EPISODE 2 BAB 38 RAHASIA HATI MANUSIA


“Semua perabot ini ditata dengan sangat hati-hati. Saling menunjang, saling menutupi. Menjadi sebuah benteng yang akan melindungimu dari serangan senjata rahasia dari luar. Kau pasti mempelajarinya dari kitab Bu Bhok,” tukas Bwee Hua sambil membuka topeng pembunuh yang barusan saja dibunuhnya. Ia tidak mengenal orang itu. Pembunuh bayaran biasanya memang tidak punya nama.

“Ya, buku itu lumayan berguna juga. Pantasan saja banyak orang ingin merebutnya. Eh ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa sampai ke mari?” tanya Cio San.

“Keadaan sedang gawat.Di luar, ribuan pasukan sedang mencariku. Sebaiknya kau memikirkan cara untuk menyelamatkanku. Setelah itu, apa yang ingin engkau tanyakan ku jawab semua,” kata Bwe Hua.

Belum sampai kalimatnya selesai, pintu sudah didobrak orang. Puluhan pasukan masuk ke dalam.

“Menyerahlah kalian! Kalian sudah dikepung!”

Bwee Hua hanya menoleh sambil tersenyum. Para pengawal sepanjang hidupnya belum pernah menyaksikan kecantikan serupa ini. Bahkan jika seluruh permaisuri, selir, dan dayang-dayang istana digabungkan, kecantikan mereka masih belum bisa menyamai kecantikan wanita di hadapan mereka.

Cio San lalu berdiri dan menunjukan lencana naga kaisar.

Semua yang hadir di sana langsung berlutut, “Kami patuh perintah kaisar!”

“Orang yang mati ini adalah penyusup yang masuk ke istana, untunglah sahabatku Bwee-siocia (nona Bwee) mampu membunuhnya. Kami memiliki tugas rahasia untuk menangkapnya. Mohon segera bereskan mayatnya. Aku harus segera meninggalkan tempat ini. Masih ada tugas lain yang harus keselesaikan!” Cio San berkata dengan gagah.

Dengan santainya ia dan Bwee Hua keluar dari sana. Ribuan prajurit yang tadinya mengurung tempat itu, semuanya berlutut saat melihat lencana naga yang ia pegang. Mereka berjalan dengan ringan dan santai, sedangkan ribuan tentara berlutut dengan patuh menundukan kepala. Amat sangat gagah lelaki ini! Bwee Hua menatapnya dengan penuh kekaguman. Laki-laki yang bisa membuat Bwee Hua kagum mungkin cuma dia seorang.

Mereka telah sampai keluar istana. Berjalan di kegelapan malam kotaraja yang sudah sepi. Hanya gonggongan anjing yang terdengar dari jauh. Ada beberapa pengemis dan orang mabuk di pinggir jalan. Bwee Hua lalu bertanya, “Kenapa kau memilih keluar dari istana? Bukankah di sana adalah tempat yang paling aman? Di luar sini, siapa saja bisa membunuhmu dengan mudah.”

“Ada seorang pembunuh bayaran yang bisa berkeliaran dengan mudah di dalam istana. Masa kau masih bilang istana itu aman?”

“Tapi di luar sini...?” tanya Bwee Hua.

“Di dalam istana, sahabatku cuma satu orang. Itu pun ia tidak bisa menjagaku selamanya. Di luar sini, aku punya banyak kawan dan sahabat.”

“Oh, aku hampir lupa bahwa kau adalah mantan ketua Kay Pang dan Mo Kauw,” tukas Bwee Hua sambil tertawa.

Cio San mengajak Bwee Hua ke sebuah kedai arak yang lumayan bersih. Diajaknya Bwee Hua sampai ke belakang. Ternyata kedai kecil itu adalah milik Mo Kauw. Dengan sedikit sandi-sandi rahasia, seluruh pekerja di kedai arak kecil ini telah melayani mereka dengan baik. Tidak ada kamar di bagian belakang kedai ini. Hanya ada sejenis balairung kecil tempat pertemuan. Rupanya tempat ini sering dipakai untuk pertemuan anggota-anggota Mo Kauw.

Ada beberapa kursi empuk yang bisa mereka pakai untuk beristirahat. Bwee Hua berbaring dengan nyamannya. Seperti telah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tubuhnya yang menggiurkan tampak semakin indah saat ia berbaring menyamping menghadap Cio San yang sedang duduk di seberang meja di hadapannya.



“Nah, kau sudah boleh cerita,” kata Cio San.

“Kau sungguh-sungguh selalu langsung ke persoalan. Tidak ingin bercengkerama dahulu kah? Kita kan sudah lama tidak berduaan seperti ini,” kata Bwee Hua manja. Kerlingan matanya tidak dibuat-buat. Segala hal di dalam dirinya memang tidak pernah dibuat-buat.

“Sopan sedikit. Kau adalah istri sahabatku,” kata Cio San dengan dingin.

“Memangnya kenapa jika aku istri sahabatmu? Jika aku ingin menelanjangimu sekarang, memangnya kau bisa apa? Seluruh anak buahmu yang ada di sini tak akan bisa menolongmu,” kata Bwee Hua sambil tertawa manis.

“Anak buahku sudah pergi seluruhnya. Keberadaan kita di tempat ini terlalu berbahaya bagi mereka,” kata Cio San dengan tenang.

“Oh, jadi kau memang ingin kita berduaan saja? Bagus sekali....,” ia mendesah. Lalu turun dari kursi tempat ia berbaring tadi. Bajunya entah bagaimana sudah berantakan. Menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang tak dapat digambarkan indahnya dengan kata-kata.

“Aku dapat menaklukkan seorang pembunuh bayaran yang hebat tanpa menggunakan ilmu silat. Apakah kau pikir aku tak dapat menaklukanmu tanpa ilmu silat pula?” Cio San masih berbicara dengan tenang, padahal seorang bidadari yang tercantik di muka bumi sudah berdiri hampir telanjang di hadapannya.

Lama sekali Bwee Hua menatapnya. Sejuta pikiran dan perasaan terlintas dalam benaknya. Entah apa. Hanya ia yang bisa mengerti. Lalu pandangannya yang penuh gelora asmara itu perlahan-lahan berubah menjadi kebencian. Ia tahu Cio San berkata benar. Ia selalu kalah langkah dari lelaki di hadapannya itu.

Itulah mengapa sebuah perasaan tumbuh di hatinya sejak dulu.

“Kau memang bodoh!” bentaknya sambil membanting kaki.

“Teruskan, aku mendengar,” lelaki ini masih tampak sangat tenang.

“Mengapa kalian para lelaki tidak pernah mengerti perasaan perempuan?” jika perempuan berkata seperti ini kepadamu, kau akan tahu bahwa ia sebenarnya menyukaimu.

Tapi Cio San tidak merasakan apa-apa. Ia tahu, Bwee Hua memiliki segala senjata untuk menaklukan laki-laki. Semua perempuan sebenarnya memiliki senjata ini.

Air mata mengalir di pipi Bwee Hua. Wajahnya berubah menjadi sangat menyedihkan. Perpaduan antara kecantikan tiada tara, dan kepedihan hari yang paling dalam.

“Kau tahu mengapa Cukat Tong menjadi gila? Mengapa ia bagaikan sesosok mayat hidup, tanpa gairah dan tanpa semangat? Kau tahu berapa kali ia mencoba untuk bunuh diri? Kau tahu berapa kali ia menyakiti dirinya sendiri?”
Cio San tahu hal ini. Ia hanya tidak tahu penyebabnya.

“Itu karena ia tahu, istri yang sangat dicintainya, ternyata mencintai sahabat terbaiknya!”

Bagaikan guntur di siang bolong, Cio San terhenyak. Tetapi ia segera menguasai dirinya. Di luaran ia tampak tenang, tetapi di dalam dadanya, sebuah gejolak menghantam bagaikan ribuan ombak besar. “Tipu daya apapun darimu tak akan mampu mempengaruhiku,” katanya.

“Kau berkata aku menipumu, tetapi jauh dilubuk hatimu kau tahu bahwa aku berkata benar. Kau dapat melihat wajahku, gerak tubuhku, dan kau tahu dengan pasti aku tidak berbohong.....” ia tak dapat melanjutkan perkataannya.

Lama sekali mereka saling diam dan saling menatap. Lalu Bwee Hua menambahkan, “Sudah berapa kali kalu lukai perasaan sahabat-sahabatmu? Melakukan hal seenakmu tanpa memperhatikan perasaan mereka! Kau bukanlah seorang sahabat sejati seperti yang dibangga-banggakan dirimu dan sahabat-sahabatmu. Mereka rela mati untukmu, rela terluka untukmu, rela mengorbankan segala hal untukmu. Tetapi kau sama sekali tidak pernah menghargainya!”

“Sahabat-sahabat yang mana yang kau maksud?” sedikit demi sedikit Cio San sudah mulai terbawa perasaan pula.

