BAB 1
Penemuan yang mengejutkan
Senja yang tampak di langit sangat indah, tapi semakin lama semakin biasa. Matahari yang akan terbenam sudah menghilang di balik gunung yang hijau.
Bulan mulai muncul di atas langit, muncul dari bawah gunung kemudian naik ke atas pohon. Angin meniup pepohonan, sehingga tampak bayangan pohon seperti sedang menari-nari, tiba-tiba terdengar seseorang yang sedang membaca puisi,
“Bulan terang bintang sedikit, angin berhembus lembut seperti air mengalir, Aku baru kembali dari tamasya, melihat gunung-gunung dan hamparan tanah yang luas, tapi sekarang melihat keindahan gunung ini, belum tentu Tai Shan tampak lebih aneh, Hua Shan tampak lebih indah dibandingkan dengan gunung itu.”
Suara itu terdengar seperti menyusuri hutan kecil itu lalu berhembus keluar dari gunung, tampak seorang pemuda mengenakan baju mewah, tubuhnya tampak agak lemah, di pinggangnya tergantung sebuah pedang panjang berwarna hijau dan terbungkus dengan sarungnya yang terbuat dari kulit ikan hiu. Di bawah sinar bulan tampak bajunya tertiup angin, berkibar seperti daun-daunan yang ada di pepohonan yang tertiup angin.
Pemuda itu melihat sekelilingnya kemudian berjalan beberapa langkah, terdengar dari hembusan angin ada suara air mengalir, tampak pemuda itu mengerutkan alisnya, kemudian dia mulai membaca lagi dengan pelan,
“Tubuh berjalan ke arah gunung, angin yang berada di sini meniup patah-patah suara air mengalir….” Tiba-tiba dia membalikkan badannya dan berteriak, “Nang Er, cepat bawa kuas dan tempat tinta ke sini!”
Dia berkata lagi, “Kalau kau berjalan begitu lambat, lain kali kalau aku main ke gunung, lebih baik kau tinggal saja dengan Guan Fu menunggu di bawah gunung.”
Dari dalam hutan itu muncul seorang remaja, satu tangannya memegang tempat tinta berwarna hijau, sedangkan tangan yang lainnya memegang kuas, masih harus menggendong sebuah tas besar, dengan berlari-lari dia menghampiri pemuda itu. Nafasnya terengah-engah, lalu dia memberikan kuas itu sambil berkata, “Tuan Muda, aku sudah mengikuti Anda berjalan dari He Nan ke Jiang Nan supaya pengetahuanku bisa bertambah. Kalau Tuan Muda ingin meninggalkankanku bersama dengan A Fu yang bodoh itu, aku akan kesal.”
Pemuda berbaju mewah itu tersenyum, diambilnya sehelai kertas dan dia segera menulis,
“Kami berjalan ke dalam gunung, angin musim semi meniup patah-patah suara air mengalir.” Lalu kertas itu dimasukkannya ke dalam tas besar yang dibawa oleh Nang Er.
Mata Nang Er yang hitam tampak berputar, sambil tersenyum dia berkata, “Tuan Muda, hari ini suasana hati Anda sedang bagus, sejak naik gunung sampai sekarang, Anda sudah menulis banyak puisi, semuanya berjumlah 30 baris, lebih banyak dibandingkan sewaktu kita berada di Tai Shan, tapi---“ dia berhenti sebentar, lalu dia melihat ke sekeliling, “Lebih baik Tuan Muda membawa Nang Er turun gunung sekarang, karena hari sudah mulai gelap dan di depan sana tampak sepi juga gelap, kalau tiba-tiba muncul binatang buas, binatang itu akan menggigit Nang Er dan Tuan Muda---“
Pemuda berbaju mewah itu berjalan di depan, mendengar perkataan Nang Er dia mengerutkan dahinya lalu melotot, karena takut dengan pelototan tuan mudanya, kata-kata berikutnya tidak diucapkan, dia hanya cemberut lalu mengikuti pemuda berbaju mewah itu dari belakang.
Lalu pemuda itu berkata dengan nada ramah, “Kau tidak perlu takut bila bersama denganku, walaupun malam ini kita tidak turun gunung, asalkan ada pedang ini, aku tidak akan membiarkanmu dimakan binatang buas.”
Nang Er tertawa, tampak lesung pipit di wajahnya, dia menundukkan kepalanya, seperti takut tawanya akan tampak oleh tuan mudanya.
