Tan Ling telah selesai menulis surat, lalu melipatnya dan mengikatnya di kaki seekor burung elang. Burung jenis ini biasanya ditemukan di daerah pegunungan bersalju. Setelah menerbangkannya, Tan Ling menoleh kepada Tan Cin, dilihatnya adik seperguruannya itu sedang melamun.
“Kau sedang memikirkan tentang dia, sumoy (adik seperguruan perempuan)?”
Tan Cin tak menjawab. Tan Ling tersenyum. “Kau tak usah malu menjawab. Aku rasa semua perempuan yang telah bertemu dia, tentu akan banyak melamun.”
“Suci (kakak seperguruan perempuan) kan tidak,” kata Tan Cin tersenyum.
Tan Ling pun tersenyum pula, katanya “Aku masih ingat cerita tentang dia yang dikisahkan oleh guru. Begitu bertemu sendiri, aku kini merasa berdosa meragukan kisah itu.”
“Benar. Suci tentu masih ingat bahwa guru berkata kita harus hati-hati menghadapinya. Ia seorang ‘Pemetik Bunga’ bejat yang memperdaya kaum perempuan dan membunuh korban-korbannya tanpa ampun.”
Tan Ling mengangguk. Lanjut Tan Cin, “Sebenarnya, apa yang membuat ia menjadi orang seperti itu?”
“Menurut kisah yang kudengar,” kata Tan Ling, ”Latar belakang hidupnya tidak jelas. Kabar angin mengatakan, ia terlahir tanpa ayah yang jelas. Ibunya adalah wanita penghibur di sebuah rumah bordil terkenal. Setelah dewasa ia bertemu seorang ahli silat tanpa nama namun sangat sakti. Ilmu silatnya sendiri pun tidak jelas berasal dari mana.”
“Jika sejak kecil ia hidup bersama wanita-wanita penghibur, ia pasti terlatih sekali menghadapi perempuan,” ujar Tan Cin.
“Begitulah,” tukas Tan Ling. Mata mereka memandang jauh ke depan. Ke arah bayangan jubah merah itu menghilang. Ada perasaan aneh di hati mereka.
Hati perempuan seperti selalu melekat pada langkah-langkah Li Hiang. Langkah-langkah yang sangat ringan namun tanpa beban.
Tetapi orang yang terlihat tanpa beban, justru sebenarnya menyimpan penderitaan yang teramat dalam.
Matanya mencorong tajam dan bercahaya. Senyum hangat tak pernah lepas dari wajahnya. Jika seorang wanita terluka parah, hanya dengan memandang senyum ini, lukanya pasti akan tersembuhkan. Senyum adalah senjatanya yang paling hebat. Bukan untuk menaklukan hati orang, melainkan untuk menyembuhkan luka dan penderitaannya sendiri.
Mungkin ini sebabnya senyumnya selalu terlihat tulus dan penuh ketenangan.
Teringat ia akan kisah hidupnya, ia terlahir sebagai anak yang tidak jelas. Lahir dari rahim seorang wanita penghibur. Ibunya dulu adalah salah seorang wanita tercantik di sebuah rumah bordil di kotaraja. Ia tak tahu siapa ayahnya. Sejak kecil ia belajar mempertahankan hidup dengan menjadi pembantu di rumah bordil itu. Menjadi tukang bersih-bersih dan mempersiapkan segala kebutuhan para penghuninya.
Sebagai orang yang hidup di rumah bordil, ia tahu betul seluk beluk kehidupan wanita penghibur. Bagaimana mereka harus bertahan hidup dengan menjual tubuh. Apapun yang terjadi harus tampil cantik, harus dapat menyenangkan hati tamu. Salah sedikit mendapat hajaran dan hinaan. Ia menjadi saksi bagaimana wanita-wanita ini menyimpan airmata dan memasang topeng senyuman paling indah.