“Ang Lin Hua. Gadis yang cantik dan manis. Penuh wibawa dan sangat diandalkan. Ia telah mengorbankan banyak hal untukmu tetapi kau tidak memperdulikan perasaannya dan malah memilih bertunangan dengan Khu Ling Ling. Ang Lin Hua begitu hancur sehingga ia hampir bunuh diri. Beruntung Suma Sun berada terus di sampingnya. Menghibur hatinya. Hingga perlahan-lahan Ang Lin Hua dapat bangkit. Lalu Suma Sun kemudian berkorban pula untuk menikahi gadis itu, hanya sekedar agar ia dapat melupakanmu. Agar gadis itu tidak menyalahkanmu dan membencimu. Tahu kah kau perasaan Suma Sun? Orang seperti dia dapat menikahi perempuan mana saja! Tetapi ia memilih menikah dengan sampah buanganmu! Menikah dengan orang yang kau sia-siakan! Hanya agar gadis itu tidak dendam dan membencimu. Terhadap perasaan Suma Sun, kau tahu apa?”

Begitu dalamnya kabar ini menusuk jiwanya, sampai-sampai ia kini terbatuk-batuk. Batuk ini mengeluarkan darah pula!

Jika ia mati saat ini, ia begitu rela. Demi menebus kesalahannya pada sahabat-sahabat terdekatnya. Tetapi apakah ia pantas mati dengan mudah, sedangkan ia belum memperoleh maaf dari sahabat-sahabatnya? Bahkan untuk bertemu dengan mereka pun ia tidak lagi memiliki muka.

“Apalagi yang kau minta dari sahabat-sahabatmu? Meminta mereka mengorbankan nyawa dan hidup bagimu? Suma Sun yang pergi meninggalkan istrinya hanya untuk melakukan segala permintaan-permintaanmu. Kau masih punya muka juga untuk datang ke tempatku dan bertemu dengan suamiku. Tidak kau lihat penderitaannya? Tidak kau rasakan kepedihan hatinya?” seolah-olah air bah keluar dari bibir Bwee Hua. Membawa segala macam beban terberat yang baru kali ini dialami Cio San.

Terasa sesuatu menusuk di jantungnya. Lukanya sudah pulih. Tetapi getaran perasaan yang begitu besar mungkin telah membuka luka itu lagi. Darah mengalir dari batuknya yang tak lagi bisa berhenti.

Bwee Hua memandangnya penuh iba. Mata yang indah itu terlihat jauh lebih indah ketika memancarkan ketulusan. Di saat-saat seperti ini, membunuh Cio San seperti menginjak semut. Tetapi Bwee Hua tidak membunuhnya padahal lelaki ini selalu menjadi rintangan di dalam hidupnya. Selalu menolaknya. Memandangnya dengan rendah.

Bagaimana mungkin ia membunuh lelaki yang sudah mendapatkan cintanya?
Sejak awal bertemu, Bwee Hua memang sudah jatuh cinta kepadanya. Baru kali itu ia merasakan perasaan cinta yang sebenar-benarnya. Baru kali itu ia merasakan rasanya dibuang, disia-siakan, dan tidak diinginkan.

Sepertinya, rasa cinta perempuan justru semakin dalam saat ia merasa disia-siakan dan tidak diinginkan. Justru karena hal inilah banyak perempuan tersiksa dan hampir gila. Rasa cinta mereka selalu jauh lebih dalam kepada lelaki yang menyakiti dan menyia-nyiakan mereka. Rasa itu jauh lebih dalam ketimbang perasaan mereka terhadap laki-laki yang tulus mencintai mereka. Pertentangan seperti ini telah menjadi permasalahan kaum perempuan sejak pertama kali langit dan bumi diciptakan.

Pandangan Cio San menghitam. Ia lalu jatuh terkapar.

Pagi yang mendung. Hujan rintik-rintik di musim gugur. Saat ia membuka mata, ia telah berada di sebuah tempat tidur yang sangat nyaman. Wangi semerbak bunga-bungaan memenuhi ruangan di mana ia berbaring. Jendela terbuka membawa udara dingin yang menenangkan. Tubuhnya terasa sangat segar. Di luar tampak jutaan helai bunga memenuhi jalan setapak.

Di manakah ia? Mungkinkah ini surga.

Ia bangkit seolah tanpa beban. Tubuhnya ringan. Rasa sakit yang memenuhi dadanya selama ini telah hilang seluruhnya. Cio San mencoba mengerahkan tenaga, dan ia berhasil! Ia telah sembuh sepenuhnya!

Apa yang terjadi?

Pertanyaan ini terjawab dengan cepat saat Bwee Hua sudah masuk ke dalam kamar yang indah itu. Ternyata wanita cantik itu yang membawanya ke sini. Hidangan yang beraroma telah dibawanya pula. “Kau makanlah. Tentu kau lapar setelah pingsan selama 4 hari.”

Cio San diam saja dan menerima hidangan itu dengan penuh rasa terima kasih. Ia memang lapar. Setelah habis melahap makanan itu, ia kemudian bertanya kepada Bwee Hua yang sedari tadi duduk sambil tersenyum di hadapannya memperhatikan ia makan.

“Mengapa kau menyelamatkanku?”

“Kenapa pula aku harus membiarkan kau mati? Jika kau mati, aku pun akan ikut mati.”

Jawaban itu singkat, padat, dan jelas.

Sebenarnya Cio San menunggu rasa sakit menghujam dadanya. Tetapi rasa sakit itu tidak pernah datang. Yang ada hanyalah sebuah perasaan yang aneh.
“Kau adalah istri sahabatku,” hanya itu yang keluar dari mulut Cio San.

“Pernikahan dapat berakhir,” wanita itu menjawab dengan tenang. Senyumannya menjarah jiwa.

“Cintamu padaku dapat berakhir pula,” tukas Cio San.

“Selama belum berakhir, mengapa memaksa berakhir?” jawab si nona ringan.

“Jika tidak pernah dimulai, mengapa menunggu hingga berakhir?”

“Jika tidak ingin dicoba, dari mana kau tahu tak dapat dimulai?” nona itu kembali tersenyum.

Cio San tak dapat menjawab lagi. Beradu mulut dengan perempuan pada hakekatnya tak jauh beda dengan dengan ikan lele beradu terbang dengan burung elang. Ia terdiam sebentar lalu berkata, “Aku tak ingin mencobanya.”

“Jika tidak ingin mencoba sekarang, bukan berarti tidak ingin mencoba esok hari,” senyuman tipis itu semakin menjarah jiwa. Ada dorongan di hati Cio San untuk membuat bibir itu tidak dapat berbicara. Tentu saja dengan bibirnya sendiri. Tetapi ia sanggup menahan diri untuk tidak melakukannya. Bayang-bayang Cukat Tong selalu muncul di benaknya. Mungkin hanya bayang-bayang inilah yang membuatnya sanggup menghadapi gejolak perasaan itu.

Seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan tercantik di dunia yang pakaiannya hampir setengah telanjang. Di dalam sebuah kamar indah yang wangi. Di luar bunga dan dedaunan gugur bertebaran dengan indah. Hujan yang semakin lebat menambah indahnya suasana ini.

Hanya laki-laki gila yang tidak berpikiran macam-macam jika mengalami suasana seperti ini. Pada saat itu Cio San memang berharap dirinya gila. Terlalu banyak pikiran dan beban yang menghimpit jiwanya. Terlalu banyak hal yang tak sanggup ia carikan jawabannya. Jika tidak segera gila, Cio San tidak tahu lagi bagaimana cara ia harus melanjutkan hidup dengan waras.

“Aku tidak akan memaksamu, tidak akan merayumu, tidak akan memintamu berbuat macam-macam. Aku hanya akan menunjukkan diriku yang sebenarnya kepadamu. Dengan ilmu dan kepintaran yang kau miliki, kau akan bisa membedakan sikapku ini tulus atau menipumu,” katanya halus dan sopan. Bwee Hua telah berubah sebenar-benarnya. Kini yang ada pada dirinya hanyalah keanggunan dan kesempurnaan. Ia lalu berdiri dan meninggalkan Cio San di kamar itu sendirian.

Cio San pun bangkit dan keluar dari kamar itu, keluar pula dari bangunan mungil nan indah itu. Ternyata mereka berada di sebuah lembah nan indah. Lembah yang jauh dari keramaian umat manusia. Benar-benar tempat yang tepat untuk bercinta!

Hujan masih deras, ia masih berdiri di depan teras. Bwee Hua hanya memandang hujan itu penuh dengan rasa pilu. Cio San melihat sosok itu seperti bunga-bungaan taman yang diterjang derasnya hujan. Begitu indah, begitu kesepian. Perempuan yang tanpa daya, selalu membawa daya tarik tersendiri kepada laki-laki. Apalagi perempuan seperti Bwee Hua. Ia mematung memandangi hujan yang semakin lebat. Cio San masih memandangnya dari belakang.