Di depan mereka sejauh beberapa puluh meter terdengar suara air mengalir dengan kencang, pemuda itu melihat ada dua sisi jurang yang terjal seperti yang telah diiris oleh pisau, dan di bawah jurang itu terdapat sebuah sungai dengan lebar kurang lebih 25 meter.
Pemuda itu berlari ke sisi jurang dan melihat ke bawah, jurang itu sangat dalam, mata air mengalir ke bawah sana, air terjun seperti naga yang sedang terbang, air jatuh memercik batu-batuan seperti mutiara yang terjatuh dari atas dan seperti awan yang sedang menari. Membuat pemandangan di sana tampak sangat indah. Suara air dan suara pepohonan yang dihembus angin menggetarkan gunung dan menghasilkan irama yang kuat.
Pemuda berbaju mewah itu berdiri di sisi jurang, jalan itu buntu, dan air terus memercik ke tubuhnya, dia terpaku melihat keadaan itu, tiba-tiba dia melihat di sebelah kanan ada sebuah jembatan kecil, dari jurang yang miring di depannya bisa diseberangi lewat jembatan itu.
Di depan jembatan itu, di balik daun-daunan tampak ada sebuah lampu merah tergantung di tempat tinggi. Lampu itu bergerak-gerak tertiup angin. Tampak wajah pemuda itu sangat senang, dia membalikkan kepalanya dan tertawa, “Sekarang kau tidak perlu takut, tempat yang ada lampu biasanya menandakan ada orang yang tinggal, hari ini kita menginap disini, besok kita baru turun gunung, bukankah itu lebih baik?”
Tiba-tiba Nang Er mengerutkan dahinya, “Tuan, jika ada orang tinggal di gunung yang begini terpencil, pasti orang itu bukan orang baik-baik, mungkin orang itu lebih menakutkan dari pada binatang buas, lebih baik Tuan Muda membawa Nang Er turun gunung sekarang.”
Pemuda itu tertawa, “Bukankah biasanya kau seorang pemberani? Mengapa sekarang menjadi penakut seperti ini? Kita tidak membawa uang juga tidak membawa benda berharga, apakah kau takut bila ada yang merampok kita?” Pemuda itu memegang pedangnya dan berkata lagi, “Selama 7 tahun aku sekolah lalu 3 tahun aku belajar ilmu silat, kalau bertemu dengan perampok kacangan---He he! Mungkin pedangku akan menjadi berguna.”
Sambil memegang pedang tampak wajahnya menjadi gagah, dengan langkah besar dia melangkahkan kakinya ke jembatan kecil itu, sambil cemberut Nang Er mengikuti tuan mudanya dari belakang, sepertinya dia tahu akan terjadi musibah yang menimpa mereka.
Hutan lebat yang berada di sebuah jurang yang terjal, jembatan kecil itu seakan-akan menggantung di tengah-tengah langit. Lebar jembatan itu hanya 2 kaki lebarnya dan di bawah jembatan adalah jurang yang dalam. Begitu dipakai berjalan tubuh terasa terayun-ayun naik turun seperti sedang menaiki seekor kuda yang sedang berlari, kalau dia bukan seorang yang pemberani, bila berdiri di atas jembatan itu pasti akan merasa pusing, apalagi kalau harus menyeberang.
Pemuda berbaju mewah itu berkata, “Aku menyeberang dulu, kalau kau tidak berani menyeberang kau boleh tinggal di sini.” Dia mulai berjalan menyeberangi jembatan itu.
Walaupun pemuda itu adalah anak orang kaya, tapi sifatnya sangat keras dan tidak mau kalah, dia lebih berani dari orang lain, melihat jembatan kecil yang tampak berbahaya, dia sama sekali tidak merasa takut, dia melihat ke bawah sebentar lalu segera berjalan menyeberangi jembatan itu, langkahnya tampak mantap, memang kelihatan kalau dia menguasai ilmu silat.
Angin gunung berhembus begitu kencang, membuat baju panjangnya berbunyi terus. Di bawah terdengar suara air mengalir dengan kencang, dia melihat ke bawah, dia berjalan dengan hati-hati, sedikit pun tidak tampak gelisah.
Hanya dalam waktu sekejap dia berhasil menyeberangi jurang itu, tampak di depan jembatan adalah sebuah hutan lebat, ada sebuah rumah kecil di sana, dan di dalamnya ada sebuah lampu yang menyala, lampu itu berwarna merah.
Dia ingin membalikkan kepalanya dan berpesan kepada pelayan yang membawa bukunya, ternyata anak itu pun sudah menyeberangi jembatan dan berada di sisinya.
“Tidak disangka, ternyata kau juga berani menyeberangi jembatan ini.”dia berkata sambil tertawa
“Tuannya seorang pemberani, mana mungkin pelayannya penakut? Jika aku seorang penakut pasti akan ditertawakan orang lain.”
Pemuda berbaju mewah itu mengangguk dan menepuk-nepuk pundaknya memuji.
Terdengar Nang Er berteriak, “Tuan mudaku tersesat di gunung ini, kami ingin beristirahat di tempat Anda, apakah tuan rumah mengijinkan?” Terdengar gema suaranya, “…apakah mengijinkan…mengijinkan.…” Suara itu datang terus menerus, tapi rumah kecil yang terbuat dari batu itu tidak terdengar ada jawaban.
Tuan muda itu mengerutkan dahi, dia berjalan ke arah rumah itu. Begitu melihat dengan dekat rumah itu, wajahnya menjadi pucat, dia terus mundur, badannya tampak limbung dan hampir jatuh.
Ternyata di dalam rumah itu, di sisi meja tampak ada 2 sosok mayat yang terbaring, kelihatan mereka adalah laki-laki berbadan tegap tapi kepalanya sudah hancur, bagian mata atau hidung sudah tidak bisa dibedakan lagi, cahaya lampu yang menyorot dari lampu yang ada di meja itu, menyinari kedua mayat, membuat suasana gunung yang sepi dan sunyi itu bertambah seram.
Tiba-tiba ada seekor jengkrik terbang kemudian berbunyi. Nang Er menjadi gemetar dengan takut dia berkata, “Tuan Muda, mari kita cepat pergi dari sini.”
Pemuda itu mengerutkan dahinya, dia tidak menjawab tapi dia tampak sedang berpikir, “Sebenarnya dimana letaknya tempat ini? Mengapa mereka disini bisa mati begitu mengenaskan? Lampu di atas meja belum padam, berarti mereka belum lama mati, kemanakah pergi pembunuhnya? Mengapa sewaktu aku naik gunung tidak tampak ada orang yang turun gunung atau apakah setelah orang itu membunuh, dia langsung lari ke tempat lain?”
Tangan kanannya memegang pedang, tapi telapak tangannya sudah berkeringat dingin. Dia berpikir, “Aku belajar ilmu pedang selama 3 tahun meskipun belum lulus, tapi di ibukota jarang ada pesilat yang bisa menandingiku. Kebanyakan mereka bukan lawanku, sewaktu aku belajar ilmu silat, guruku pernah berkata kepadaku, ‘Pendekar-pendekar di dunia persilatan tidak boleh egois, harus siap membantu orang lain memecahkan masalah, juga harus membantu pihak yang lemah, itu baru bisa dikatakan pendekar. Sekarang setelah bertemu dengan hal seperti ini, apakah aku harus lari,? paling sedikit aku harus tahu apa penyebab semua ini?”
Terpikir hal ini, pemuda itu menjadi bersemangat, dia melihat di sebelah rumah batu itu terdapat sebuah jalan berundak, jalan ini berliku-liku sampai ke bawah jurang.
Di bawah jurang, percikan air membuat bintang-bintang di langit tampak terang dan bisa dihitung dengan jari. Bayangan yang terpantul di air itu tampak ada sawah, di belakang sawah tampak rumah dan lampu.
Nang Er sangat ketakutan, dia melihat tuan mudanya, dia berharap mereka segera pergi dari tempat ini, meninggalkan tempat misterius ini.
Tapi pemuda itu malah tampak sedang berpikir, kemudian dia melangkah ke undakan jalan itu, sambil menarik nafas, Nang Er dengan terpaksa mengikuti tuan mudanya dari belakang.
Angin berhembus melewati lembah, gunung ini seperti tertutup oleh rasa dingin yang menyedihkan.
Dengan cepat pemuda itu berjalan melewati sawah, tampak di sebelah kiri terdapat sungai yang lebarnya kira-kira 6 meter, air mengalir sangat deras, di bawah sinar matahari, gunung batu dan hutan itu tampak misterius dan berwarna ungu.
Di kaki gunung sana hanya terdapat sebuah rumah, begitu berjalan mendekat, maka bayangan rumah itu tampak sangat jelas.