Saat berumur 15 tahun, ia jatuh cinta kepada seorang gadis. Seorang gadis yang berasal dari keluarga terhormat dan merupakan salah satu keluarga yang paling kaya di kotaraja. Dengan berani ia mengungkapkan perasaan itu kepada sang gadis pujaan. Apa nyana ternyata ia ditertawakan dan dihina. Latar belakang kehidupannya sebagai jongos sebuah rumah bordil tentu saja tidak menarik bagi perempuan manapun.
Dalam kesedihannya, seorang gadis penghuni rumah bordil itu memberi perhatian yang dalam. Hiang Hiang namanya. Hiang Hiang mengajarkannya tentang banyak hal. Bagaimana seorang lelaki harus bersikap dan menghadapi wanita. Segala seluk beluk tentang perempuan dipelajarinya dari Hiang Hiang. Bagaimana menyenangkan mereka, meneduhkan hati mereka, menyikapi mereka.
Ia pun kehilangan keperjakaannya untuk pertama kali pada Hiang Hiang. Dengan sabar Hiang Hiang mencintai dan merawatnya, hingga suatu hari Hiang-Hiang ditebus seseorang. Sejak saat itu ia tak pernah bertemu kembali dengannya. Namun segala pelajaran Hiang Hiang telah merasuk di dalam jiwanya. Seluruh perempuan di rumah bordil itu ditaklukannya. Ibunya yang sudah beranjak tua, tidak perduli dengan kelakuannya. Selama ia tidak mencuri atau merampok, sang ibu membebaskannya untuk melakukan apa saja.
Ia baru bertemu kembali dengan Hiang-Hiang setelah wanita itu bercerai dengan suaminya. Mereka pun kembali menjalani hubungan. Tetapi sifat hidung belang yang telah terlanjur tumbuh di jiwa Li Hiang membuat petualangan cintanya tidak terhenti.
Semakin lama ia semakin berani. Setelah menaklukan gadis-gadis rumah bordil, ia pindah menaklukan gadis-gadis di luar rumah bordil. Siapapun yang ia temui, asal mereka perempuan, ia menaklukkannya. Bahkan kemudian istri-istri para hartawan dan pejabat pun tertarik padanya.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, tentu akan terjatuh juga. Hubungan gelapnya dengan istri salah seorang pejabat tertangkap basah. Ia dipukuli sampai hampir mati.
Di saat genting seperti itu, kembali Hiang-Hiang lah yang menyelamatkannya dan menyembuhkan luka-lukanya.
Telah begitu banyak wanita yang memberikan hati untuknya, namun hatinya hanya untuk Hiang Hiang. Wanita itu kemudian sakit-sakitan. Sebuah sakit aneh yang mungkin di dapatkannya dari pekerjaannya sebagai wanita penghibur.
Ia telah membawakan berbagai macam tabib, tetapi tak ada seorang pun yang sanggup menyembuhkannya. Perjalanannya ke Himalaya ini pun dilakukannya demi Hiang Hiang. Tak ada seorang pun yang tahu sosok Hiang Hiang ini di hidup si jubah merah. Hanya ia yang paling tahu, dan paling paham betapa sosok itu begitu berarti di dalam hidupnya.
Seorang lelaki, jika telah mencinta, akan mencintai seumur hidupnya. Tidak perduli ada berapa banyak wanita yang hadir di dalam hidupnya, selalu ada sebuah ruang kosong yang indah, suci, dan terjaga bagi seorang wanita itu di dalam hatinya. Bidadari yang suci bersih karena cinta seorang lelaki, tak perduli apapun yang telah wanita itu lakukan sebelumnya di dalam hidupnya.
Meskipun ia telah bertualang sekian lama, dari perempuan ke perempuan, menaklukan hati mereka, tetap saja hatinya telah sepenuhnya milik Hiang Hiang. Sejauh apapun ia melangkah pergi, hatinya telah tertinggal pada wanita itu. Setinggi apapun ia terbang, akar cintanya tertanam terlalu dalam pada sosok Hiang Hiang.
Hiang berarti ‘harum’ atau ‘wangi’. Itulah kenapa ia memakai nama itu untuk menutupi nama aslinya yang bahkan terkadang ia pun lupa. Ia bukan orang yang suka mengingat masa lalu. Karena masa lalu adalah hal yang tak pernah bisa terulang kembali. Ia selalu menatap masa depan, dan masa depan yang gemilang telah berada di depannya. Ia hanya perlu untuk meraihnya. Dengan segalanya yang telah ia miliki, ia bisa menjadi orang paling ternama di dunia ini, tapi ia mengesampingkannya. Baginya Hiang Hiang adalah seluruh hidupnya. Ia harus mampu menyembuhkannya.
Kadang-kadang, lelaki atau perempuan yang paling bejat pun, mampu memiliki cinta yang teramat suci dan bersih.
Berbulam-bulan ia mencari tabib atau obat untuk Hiang-Hiang, ia kemudian bertemu dengan seorang nenek tua yang teramat sakti.
Nenek itu berjanji memberinya obat penyembuh yang sangat mujarab dan juga berjanji mengajarkannya ilmu-ilmu silat hebat.
Tetapi semua kebaikan nenek itu tentu harus dibayar mahal. Ia harus memuaskan nafsu nenek itu. Seorang pemuda tampan melayani nenek-nenek tua. Walaupun sejak dahulu sampai sekarang cerita ini bukan cerita yang aneh, tetap saja orang-orang masih mual saat mendengar kisah seperti ini.
Apalagi hubungan guru dan murid adalah sebuah hubungan yang sakral bagi orang-orang Tionggoan. Hubungan itu seperti hubungan orang tua dan anak, sehingga jika terjadi cinta antara guru dan murid hal itu dianggap sangat tabu. Seorang pendekar besar di jaman dulu yang bernama Yo Ko pernah mengalami penderitaan yang besar saat memiliki hubungan cinta dengan gurunya. Ia harus mengalami penderitaan dan cobaan yang teramat besar.
Untuk menghindari penderitaan itulah nenek tua dan si jubah merah ini menyepi di sebuah gunung terpencil. Tak berapa lama mereka tinggal bersama, ternyata si nenek tahu-tahu meninggal secara mendadak. Untunglah si nenek sempat memberitahukan rahasia obat mujarab itu.
Si jubah merah memutuskan untuk turun gunung dan terjun ke dunia Kang Ouw (persilatan).
Dengan warisan ilmu sakti dan sebilah pedang ungu yang konon merupakan milik pendekar Tok Ho Kiu Pay, si jubah merah melanglang dunia. Pada awalnya ia tidak pernah menggunakan pedang sakti itu dan disembunyikannya baik-baik dibalik jubahnya. Ilmunya teramat sakti sehingga ia tak pernah perlu untuk menggunakan pedang itu. Selama 3 tahun ia bertualang mencari obat mujarab, tak pernah sekalipun ia menggunakan pedang itu. Hingga pada akhirnya, ia bertemu dengan lawan yang sangat kuat sehingga mau tidak mau ia harus menggunakan pedang itu.
Seperti dugaannya, kalangan Kang Ouw heboh mendengar bahwa pedang ungu Tok Ho Kiu Pay telah ditemukan. Berbagai pendekar dari bermacam kalangan mulai memburunya. Kehebatan pedang ini telah begitu melegenda dan menjadi impian begitu banyak orang.
Kini ia telah berada di sini. Namanya telah menggetarkan 8 penjuru angin. Semua orang mengenal namanya, mengenal kehebatannya. Tetapi dari semua hal dan semua penderitaan serta kenikmatan yang dilaluinya, hatinya masih merasakan kesepian.
Ia sudah berjanji kepada dirinya bahwa ia hanya akan pulang jika sudah menemukan obat untuk Hiang-Hiang.
Si jubah merah menatap ke depan, sebentar lagi ia akan memasuki sebuah hutan pinus yang indah. Wangi pepohonan pinus tertiup angin. Salju pada dedaunan membeku dan memutih. Seperti cinta, semakin membeku kadang malah bertambah putih dan suci. Mungkin seperti itulah cinta sejati. Beku, dingin, dan sepi.
Hari semakin gelap ketika ia melintasi hutan pinus itu. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Segera ia mengeluarkan peralatan masak dari dalam kantong peralatannya. Setelah membuat perapian, ia lalu berburu. Tidak perlu waktu lama ia telah berhasil menangkap seekor kelinci gemuk.
Makanan enak, dan arak. Tidak ada yang lebih nikmat dari kedua hal itu di tempat seperti ini. Bau panggangan bercampur dengan wangi hutan pinus, siapapun yang mampu membayangkannya pasti akan menginginkannya.
Tak lama kemudian ia mendengar suara langkah yang semakin mendekat. Ia menajamkan telinga. Lalu munculah sesosok bayangan. Tan Cin!
“Oh, kau!” tukas Li Hiang sambil tersenyum manis.
Tan Cin tidak menjawab, ia hanya terpana. Lalu berkata, “Aku tidak mengejar kau!” katanya bersungut.
“Tentu saja. Tapi apapun yang ingin kau kerjakan, mengapa tidak beristirahat sejenak dan menikmati daging kelinci?” kata Li Hiang ringan.
“Apa yang tuan panggang?” kata ‘kau’ tadi sudah berubah menjadi ‘tuan’.
“Kelinci yang gemuk” sambil berkata begitu, ia mencabik paha kelinci, meletakkannya diatas daun yang bersih, lalu menyerahkannya kepada Tan Cin, “Hati-hati panas”.
Tan Cin menerimanya dengan tersenyum. Betapa perhatiannya laki-laki ini.
Setelah mengunyah sejenak, ia memuji “Masakan tuan enak!”
“Aku memang suka memasak!”
“Benarkah? Ku kira para lelaki memandang pekerjaan itu hanya milik kaum perempuan,” tukas si nona cantik.
“Pekerjaan perempuan toh bukan pekerjaan yang hina. Justru menjadi perempuan, dan mengerjakan pekerjaan perempuan amatlah sulit” jelas Li Hiang.
“Oh ya? Tuan beranggapan begitu?”
“Iya. Jika aku menjadi perempuan, aku tak dapat membayangkan segala persoalan berat yang akan kuhadapi. Menjadi perempuan itu tidak mudah.”
“Contohnya?”
“Perempuan adalah makhluk indah, yang terindah adalah perasaannya. Mereka hidup dikendalikan oleh perasaan. Tidak perduli apapun yang mereka kerjakan atau hadapi, mereka selalu menggunakan perasaan untuk menjalaninya. Bahkan mereka rela melakukan apa saja karena dorongan perasaan. Mereka rela menjalani kesulitan-kesulitan hanya demi perasaan mereka,” tutur Li Hiang.
“Benaaaaaar sekali. Tuan nampaknya sangat memahami perasaan perempuan. Sangat mengerti perempuan!” pujinya.
“Laki-laki yang mengaku mengerti perempuan, jika bukan karena bodoh tentu karena pikun. Aku hanya mencoba menyelami perasaan perempuan saja. Jika laki-laki bisa melakukannya, sedikit banyak mereka akan mengerti mengapa perempuan bertingkah seperti perempuan.”
Tan Cin terdiam. Perkataan Li Hiang tepat menusuk di jantung hatinya. Lama sekali baru ia berkata, “Tuan, apakah tuan pernah membunuh orang?”
Li Hiang tidak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum. “Pernah.”
Tan Cin hanya memandangnya. Lalu berkata, “Mengapa?”
“Karena mereka ingin membunuhku.”
Sebuah jawaban yang sangat tepat. Tan Cin seperti kehabisan kata-kata. Li Hiang pun membiarkannya sibuk dengan pikiran-pikirannya.
Setelah sekian lama, akhirnya Li Hiang yang bicara, “Kau ingin bertanya mengapa aku membunuh puluhan bahkan ratusan wanita-wanita yang tak berdaya, bukan?”
Perkataan yang sangat tepat. Memang pertanyaan itulah yang ada di benak Tan Cin, ia hanya tak tahu bagaimana mengutarakannya.
“Kau mungkin telah mendengar bahwa aku adalah seorang laki-laki bejat yang pekerjaannya merusak perempuan, lalu membunuh mereka saat sudah selesai.”
Tan Cin terdiam, rupanya Li Hiang benar-benar telah membaca isi hatinya.
“Semua cerita itu hanya fitnah. Aku bahkan tak pernah membunuh seorang wanita pun. Segala pembunuhan-pembunuhan itu bukan aku yang melakukannya.”
“Lalu siapa?” tanya Tan Cin.
“Entahlah. Mungkin salah seorang musuh-musuhku melakukannya demi memfitnahku.”
Tan Cin memandang wajah lelaki di hadapannya lama sekali. Ia baru beberapa jam mengenalnya. Tapi jika disiksapun ia tak akan mau percaya bahwa laki-laki ini sanggup melakukan kebejatan yang didengarnya.
“Aku percaya kepadamu!” hanya itu yang keluar dari mulutnya setalah sekian lama terdiam.
“Terima kasih!” sambil berkata begitu, ia melepaskan jubah merahnya dan menyelimuti tubuh Tan Cin. Nona mungil yang manis. Wajahnya kemerah-merahan saat jubah yang wangi itu menghangatkan tubuhnya.
“Tuan.., bagaimana tuan tahu pertanyaan itulah yang ingin kutanyakan?” tanya Tan Cin.
Li Hiang tertawa. “Sejak awal aku sudah curiga bahwa kau bukanlah anak pemilik toko perlengkapan. Tangan kalian begitu halus. Kalian pun tidak tahu letak barang-barang yang akan ku beli. Seharian kalian membuat toko itu berantakan,” jelasnya.
“Aih....”
“Tapi sudahlah, apapun maksud kalian kepadaku, aku tak akan bertanya. Jika kau ingin pulang dan melapor kepada orang yang menyuruhmu, kau boleh pergi. Tapi jika kau ingin tetap di sini dan bercakap-cakap, aku bisa menemanimu,” kata Li Hiang.
“A..aku harus pulang,” kata Tan Cin terbata-bata.
Li Hiang tersenyum. Dalam hati ia berkata, “Ya, kau harus pulang. Tapi kau tak ingin melepaskan kesempatan untuk berduaan denganku.” Tapi ia berkata, “Hari sudah malam, jika kau pulang sekarang kau bisa tersesat. Lagian, kau belum lagi melakukan yang diperintahkan kepadamu.”
“Jangan sok tahu, memangnya apa yang diperintahkan kepadaku?”
Li Hiang tersenyum. Ia menuangkan arak dari guci dan menenggaknya. Tan Cin hanya memperhatikan dengan penasaran.
“Eh tuan, memangnya kau tahu apa yang diperintahkan kepadaku?”
“Mengapa kau bertanya kepadaku? Isi perintah itu kan hanya kau yang tahu,” jawab Li Hiang sambil tersenyum.
“Kau jahat!”
“Sedikit” tukas si jubah merah sambil tersenyum. Ia lalu melanjutkan meminum arak tanpa memperdulikan Tan Cin sama sekali.
Nona itu memandangnya dengan gemas.
Pelajaran ke-dua: semakin kau tidak memperhatikan seorang perempuan, semakin ingin ia engkau perhatikan.
Tentu saja Li Hiang telah lulus pelajaran ini.
“Aku tak ingin berbicara lagi kepadamu!” kata Tan Cin dengan marah.
“Kenapa?”
“Kau jahat!” kata ‘tuan’ sudah berubah menjadi kata ‘kau’.
“Aku apa pernah menyakitimu?”
Tan Cin berpikir sebentar, “Tidak!”
“Nah!”
“Tapi kau tetap jahat!”
“Sebabnya?”
“Kau bermain rahasia denganku!”
“Memangnya kau tidak bermain rahasia denganku?”
Tan Cin terdiam lagi.
“Ihhh” dengan gemas ia membanting kaki dan melempar kerikil-kerikil kecil ke arah Li Hiang. Si jubah merah tidak menghindarinya dan hanya tertawa.
“Masih berapa jauh lagi dari sini ke Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)?” tanya Li Hiang.
“Entah!” kata Tan Cin sambil membuang muka.
“Sekarang kau lah yang bermain rahasia denganku,” tukas Li Hiang.
“Kau bertanya kepadaku, lantas aku bertanya kepada siapa?” tanya nona cantik ketus.
“Kau tidak perlu bertanya kepada siapa-siapa. Kau kan hafal sekali jalan menuju ke sana,” tawa Li Hiang.
“Sok tahu!”
Li Hiang tertawa. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa perkampungan itu mengirimkan anggotanya yang masih hijau untuk menghadapinya.
Untuk sejenak mereka terdiam. Menikmati pikiran masing-masing.
Malam beranjak semakin larut. Kekelaman menyelimuti dunia. Ada api unggun untuk penerang dan penghangat suasana. Ada kebersamaan. Dua orang anak manusia, duduk saling berhadap-hadapan.
Nona itu lalu menggigil. Cuaca di tempat itu memang sangat dingin. Dengan sigap Li Hiang menambah kayu untuk memperbesar api, lalu pindah duduk ke sebelah nona itu. Katanya, “Aku kedinginan….”
Dengan pintar ia mengaku kedinginan saat ia melihat nona itu kedinginan pula. Dengan pintar ia memindah posisi duduknya dengan alasan ini. Ia tidak bertanya apakah nona itu kedinginan. Tetapi mengaku diri sendiri yang kedinginan. Menghadapi perempuan, ia sangat paham caranya. Karena ia tahu, jika ia menyuruh nona itu mendekat kepadanya, nona itu akan menolak.
Mereka mengobrol dan bercanda. Li Hiang menceritakan kisah-kisah seru dan unik kepada nona itu. Tak terasa duduk mereka semakin dekat dan semakin rapat. Lalu entah kapan, lengan Li Hiang telah merangkul nona itu. Tak butuh waktu lama baginya agar nona itu berada di dalam pelukannya.
Menghadapi perempuan harus seperti ini. Dengan lembut namun pasti. Kau harus tahu kapan maju dan kapan mundur. Bujuk rayu lelaki memang berbahaya. Yang paling berbahaya adalah merayu tanpa kata-kata. Hanya lelaki yang berpegalaman yang mampu melakukannya. Dengan senyum, dengan perbuatan-perbuatan kecil yang remeh, hati perempuan akan dengan mudah dirayu.
Pelajaran ke-tiga: Merayu perempuan bukanlah dengan kata-kata.
Tentu saja ia telah menguasai dengan baik pelajaran ini.
Bibir mereka bersentuhan. Ciuman yang lembut. Sentuhan yang halus. Rembulan di tengah malam. Wangi hutan pinus yang menyegarkan.
Lama sekali mereka berciuman, ketika Li Hiang tersadar bahwa ia telah tertotok oleh nona mungil ini!
“Ternyata nama besar Jai Hwa Sian hanya nama kosong!” kata Tan Cin sambil tertawa.
Li Hiang pun hanya tertawa.
Pelajaran ke-empat: Laki-laki manapun di dunia ini yang mengaku mengerti perempuan, jika bukan karena bodoh, tentu karena sudah pikun.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 6: DI TENGAH MALAM DI HUTAN PINUS"
Posting Komentar