Ia kemudian menyadari betapa tersiksanya Cukat Tong hidup seperti itu. Memiliki tubuh yang cantik itu tetapi tidak pernah memiliki hati dan jiwanya. Begitu kuatnya ia mengalami penderitaannya sehingga ia telah berubah menjadi orang lain! Lelaki seperti Cukat Tong sebenarnya sangat banyak. Memiliki cinta yang dalam terhadap wanita yang mereka nikahi. Tetapi wanita itu tidak pernah mencintai mereka. Bagaikan kisah di cerita-cerita picisan. Tetapi benar dan nyata.

“Bagaimana cara kau menyembuhkan aku?” tanya Cio San.

Bwee Hua menoleh dan tersenyum tipis, “Aku mempunyai rahasiaku sendiri,” katanya.

Jika seseorang tidak mau bercerita, Cio San tak akan pernah bertanya lebih jauh. Oleh karena itu, ia hanya tersenyum dan berkata, “Untuk hal ini aku benar-benar berterima kasih padamu. Kelak di kehidupan yang akan datang, saat karma yang baik mempertemukan kita, aku harap dalam keadaan yang lebih menyenangkan,”

Bwee Hua hanya tersenyum lalu berkata, “Aku ingin bercerita tentang kejadian tempo hari.”

“Aku mendengar,” jawab Cio San.

“Pada awalnya aku mendengar bahwa kitab Bu Bhok telah berada di gudang istana. Aku lalu menyiapkan diri dan berangkat di sana. Sesampai di sana, aku menyadari bahwa semua ini adalah jebakan sehingga aku mengurungkan niatku. Saat akan pergi, secara tak sengaja aku melihat sebuah sosok yang bergerak mengendap-endap. Karena penasaran aku mengikutinya. Saat bersembunyi dan mengikuti semua kejadia yang terjadi denganmu, aku ketahuan. Akhirnya aku nekat masuk ke dalam tempatmu itu,”

Cio San mengangguk-angguk, lalu bertanya, “Mengapa kau mengincar kitab Bu Bhok? Apakah Mustika Baju Ular Emas berada padamu juga?”

“Mengenai pertanyaan pertama, aku tidak bisa menjawabnya. Mengenai pertanyaan kedua, jawabannya Ya,” kata Bwee Hua.

Cio San hanya terdiam. Ia memikirkan banyak hal, lalu ia mengambil keputusan.

“Kau akan pergi sekarang?” tanya Bwee Hua.

“Jika tidak pergi sekarang, aku khawatir tidak dapat pergi selamanya,”

“Tidak dapat pergi selamanya dari sini, toh bukan hal yang menyedihkan,” tukas Bwee Hua pelan, masih sambil tersenyum. Begitu indah matanya, begitu indah bibirnya, begitu indah dagu dan hidungnya.

“Justru karena bukan hal yang menyedihkan maka aku harus pergi. Aku sepertinya selalu ditakdirkan sebagai orang yang terus mengalami keadaan yang menyedihkan,” kata Cio san sambil tersenyum pula.

Lelaki ini bukan lelaki yang paling tampan di dunia. Tetapi pembawaannya, ketulusannya, kebaikannya, kegagahannya, kewibaannya, mampu mengalahkan seluruh pria yang paling tampan di dunia ini. Ia bukan orang yang suka bersolek. Ia apa adanya. Ia tahu bagaimana bersikap kepada orang lain, menghargai orang lain. Pantasan saja banyak orang yang menghormatinya, menyayanginya, dan rela mati untuknya. Itu karena laki-laki ini juga telah memastikan bahwa ia sendiri rela mati dan berkorban untuk orang-orang yang mencintainya.

Beberapa tahun yang lalu, lelaki ini pernah bersama dirinya di sebuah malam yang gelap, ditengah hujan pula. Lalu lelaki itu pergi meninggalkannya di dalam hujan yang lebat itu. Kini lelaki ini pun akan pergi. Sama seperti di waktu yang lalu. Pergi dalam derasnya hujan. Meninggalkan perasaan cinta yang begitu dalam di hatinya.

Lelaki itu lalu menjura dalam-dalam padanya. Bwee Hua pun balas menjura. Mereka saling bertatapan. Entah perasaan apa yang hadir di dalam jiwa mereka, hanya mereka sendirilah yang tahu. Tetapi masing-masing menunjukkan rasa hormat yang dalam.

“Aku pergi.”

Dua kata ini sangatlah pendek. Tetapi runtutan perasaan dan peristiwa yang terjadi sesudah kedua kata ini diucapkan adalah hal-hal yang dalam, panjang, dan penuh kenangan.

Lalu laki-laki ini pergi menembus hujan yang deras. Berjalan dengan ringan. Beban di dalam hidupnya tak data lagi dibayangkan, tetapi ia tetap melangkah dengan ringan. Bwee Hua sangat sering melepas pergi seorang laki-laki. Biasanya ia akan tersenyum culas dan menertawakan kebodohan mereka. Tetapi kali ini ia menangis. Ia menetaskan air mata dengan pilu. Karena perasaannya tidak pernah bisa ia ingkari. Ia memang telah jatuh cinta.

oOo

Cio San telah keluar dari lembah ini. Perjalanan dilakukannya sambil mengumpulkan tenaga. Ia mengisi perutnya dengan buah-buahan hutan dan madu dari bunga-bungaan. Dua makanan ini sangat bagus untuk menambah tenaga. Ia juga sering berhenti untuk bersemedhi. Ia harus mempersiapkan diri menghadapi begitu banyak masalah yang harus ia urai satu persatu. Harus ia selesaikan satu persatu.

Ia tidak dapat lagi bersikap seenaknya dan terlalu mengandalkan akalnya. Dengan segala kecerdasannya ia tak dapat menebak isi hati sahabat-sahabatnya. Betapa ia merasa berdosa selama ini tidak mampu memperhatikan keadaan kawan-kawan karibnya itu. Ia selalu memusatkan perhatian kepada masalah sendiri, terhadap urusan luar yang ia rasa terlalu penting, sehingga ia mengabaikan perasaan sahabat-sahabatnya. Untuk seseorang yang menjunjung tinggi persahabatan di atas segalanya, hal ini tentu saja tidak dapat dimaafkan.

Cio San tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan semua ini. Ia bahkan tidak tahu harus dari mana memulainya. Ia tidak tahu bagaimana caranya berhadapan dengan sahabat-sahabatnya itu. Sungguh ia tidak menyangka bagaimana Suma Sun dapat mengorbankan dirinya seperti itu. Ia tidak menyangka bagaimana Cukat Tong dapat pula menahan kesedihan sebesar itu. Seandainya bisa, ia ingin segala beban penderitaan mereka dipindahkan kepadanya seluruhnya.

Segala permasalahan ini, ditambah lagi dengan rahasia-rahasia lain yang harus dibongkarnya, beban di dalam jiwanya sungguh tak terkira. Ia sendiri tidak tahu harus mulai dari mana. Kitab Bu Bhok dan Mustika Baju Ular Emas tentu saja berhubungan. Bwee Hua adalah sumber rahasia ini. Tetapi ia telah menganggap Bwee Hua sebagai ‘orang sendiri’, dan tidak akan bertanya lebih jauh. Satu-satunya cara adalah mencari tahu sendiri dari sumber-sumber yang lain.

Peristiwa penyerangan gelap yang ia alami sehingga melukai dirinya itu pun juga adalah sebuah misteri besar yang belum terpecahkan. Siapa mereka? Mengapa mereka ingin membunuh dirinya? Bwee Hua sudah dikeluarkannya dari daftar orang yang dicurigai mengenai hal ini. Siapa mereka? Sudah pasti mereka bukan dari pihak kerajaan. Kao Ceng Lun saja tidak mengetahui asal-usul pasukan yang menakutkan ini. Ada seseorang yang memiliki pasukan khusus. Orang ini kemungkinan besar adalah pejabat istana yang berkhianat. Hanya orang seperti inilah yang mempunyai dana besar, dan kemampuan untuk melatih pasukan sehebat itu. Apakah orang ini ada hubungannya dengan Laksamana Bu Sien yang juga berminat dengan kitab Bu Bhok?

Mengingat kitab itu, benaknya kembali membawanya kepada sahabat dekatnya. Putra seorang kaisar terbuang. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah masih merindukan cinta dari seorang Lim Siau Ting? Apakah gerombolan Lim Siau Ting ada hubungannya pula dengan Laksamana Bu Sien dan petinggi istana yang berkhianat itu? Entah lah.

Dan apa hubungan Bwee Hua dari semua kejadian ini?

Ia tak dapat menjawab walaupun telah berpikir keras. Akhirnya ia memilih untuk melupakannya sejenak. Masalah akan terpecahkan pada saatnya. Jika saatnya belum tiba, hal itu tak dapat dipaksa. Mengingat hal ini, hatinya kembali menjadi ringan. Apa yang akan terjadi, terjadilah!

Ia berjalan sehari semalam. Dengan membaca letak bintang dan matahari, ia dapat mengetahui keberadaanya sekarang ini. Ia beristirahat semalam, dan melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali. Mendekati tengah hari, ia telah sampai di sebuah desa. Setelah bertanya-tanya sebentar, ia akhirnya tahu di daerah mana ia berada. Sebuah desa kecil di daerah tenggara.

