Tapi cantik sekali.
Li Hiang tersenyum saja, perempuan selalu ‘marah’ jika ada yang memberi perhatian. Padahal hati mereka senang. Ini mungkin hanya sekedar menutupi rasa senang, atau mereka khawatir jika perhatian itu hanya basa-basi.
Li Hiang hanya mengangguk-angguk saja. Saat menoleh di luar, pemandangan sungguh indah. Mereka sedang melalui bukit. Di kanan kiri pemandangan sangat menarik hatinya.
Ia tersenyum memandang pemandangan di luar sana. Seolah-olah ia sendirian di sana.
“Orang ini sudah gila. Tersenyum-seyum sendiri” bisik gadis-gadis itu.
Li Hiang seperti tidak mendengar kasak kusuk nona-nona di depannya. Perhatiannya terpusatkan memandang keindahan alam di jendela. Sekian lama ia menikmati pemandangan itu, nona-nona di depannya sudah mulai bosan.
Ia sama sekali tak berkata apa-apa. Sikapnya tenang dan tak ragu-ragu. Senyum lembutnya tak pernah hilang.
“Apa yang kau lihat di jendela itu?” tanya si pipi montok.
“Kecantikan”
Mendengar kata ‘kecantikan’, ketiga nona turut menoleh. Yang mereka lihat hanyalah alam. Mereka telah berkali-kali melihatnya. Terlalu sering malah.
“Hmmmmm”
Kata ‘Hmmmm’ adalah kata yang paling diucapkan perempuan. Itu mereka lakukan jika apa yang ada di hati mereka berbeda dengan apa yang ingin mereka ucapkan.
Li Hiang masih memandang ke luar jendela. Terbentang sebuah danau yang indah. Daerah di sekitar Himalaya memang diliputi banyak danau.
“Hey kau, makan dulu” kata si kurus, sambil berkata begitu ia mengeluarkan bekal roti dari dalam bungkusan. Li Hiang seolah-olah tidak mendengarkan.
Dengan gemas nona itu membanting kaki, “Ya sudah jika tidak mau makan, biar kau mampus kelaparan!”
Li Hiang menoleh kepada nona pipi montok, “Nona membawa bekal apa?”
“Aku...aku membawa kacang-kacangan” jawab si pipi montok.
“Aku mau kacang” sahut Li Hiang sambil tersenyum. Dengan rikuh si nona menyuapkan kacang-kacangan itu ke mulut Li Hiang. Kedua nona yang lain memandang dengan iri.
Li Hiang makan dengan lahap namun perlahan. Caranya mengunyah kacang menyenangkan sekali. Dengan tersenyum ia memuji gelang giok milik si pipi montok,
“Indah sekali giok itu”
Si popo montok tersenyum, tapi buru-buru ia mengubah sikap.
Dua temannya yang lain melengos. Tapi walaupun mereka melengos, secara tidak sadar masing-masing merapikan rambut dan pakaian.
Hari telah memasuki siang yang terik. Walaupun cahaya matahari bersinar terang, cuacanya masih terasa sangat dingin. Mereka berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda-kuda. Si pipi montok dan si kurus kini pindah ke depan, berganti tugas dengan dua orang yang tadinya bertugas sebagai kusir.
Begitu kedua nona yang tadinya menjadi sais itu masuk ke dalam kereta, terciumlah wangi yang khas yang keluar dari tubuh dan pakaian Li Hiang. Perempuan paling suka wewangian. Tapi wewangian itu harus lembut dan tidak menusuk, ada perasaan tersendiri di hati mereka kita mencium wewangian seperti ini.
“Ah ji-wi siocia (kedua nona)” sapa Li Hiang halus sambil menganggukan kepala.
Kedua nona yang baru masuk itu tidak membalas, hanya saling menatap mata Li Hiang dan menundukkan muka. Tidak perlu siapapun engkau, asalkan kau perempuan, kau pasti akan tertunduk malu jika dipandangi Li Hiang.
“Kalian beristirahatlah” kata si nona yang tertinggal, rupanya ia ketua rombongan nona-nona cantik ini. Walaupun ia bukan yang paling cantik, tatapan matanya sangat mempesona. Mau tidak mau, Li Hiang harus memujinya,
“Mata nona...”
Ia menjengek, “Kenapa mataku?”
Li Hiang hanya mendengus sambil tersenyum. Menaklukan perempuan galak ada caranya sendiri. Untuk saat ini ia sebaiknya menahan diri.
