Mereka telah melalui perjalanan berbulan-bulan. Si Nona rupanya memiliki anak buah yang sangat banyak. Di mana-mana ia bertemu mereka dan memberi perintah. Menurut dugaan Suma Sun, si nona pasti telah mengabari keadaan dirinya kepada kedua orang tuanya. Dan dugaannya memang benar.
“Menurut berita yang kudengar, ayah ibumu sudah mulai melakukan perjalanan. Beberapa hari yang lalu orang-orangku sudah mengirimkan barang-barangmu dan sepucuk surat kepada mereka” kata si Nona.
“Mereka akan menemukanmu sebelum menemukan pedang itu” sahut Suma Sun tenang.
“Haha. Tidak segampang itu. Bahkan jika malaikat maut ingin mencariku pun mungkin bukan perkara yang mudah” tawanya renyah.
Suma Sun tidak tahu bagaimana ia bisa seyakin itu. Ia tidak tahu, perempuan yang teramat cantik biasanya amat yakin terhadap dirinya sendiri.
“Jangan harap ia akan menemukan jejak-jejak yang kau tinggalkan” kata si nona sambil tersenyum.
Suma Sun tidak menjawab.
“Kau jangan pura-pura bodoh. Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau meninggalkan jejak sepanjang perjalanan? Goresan pada pohon, tanda-tanda rahasia pada rerumputan, sisa-sisa makanan yang kau atur sedemikian rupa. Semuanya sudah dibersihkan dan dibereskan anak buahku. Ayah ibumu akan tersesat sejauh ribuan li saat mencarimu.” Tawa si nona.
Tiba-tiba Suma Sun merasa perempuan ini memang benar-benar menakutkan. Sayangnya, dirinya sendiri memang tidak pernah merasa takut.
“Nona memang hebat” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Tentu saja” walaupun tidak dapat melihat, Suma Sun dapat membayangkan betapa cantiknya nona itu saat berkata begitu.
“Kau istirahatlah, besok kita akan memulai perjalanan lagi”
Suma Sun mengangguk. Ia memang tak dapat melakukan apa-apa. Tubuhnya selalu ditotok. Perjalanan pun dilakukan dengan kereta yang tertutup. Dari pendengarannya Suma Sun tahu ini bukanlah kereta biasa saja. Pasti merupakan kereta mewah yang mahal. Kuda penariknya pun merupakan kuda-kuda pilihan.
Siapa nona ini? Apa rencananya? Suma Sun hanya bisa menebak-nebak saja.
Selama perjalanan mereka singgah di berbagai tempat. Rumah tempat singgah mereka pun semuanya merupakan rumah-rumah mewah. Saat ini pun ia sedang berada di sebuah rumah mewah yang tamannya sangat indah. Angin membawa aroma sejuk dan wangi bunga-bunga yang beraneka rupa. Suara gemericik air dari sungai yang mengalir di sekitar menambah indahnya suasana. Seandainya ia sedang tidak disekap, tentulah ia akan keluar menikmati suasana ini.
Orang buta memang kadang lebih paham keindahan dunia ketimbang orang yang tidak buta. Itulah mengapa cinta itu buta pula.
Berdekatan dengan nona ini setiap hari, merasakan kehangatannya, mendengarkan suara indahnya, menciup wangi tubuhnya, menimbulkan perasaan yang Suma Sun sendiri tidak mengerti. Dalam keadaan ditawan seperti ini, ia tidak merasa takut. Jauh di lubuk hatinya terdalam, ia bahkan berharap agar kedua orang tuanya tidak segera menemukannya.
Perasaan aneh seperti ini bukankah pula tumbuh di hati semua umat manusia? Kadang-kadang membuat si manusia tidak sanggup berpikir dengan jernih. Bahkan menatap kenyataan dengan pandangan yang sama sekali berbeda.
Yang seharusnya dibenci justru dicintai, yang seharusnya dicintai justru dibenci.
Yang seharusnya didekati justru dijauhi, yang seharusnya dijauhi justru didekati.
Apakah karena kebodohan ini umat manusia mengalami penderitaan yang terus menerus?
Anak semuda ini, mana paham cara menahan perasaan? Mereka yang sdah berumur pun belum tentu bisa melakukannya. Apalagi Suma Sun yang baru berusia belasan tahun.
Si nona pun bukannya tidak mengetahui hal ini. Ia justru sangat mengetahuinya, dan malah ia telah merencanakannya. Ia justru paling ahli dalam masalah ini. Semua anak buahnya justru ditaklukannya dengan cara ini.