Desa ini sangat makmur. Banyak penduduk yang berpakaian mentereng di sini. Banyak juga orang-orang yang ‘tidak seharusnya’ berada di desa seperti ini. Rasa ingin tahunya memuncak menjadi rasa curiga. Banyak sekali orang-orang kalangan Kang Ouw (dunia persilatan) yang berada di sini. Sekali pandang saja tentu ia sudah tahu. Meskipun mereka menyamar dengan menggunakan pakaian petani atau nelayan. Para pendekar adalah pendekar. Mereka bukan pemeran sandiwara. Samaran mereka tentu tampak lucu dan menggelikan.

Cio San mencari penginapan dan segera menemukannya. Penginapan kecil yang bersih dan menyenangkan. Rupanya tamunya lumayan banyak. Orang-orang Kang Ouw pula. Dalam hati ia bersyukur, selama lebih dari satu bulan ini ia tidak pernah bercukur. Cambangnya cukup lebat. Tubuhnya pun jauh lebih kurus karena luka yang dialaminya tempo hari itu. Dengan begitu, cukup sulit bagi orang awam untuk mengenal siapa dirinya.

Setelah mendapat kamar, Cio San mencoba menajamkan pendengaran. Dari sebelah kamar terdengar gelak tawa khas orang-orang Bu Lim. Tertawa dengan lepas dan pongah, seolah-olah dunia miliknya sendiri. Mabuk dan sedang main perempuan. Itulah kesimpulan yang diambil Cio San.

Perjalanannya seharian ini meskipun tidak berat, lumayan menguras tenaga karena dilakukannya sambil berpikir keras. Buah-buahan dan madu liar membantunya memulihkan tenaga. Tetapi yang sanggup memulihkan pikiran hanyalah istirahat yang cukup. Karena itu ia memilih tidur. Jika sudah tidur, ia akan tidur dengan pulas. Hanya dengan cara ini ia bisa menghadapi dunia yang keras ini!

Ia tidur sampai sore. Saat terbangun, suasana di sekelilingnya masih terdengar seperti tadi sebelum tidur. Para pendekar mabuk yang sedang bersenang-senang dengan perempuan. Cio San lalu keluar untuk memesan makan di kedai yang berada di penginapan ini.

Saat sedang menikmati hidangan, dari dalam penginapan muncul sebuah sosok yang dikenalnya. Sosok ini rupanya memesan makan juga. Duduk tidak jauh di depannya. Untunglah sosok itu membelakanginya, sehingga Cio San tidak takut dikenali pula.

Ia adalah Lim Gak Bun. Mantan suami Kwee Mey Lan. Dulu ia pernah bertarung dengan lelaki ini. Pernah pula mengobati luka-lukanya. Perawakan pria ini masih gagah seperti dulu. Tetapi wajahnya tampak lebih tua dari umur aslinya. Cambang dan kumis tipis yang berantakan membuat wajahnya terlihat tua.

Ada urusan apa dia kesini? Begitu banyak orang kalangan Kang Ouw hadir di sini, tentulah ada sesuatu yang menarik mereka. Mungkinkah harta karun, mungkinkah kitab sakti, mungkinkah senjata mustika yang tak terkalahkan?
Ia menajamkan telinga.

Dari percakapan-percakapan yang di dengarnya, ternyata ada seorang tuan tanah yang mengumpulkan banyak pasukan untuk melawan serangan suku Miao di selatan. Tuan tanah ini amat sangat kaya karena ia dulunya adalah pangeran! Ia adalah paman dari Kaisar sendiri. Begitu cerita yang ia dengar.

Rasa cinta tanah air yang besar dari pangeran ini telah membuatnya membelanjakan hampir seluruh hartanya untuk keperluan ini. Ada bayaran yang amat sangat besar jika seseorang bergabung dengan pasukan bentukannya ini. Selain gaji bulanan yang cukup tinggi, keperluan makan minum enak yang terjamin, janji akan pembagian harta rampasan suku Miao juga sangat menarik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa meskipun Suka Miao ini adalah suku kecil, mereka memiliki ketinggian budaya yang mengagumkan. Perhiasan-perhiasan serta benda-benda buatan bangsa Miao memiliki harga yang sangat mahal. Dan tentu juga, yang tak kalah penting, adalah perempuan-perempuan suku Miao. Mereka terkenal sangat cantik. Dapat diandalkan, dan pandai melayani laki-laki.

Setelah berpikir sejenak, Cio San memutuskan untuk menegur Lim Gak Bun. Ia telah banyak belajar cara menyamar pada Cukat Tong. Dengan sedikit merubah logat, pembawaan, dan kebiasaan, ia telah dapat berubah menjadi orang lain. Apalagi kini cambangnya lebat dan semerawut. Ditanggung Lim Gak Bun tak akan mengenalnya.

Cio San mendatanginya, lalu berkata dengan sopan, “Salam toako (kakak). Aku melihat engkau makan sendirian. Aku pun makan sendirian tadi. Bolehkah ku temani kau makan?”

Lim Gak Bun memandangnya dengan kereng. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak suka diganggu. Ia hendak membentak laki-laki bercambang di hadapannya itu, tetapi ia malah berkata, “Eh, kau?”

“Kau mengenalku?” tanya Cio San kaget.

“Tentu saja. Kau adalah Ci..,”

“Ah, toako tidak perlu sungkan,” kata Cio San memotong. “Hai pelayan! Bawakan arak terbaikmu!”

“Kau ada apa kesini? Masa ingin mendaftar pasukan juga?” tanya Lim Gak Bun.

“Oh tidak. Aku sedang mengunjungi teman di desa sebelah. Tak tahunya kulihat banyak kalangan Bu Lim (orang-orang persilatan) yang menuju kesini. Karena tertarik, aku ikut juga,” jelas Cio San.

“Oh, pantas saja. Orang setingkat kau, mana mungkin mendaftar ikut prajurit,” tukas Lim Gak Bun sambil tertawa.

Cio San sendiri berkata di dalam hati, “Sebenarnya orang seperti kau pun tidak pantas mendaftar prajurit,” tetapi ia memilih untuk tertawa saja. Lama-lama ia merasa ada yang aneh dengan tawa Lim Gak Bun. Tawa ini, seperti tawa orang yang mengalami gangguan pikiran. Cio San lalu bertanya,

“Eh, toako mengapa datang pula? Apa mau mendaftar prajurit?”

“Ya benar. Aku merasa perbuatan suku Miao itu sudah keterlaluan. Mereka pantas dihajar dan dimusnahkan!” katanya penuh semangat.

Tentu saja Cio San tidak menanyakan kabar Kwee Mey Lan. Ia sudah bisa menduga, perceraian Lim Gak Bun dengan Kwee Mey Lan membawa beban yang sangat berat baginya. Mungkin pikirannya menjadi terganggu karena ini. Dari tawa, pandangan mata, dan sikap seseorang, dapat diketahui tingkat kewarasannnya.

Sungguh menyedihkan nasib lelaki gagah ini.

“Eh, dimana kau menginap?” tanya Lim Gak Bun.
“Di penginapan ini juga?”

“Ya.”

“Sendirian?”

“Sendirian.”

“Oh kau harus pindah kamar ke kamarku. Kita bisa berbincang bincang sampai pagi. Hahahahahah.”

“Ah tidurku ngorok, toako. Aku takut justru mengganggu tidur toako.,” kata Cio San.

“Eh? Jangan sombong dulu. Justru suara ngorokku adalah suara yang paling membahana di seluruh dunia. Kita bisa adu nanti. Hahahahahahahah,” tawanya terasa menakutkan dan menyedihkan di saat bersamaan.

Menghadapi ajakan seperti ini, Cio San tidak tega menolak. Bagaimana mungkin ia tega menolak ajakan untuk menemani seseorang yang terluka hatinya? Ia sendiri telah mengalami luka hati yang cukup dalam. Tetapi kedalaman itu mungkin tidak sedalam lelaki yang berada di hadapannya itu. Ia merasa sedikit berkewajiban untuk meringankan penderitaan batin yang dalam itu.

Lelaki yang sudah pernah merasakan penderitaan karena cinta, pasti akan berusaha menolong lelaki lain yang merasakan hal yang sama. Hal ini nampaknya sudah menjadi rumus.

Musim gugur. Daun berguguran. Cinta dan kenangan menghilang bersama angin barat. Dua orang yang dulu saling berebut cinta kini menjadi sahabat. Rahasia hati manusia tak dapat diduga. Apakah di masa depan, sahabat akan saling berhadap-hadapan pula? 




Catatan penulis: Bab ini enaknya dibaca sambil dengerin lagu ini:


Related Posts:

EPISODE 2 BAB 37 ADA YANG PERGI, ADA PULA YANG DATANG


“Siapa?” tanya Kao Ceng Lun.