Kedua nona yang baru masuk tadi, kini sudah mulai merebahkan diri bersandar pada dinding kereta yang terbuat dari kayu itu. Walaupun tidak terlalu besar, kereta ini memang lumayan mewah.
Setelah beristirahat cukup, akhirnya perjalanan di mulai lagi. Li Hiang membuka omongan, “Aku heran, mengapa ketuamu menyuruh kalian meringkusku di sana. Padahal jika ini dilakukan di dalam markas kalian, bukankah jauh lebih gampang?”
Tak ada yang menjawab, hanya nona mata indah yang menoleh padanya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi diurungkannya. Kedua nona lain sudah malas bicara, mungkin karena ingin beristirahat.
Setelah berpikir sejenak, Li Hiang tersenyum sambil berkata, “Ah aku tahu”.
Si nona mata indah menatapnya, menanti ia berbicara lebih jauh. Tetapi setelah sekian lama menunggu, Li Hiang tidak kunjung bicara. Karena penasaran, si mata indah bertanya, “Apa yang kau tahu?”
Li Hiang hanya menatapnya sekilas lalu tersenyum lagi. “Jika nona sudah tahu, mengapa bertanya?”
“Apa kau selalu bersikap semenyebalkan ini? Aku heran bagaimana gadis-gadis itu bisa tertipu dengan manusia macam kau!”
Senyum di wajah Li Hiang menghilang dengan cepat, katanya dingin. “Kau pikir aku manusia macam apa? Masa dengan otakmu yang cerdas kau tak dapat berpikir bahwa aku sebenarnya mengalah terhadap kalian?”
“Hah? Jangan melucu”
Bagitu kata ‘cu’ selesai, Li Hiang telah meniupkan sebuah kacang dari dalam mulutnya. Tiupan itu sangat keras dan cepat menghujam kepada hiat to (titik syaraf) yang tertotok. Dengan serta merta totokannya terbuka. Si mata indah masih belum sadar apa yang terjadi ketika dengan cepat, tangan Li Hiang telah menutuk tiga hiat to di tubuhnya. Si mata indah diam tak berkutik.
Kedua nona yang tadi beristirahat pun sudah terkena totok!
Li Hiang menatap si mata indah dengan tajam. “Jika aku menelenjangimu sekarang, kira-kira apa yang bisa kau perbuat?”
Matanya jauh memandang keluar jendela. Rasa sepi di hatinya entah bagaimana bisa diobati. Semakin ia memandang jauh ke luar, semakin wajah Hiang Hiang terbayang di matanya.
Dengan sedih ia menoleh ke si mata indah yang kini memandangnya dengan sangat ketakutan. Lalu ia berkata, “Aku akan membuka totokan kalian. Berjanjilah untuk tidak berbuat bodoh. Jika aku melihat kalian melakukan hal bodoh, dalam satu kali gerakan aku akan melepas Am Gi (senjata rahasia) yang menembus lehermu. Mengerti?”
Si nona dan kedua sahabatnya hanya mengedipkan mata dengan ketakutan. Li Hiang benar-benar membuka totokan mereka. Lalu berkata, “Jangan ganggu tidurku. Kalian pun tidurlah.”
Lalu dengan tenang ia pun berbaring dan memejamkan mata.
Keringat dingin telah membasahi tubuh mereka. Dalam mimpi pun mereka tidak pernah membayangkan betapa berbahayanya lelaki ini. Mereka hanya bisa memandangnya dengan segala macam perasaan bercampur aduk.
Lalu secara tiba-tiba, Li Hiang membuka mata, “Nona yang matanya indah, siapa namamu?”
“Eh..eh”
“Namamu Eh Eh?”
“Eh...na..namaku Sim Lan”
“Oh, nona Sim Lan. Salam kenal. Namaku Li Hiang” lalu ia menoleh ke dua nona di sebelahnya, “Kau?”
“Namaku Kiong Ji”
Nona yang satunya berkata, “Aku..” sebelum ia selesai bicara, Li Hiang telah memotongnya, “Aku tak lupa namamu Cin Cin” katanya sambil tersenyum. Lalu ia menoleh ke si mata indah, “Nona Sim Lan, masih jauhkah perjalanan kita?”
