Bakat Membunuh

BAB 1

Membunuh orang seperti memotong rumput

Udara panas, sepoi anginpun tidak ada...dia sudah lama mengendap-endap di kebun jagung, pohon jagungnya tinggi tinggi, lebih tinggi dari tubuhnya dan sangat lebat, dia merasakan keringatnya bercucuran, seperti daun jagung juga ikut basah.
Mula mula dia masih mengusap keringat yang meleleh dimukanya, tapi sekarang keringat keringat yang keluar ditubuh sudah lengket seperti kanji dan menempel di kulitnya, diusap juga percuma.
Begitu panasnya, begitu gelapnya malam ini, boleh dikata tidak seorangpun dapat bertahan, tapi dia tetap harus bisa bertahan, dia sudah sangat lama bertahan, semenjak langit mulai gelap, dia sudah mulai mengendap endap di tengah tengah kebun ini, sampai sekarang mungkin sudah lebih dari 3 jam, dia terus memperhatikan tempat didepannya, didepan gelap gulita, sehingga pohon jagung yang terdekat nyaris tidak terlihat.
Kadang kadang langit ada sekilas cahaya menerangi bumi, disekilas cahaya itulah barulah dia bisa melihat, di sebelah timur kebun terdapat beberapa rumah, didepan rumah rumah itu dikelilingi benteng benteng yang tinggi, tapi dia tidak melihat pintu masuk benteng tersebut.
Bukan karena jaraknya yang jauh, kalaupun berada di pinggir benteng tersebut dan berkeliling mencarinya juga tidak akan bertemu dimana pintunya. Karena memang benteng itu tidak memiliki pintu.
Di sekilasan cahaya itulah dia bisa melihat atap atap rumah yang lebih tinggi dari benteng benteng itu, dan di sekilasan itu pula kita bisa melihat muka orang ini. Walaupun muka orang ini bercampur tanah dan keringat, tapi bisa terlihat dia masih sangat muda.
Dari raut mukanya terlihat orang ini sangat tabah, mulutnya mengigit sebilah pisau kecil yang sangat tajam, tiap ada kilasan cahaya yang lewat, pisau kecil itu segera mengeluarkan cahaya hijau yang menyeramkan, yang menyinari mukanya, sehingga dia terlihat lebih seram dan menakutkan. Sekaranmg dia sedang menunggu, menunggu benteng benteng dan rumah rumah tersebut.
Tiba tiba di tegakkan tubuhnya, kenapa? Di tengah tengah benteng itu tiba tiba ada sinar lampu, sinar lampu tersebut sebenarnya sangat lemah, tapi di malam yang sangat gelap ini, cahaya selemah itupun sangat jelas terlihat.
Setelah dia menegakkan tubuhnya, segeralah dia meloncat kedepan. Ditengah tengah pohon jagung yang lebat ini tubuhnya melesat mengeluarkan suara keresekan, setelah sampai ditepi jalan, dia mengendapkan tubuhnya lagi.
Waktu itu, ditengah tengah benteng terdengar suara gongongan anjing, dia mengendap dipinggir jalan, nafasnya bertambah cepat. Mulutnya masih menggigit pisau kecil itu, mungkin karena gigitannya terlalu kencang sehingga terdengar suara gesekan gigi dan pisau.
Seiring gonggongan anjing, cahaya di benteng bertambah terang, tiba tiba ada cahaya keluar diatas benteng, seseorang dengan memegang obor meloncat keluar dari dalam benteng, sangat cepat sekali loncatannya, sekejap saja sudah sampai di tepi jalan.
Orang muda yang menyelinap dipinggir jalan itu tiba tiba membungkukkan tubuhnya, setelah sampai ditepi jalan, Orang yang memegang obor berdiam sejenak, lalu meneruskan perjalanannya. Obor bergoyang goyang ketika orang itu berlari tambah dekat, orang muda itu semakin menegakkan tubuhnya.
Setelah berpapasan, tiba tiba orang muda ini seperti kucing yang sudah lama bersiap menerkam mangsanya, mendadak dia melompat. Pisau yang digigitnya sudah berpindah ketangannya.
Dibawah cahaya obor, pisau kecil memancarkan serentetan cahaya, sebelum kaki orang muda itu menyentuh tanah, pisau sudah ditusukkan, semua kejadian berlangsung sangat cepat, orang yang membawa obor belum sempat merasakan apa yang terjadi, sebuah pisau yang tajam sudah menancap di punggung tepat menembus jantungnya.
Dia langsung tersungkur jatuh. Orang muda ini juga menjatuhkan dirinya diatas punggung sang korban. Obornya segera terlempar, jatuh di jalan dan berguling guling beberapa kali. Apinya menjadi padam.
Sekeliling tempat itu menjadi sangat gelap, tangan kanan orang muda terus menekan pisaunya, tangan kirinya meraba raba sampai kehidungnya.
Hidungnya masih hangat hangat basah.. berkeringat pula.. tapi dia tahu orangnya sudah tidak bernafas lagi.
Setelah berapa lama, dia pun berdiri, pisau pun dilepas dari tubuh sang korban.
Malam sangat sunyi dan gelap, tidak terlihat semburan darah yang memancar, tapi dapat terdengar jelas suara semburan darahnya. Orang muda itu meloncat, sewaktu menginjakkan kakinya di tanah, tidak terdengar suara apapun. Dia berdiri di kegelapan malam, masih terdengar suara semburan darah yang membuat dirinya merasa puas.
Dia berdiri sejenak, membalikkan tubuhnya dan berlari masuk ke kebun jagung. Terdengar suara “Shaa.. Shaa” gesekan daun jagung dengan tubuh orang itu dan semakin lama semakin menjauh.
Kilasan dilangit semakin banyak. Petir pun semakin sering menyambar, suaranya menggelegar, setiap kilatan lewat, selalu terlihat orang yang dibunuh itu terteLiongkup di tanah, di punggung jantungnya masih mengeluarkan darah.
Darah mengalir ke jalan disamping tubuhnya, segera diisap oleh tanah. Setelah beberapa suara petir terdengar lagi, hujan pun turun, malam berubah menjadi ramai, berisik oleh suara air hujan, hujannya sangat lebat, seperti langit ini berlubang. Di tanah, air hujan segera menyatu mengalir ke bagian lebih bawah.
Mula mula airnya bercampur darah, lama lama darahnya pun disapu oleh air hujan entah kemana.