“Sudah pasti Bwee Hua, tidak ada orang selain dia yang mampu”

“Bagaimana caranya? Bukankah dulu toako (kakak) sudah memunahkan ilmu silatnya? Ilmu meringankan tubuhnya sudah psati hilang pula.”

“Entah bagaimana, Bwee Hua sudah sembuh,” Cio San merenung cukup lama, lalu berkata, “Saat aku dulu memunahkan ilmu silatnya dengan memutus beberapa urat-uratnya yang penting, aku melakukannya dengan ragu-ragu. Sepertinya urat-uratnya tidak putus dengan sempurna.”

Yang menjadi pikirannya saat ini adalah, apakah keragu-raguan itu datang dengan sengaja. Mana mungkin ia menyakiti kekasih sahabatnya? Bagaimana mungkin ia tega membuat cacat orang yang paling dicintai sahabatnya?

“Jika ia sudah sembuh, maka ialah orang yang paling sanggup melakukan pencurian ini. Kau melihat sendiri saat kita bertemu dengannya ia sehat, gerak geriknya lincah. Sama sekali tidak seperti orang yang sudah diputuskan uratnya,” kata Cio San.

Sebenarnya Kao Ceng Lun ingin bertanya, ‘bagaimana dengan Cukat Tong?’, tetapi ia tidak sampai hati. Akhirnya ia malah bertanya, “Bagaimana caranya?”
Cio San menjelaskan, “Gudang istana terpisah dari gedung-gedung yang lain. Melewati bawah tanah mungkin saja, tetapi jika melihat denah, amat tidak mungkin melakukannya. Penggalian akan menimbulkan suara yang mencurigakan. Perlu puluhan tahun pula melakukannya. Melewati atap gudang juga tidak mungkin, karena tidak ada orang yang sanggup terbang mendarat dengan aman. Burung pipit pun akan ketahuan.”

Lanjutnya, “Satu-satunya cara adalah dengan menerobos ke dalam tanpa kekerasan.”

“Bagaimana caranya?” Kao Ceng Lun penasaran.

“Bwee Hua mampu menyamar menjadi siapa saja. Apalagi ada Cukat Tong yang mungkin mampu mengajarinya hal ini dengan sangat sempurna. Ia mungkin akan menyamar sebagai petugas penjaga yang paling dalam, yaitu yang paling dekat dengan gudang. Entah bagaimana caranya ia bisa mendapatkan nama-nama petugas bagian dalam pada hari itu. Tentunya ia mampu menyelidikinya. Menurut dugaanku, ia menggunakan kecantikannya untuk merayu pejabat yang mengatur nama-nama itu,”

Kecantikan seorang perempuan adalah hal yang paling berbahaya di muka bumi. Dengan kecantikannya, perempuan dapat memiliki apa saja. Manusia yang kehilangan nyawa secara sukarela dan terpaksa karena kecantikan perempuan, mungkin lebih banyak daripada bintang-bintang di langit.

“Lalu bagaimana pula cara Bwee Hua mengambil Mustika Baju itu?”

“Cukat Tong memiliki ilmu mengendalikan burung-burung dengan benang-benang yang berada di ujung jarinya. Bwee Hua mungkin telah mempelajari ilmu ini. Dengan menggunakan sejenis jepitan di ujung benang-benang, ia mungkin akan bisa meluncurkan benang-benang itu melalui lubang udara. Empat orang petugas yang bersamanya di bagian dalam adalah kaki tangannya,”

“Kita tidak bisa menanyai mereka karena mereka semua sudah dihukum mati,” tukas Kao Ceng Lun.

“Mereka memang dibunuh untuk tutup mulut. Bagaimana caranya agar Bwee Hua mampu menipu mereka untuk berkorban bodoh seperti ini, masih belum terpikirkan olehku.Tetapi sudah jelas lagi-lagi dengan kecantikannya.”

“Apakah tidak ada kemungkinan lain siapa pelakunya, dan bagaimana caranya, San-ko (kakak San)?”

“Paling banyak ada sekitar 135 kemungkinan, dan aku sudah memikirkan seluruhnya. Hanya kemungkinan inilah yang paling masuk akal dan bisa dilakukan dengan aman,” jelas Cio San.

Kao Ceng Lun mengangguk-angguk paham.

“Nah, besok mungkin kitab Bu Bhok sudah bisa kau serahkan kepada kaisar. Sebarkan berita bahwa kitab Bu Bhok berada di gudang istana. Lalu pasang perangkap bagi pencurinya. Aku yakin Kim Ie Wie (Pasukan baju sulam/dinas rahasia kekaisaran) sanggup memikirkan cara yang terbaik.”

“Terima kasih, San-ko (kakak San). Bantuan toako (kakak) sangat meringankan pekerjaan kami.....,” ia sebenarnya ingin melanjutkan kata-katanya namun ia berhenti. Menyadari ini Cio San bertanya, “Eh, ada yang masih ingin kau sampaikan, Lun-te (adik Lun)?”

Berpikir sejenak, Kao Ceng Lun hanya tersenyum lalu berkata, “Tidak, San-ko. Bukan sesuatu yang penting. Mungkin kapan-kapan saja aku akan bercerita,”

Cio San tersenyum dan mengangguk. Jika seorang tidak ingin bercerita, ia pun tidak akan bertanya. Hal ini sudah menjadi pembawaannya sejak dahulu.

Malam itu semua orang beristirahat dengan lelap. Luka-luka Gan Siau Liong sudah sembuh seluruhnya. Tenaga dalam sakti dan perawatan tabibnya yang sempurna telah menyembuhkan luka patah tulang itu dengan sangat cepat. Sedangkan Cio San sendiri pun juga sembuh dengan sangat cepat. Kesembuhan ini mendatangkan keheranan pada si tabib cantik. Tetapi kesembuhan ini hanya membuat Cio San mampu duduk dan berjalan sedikit demi sedikit. Ia juga sudah bisa bercakap-cakap dengan lancar tanpa harus beristirahat terus di tempat tidur. Hanya saja, tenaga saktinya dan ilmu silatnya masih belum pulih.

Konon katanya, tak akan pulih.

Siapa yang bisa menerima kenyataan ini? Semua orang yang berada di sana amat sangat menyayangkan kenyataan ini. Bagaimana seseorang yang sangat berbakat dan hebat seperti Cio San harus kehilangan seluruh kemampuannya. Orang yang disayangkan ini malah tenang-tenang saja tidur dengan nikmat. Hanya Suma Sun yang tidak tidur. Orang ini tidur atau tidak tidur tetap sama saja. Memancarkan hawa yang sangat berwibawa dan menakutkan. Walaupun hawa ini mungkin tidak sekuat dulu, tetap saja masih menakutkan.

“Kau belum tidur?” bisik Suma Sun kepada Kao Ceng Lun. Sedari tadi ia memperhatikan bahwa Kao Ceng Lun memang gelisah dan berusaha untuk tidur namun tidak berhasil. Pemuda itu lalu bangkit dan duduk di sebelah Suma Sun yang bertugas menjaga bagian belakang rumah kecil itu.

“Ada hal yang tidak bisa tidak, harus ku sampaikan. Tetapi orang itu tentu tidak akan mampu menerima berita ini,” diucapkannya kalimat ini dengan bisik-bisik, seolah-olah tak ingin ada seorang pun yang mendengarnya.

“Maksudnya Cio San?” tanya Suma Sun.

“Benar.”

“Kau bisa ceritakan padaku, nanti kucarikan jalan untuk menyampaikannya.”

Kao Ceng Lun lalu bangkit dan mengambil kertas dan pena. Meskipun ia tahu Suma Sun buta,  ia yakin Suma Sun dapat membacanya. Ia lalu menulis,

“Kwee Mey Lan akan menikah besok. Aku mendapat kabar ini saat sedang tugas beberapa hari yang lalu”

Suma Sun berbisik padanya, “Mengapa hal ini menjadi penting?”

Kao Ceng Lun menulis lagi, “Dari kabar yang kudengar, Cio-hongswee punya janji bertemu dengannya. Karena janji itu tidak ditepati, Kwee Mey Lan akhirnya memilih menikah dengan orang lain.”

“Bukannya ia sudah menikah?” bisik Suma Sun lagi.

“Sudah. Tetapi kemudian bercerai,” kali ini Kao Ceng Lun hanya balas berbisik. “Aku khawatir jika ia mendengar kabar ini, lukanya akan semakin parah.....”

Suma Sun hanya terdiam. Luka akibat cinta yang diderita sahabatnya itu sudah terlalu mendalam. Ditambah dengan luka di urat jantungnya, Suma Sun tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia khawatir Cio San dengan tidak sengaja melupakan janji pertemuan ini dikarenakan peristiwa-peristiwa yang telah mereka alami ini.

Cinta membuat kehidupan seseorang menjadi jauh lebih sulit daripada yang ia duga.

Semakin dipikirkan caranya, semakin tidak ia temukan pula jawabannya. Mengatakan atau tidak mengatakan, keduanya akan sangat berpengaruh pada kehidupan Cio San ke depan.