Sim Lan berpikir sebentar lalu berkata, “Jika tidak ada halangan, mungkin sekitar 5 hari kita sudah sampai”
Li Hiang menganggukkan kepala, lalu berkata “Tanpa harus menculikku pun, aku bakalan ke Pek Swat Ceng. Mengapa ketuamu menyuruh kalian menculikku, apa karena merasa jauh lebih gampang menaklukanku saat aku lengah?”
Sim Lan menjawab, “Benar. Kata guru, jika kau telah memasuki markas, maka seluruh jiwamu, tubuhmu, dan pikiranmu telah terpusatkan untuk bertempur. Jika hal itu terjadi, amat sangat susah menaklukanmu”
“Kalian kan berjumlah sangat banyak, mengapa memandang remeh diri sendiri?” tanya Li Hiang.
Sim Lan tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepala.
Lalu Tan Cin yang menjawab, “Perkampungan kami saat ini sedang dalam kondisi genting. Banyak musuh yang datang menyerang”
Li Hiang terdiam sesaat, lalu berkata, “Apakah rahasia kalian sudah bocor dan tersebar kemana-mana?”
Ketiga nona itu hanya saling memandang, lalu Cin Cin lah yang berkata, “Benar”.
Li Hiang hanya menghela nafas. “Jika itu yang terjadi, maka merupakan sebuah malapetaka yang besar. Siapa saja yang sudah menyerang kesana?”
“Banyak tokoh dari kalangan hitam. Banyak juga dari kalangan putih. Kami sudah berhasil menghalau dan mengusir mereka. Tapi harga yang kami bayar sangat mahal. Kami kehilangan banyak sekali anggota kami”
“Apakah gurumu terluka?” tanya Li Hiang lagi.
Mereka hanya tertunduk diam. Hal ini saja sudah merupakan jawaban bagi Li Hiang. Ia tidak berbicara. Hanya menggelengkan kepala penuh penyesalan.
“Apakah maksud tuan datang ke tempat kami, sama dengan maksud orang-orang yang menyerang itu?” kali ini Sim Lian yang bertanya.
“Tentu saja. Tetapi aku bermaksud memintanya baik-baik. Aku bahkan bermaksud menukarnya dengan pedang ungu itu” jelas Li Hiang.
“Aihhh” mereka semua menghela nafas.
“Tempat kalian bukankah sangat rahasia, bagaimana mungkin bisa didatangi berbagai macam orang?” tanya Li Hiang.
Mereka semua menggeleng tak mengerti. Li Hiang berpikir lama, lalu dengan tiba-tiba bertanya, “ Kenapa Tan Ling tidak ikut rombongan?”
“Ia...memutuskan untuk berangkat lebih dulu untuk melapor”
“Siapa yang memutuskan hal itu?” tanya Lia Hiang.
“Dia sendiri” jawab Cin Cin.
“Celaka!” kata Li Hiang. “Bisa jadi ia pengkhianatnya!”
Mereka semua terhenyak. “Tidak mungkin”
Li Hiang bertanya lagi, “Dengan apa kalian berkirim kabar?”
“Menggunakan burung elang salju” jawab Cin Cin.
“Lalu kenapa ia harus melapor sendiri?” tukas Li Hiang.
Mereka seperti tersadar, tapi dengan segera Tan Cin membantah, “Tidak mungkin ciciku melakukan hal yang memalukan seperti itu! Tidak mungkin!”
Li Hiang kemudian menenangkan, “Nona, aku minta maaf jika terlalu cepat mengambil kesimpulan. Sebelum ada bukti memang ama sangat tidak pantas jika menuduh seseorang” kata Li Hiang. Lanjutnya, “Untuk hal ini, aku benar-benar meminta maaf kepada nona”
Cin Cin mengangguk.
Menghadapi perempuan, seorang laki-laki harus bijaksana. Ia sangat mengerti, amat sangat bodoh beradu pendapat dengan perempuan. Karena perempuan tidak pernah punya pendapat. Mereka hanya mempunyai dorongan perasaan. Jika akal mereka berkata ‘Ya’, namun hati mereka mengatakan ‘Tidak’, maka mereka pasti akan berkata ‘Tidak’.
Li Hiang pun lebih memusatkan perhatiannya untuk memikirkan segala kemungkinan. Lama sekali ia berpikir. Ketiga nona dihadapannya pun tidak berkata apa-apa. Terlihat mereka begitu tidak tenang, dan gugup. Dengan hangat Li Hiang berkata, “Tenanglah. Aku pasti memikirkan segala cara untuk menolong kalian”.