0-0-0

Hujan terus turun, langit menjadi sangat gelap dan menyeramkan.
Jalan yang beralaskan batu hijau, setelah semalam diguyur hujan lebat tampak sangat bersih. Beberapa anjing berteduh dibawah atap rumah, melihat air yang turun dari atap rumah dan menggonggong.
Orang orang yang lewat di jalanan, walau telah memakai payung yang terbuat dari kertas minyak, bagian bawah tubuhnya tetap basah kuyup karena terciprat air hujan. Mereka semua hanya buru buru lewat, dan ingin cepat cepat sampai di tujuan masing masing.
Oleh sebab itu, sewaktu hujan ada seorang yang memegang topi rumput yang besar, membiarkan air hujan yang lebat membasahi tubuhnya, sambil perlahan lahan berjalan masuk kampung, anak anak yang sedang bermain air di pinggir rumah segera berhenti bermain.
Diguyur air hujan yang lebat seperti ini pasti tidak enak, namun melihat gelagat orang ini, sepertinya dia sangat menikmatinya.
Dia terus berjalan ke depan, sebentar-sebentar tangannya mengusap usap mulutnya, air hujan mengucur kebawah melalui kedua alisnya. Ia terus berjalan, sebelum sampai di sebuah kedai makan, dia berhenti sejenak lalu menuju pintu kedai itu.
Di depan pintu kedai, air hujan bercucuran kebawah, seperti tirai air, dia berdiri diluar tirai air itu, pelayan kedai makan lalu bergegas kedepan pintu, dari seberang tirai air memberi hormat sambil tersenyum berkata, “di luar hujan besar sekali, silahkan masuk kedalam tuan.“
Orang muda itu menarik nafasnya sejenak.
Dia berkata, “apakah ada makanan?”
Si pelayan bengong sebentar lalu kembali tersenyum dan kembali berkata, “ada! Pasti ada.. ini kan kedai makan, silahkan!”
Orang muda ini tetap berdiri diluar, tidak masuk kedalam kedai, dan bertanya lagi, “sesudah makan apakah harus bayar?”
Dia berkata sangat pendek, sepertinya kalau terlalu banyak bicara merasa rugi.
Si pelayan itu bengong sejenak, lalu tertawa terbahak bahak. Dia berkata “pasti harus bayar! Mana ada kedai makan gratis?”
Orang muda itu pelan pelan menarik nafasnya dan berkata, “aku tidak jadi masuk, aku tidak punya uang!”
Pelayan kedai itu tidak tersenyum lagi bahkan dengan nada agak kesal berkata, “kalau begitu, silahkan pergi!”
Si pelayan membalikkan tubuhnya masuk ke kedai sambil berkata pada dirinya sendiri, “memang orang macam apapun selalu ada!”
Dia baru habis berkata, terdengar ada tamu yang memanggilnya, “pelayan!”
Pelayan membalikkan kepalanya, didalam kedai cuma ada seorang tamu, tamu inilah yang memanggilnya, tamu ini terlihat sangat berwibawa, alisnya sangat tebal, hidung besar dan memakai kain sutra berwarna ungu, tamu seperti itu jarang terlihat di kedai makan yang kecil semacam ini.
Si pelayan segera menghampirinya, “ada perlu apa tuan?”
Tamu tersebut menunjuk keluar pintu berkata, “cepat panggilkan orang yang tadi, katakan disini makan apapun gratis!”
Pelayan mendadak terbengong bengong, lalu mengusap usap kepalanya, dalam hati berpikir, ‘mungkin hari ini aku salah memilih waktu untuk membuka kedai.. selalu bertemu orang yang aneh aneh.’
Belum juga pelayan itu sadar, sang tamu sudah menggebrak meja dengan keras. Terdengar “BRAAAKK!!!”
Pelayan itu sangat kaget, tamu itu lalu berkata, “CEPAT!”
Pelayan kedai rupanya merasa susah dan terlihat takut, terbata bata mengatakan, “Tuan, kau ... jangan bergurau, mana mungkin setelah makan tidak membayar? Menjual anak dan istri pun tidak cukup untuk melunasi biaya makan, mana ada kedai makan seperti itu?”
Orang itu sambil tertawa terbahak bahak berkata, “dasar! Aku menyuruhmu memanggil orang yang tadi, mana mungkin merugikan dirimu?”
Sambil berkata, tangannya sekali dibalik terlihat ada sepotong kecil emas, meskipun potongan emas itu tidak besar, sudah cukup untuk membuat si pelayan tergiur, matanya melotot, nyaris copot dari kepalanya, dia mengeluarkan tangannya mengambil emas itu dari tangan sang tamu, membalikkan tubuh dan berlari keluar walaupun hujannya masih turun dengan lebat.
Setelah pelayan kedai berlari keluar, tamu itu sedikit mengerutkan alisnya yang tebal, di wajahnya sepintas mengeluarkan perasaan yang susah ditebak, dia mengangkat gelas araknya, dan diminumnya sampai habis.
Belum sampai gelas arak ditaruh dimeja, pelayan itu sudah kembali membawa orang itu masuk sambil berkata, “Tuan silahkan makan, makan apapun sekarang tidak perlu membayar!”
Orang muda itu tidak sungkan sungkan lagi, segera duduk sambil berkata, “aku sudah berkeliling, hanya kedai ini yang paling bagus, aku sudah lapar, keluarkan makanan yang enak enak.. tapi keluarkan araknya dulu!”
Si pelayan segera menyanggupinya dan pergi mengambil pesanan.
Setelah duduk, air hujan di tubuhnya bercucuran kebawah, kursi juga segera menjadi basah.
Sang tamu, Orang setengah baya itu terus memperhatikannya, tapi dia seperti patung tidak melirik sedikitpun.
Tidak lama kemudian arak dan makanan datang, orang muda itu mengambil sepasang sumpit, menyumpit makanan yang enak tadi, dalam sekejap makanannya sudah habis separuh.
Dia seperti orang yang kelaparan, makannya cepat sekali.
Orang muda tadi makannya cepat, berdirinya juga cepat.
Tidak terlalu lama, dia mengusap usap mulutnya, berdiri dan berkata, “terimakasih banyak, aku akan selalu ingat kedai ini, jika lain kali lewat aku akan mampir lagi!”
Si pelayan sambil tertawa berkata, “silahkan mampir!”
Orang muda itu segera berjalan keluar, Orang setengah baya sekarang baru dengan nada yang tenang berkata, “kau tunggu dulu!”
Orang muda itu segera berhenti dan membalikkan kepalanya menengok pada orang setengah baya.
Orang setengah baya itu sambil tersenyum berkata, “kemari, ada yang ingin aku bicarakan denganmu!”
Orang muda itu menggeleng gelengkan kepalanya berkata, “aku tidak ada kata apa apa yang ingin dibicarakan !”
Orang setengah baya itu sedikit mengerutkan alis tebalnya, suaranya ditekan serendah mungkin, terdengar suaranya menjadi aneh, “kemarin malam, aku melihatmu membunuh orang!”
Orang muda itu tubuhnya sedikit bergetar, suasana menjadi hening, hanya terdengar berisik air hujan. Daftar Isi

Related Posts:

0 Response to "Bakat Membunuh"

Posting Komentar