“Hanya ada satu cara untuk menyembuhkan Cio San,” bisik Kao Ceng Lun tiba-tiba. Suma Sun terhenyak, “Apa itu?” tanyanya.

“Anggrek Tengah Malam,”tulis Kao Ceng Lun.

Suma Sun mengingat-ingat, nama itu sudah pernah didengarnya. Entah kapan dan di mana. Sudah lama sekali. Ada bagian dari masa lalunya yang tidak pernah ingin diingatnya lagi. Ia telah mampu membuat tembok baja untuk mengurung ingatan ini. Seperti para pecinta yang pernah terluka, mereka mampu pula membuat tembok baja untuk melindungi hati mereka yang telah hancur.

Orang-orang yang membuat tembok baja di dalam hati dan jiwa mereka, menjalani kehidupan dengan hampa, namun damai. Semua orang berhak merasa damai. Entah bagaimana caranya.

Kilas balik kehidupan mencul bagai kilatan di tengah malam di dalam pikirannya. Ia teringat pedang, salju, gunung, bunga, pamannya, ayahnya, lalu ibunya. Tak terasa air matanya menetes. Air mata dari sepasang mata berwana kebiru-biruan. Anehnya, berwarna apapun mata seseorang, air matanya tetap bening. Apakah ini pertanda bahwa isi hati manusia tetap sama saja?

Lalu ia teringat seorang perempuan. Perempuan itu sudah pernah dibunuhnya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ketakutan di dasar hatinya terhadap sosok itu masih belum hilang meskipun ia sudah berhasil membunuh perempuan itu. Apakah karena sesungguhnya ia takut, meskipun dibunuh berkali-kali dan dimusnahkan seluruhnya, jenis perempuan semacam perempuan ini selalu muncul dan terlahir ke dunia?

Memikirkan hal ini, tak terasa Suma Sun menggenggam gagang pedangnya erat-erat.

Lama sekali ia lalu berkata, “Aku akan mencari bunga itu. Kau jagalah Cio San,” kata Suma Sun. Ia lalu beranjak dan pergi dari situ. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, pesan, atau apapun. Bergerak menghilang dalam keheningan malam di tengah istana kaisar. Seorang Suma Sun tentu saja bisa menyelinap dan pergi dari situ tanpa ketahuan. Seandainya penjagaan istana ini lebih ketat 100 kali pun, ia tetap saja bisa pergi dari situ tanpa ketahuan.

Karena she (marga keluarganya) adalah Suma.

Cukup dengan penjelasan ini saja, siapapun yang mendengarnya akan mengerti.

Kao Ceng Lun mengerti. Tak ada satu hal pun yang bisa membuatnya menahan kepergian Suma Sun. Jika Suma Sun sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu, maka jika matahari padam dan lautan menjadi salju pun, dia akan tetap berangkat pergi.

Demi seorang sahabat, memangnya apa yang tidak sanggup kau lakukan?

Karena ia tahu, jika ia yang mengalami segala kemalangan ini, sahabatnya pun akan berkorban hal yang sama untuknya. Persahabatan sebenarnya sesederhana ini. Sayangnya tidak banyak orang yang sanggup melakukannya.

Hanya Kao Ceng Lun yang menatap nanar kepergian Suma Sun. Ia tak tahu apakah ia sanggup mengemban tugas seberat ini untuk menjaga Cio San sedang terluka. Ia tak dapat tidur sampai matahari muncul dan fajar menyingsing.


Pagi menjelang. Semua sudah terbangun. Kao Ceng Lun malahan belum tidur. Ia menatap Cio San yang juga sudah terbangun. Lelaki itu duduk saja di pinggiran tempat tidur. Wajahnya seperti biasa selalu tersenyum di hadapan sahabat-sahabatnya.

“Selamat pagi semua,” kata Cio San.

Semua pun menjawab salam itu. Ada rasa iba di mata sahabat-sahabatnya itu terhadap Cio San. Ia pun bukan tidak tahu hal itu. Katanya, “Hey, kalian menatapku seperti menatap orang mati. Meskipun jalan darahku sudah putus, dan aku telah kehilangan tenaga dalam, aku toh masih hidup,” ia masih tersenyum.

Seseorang jika masih bisa hidup, memangnya apa yang harus ia sedihkan? Jika seluruh hartanya hilang, ia toh masih hidup. Jika seluruh orang di muka bumi ini meninggalkannya, ia toh masih hidup pula. Selama ia masih hidup, seseorang tidak punya alasan untuk tidak bahagia.

Seketika Kao Ceng Lun sadar, Cio San telah menyadari semuanya. Cio San telah mendengar percakapan mereka semalam. Ini terbukti karena Cio San tidak menanyakan keberadaan Suma Sun!

“Toako (kakak)......,” Kao Ceng Lun tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Seolah-olah mengerti, Cio San hanya tersenyum, “Jika Suma Sun mau melakukan sesuatu, kaisar pun tak dapat menghalangi.”

“Jadi toako tahu pula tentang......,” sekali lagi Kao Ceng Lun tidak dapat melanjutkan kalimatnya.

Sesuatu yang perih seperti menghujam jantung Cio San. Jantungnya belum lagi sembuh benar dari luka panah yang keji. Semalam ia pun secara tidak sengaja mendengarkan Kao Ceng Lun dan Suma Sun. Meskipun Kao Ceng Lun hanya menuliskan percakapannya, dari goresan kuasnya, Cio San mengerti huruf-huruf yang dituliskannya. Tak bisa dibayangkan bagaimana mungkin jantungnya kuat menghadapi getaran perasannya sendiri.

Ketika mendengar kabar pernikahan Mey Lan, ia seolah-olah ingin berlari secepat mungkin ke kota itu. Mungkin ia akan memintanya untuk membatalkan pernikahan itu. Tetapi apa daya, berjalan pun ia masih tertatih-tatih. Jika ia bisa berlari kencang pun, dan sampai pada kota itu pada waktunya, apakah ia akan mampu merubah keputusan Mey Lan?

Perempuan jika sudah menetapkan hati, langit dan bumi pun tidak bisa mengubahnya. Ungkapan ini terdengar lucu dan jenaka. Tetapi lelaki manapun yang sudah mengalami keputusan hati perempuan, tahu betul bahwa tiada kebenaran yang lebih benar daripada kebenaran ini.

Ia bukannya sengaja menyalahi janji dengan Mey Lan. Janji untuk bertemu itu terpaksa batal karena ia dicelakai orang. Tetapi ia tidak menyadari bahwa janji pertemuan itu sangat berarti besar bagi Mey Lan dan bagi dirinya sendiri. Jika mereka sempat bertemu, walaupun hanya sedetik saja, Mey Lan mungkin akan memutuskan untuk menikah dengannya. Pertemuan itu mungkinlah sebuah ujian terakhir apakah Cio San bisa dipegang kata-katanya. Merupakan titik utama penentuan keputusan Mey Lan apakah ia akan kembali kepada kekasih yang lama, ataukah berjalan ke depan bersama kekasih yang baru.

Saat itu Kwee Mey Lan mungkin sudah didekati banyak lelaki. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang indah, serta pembawaannya yang halus sudah pasti menarik hati laki-laki. Laki-laki manapun. Cio San terlambat.

Mey Lan tak tahan dengan kesepiannya. Perempuan memang tidak pernah tahan dengan kesepian. Oleh karena itu perempuan yang paling berbahaya bukanlah perempuan yang disakiti hatinya, melainkan perempuan yang kesepian. Jika ia disakiti hatinya, ia hanya akan membalaskannya kepada orang yang menyakiti. Tetapi jika ia kesepian, orang yang tidak meyakitinya pun akan terkena imbasnya.

Cio San masih tersenyum. Ia sudah tidak dapat menangis. Orang yang tersenyum karena sudah tidak dapat menangis, adalah orang yang paling menderita. Air mata mereka sudah mengering. Tetapi walaupun air mata sudah mengering, kepedihan terkadang masih tertinggal di dalam hati. Tetapi mereka tetap tersenyum. Karena selain tersenyum, tidak ada hal lain yang dapat mereka lakukan.

Selain melanjutkan menjalani hidup, tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan.
Semua orang yang berada di ruangan itu tidak mengerti apa yang sedang Cio San dan Kao Ceng Lun bicarakan. Tetapi mereka tahu, sesuatu yang penting sedang terjadi. Gan Siao Liong angkat bicara, “Sudah sejak semalam Suma-tayhiap (pendekar Suma) pergi. Cayhe pun tidak berani menahannya,” ia sebenarnya harus pergi juga. Sebagai seorang Bulim Bengcu (ketua dunia persilatan), ia tidak mungkin hanya berdiam diri sementara banyak urusan yang harus ia selesaikan. Tetapi ia menahan diri demi sahabatnya itu. Setidaknya menemaninya barang sekejap.

Kao Ceng Lun mengeluarkan arak. Di saat seperti ini, tidak ada sahabat yang lebih baik selain arak. Cio San tersenyum lebih lebar. Sudah sekian lama ia tidak minum arak. Di saat-saat seperti ini, orang yang mengalami hal seperti dirinya, sudah pasti ingin minum arak.