Kecantikan perempuan justru sebenarnya adalah hal yang mengerikan. Jika ia menggunakannya dengan pintar dan cerdik, alangkah banyaknya penderitaan yang mampu ia hasilkan.
Si nona telah mempelajari ini sejak ia kecil. Sejak menjadi tawanan perampok di Mongolia. Ia telah mengalami penyiksaan, penodaan, dan penderitaan. Tapi ia belajar dan belajar. Sehingga ia akhirnya menjadi kesayangan sang kepala perampok.
Saat gerombalan perampok itu ditumpas oleh kerajaan Goan (Mongolia), ia lalu menjadi tawanan prajurit. Dengan kecantikan dan pengalamannya, ia malah menjadi kesayangan seorang jenderal. Lalu tak sengaja sang Kaisar Goan melihatnya dan menjadikannya selir kesayangannya.
Thian (langit) memang memberkatinya dengan kemujuran demi kemujuran setelah penderitaan yang selama ini selalu dideritanya. Entah darimana ia mempelajari ilmu dan ramuan-ramuan yang semakin mempercantik dirinya. Ilmu ini bahkan mampu membuatnya melawan kekuatan umur yang menggerogotinya.
Ia menjadi semakin cantik dan semakin menggairahkan. Pengalamannya dalam menaklukan ratusan lelaki menjadi modal utamanya untuk menaklukan hati kaisar. Sampai akhirnya ia melahirkan benih sang kaisar sendiri. Walaupun anak itu bukanlah putra mahkota yang akan menggantikan sang kaisar kelak.
Tidak ada yang tahu umur pastinya. Bagi pandangan mata manusia, ia tetaplah nona cantik yang senyumnya dapat meluluhkan hati lelaki manapun. Suaranya yang mendesah bahkan mampu memberi perintah kepada sang kaisar sendiri.
Hingga suatu saat kerajaan Goan pun runtuh dan digantikan kerajaa Beng. Dengan susah payah ia berhasil menyelamatkan dirinya dan anaknya. Dengan sisa-sisa kekuatannya ia membangun kembali apa yang selama ini telah menjadi miliknya.
Kekuasaan.
Kekuasaan memang teramat sangat menggiurkan. Orang mampu melakukan apa saja.
Entah sudah berapa tahun ia membangun kembali kekuatan ini secara diam-diam. Entah seberapa besar kekuasaannya, entah berapa pula umurnya, tak ada seorang pun yang tahu.
Si nona kini memandang bintang-bintang di angkasa. Ia telah memandang bintang-bintang itu sekian lama seolah olah ingin mengambil seluruh cahaya bintang-bintang itu untuk diletakkan di kedua matanya yang indah.
Terdengar suara di belakangnya,
“Siocia, Song Wei datang melapor”
“Berita apa yang kau bawa, Song Wei?” tanya si nona.
“Pendekar Suma dan istrinya sedang menuju ke puncak Himalaya” kata Song Wei.
“Menurut kabar, si Jubah Merah sedang menuju perjalanan ke sana pula”
Dengan akalnya, si nona menghubung-hubungkan kedua berita ini.
“Apakah Pedang Ungu berada di tangan si Jubah Merah?” tanyanya.
“Benar siocia. Menurut kabar, ia telah berhasil menemukan pedang itu” jawab Song Wei.
“Wow, sangat menarik. Dan kau tahu mengapa si Jubah Merah menuju ke puncak Himalaya?” tanya si nona lagi.
“Hamba belum mendapatkan kabar yang pasti, tapi menurut hamba, ia mungkin melarikan diri dari kejaran orang-orang Bu Lim (kalangan persilatan)” jawab Song Wei.
“Haha. Orang seperti dia tak akan mungkin lari. Aku paham betul sifat lelaki seperti itu” ia berkata begitu sambil membasahi bibirnya. Pipinya merona merah.
Melihat itu Song Wei hanya bisa menelan ludahnya. Ia telah bepergian jauh dan menempuh banyak bahaya hanya untuk bisa menatap pipi yang merona merah itu.
“Untuk jasamu ini rasanya kau boleh menemaniku malam ini” kata si nona tersenyum mesra.
Rembulan bersinar terang.
Dua anak manusia lalu tenggelam dalam nikmatnya cinta.
Beribu-ribu li dari sana, seorang pria yang amat sangat tampan sedang memandang rembulan itu pula.
Ia duduk di atap kereta ditemani arak dan sebuah jubah merah untuk menghangatkannya. Jubah merah yang menggetarkan dunia. Bayangan jubah ini telah menancapkan rasa takut dan segan yang teramat dalam di hati manusia.
Dan ia teramat bangga dengan jubahnya ini. Baginya jubahnya ini adalah cerminan dari dirinya sendiri.
Ia teramat sangat tampan. Lelaki dengan wajah setampan ini amat sangat sukar untuk menjadi lelaki baik-baik. Tak terhitung banyaknya perempuan yang merelakan diri dan jiwanya terkoyak koyak. Mereka semua datang secara sukarela kepadanya. Jika kau memiliki wajah setampan ini, bidadari di khayangan pun akan datang secara sukarela kepadamu.
Dunia persilatan menyebutnya dengan julukan ‘Jai Hwa Sian’ sang Dewa Pemetik Bunga. Di mana ia hadir, akan ada puluhan bahkan ratusan ‘bunga’ yang akan ia petik dan ia hisap madunya. Bunga tentu saja adalah wanita.
Selama hidupnya, tidak ada satu pun wanita yang tidak pernah tidak menginginkan dirinya.
Tak terhitung nona-nona cantik ini rela meninggalkan rumah, rela meninggalkan keluarga hanya agar dapat bersama dirinya. Hanya agar dapat memandang matanya yang teduh, senyumnya yang hangat, dan suaranya yang dalam dan menenangkan.
Jika dunia kiamat sekalipun, wanita manapun akan merasa aman saat berada di dalam pelukannya.
Ia pintar menghadapi wanita. Ia tahu cara menghadapi mereka. Ia tahu cara memuaskan perasaan wanita-wanita ini. Ia mengerti mereka, memberikan apa yang selama ini mereka cari, dengan caranya yang berbeda-beda. Ia tahu isi hati perempuan luar dalam.
Dan itulah mungkin cara ia mampu menaklukkan mereka. Ketampanan saja tidak akan cukup. Ia memiliki banyak hal yang amat diinginkan perempuan darinya. Wajah yang sangat rupawan, tubuh yang tegap, uang, kata-kata yang manis, dan pengetahuan yang amat dalam tentang sifat-sifat perempuan.
Dengan kemampuannya ini ia dapat mengajak pergi nona kecil yang masih bau kencur untuk kabur dari rumah orang tua mereka. Dapat membawa lari istri pejabat-pejabat tinggi, dan bahkan sampai masuk ke dalam ruang selir-selir kaisar dan bersenang-senang dengan mereka.
Tak ada satu perempuan pun yang meninggalkan lengannya tanpa terpuaskan jiwa dan tubuhnya.
Maka bisa dibayangkan betapa berbahayanya laki-laki ini. Karena lelaki yang paling berbahaya adalah laki-laki yang dapat menaklukkan perempuan.
Seluruh kalangan mencarinya. Seluruh kalangan menetapkannya sebagai buronan. Karena dengan kemampuannya ini ia mampu mendapatkan apa saja.
Pedang Ungu yang sedang berada di depannya ini tentu saja adalah salah satu hasilnya.
Ia sangat paham pedang. Bahkan pedang adalah salah satu keahliannya yang paling ia banggakan. Dan ia tahu pedang apa yang berada di hadapannya ini.
“Tok Kiu Pai menaklukkan dunia dengan pedang ini. Aku pun akan menaklukan dunia dengan pedang ini pula” batinnya.
“Sayang, masuklah aku kedinginan” terdengar suara dari dalam kereta.
Sang Dewa Pemetik Bunga tersenyum, lalu melompat turun dan masuk ke dalam kereta.
“Kau belum tidur, sayang?” tanyanya mesra.
“Bagaimana aku bisa tidur kalau tidak kau peluk?” suara itu suara perempuan.
Tentu saja ia kedinginan karena saat itu ia tidak mengenakan sehelai benang pun.
“Hmm, memangnya apa yang akan kau berikan kepadaku jika aku memelukmu?” tanya si lelaki sambil tersenyum mesra.
“Apa saja. Kau minta apapun pasti akan ku berikan” jawab si perempuan. Wajahnya merona merah.
“Kalau aku meminta keningmu?” bisik si lelaki.
“Tentu saja ku berikan”
“kalau aku minta mata mu?”
“Tentu saja ku berikan pula”
“Kalau hidungmu”
“Boleh kau ambil saja” kata si wanita sambil merengut manja.
“Kalau bibirmu?” sambil bertanya ini, ia menghembuskan nafasnya ke kuping si wanita.