Di luar rumah itu terdapat pagar yang tingginya sekitar 3 meter lebih, pintunya dicat dan tampak berkilauan, rumah itu menghadap ke arah selatan, pintunya terbuka, gelang yang terpasang di pintu, di bawah sinar bulan tampak seperti es.
Pemuda itu berdiri di depan pintu, dia mengetuk dengan gelang pintu itu, suaranya menggema yang terdengar terus menerus.
Dari dalam rumah tetap sepi, tidak ada yang menjawab, pemuda itu mengerutkan dahi, baru saja dia bersiap-siap melangkah masuk, di belakangnya terdengar suara GE.
Dia kaget, lalu segera meloncat sejauh 3 kaki kemudian mencabut pedangnya dan memasang kuda-kuda, di bawah sinar bulan, hanya tampak seekor kodok yang meloncat ke sawah. Nang Er melotot melihat tingkah lakunya, di sekeliling mereka tetap sunyi dan sepi, rasa sepi yang menakutkan.
Pemuda itu menertawakan dirinya sendiri, dia merasa malu kemudian masuk ke dalam rumah itu.
Di balik pintu yang dicat hitam itu, tampak banyak mayat yang bergelimpangan, keadaan mereka sama seperti kondisi 2 orang laki-laki tegap yang mati di rumah batu itu. Di tubuh mereka tidak tampak ada bekas luka tapi kepala mereka semua hancur, sinar bulan menyinari darah yang tergenang di bawah dan sudah berubah warna menjadi ungu. Cahaya redup keluar melalui kertas jendela yang tipis, walaupun pemuda itu sangat berani tapi setelah melihat keadaan seperti ini, keringat dingin terus menetes dari dahinya.
Di belakang Nang Er menepuk-nepuk bajunya, dia tidak bisa bicara juga karena ketakutan.
Pemuda itu memegang pedang dan berdiri dengan sikap waspada, angin malam meniup pada tubuhnya, udara terasa semakin dingin, kakinya sudah merasa ingin kembali. Tapi setelah dia berpikir sejenak dia berkata pada dirinya, “Guan Ning, Guan Ning, kau sudah berada di sini, walaupun bagimu ini merupakan keberuntungan atau bencana, kau harus siap menghadapinya, biasanya kau paling tidak menyukai cara kerja orang lain. ada kepala tidak ada ekor, apakah kau juga sekarang ingin sama seperti orang lain?”
Segera dia membusungkan dadanya, pedang diangkat, dia melewati pekarangan yang dipenuhi dengan mayat tapi tidak berani melihat keadaan mayat-mayat itu.
Dari pintu gerbang sampai pintu ruangan jaraknya hanya beberapa puluh meter, tapi dalam pikirannya sekarang seperti menempuh jarak ribuan kilometer.
Dengan perlahan dia menaiki tangga, menggunakan ujung pedangnya dia mendorong pintu yang tertutup setengah itu, kemudian dia berteriak, “Apakah didalam ada orang? Mohon jawab!”
Dari dalam rumah tidak ada yang menjawab, pintu ruangan pun dibukanya, di dalam tidak tampak ada bayangan seorang pun.
Dia menghembuskan nafas lega, membalikkan kepalanya untuk melihat Nang Er, tampak anak itu masih ketakutan mengikutinya di belakang, tangan kirinya yang membawa tempat tinta tampak bergetar, tinta yang masih memenuhi tempatnya menjadi bercipratan ke bawah.
Dia memegang pundak anak ini, lalu melewati ruangan dan melihat keadaan di dalam ruangan itu, cangkir-cangkir masih tertutup dan tersusun rapi di atas meja. Dia berpikir, “Air teh masih ada, di mana orang yang meminum teh ini? Dilihat dari kondisi mayat, mereka seperti para pelayan, orang yang meminum teh ini pasti tuan rumah ini.”
Diam-diam dia menghitung cangkir teh yang ada di atas meja, semuanya berjumlah 17. Dia berpikir lagi, “Tadi di sini pasti ada banyak tamu tapi ke mana tamu-tamu itu sekarang? Di depan hanya ada mayat pelayan, apakah pelayan-pelayan itu dibunuh oleh para tamu?” Dia mengangguk dan menyetujui kesimpulannya sendiri, dia merasa semua perkiraannya masuk akal tapi dia tidak tahu apa penyebabnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Legenda Kematian"
Posting Komentar