“Cio-hongswee, anda tidak boleh minum arak!” cegah si tabib cantik.

“Jantungku sudah sembuh. Hanya beberapa urat yang terputus. Minum satu gentong pun aku tak bakalan mati,” sanggah Cio San sambil tersenyum.

“Baik. Ku temani!” Gan Siao Liong sudah duduk di meja pula.

Arak sudah dituang, cawan sudah diangkat, perempuan sudah pergi. Jika tidak mabuk, memang sungguh keterlaluan.

Mereka minum dari pagi sampai malam. Takaran minum mereka memang bukan takaran orang biasa. Karena mereka memang bukan orang biasa. Mereka tidak minum dengan tergesa-gesa. Tidak cepat seperti biasanya. Mereka minum dengan perasaan.

Patah hati bukanlah petir yang tidak pernah menyambar dua kali di tempat yang sama. Patah hati adalah peristiwa yang harus kau alami berulang kali. Meskipun kau sudah melupakan seseorang, ia akan tetap mampu mematahkan hatimu, melumpuhkan perasaanmu, dan memadamkan cahaya jiwamu. Karena saat kau jatuh cinta padanya, segenap hidupmu telah kau berikan kepadanya. Seseorang tidak bisa meminta kembali hidup yang sudah diberikannya kepada orang lain. Mungkin karena inilah orang rela bunuh diri karena cinta. Karena ia tahu hidupnya telah diberikan seluruhnya kepada orang lain. Apa pula artinya meneruskan hidup?

Tetapi Cio San telah mengalami pencerahan. Ia tahu meskipun hidupnya sudah ia berikan kepada orang lain, ia masih berhak pula untuk menerima kehidupan yang diberikan oleh orang yang lain pula  kepadanya. Hanya itu satu-satunya hal yang membuat ia dapat bertahan hingga kini. Hanya itu satu-satunya hal yang membuat ia dapat hidup.

Harapan.

Harapan adalah sebuah kata sederhana.

Banyak sekali kata-kata sederhana di dunia ini.

Tetapi yang dapat menghidupkan semangat orang yang sudah hampir mati, hanyalah kata ‘Harapan’. Jika belum mati, seseorang tidak boleh kehilangan harapan.

Cio San belum mati.

Karena meskipun seluruh dunia menyakitinya, ia tak akan mati.

Seharian penuh mereka minum, tetapi tak ada satu kata pun yang mereka ucapkan. Cara minum arak yang terbaik memang adalah di dalam kesunyian. Di temani sahabat dan kawan sejati. Kau baru akan mengerti kedalaman hal ini jika sudah menjadi setan arak.

Hari sudah gelap. Mereka pun sudah tertidur. Senyuman masih menyungging dari bibir Cio San. Mempunyai sahabat yang menemani di dalam suka dan duka adalah rejeki yang sangat besar. Hidup seperti memiliki makna yang sebenarnya.

Selama beberapa hari mereka terus minum sepanjang hari. Arak seolah-olah tidak pernah habis. Penderitaan pun seolah-olah tidak pernah berakhir. Di malam ke 7, Cio San angkat bicara, “Gan-bengcu (ketua Gan), jika esok engkau ingin pergi, aku tak akan menahanmu lebih jauh,” ia mengetahui hal ini karena sejak beberapa hari yang lalu ia melihat sang bengcu dan rombongannya sudah mulai memberesi pakaian dan perlengkapan mereka. Meskipun dilakukan secara pelan-pelan dan diam-diam, tetap saja Cio San dapat melihatnya.

Gan Siao Liong pun mengangguk, ia tahu bahwa Cio San telah paham bahwa ia harus pergi. Malam itu mereka minum sepuas-puasnya. Kali ini dipenuhi canda dan gelak tawa. Perpisahan meskipun menyedihkan, setidaknya harus diiringi dengan senyum dan tawa.

Dan pagi itu suasana akhirnya sunyi. Hanya tersisa Kao Ceng Lun dan Cio San. Mereka duduk saling berhadapan dalam diam. “Apa yang harus kita lakukan sekarang, toako (kakak)?” tanya Kao Cen Lung.

“Tidak ada, selain menunggu. Kitab Bhu Bhok sudah kau serahkan kepada kaisar. Kabarnya pun sudah mulai tersebar. Kaum bulim (dunia persilatan) tak akan berani menyerang kemari. Tetapi para pencuri ulang sudah pasti akan mencobanya. Kita tunggu saja. Apakah Kim Ie Wie (Pasukan baju sulam/dinas rahasia kerajaan) sudah memikirkan segala perangkapnya?”

“Sudah, toako. Bahkan menurut kabar yang aku dengar, Bwee Hua sudah berada di kotaraja.”

“Eh? Hmm, perketat saja pengamanannya. Dia banyak akal. Jangan sampai kalian tertipu. Pasukan harus selalu siap dengan berbagai macam perubahan. Kau persiapkanlah dirimu. Bersemedhilah mengumpulkan tenaga dan memusatkan pikiran. Kita baru saja mabuk-mabukan dan hal ini mungkin akan mengganggu pergerakanmu,” kata Cio San.

Kao Ceng Lun pun menuruti. Cukup lama ia bersemedhi, sedangkan Cio San hanya berbaring-baring saja. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Musuh yang akan dihadapi adalah seorang musuh yang banyak akal dan sangat berbahaya. Tipu dayanya, kecantikannya, gerak geriknya, semua hal dari dirinya sangatlah berbahaya.

Akhirnya Cio San tertidur setelah melamun cukup lama. Sejak pagi itu ia tidur terus sampai sore hari. Sudah menjadi kebiasaannya jika akan menghadapi musuh yang berat, ia akan beristirahat dan mengumpulkan tenaga selama mungkin. Tenaga dalamnya sudah punah dan silatnya tidak dapat diandalkan lagi. Kali ini Cio San hanya dapat mengandalkan akal dan nasib baik.

Ketika hari mulai gelap, terdengar teriakan dari luar, “Petugas Kao Ceng Lun diharapkan datang ke markas!”

“Siap!” jawab Kao Ceng Lun tegas. Dengan sigap ia memakai seragamnya, lalu berkata kepada Cio San. “Aku pergi dulu, toako. Nampaknya saat yang kita tunggu sudah tiba.”

“Pergilah. Semoga kau berhasil, hiante (adik),” jawab Cio San sambil tersenyum dan memberi semangat.

Dalam sekejap mata, Kao Ceng Lun telah menghilang dari situ. Malam telah menjelang dan Cio San kini sendirian. Ia mulai membakar pelita dan menutup jendela-jendela yang ada. Ia sudah mulai dapat bergerak seperti biasanya. Tetapi ia tak dapat lagi menggunakan tenaga dalam serta ginkang (ilmu meringankan tubuh). Ia tak dapat lagi bergerak cepat. Ia telah berubah menjadi orang biasa. Luka yang dia alami telah memutuskan beberapa urat penting di jantungnya. Urat-urat ini berfungsi seperti pipa yang mengalirkan tenaga dalamnya. Jika pipa pipa itu rusak, tenaga dalamnya tidak dapat mengalir.

Karena bingung tak ada yang harus ia lakukan, ia memtuskan untuk merapikan saja ruangan rumah itu. Beberapa benda ia kembalikan ke tempat semula. Perabot-perabot yang lain ia pindahkan agar menjadi lebih rapi dan indah. Ia bahkan melumuri semua lubang kunci pintu dan jendela dengan minyak. Engsel-engselnya pun ia lumuri minyak. Selama beberapa waktu ia bekerja, keringatnya telah mengucur lumayan deras. Dalam hati ia senang. Keringat yang mengalir lancar adalah tanda orang yang sehat. Dari keringat, racun racun tubuh yang berbahaya dikeluarkan. Dari keringat, tubuh mengeluarkan zat-zat tertentu yang membantu melancarkan aliran darah, dan fungsi kerja tubuh. Oleh karena itu, orang yang rajin berkeringat tentu tubuhnya semakin sehat.

Setelah menata ulang ruangan itu, ia lalu beristirahat sejenak. Ia memilih bersandar di pojok ruangan, duduk di atas sebuah kursi yang biasa dipakai Suma Sun saat berjaga-jaga. Ia lalu mematikan seluruh lampu. Apakah ia ingin pergi tidur.

Tidak. Ia berjaga-jaga.

Malam ini adalah sebuah malam yang amat sangat berbahaya. Apapun bisa terjadi. Ia memusatkan pikiran dan bersemedi pula. Tadi sepanjang hari ia tidur untuk memulihkan tenaga dan pikiran. Sekarang ia bersemedhi agar segala indranya bekerja dengan baik, agar pikirannya dapat bekerja dengan baik. Acara bersih-bersih tadi ia lakukan sebagai pemanasan agar tubuhnya tidak kaget saat melakukan gerak perubahan.