“Bibir ini toh punyamu, memangnya akan kau apakan jika kuberikan?” tanya si nona manja.
“Jika sudah menjadi milikku tentu saja terserah apa yang aku inginkan untuk kulakukan pada bibir itu” jawab si lelaki.
“memangnya apa yang akan kau lakukan?” desah si wanita.
Si lelaki tersenyum. Betapa tampannya wajah ini.
“Aku tidak mau mengatakannya kepadamu. Kau boleh membayangkan sendiri” katanya sambil tertawa kecil.
“Kau jahat! Aku tidak ingin melihatmu lagi” kata si wanita sambil memukul-mukul manja dada si lelaki.
Mereka berdua tertawa dengan mesra.
Kegelapan malam menyelimuti pinggiran hutan yang lebat dan sepi itu.
Suara nafas mereka berdua memburu. Hingga sang lelaki berhenti.
“Kenapa?” tanya si wanita.
“Kau tunggu di sini” kata si lelaki sambil cepat-cepat mengenakan bajunya.
Ia mengenakannya dengan cepat dan sudah keluar dari keretanya.
Di luar sudah ada seseorang yang terlihat mendekati kereta itu.
“Benar dugaanku penjahat hina ini berada di sini” kata lelaki yang datang itu. Ia sudah setengah baya.
“Ah, Bhok-tayhiap rupanya. Selamat datang” ia menjura dan memberi salam.
Selamanya ia memang adalah lelaki yang sangat sopan dan mengerti adat.
“Tidak perlu bertele-tele” Bhok-tayhiap mengeluarkan pedang dari sarungnya.
“Di mana anakku?” tanyanya.
“Bhok-siocia sudah terlelap di dalam kereta, tayhiap.” Jawab si lelaki berjubah merah ini.
“Kurang ajar!” cepat cepat ia memburu ke kereta itu dan membuka pintunya. Dilihatnya putrinya sedang tertidur lelap. Dengan marah ia membentak dan menarik putrinya, “Ayo pulang!”
Putrinya tentu saja tidak terlelap. Ia hanya pura-pura saja sejak pertama kali ia mengetahui bahwa ayahnya datang.
“Eh, ada apa?” katanya ‘kaget’.
“Ayah?”
Plakkk! Itu jawaban dari ayahnya.
“Bikin malu keluarga!”
Dengan marah ia menoleh ke si Jubah Merah, “Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu” katanya sambil menuding pedang.
“Perbuatan apa?” tanya si Jubah Merah.
“Kau telah membawa kabur anakku. Kau pilih mati kubunuh atau mengawininya?”
Si jubah merah tertawa.
Orang seperti Bhok-tayhiap ini jika ada sepuluh pun belum tentu sanggup menggoreskan pedang kepada tubuhnya.
“Bhok-siocia secara sukarela untuk pergi dengan cayhe. Sama sekali cayhe tidak membawa lari. Bukankah ia telah menuliskan surat kepada tayhiap?” tanyanya sopan.
Bhok-tayhiap sama sekali tidak bisa menjawab karena ia menyadari kebenaran kata-kata ini. Tiga hari yang lalu ia menemukan surat ini di atas mejanya.
“Kau...kau...” katanya terbata-bata.
“Ayah....sudahlah....aku...aku mencintainya..aku ingin hidup selamanya bersamanya” kata si nona.
Alangkah pedihnya hati seorang ayah. Setelah bertahun-tahun membesarkan dan memberikan penghidupan yang layak kepada anak perempuannya, lalu si anak perempuan meninggalkannya karena jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru dikenalnya.
Kebanyakan laki-laki jika telah menjadi ayah baru akan mengerti pemahaman ini. Baru akan mengerti betapa mereka dulu tidak disukai calon mertuanya.
Bhok-tayhiap tidak tahu harus berkata dan berbuat apa-apa. Air mata menetes di pipinya. Entah air mata kemarahan, dan air mata kesedihan.
Lalu ia menarik anak perempuannya dengan paksa.
“Jika kau berani datang dan melamarnya secara baik-baik. Aku akan merestuinya.”
Ia tidak lagi menghiraukan tangisan anak perempuannya yang meronta-ronta tidak ingin diajak pergi.
Si Jubah Merah berkata dengan tenang,
“Tunggulah di rumah”
Dan tak lama kemudian ia telah sendirian berada di situ. Bayangan si nona dan ayahnya telah menghilang ditelan kegelapan.
Ia tersenyum.
“Mengapa perempuan begitu mudah dibohongi?”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 4: SI JUBAH MERAH"
Posting Komentar