Jika seorang laki-laki selalu ada untuk menenangkan perasaan perempuan, maka lelaki seperti inilah yang harus dicari dan dijaga. Herannya, perempuan selalu lebih tertarik dengan laki-laki yang membuat perasaan perempuan berkobar dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Sepanjang hidupnya, perempuan selalu lebih tertarik dengan lelaki seperti ini. Perasaan perempuan memang tidak pernah tenang, seperti kuda liar yang membawa mereka kepada jurang penderitaan. Lalu ketika mereka sudah terjatuh ke dalam jurang itu, mereka menangis menyesal. Saat ada laki-laki lain menarik mereka keluar dari jurang itu, justru tidak jarang mereka justru mendorong laki-laki itu jatuh ke dalam jurang yang sama.
Li Hiang amat sangat paham, hal yang paling berbahaya di dunia ini adalah perasaan perempuan. Justru karena berbahaya lah, ia tertarik untuk memasukinya. Ia memang terlahir untuk mencintai bahaya.
Dan bahaya kematian sekarang telah membayang di depan mata. Li Hiang tidak pernah suka untuk membunuh orang. Baginya kehidupan itu sangat indah. Ia hidup untuk menikmati keindahan itu. Tetapi entah dari mana tuduhan dan fitnah bahwa ia suka membunuh korban-korbannya ia tidak pernah tahu. Ia pun tidak punya waktu untuk meluruskan hal itu. Baginya, selama ia tidak pernah melakukannya, ia tidak pernah perduli dengan pendapat orang lain.
Hari telah menjelang malam. Gelap telah menyelimuti dunia. Rombongan kecil ini beristirahat di tepian telaga yang sangat indah. Kedua orang kusir, yaitu si pipi montok dan si kurus terkaget-kaget ketika mengetahui apa yang terjadi di dalam kereta selama perjalanan. Hal ini diam-diam telah menimbulkan kekaguman yang amat besar di dalam hati mereka. Di hati kelima nona yang cantik-cantik itu.
Saat mereka telah mengetahui kesaktian dan kecerdasan Li Hiang, sudah pasti mereka tidak banyak berulah. Bahkan sekarang, segala perkataan Li Hiang mereka dengarkan dengan patuh. Ia telah membuktikan bahwa ia bukanlah orang yang kejam dan perusak kehormatan wanita. Li Hiang malah terlihat sebagai seorang lelaki sejati yang perduli dan melindungi mereka.
Di malam itu, Li Hiang memasak untuk mereka, membuat api unggun untuk mengahangatkan mereka. Lelaki yang tampan itu bahkan memperhatikan hal yang secil-kecilnya.
“Tan Cin, dengan dekat api, nanti kau bau asap”
“Kiong Ji, makanlah daging kijang ini. Jika kurang makan nanti tubuhmu lemah”
“Sim Lan, kau pakailah jubah ini untuk menghangatkan tubuhmu”
“Eh bagus sekali sepatu mungilmu itu”
“Ah, pita itu serasi sekali dengan rambutmu”
“Hmm, kau memang pintar memilih baju. Rajutan kembangnya itu siapa yang buat?”
Malam itu mereka habiskan untuk saling mengakrabkan diri. Bahaya sudah menanti, bukankah amat baik untuk bergembira ria? Hal ini akan menambah kekuatan, dan daya pikir. Juga membuat tubuh lebih kuat dan waspada.
Malam itu justru Li Hiang lah yang berjaga-jaga. Sedangkan kelima nona itu tidur dan beristirahat dengan pulas. Tapi Li Hiang tahu, walaupun nona-nona itu terlihat telah percaya kepadanya, mereka tetap saja masih tidur dengan waspada. Masing-masing mereka tidur dengan menggengam pedang dan senjata rahasia.
Di tengah malam, di temani rembulan, ia mengeluarkan sebuah seruling kecil yang selama ini selalu dibawanya. Ia memainkan sebuah lagu yang sangat indah. Tiupannya sangat merdu. Nona-nona itu semua terbangun namun tak berani berkata apa-apa, takut mengganggu tiupan seruling yang indah itu. Sebuah seruling emas.
Seruling Emas yang juga menyimpan banyak rahasia!
0 Response to "EPISODE 2 BAB 7 SEORANG LAKI-LAKI, LIMA ORANG GADIS"
Posting Komentar