Lama ia bersemedhi sampai menjelang tengah malam. Terdengar sebuah langkah di depan pintu. Cio San telah dalam pemusatan pikiran yang amat tenang sehingga ia dapat mengetahui setiap perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Seseorang membuka pintu yang telah dikunci Kao Ceng Lun dari luar. Entah bagaimana caranya. Kini sosok itu melangkah tanpa suara, masuk ke dalam ruangan.

“Sreeett....” pedang dikeluarkan dari sarung, hampir tanpa suara. Langkahnya mendekat dan semakin dekat. Ia melangkah perlahan-lahan, tidak saja karena tidak ingin ketahuan, melainkan juga karena ia tahu mangsanya tak akan bisa lari kemana-mana.

Dari cara ia mencabut pedang, memegang pedang itu, dan melangkah dengan tenang, dapat dipastikan orang yang wajahnya ditutupi topeng ini adalah pendekar kelas atas. Jika ada Suma Sun di sini, ia mungkin akan menjadi lawan yang lumayan tangguh.

Cio San membuka matanya. Di dalam gelap ia dapat melihat dengan jelas. Sosok itu melangkah hati-hati dengan ketenangan khas seorang pendekar pedang. Dari gerak-geriknya ia amat sangat mirip dengan Suma Sun. Apakah semua pendekar pedang memiliki gerak gerik seperti ini?

Cio San lalu berkata, “Akhirnya datang juga.”

Orang itu terhenyak sebentar. “Kau sudah menunggu kedatanganku?”

“Tentu saja. Memangnya kau pikir untuk apa aku mematikan lampu dan duduk bersemedhi seperti ini?”

Si pendekar pedang ini kemudian menyadari kebenaran ucapan Cio San. “Katanya kau terluka?”

“Katanya juga aku mampus di dalam jurang. Tapi tahu-tahu aku muncul menjadi kaisar. Cerita seperti ini masa tidak pernah kau dengar?”

Tentu saja orang itu pernah mendengar cerita ini. Kisah tentang penyelamatan kaisar oleh Cio San sudah amat sangat tersohor sampai-sampai orang tuli sudah mendengarnya, dan orang bisu mampu menceritakannya.

Seketika itu langkahnya menjadi ragu. Ia tidak lagi setenang ketika datang. Tangannya kini mulai gemetaran. Ia adalah seorang pembunuh. Jika tidak yakin untuk membunuh, ia tidak akan melakukannya. Para pembunuh biasanya menggunakan perhitungan yang amat sangat matang. Mereka tidak akan bergerak jika tidak yakin berhasil seluruhnya. Mereka bahkan tidak akan bernafas, jika dirasa nafasnya akan merugikan keberhasilan mereka.

Kini keyakinannya sudah menghilang. Dilihatnya calon korbannya duduk dengan amat sangat tenang. Bersemedhi, dan berkeringat pula. Sama sekali tidak ada tanda-tanda seperti orang yang terluka. Bahkan calon korbannya ini sudah menantangnya maju.

“Majulah,”

Si pembunuh ini memang maju, tetapi langkah majunya sedikit bergetar. Ia telah kehilangan keyakinan diri yang amat sangat besar. Tetapi ia yang memberanikan untuk berkata, “Mengapa bukan kau yang maju? Aku ragu kau dapat berdiri dan berjalan dengan baik. Hehe.”

“Kau bukannya dapat melihat aku berkeringat seperti ini?” kata-katanya pendek. Tapi si pembunuh dapat mengerti maksudnya. Jika Cio San tidak dapat bergerak, mungkinkah ia berkeringat? Jika tidak dapat mengumpulkan tenaga, mungkinkah dalam semedhinya ia mampu berkeringat pula?

Langkah si pembunuh seolah-olah semakin berat.

Orang yang tidak yakin akan dirinya, akan membuatnya meragukan setiap hal. Penilaiannya tidak lagi jernih dan tidak lagi masuk akal.

“Kau merasakan keringat dingin dan jantungmu berdetak kencang, bukan? Padahal selama ini kau tidak pernah merasakannya. Apakah kau melihat sudah melihat ujung jari-jarimu?” tanya Cio San.

Si pembunuh meliat ujung jemarinya. Ada sejenis minyak hitam yang menempel di sana.

“Aku menaruh racun di lubang kunci depan. Dalam 3 hari tubuhmu akan membusuk perlahan-lahan. Jika kau mengerahkan tenaga, racun itu akan masuk lebih dalam dan menghancurkanmu lebih cepat.”

Orang bertopeng ini merasa detak jantungnya menjadi cepat. Keringatnya pun mengalir dengan sangat deras. Tak terasa pandangannya menjadi sedikit berkunang-kunang.

“Jika kau pergi sekarang dan segera bersemedhi mengatur nafas, nyawamu masih bisa diselamatkan. Tetapi kau akan kehilangan tanganmu,” kata Cio San.

“Serahkan penawarnya!” kini ia menjadi lebih berani.

“Kau mau membunuhku? Silahkan! Aku menantangmu untuk maju satu langkah. Satu langkah saja,” kata Cio San tenang.

Jika orang lain yang menantangnya, tentu ia akan maju dan menerima tantangan itu. Tetapi yang menantangnya bukan orang lain. Yang menantangnya adalah Cio San!

Semangatnya, keberaniannya, kegarangannya kini menghilang melayang entah kemana. Kini ia bukan lagi seorang pembunuh yang ditakuti keganasannya. Ia kini adalah seorang penderita racun yang meminta belas kasihan. Kini ia menyadari betapa ia menghargai hidupnya sendiri.

Ia memohon-mohon dengan memelas. Airmatanya pun mengalir deras. Ia merengek-rengek bagaikan seorang anak kecil.

“Jika kau mau pergi dengan lebih cepat, nyawamu dapat tertolong. Sudah dapat nyawa kan sudah cukup beruntung,” kata Cio San.

“Apalah artinya nyawaku tanpa pedangku....., tuan tolonglah, kasihani aku...tolong,” tangisannya begitu memilukan.

“Baiklah. Asal kau berjanji mengasingkan diri dan tidak lagi membunuh orang, aku akan mengampunimu,” kata Cio San.

“Aku berjanji! Demi bumi dan langit aku berjanji!”

Cio San lalu mengeluarkan sebutir pil dari balik kantongnya dan melemparkannya.

“Terima kasih, Cio-hongswee. Aku akan memegang janjiku, dan mengingat kebaikan hatimu!” segera ia menelan pil itu dan merasakan tubuhnya kini jauh lebih segar. Ia lalu meminta diri, dan beranjak pergi.

Terdengar suara teriakan ramai dari kejauhan, “Penyusup! Tangkap penyusup!”
Saat si pembunuh itu akan membuka pintu dan segera lari, tahu-tahu dari balik pintu muncul sebuah pedang. Pedang itu menembus pintu, dan menembus perut si pembunuh itu. Dari balik pintu itu muncul sesosok wanita bertopeng. Ia lalu membuka topeng itu. Di dalam kegelapan, wajah itu memancarkan cahaya kehidupan yang paling indah yang mampu dilihat manusia.

Bwee Hua.

“Kau harus menolongku. Aku barusan menolongmu,” kata-katanya diucapkan dengan senyum yang sangat manis. Padahal di luar sana, ribuan orang sedang mencarinya.

“Kapan kau menolongku? “ tanya Cio San.

“Pembunuh ini bukan orang bodoh. Tak berapa lagi ia akan sadar bahwa kau telah menipunya dengan mengatakan ia terkena racun. Ia akan sadar bahwa jika kau sehat-sehat saja, tidak mungkin kau mengoleskan racun di lubang pintu. Kau cukup menghajarnya saja seperti anjing budukan,” kata Bwee Hua. Ia sudah masuk ruangan dan mengunci pintu dari dalam.

Ia sangat cantik. Dalam pakaiannya yang hitam dan ringkas, ia nampak sangat sempurna.

“Ada yang pergi, ada pula yang datang. Hidup ini memang penuh kejutan,” kata Cio San sambil tertawa.

“Jika aku yang datang, apakah kau bahagia?” ia berbicara dengan tenang dan penuh desahan. Suaranya bagaikan dewi cinta yang turun langsung dari khayangan. Dalam, mendesah, dan penuh asmara!

“Jika bisa lari, aku tentu sudah melarikan diri sejak kau masuk tadi,” kata Cio San sambil tertawa. Di luar terdengar ribuan pasukan berkeliling mencari-cari penyusup itu. Suara mereka terdengar membahana dan menakutkan. Tetapi kedua orang ini bercengkerama dengan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa di luar sana.

Bwee Hua memperhatikan seluruh isi ruangan. Meskipun di dalam gelap, matanya juga cukup tajam. “Kau yang mengatur semua ini?” tanyanya. Cio San mengangguk.

“Hebat! Ini adalah benteng pertahanan sederhana yang sangat kuat. Dengan letak dudukmu disana, tiada seorang pun yang dapat menyerangmu dengan senjata rahasia!”


Cio San tersenyum saja.



Related Posts: