Kakinya melangkah dengan ringan. Tidak ada beban di dalam hidupnya. Kereta indahnya telah ia tinggalkan di dalam hutan. Ia memang lebih suka seperti ini, menembus malam sendirian dalam langkah-langkah kaki yang ringan.
Menjelang pagi ia telah memasuki sebuah dusun di pinggiran hutan. Sebuah dusun kecil dengan suasana yang amat tenang. Beberapa petani telah menyiapkan diri untuk bekerja di sawah dan ladang mereka.
Si jubah merah menanyakan di mana ia bisa menemukan penginapan kepada mereka. Seperti yang diduganya, tidak ada penginapan di dusun terpencil seperti itu. Akhirnya ia menanyakan di mana ada kedai yang menjual arak dan makanan. Salah seorang petani itu menunjukkan arah kepadanya. Dengan sedikit mencari-cari, akhirnya ia menemukan kedai itu.
Walaupun belum ‘resmi’ buka, pemiliknya mempersilahkan si jubah merah masuk. Rupanya kedai itu memang buka pagi-pagi, sekedar untuk menjual arak kepada para pekerja yang akan menggarap ladang mereka.
“Maaf masih berantakan, tuan ingin pesan apa?” tanya pemiliknya yang sudah cukup berumur. Mulutnya bertanya tapi tatapan matanya tidak pernah lepas dari wajah si jubah merah.
“Ah, lopek (orang tua) punya arak?” tanyanya sopan.
“Tentu saja. Tapi arak-arak ku tidak seenak di kota. Tapi lumayan untuk menghangatkan badan” katanya. Dengan segera pemilik kedai itu sudah mengantarkan seguci arak yang berbau harum.
Memang benar, arak itu tidak terlalu istimewa. Sejenis arak murahan yang bisa ditemukan di mana saja. Tapi di tempat terpencil seperti di dusun seperti ini, dapat menemukan arak saja sudah merupakan sebuah berkah yang luar biasa.
Si jubah merah meminumnya dengan tenang. Ia sangat menghargai arak. Baginya arak seperti perempuan, jika kau tahu cara menikmatinya, arak semasam apapun juga bisa terasa enak.
“Tuan hendak ke gunung himalaya?” tanya si pemilik kedai.
“Benar, bagaimana lopek bisa tahu?” tanyanya sambil tersenyum.
“Semua orang yang akan pergi ke Himalaya biasanya melewati tempat ini jika mengambil jalur timur” kata si lopek menjelaskan.
“Oh” si jubah merah mengangguk angguk sambil tersenyum.
“Di mana perlengkapan tuan?” tanya si lopek lagi.
“Aku tidak membawa perlengkapan apa-apa” jawabnya ringan.
“Wah, tuan bercanda? Pergi ke himalaya tanpa perlengkapan sama saja dengan bunuh diri”
“Memangnya aku perlu membawa apa saja?” tanya si jubah merah.
“Tuan perlu beberapa mantel bulu yang tebal. Cuaca di sana amat berbahaya. Tuan juga perlu menyiapkan bahan makanan yang cukup banyak”
“Di mana aku bisa membeli semua itu?”
“Si tua A Bin mempunyai toko khusus menjual perlengkapan ini. Tokonya di seberang utara. Mungkin 4 atau 5 rumah dari sini” jelas si lopek.
“Baik lah aku akan kesana sebentar lagi. Eh, apakah banyak orang yang pergi ke himalaya?” tanya si jubah merah.
“Setiap tahunnya pasti ada, dari kabar yang ku dengar ada benda berharga yang mereka cari di sana”
“Benda apa?”
“Loh, tuan bukannya hendak mencari juga?”
“Eh, tidak. Aku hanya ingin bertualang. Ku dengar di kaki gunungnya ada sejenis kaum yang amat aneh. Aku tertarik mengenal mereka”
“Oh, apakah yang tuan maksud Pek Swat Ceng (perkampungan salju putih)?”
“Benar sekali”
“Aih, kecantikan gadis-gadis Pek Swat Ceng memang amat sangat terkenal. Sampai orang-orang rela bepergian jauh hanya untuk menemui mereka.” Tukas si lopek.
“Apakah lopek pernah bertemu mereka?” tanya si jubah merah tertarik.
Si kakek mengangguk, “Beberapa anggotanya memang pernah lewat sini beberapa kali”
“Apakah mereka secantik legenda yang terdengar?”
“Tentu saja, aku yang setua ini belum pernah melihat kecantikan mereka”
Mata si jubah merah membesar.
“Apa yang mereka lakukan saat lewat sini?” tanyanya
“Cuma sekedar lewat. Tapi kami semua tahu mereka anggota Pek Swat Ceng. Dari bajunya kelihatan” jelasnya.
“Oh, ada ciri-ciri khusus di baju mereka?”
“Ya. Semua baju mereka ada bordiran huruf ‘swat’ (salju)” jawab si lopek.
Si jubah merah manggut-manggut.
“Eh tuan, bolehkah aku bertanya?” kata si lopek.
“Tentu saja”
“Tuan ini berasal dari mana?”
Si jubah merah tersenyum. Sepanjang hidupnya orang selalu menanyakan pertanyaan ini. Ia sendiri telah berusaha melupakannya. Bahkan namanya sendiri telah berusaha ia lupakan.
“Aku berasal dari kotaraja” jawabnya berbohong.
“Aih, tuan bepergian sejauh ini hanya untuk bertemu nona-nona Pek Swat Ceng?” tanya si lopek lagi.
“Benar” sahut si jubah merah sambil tersenyum, lanjutnya “Apakah pantas?”
“Pantas. Pantas sekali. Tuan tidak akan rugi berjalan sejauh ini hanya untuk bertemu mereka. Tapi......” si lopek ragu-ragu melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa, lopek?”
“Seharusnya tuan tinggal saja di rumah, dengan wajah setampan ini, aku rasa justru nona-nona Pek Swat Ceng yang seharusnya mendatangi tuan ke kotaraja”
“hahaha” ia hanya tertawa. Di dunia ini jika orang memujinya terlalu tampan, ia yakin mereka tidak mengada-ada. Justru ketika mereka berkata wajahnya buruk rupalah baru ia yakin mereka berbohong.
“Siapa nama tuan dan apa pekerjaan tuan?” tanya si lopek lagi.
“Aku adalah seorang Siucai (sastrawan), dan aku she (marga) Li bernama Hiang” katanya sembarangan.
“Ah tuan Li Hiang? Nama yang cocok sekali” kata si lopek. Hiang berarti ‘Harum’.
Mereka mengobrol lama hingga terang tanah. Li Hiang atau si jubah merah menanyakan banyak hal kepada kakek ini. Terutama tentang daerah ini, keistimewaannya, budayanya dan lain-lain. Ia memang sangat tertarik mempelajari manusia dan ciri khasnya.
Karena pemahamannya yang mendalam tentang manusia inilah, ia mampu menaklukkan golongan manusia yang paling sukar untuk ditaklukkan, perempuan.
Matahari sudah mulai bersinar terang. Berguci-guci arak pun sudah ia habiskan. Ia pun sudah sempat tertidur pulas beberapa jam. Badannya kini sudah segar, ia telah siap memulai perjalanan.
Setelah membayar arak dan berterima kasih kepada lopek itu, ia bergegas ke toko A Bin yang menjual perlengkapan mendaki. Setelah mencari sebentar, ia menemukan toko kecil itu.
Penjaga tokonya adalah seorang nona muda, berumur belasan tahun. Begitu ia memasuki toko itu, si nona terperanjat kaget. Li Hiang cuma tersenyum.
“Eh..eh selamat siang. Tuan mencari apa?” tanya si nona.
“Aku ingin mendaki Himalaya, dan ingin membeli perlengkapan” kata Li Hiang sambil tersenyum.
Si nona mendengarkan suaranya yang dalam dan lembut itu, sekian lama baru bisa menjawab,
“Eh..ada..ada..tunggu sebentar” segera ia bergegas ke belakang dengan wajah memerah.
Begitu kembali, ia tidak datang membawa perlengkapan, melainkan membawa seorang nona pula. Nampaknya kakak perempuannya.
Sang kakak yang terlihat menahan diri, mau tidak mau terhenyak juga saat dipandang Li Hiang.
“Eh...tuan mau membeli perlengkapan mendaki?” tanyanya pelan dan terbata-bata.
“Benar. Menurut nona, apa yang kira-kira harus ku beli?” tanyanya tenang namun senyum lembut tidak pernah hilang dari bibirnya.
“Mmmmm, tuan butuh...” katanya sambil membongkar-bongkar beberapa barang, “ini...” ia menunjukkan mantel bulu.
“Lalu?” tanya Li Hiang hampir menahan tawa.
“Mmmmm...ini juga” ia menunjukkan segulungan tali yang tebal. Wajah mereka berdua memerah. Pura-pura sibuk mencari-carikan barang.
Karena gugupnya, ada beberapa barang yang terjatuh dari rak. Dengan sigap Li Hiang membantu si nona mengambil barang itu. Tak sengaja tangan mereka berdua bersentuhan.
“Ahhh” lenguhan itu hanya terdengar perlahan. Tapi Li Hiang mendengarnya. Ia memang sengaja menyentuh tangan nona itu.
“Hati-hati nona” katanya sambil tersenyum.
Rupanya barang yang jatuh tadi adalah beberapa bungkusan makanan kering. “Tuan..tuan butuh ini juga” kata si nona terbata-bata. Adiknya malah sudah tidak berada di sana. Menenggelamkan diri dibalik tumpukan barang dagangan. Li Hiang tau nona kecil itu sedang tersenyum-senyum sendiri di balik tumpukan barang itu.
“Cici (kakak), tuan itu butuh juga peralatan memasak” kata adiknya berkata dari balik tumpukan.
“Ah betul sekali, cici” kata Li Hiang menirukan sebutan ‘cici’.
“Aih mengapa tuan memanggilku cici...” kata si nona, wajahnya sedikit merengut. Tetapi rona merah dari wajahnya tidak menghilang.
“Maaf aku tidak tahu namamu” kata Li Hiang, sambil berkata begitu tangannya secara ‘tidak sengaja’ menyentuh lengan atas nona itu yang putih mulus kemerah-merahan.
“Namaku, Tan Ling” katanya.
“Oh nona Tan” kata Li Hiang pelan.
“Kalau tuan siapa namanya?” tanya adiknya dari balik tumpukan barang.
“Namaku? Ah..” Li Hiang tersenyum penuh rahasia. Lanjutnya, “Namaku kan tidak penting” katanya sambil tertawa kecil.
“Curang. Tadi bukankah ciciku sudah memberitahukan namanya? Mengapa sekarang tuan merahasiakan nama tuan?”
“Kan yang bertanya kamu, bukan cicimu” goda Li Hiang.
Pelajaran pertama menaklukkan hati perempuan: buatlah mereka penasaran. Li Hiang sudah pasti telah menguasai sekali pelajaran ini.
“Baiklah! Namaku Tan Cin” kata si adik. Dari ekor matanya, Li Hiang melihat si kakak tersenyum-senyum saja melihat salah tingkah adiknya.
“Salam kenal, nona Tan kecil” kata Li Hiang.
“Aku bukan anak kecil, umurku sudah 16” tukasnya dari balik tumpukan barang. Kepalanya muncul sejenak.
Li Hiang tertawa kecil.
Ironi terbesar manusia adalah saat kecil mereka ingin cepat dewasa, saat dewasa mereka ingin kembali menjadi anak-anak.
“Baiklah, Biar ku bantu mengangkat barang-barang yang akan kubutuhkan. Aku mungkin akan berada di sana sekitar 5 atau 6 hari”
“Baiklah, aih tuan baik sekali mau membantu” kedua nona Tan itu bekerja dengan semangat.
Bau tubuh mereka bercampur antara keringat dan wangi sabun dan pewangi. Li Hiang paling menyukai bau ini. Kadang-kadang saat ia membantu mengangkatkan barang yang cukup berat, ia menghirup bau ini.
Hal yang paling menarik dari perempuan selain wajah dan tubuh mereka, adalah wangi mereka. Bau khas yang merupakan campuran keringat dan pewangi. Wanita yang bisa merawat tubuhnya akan memiliki bau khas yang menyenangkan. Kedua nona ini, walaupun belum terlalu mengerti tentang hal ini, bau mereka masih menyenangkan. Ini mungkin karena mereka rajin menjaga kebersihan.
“Eh kemana orang tua kalian?” tanya Li Hiang.
“Ibu sudah meninggal saat kami masih kecil, ayah sekarang sedang pergi ke kampung sebelah. Ada saudara kami yang meninggal” jelas Tan Cin.
“Oh, aku turut berduka” kata Li Hiang penuh simpati.
Setelah bekerja beberapa lama, akhirnya selesai juga. Li Heng membayar semua keperluannya, bahkan membayar dengan harga lebih, kedua nona desa yang manis itu tentu saja senang.
“Tuan ada keperluan apakah ke Himalaya? Ingin mencari pusaka berharga, atau mengunjungi Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)?” tanya Tan Cin, nona kecil ini rupanya senang mengobrol.
Li Hiang menerawang, padangannya jauh ke kaki langit di mana Himalaya terasa masih begitu jauh. Ia masih diam begitu lama.
“Menurut yang kami dengar, para gadis-gadis Pek Swat Ceng itu memang cantik bak bidadari. Dibandingkan dengan gadis dusun seperti aku dan cici tentu jauh sekali” kata Tan Cin lagi.
Li Hiang seolah tersadar dari lamunannya,
“Benarkah?” tanyanya senyumnya yang tenang masih menyungging.
“Benar” tukas Tan Cin, yang dibenarkan oleh anggukan kepala Tan Ling.
“Aku tidak begitu tertarik dengan Pek Swat Ceng” kata Li Heng.
“Oh jadi tuan mencari pusaka?” tanya Tan Cin dengan mata membesar.
“Tidak juga” jawab Li Hiang pelan.
“Lalu?” serempak kedua nona mungil ini bertanya.
“Aku hanya ingin menyepi. Kalian tahu, aku adalah seorang siucai (sastrawan). Aku ingin membuat puisi yang indah dan lagu yang merdu tentang pemandangan di Himalaya”
“Kenapa..memilih himalaya” kini Tan Ling yang bertanya.
“Aku sudah mendatangi banyak tempat. Gunung dan gurun, sungai dan samudera. Hanya Himalaya ini yang belum” kata Li Heng.
Lelaki yang amat tampan, sopan, dan gagah. Pandai menuliskan kata indah, senang bertualang pula. Perempuan siapa yang tidak jatuh hati?
“Aih tuan punya syair yang bagus? Perdengarkan kepada kami” kata Tan Cin bersemangat.
“Alah, cuma syair dari penyair tak bernama, mana pantas diperdengarkan kepada peri-peri cantik” kata Li Hiang.
“Aih, tuan suka menggoda, mana pantas kami disebut peri-peri cantik?” kata Tan Cin, wajahnya semakin merona.
“Ayolah perdengarkan, tuan” kata Tan Ling.
“Baiklah jika kalian memaksa” kata Li Heng.
Ia terdiam sebentar. Memejamkan matanya. Wajahnya seperti menikmati wangi bunga yang semerbak.
Ia sendirian,
Menatap bulan dan bintang di angkasa,
Adakah seseorang di sana yang menatap pula angkasa ini?,
Merasakan yang dideritanya, Merasakan kerinduannya,
Sesungguhnya sendirian pun tak mengapa,
Asalkan ada seseorang di sana yang memikirkannya,
Sendirian pun tak mengapa.
Lalu Li Hiang terdiam, dan membuka matanya.
Puisi ini pendek dan sangat sederhana. Tapi seolah olah isi hati dan perasaannya telah tertuangkan ke dalam kata-kata yang sederhana itu.
Tan Cin dan Tan Ling seolah-olah terbawa pula oleh perasaan ini.
Lelaki yang penuh perasaan, memang memiliki pesonanya tersendiri. Kata-kata ini memang ada benarnya. Wanita mengutamakan perasaan, oleh sebab itu, lelaki yang penuh perasaan selalu dapat mengerti mereka.
“Beruntung sekali nona yang tuan rindukan itu” kata Tan Ling.
Li Hiang memandang jauh ke depan. Seolah-olah bayangan ‘nona’ yang dimaksud Tan Ling itu benar-benar berada di hadapannya. Sampai-sampai Tan Cin dan Tan Ling pun menoleh ke tempat Li Hiang menatap.
Sunyi.
Lalu Li Hiang tertawa.
“Nona itu tidak perduli” kata Li Hiang.
“Bagaimana mungkin ada orang yang tidak perduli kepada tuan?” kata Tan Cin. Terus terang ia tidak mungkin percaya ada seorang nona yang menyia-nyiakan orang seperti tuan di hadapannya ini. Lanjutnya, “Kalau bukan karena buta atau gila, tentu saja tak ada seorang pun nona yang berani menyakiti tuan”
Nona sekecil ini mengerti apa tentang cinta?
Li Hiang hanya tertawa, dengan lembut ia menyentuh lengan Tan Cin. Lengan yang montok, dan menggairahkan untuk ukuran nona seumur dia. “Tentu saja ada. Aku kan bukan seorang dewa cinta yang mampu membuat semua orang jatuh cinta kepadaku” katanya sambil tersenyum.
“Aih, bodoh sekali nona itu” kata Tan Cin merengut. Hidung dan bibirnya menjadi lebih mancung.
“Nona itu tidak perduli atau tidak tahu? Apakah tuan pernah mengungkapkan perasaan tuan kepadanya?” Tan Ling bertanya.
“Pernah”
“Lalu apa jawabnya?” tanya mereka serempak.
“Ia hanya tertawa dan pergi”
Perempuan yang tertawa dan pergi bukan hanya dia seorang, pun dia bukan orang yang terakhir. Laki-laki di mana pun di dunia ini pasti suatu waktu pernah bertemu dengan perempuan yang tertawa dan pergi. Entah bagaimana perasaan laki-laki di saat itu, hanya laki-lakilah yang benar-benar mengetahuinya.
“Lalu?” tanya mereka serempak lagi.
“Apanya yang ‘lalu’?” tanya Li Hiang sambil tertawa.
“Apa yang kemudian tuan lakukan?”
“Aku pun pergi” katanya sambil mengangkat bahu.
“Tuan tidak mengejarnya?”
“Tidak” kata Li Heng.
“Aihhhh”
Jika perempuan mengatakan ‘tidak’ kepada lelaki, dan menyuruhnya pergi, maka kemungkinannya hanya dua. Ia ingin dikejar, atau ia benar-benar ingin lelaki itu pergi.
Sayangnya saat itu Li Hiang tidak mengerti pemahaman ini.
Laki-laki selalu memang terlambat memahami perempuan.
Saat ia akhirnya mengerti, ia memastikan kepada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah mengalami lagi penderitaan seperti ini.
“Ah sudahlah, aku harus berangkat. Tak lama lagi akan sore” kata Li Hiang. “untuk kenang-kenangan, ku harap nona berdua mau menerima ini”. Ia mengeluarkan dua buah giok yang indah dari kantongnya.
“Aih indah sekali, mana berani kami menerimanya” kata Tan Ling.
“Terima lah, suatu hari jika kita bertemu, aku kan bisa mengingat kalian berdua” kata Li Hiang. Ia lalu pergi dengan memanggul barang-barang yang dibelinya.
Lama keuda orang ini memandang Li Hiang.
“Ia nampaknya tidak seperti yang orang-orang ceritakan” kata Tan Cin.
“Benar. Ayo kita tuliskan laporan kepada suhu” kata Tan Ling.
Jauh berjalan, Li Hiang masih tersenyum,
“Nona-nona bodoh itu apa merasa aku tolol?” ia tertawa.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 5: DUA KEMBANG CANTIK"
Posting Komentar