EPISODE 2 BAB 8 CAHAYA EMAS


Lagu yang menjarah jiwa!

Siapapun yang mendengarkannya, asal masih punya hati, walaupun hati itu sekeras karang di lautan, pastilah akan meneteskan air mata.

Bagaimana mungkin kelima gadis cantik yang lemah lembut hatinya ini tidak menangis. Masing-masing memiliki cerita dan latar belakang kisah hidup sendiri-sendiri. Masing-masing dari mereka tidak mampu menahan lelehan air mata bening itu.

Kerinduan.

Jika manusia mau memahami kerinduan orang lain terhadap dirinya, dunia mungkin tak akan semuram dan segelap ini. Sayangnya kerinduan manusia teramat sering tidak terbalas dan tidak bertepi. Semakin ia berusaha menyembunyikan kerinduan itu, semakin ia terbenam di dalam kesusahan dan kesedihan.

Lagu apapun yang menceritakan kerinduan, selalu mampu menggetarkan hati. Tangisan apapun yang disebabkan kerinduan, selalu menggetarkan langit.
Keenam orang ini kini duduk berhadap-hadapan. Tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Semua orang memiliki kisah perjalanan hidupnya sendiri-sendiri, namun mereka selalu memiliki kedalaman perasaan yang sama.

Itulah yang teramat unik dari manusia. Sifat dan akal mereka selalu berbeda, tetapi perasaan pasti akan tetap sama.

Setelah sekian lama mereka berdiam diri, Cin Cin bertanya,

“Apa judul lagu ini?”

“Kerinduan” jawab Li Hiang pelan.

“Kau kah yang menggubah lagu itu?”

Li Hiang hanya mengangguk. Lalu ia berkata, “Lagu ini sebenarnya masih panjang, tapi aku tak mampu memainkannya”

“Kenapa? Apakah bagian itu terlalu sulit untuk dimainkan?” tanya Cin Cin penasaran.

Si jubah merah menggeleng, “Tidak, justru bagian itu lebih gampang dimainkan. Hanya saja aku memang tak sanggup memainkannya”

“Kenapa?”

Ia hanya tersenyum dan menjawab, “Suatu saat kau akan mengerti”

Ya, ia akan mengerti suatu saat nanti. Saat kenangan berubah menjadi sesuatu yang indah namun kejam. Yang membuatmu kuat dan lemah pada saat yang bersamaan. Yang membuatmu berani melangkah menuju masa depan, tapi juga takut meninggalkan masa lalu. Saat-saat seperti itu memang akan datang ke hati setiap orang.

Cin Cin hanya menggerutu. Perkataan atau cerita yang menggantung selalu membuat perempuan penasaran. Dalam hal apapun mereka selalu ingin tahu. Ini mungkin kekuatan sekaligus kelemahan perempuan. Karena hal inilah, laki-laki yang pintar bisa dengan mudah menguasai mereka.

“Sudahlah, tidur saja Cin-moy (adik Cin)” kata Li Hiang. Ia sengaja menggunakan kata Moymoy. Dengan sadar ia mengerti betapa keempat gadis lainnya terbakar api cemburu. Gerak-gerik perempuan sudah sangat dipahaminya.

Pelajaran keenam: Jika kau ingin membuat wanita lebih tertarik kepadamu, beri perhatianlah kepada wanita lain. Karena rasa cemburu bisa membuat perempuan berbuat apa saja.

Li Hiang sangat mengerti pemahaman ini.

Ia lalu berdiri dan berkata, “Aku harus mencari kayu untuk menambah api” lalu dengan santai ia menghilang. Tak berapa lama ia telah kembali. Saat kembali ia memperhatikan nona-nona itu sudah ‘bertambah’ cantik.

Tentu saja ia mengerti bahwa saat ia pergi tadi, nona-nona ini dengan cepat merapikan diri. Menyisir rambut, memakai wewangian, bahkan mungkin mengoles gincu dan pupur. Kecantikan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari perempuan. Perempuan mana saja. Li Hiang menyukai kecantikan. Dan perempuan menyukai Li Hiang. Perempuan mana saja.

“Cerah sekali wajahmu malam ini, Lan-moy” katanya memuji. Sim Lan walaupun sedikit melengos, cahaya di matanya bersinar semakin terang. Ada sekilas senyum yang tersungging di sana. Tapi katanya, “Lama sekali? Hampir saja kami mengiramu kabur.”

Li Hiang hanya melengos sambil tersenyum, “Kayu yang kering susah dicari di daerah sini. Kita sudah mulai memasuki daerah bersalju”

“Aduuuuh” tiba-tiba si pipi montok menjerit. Semua orang kaget dan menoleh, rupanya ia terkena bara panas dari api unggun saat mencoba membesarkan api.

Dengan sigap Li Hiang bergerak menolongnya. Dikeluarkannya beberapa ramuan dari kantong bajunya, dan mengoleskannya dengan lembut ke ujung jari-jari si kurus yang mengeluh kesakitan. “Kau harus lebih hati-hati Giok-moy.” Ketika tadi mengobrol, Li Hiang sudah mengenal namanya Hwi Giok. Walaupun di luarnya ia tampak perhatian sekali, di dalam hatinya Li Hiang tertawa. Perempuan jika sendirian, jurang selebar apapun dapat dilewatinya dengan sekali lompat. Tetapi jika bersama lelaki, apalagi lelaki yang disukainya, sebuah selokan kecil pun terlihat sangat membahayakan jiwanya.

Perhatian dan kelembutan Li Hiang terhadap Hwi Giok ini membuat keempat nona yang lain semakin penasaran. Sejak saat itu masing-masing mulai melakukan hal untuk mendapatkan perhatian Li Hiang. Ada yang mengatakan gelangnya jatuh entah di mana. Ada yang minta dibuatkan minuman panas. Macam-macam. Li Hiang melayani mereka dengan sabar dan penuh perhatian.

Semakin lama mereka semakin dekat. Li Hiang sudah mulai bisa mengorek cerita tentang latar belakang masing-masing. Walaupun sebagian besar masih mereka tutup-tutupi, namun Li Hiang telah sekali lagi melewati tahapan penting dalam menaklukan mereka.

Perempuan harus merasa nyaman terhadap seorang laki-laki. Ia harus merasa aman, agar curahan isi hatinya atau rahasia-rahasia perasaannya terjaga. Laki-laki yang cerdas seharusnya membiarkan dirinya menjadi sosok seperti ini, sebelum mereka mengharapkan perempuan jatuh hati kepadanya. Karena ketertarikan perempuan terhadap wajah laki-laki hanya sebentar, pada akhirnya ia mencari sesuatu yang jauh lebih dalam daripada ini.

Berbicara tentang sifat perempuan, banyak laki-laki mengaku tidak bisa memahami. Padahal jika mereka mau sedikit mempelajari sejarah, setidaknya mereka bisa memahami mengapa perempuan berlaku seperti perempuan. Ribuan, atau bahkan jutaan yang lalu, perempuan sebenarnya sudah seperti ini. Mereka diciptakan sebagai pihak yang menjaga dan merawat, dan laki-laki ditakdirkan sebagai pihak yang mencari dan menyediakan.

Oleh karena itu, di jaman purbakala, laki-laki harus berburu, bercocok tanam, menyediakan keperluan keluarga, dan memberi perlindungan keamanan dari makhluk buas atau gangguan manusia lain. Sedangkan perempuan merawat dan mengasuh anak, merawat rumah, dan menjaga milik keluarga. Hal ini berlangsung sejak jaman dahulu kala, hingga masa depan. Itulah mengapa, perempuan lebih memilih laki-laki yang kuat, cerdas, mampu menyediakan keperluan, serta perlindungan kepadanya. Semakin seorang laki-laki terlihat memiliki sifat kepemimpinan yang kuat, yang dapat mengatur kehidupannya, semakin perempuan tertarik kepadanya. Seekor singa, raja hutan, adalah sosok yang paling gampang untuk menggambarkan ini. Ia kuat, melindungi kumpulannya, serta gagah dan jantan sejati. Sebagai raja hutan, semua makhluk ‘sungkan’ dan ‘hormat’ kepadanya. Jiwa bertarungnya yang kuat, membuatnya tahan menghadapi tantangan singa jantan lain yang ingin meraih kedudukannya sebagai Raja Hutan. Dan yang lebih hebat lagi, sang raja tidak perlu berburu. Para wanita lah yang berburu untuknya.

Laki-laki memang tidak harus sepersis singa, namun setidaknya beberapa sifat dan keagungan singa amat menarik untuk diperhatikan.

Sosok Li Hiang dipandang perempuan memiliki kesemua hal ini. Apalagi ditambah ia memiliki wajah yang sangat rupawan. Ia seperti raja rimba yang berjalan sendirian di depan, sedangkan singa-singa betina mengekornya dengan patuh. Ia tenang. Melakukan sesuatu penuh perhitungan, tetapi jika bergerak, tak seorang pun yang sanggup menghalanginya. Jika tidak diganggu ia akan berlaku sopan dan tenang, tetapi jika diganggu, ia berubah menjadi sosok yang menakutkan.

Saat ini sang singa berjubah merah sedang dikelilingi para betinanya. Dengan pesonanya yang tak tertindingi betapa wanita-wanita cantik ini telah hampir jatuh dibawah kakinya. Bercengkerama dan mendengarkan mereka. Mengisahkan cerita-cerita lucu, seram, dan menggugah hati.

Lalu telinganya mendengar seseuat di kejauhan. Dalam melakukan apapun, ia selalu waspada. Ia pernah tertangkap basah dan dianiaya hingga hampir mati. Sejak saat itu ia tidak pernah membiarkan kewaspadaan hilang dari kesadarannya.

Badannya menegak. Ia menyadari ada bahaya yang segera akan datang. Tapi dengan tenang ia berdiri dan berkata, “Kalian tenanglah”

“Ada apa?” tanya mereka serempak.

“Tidak apa-apa” katanya menoleh sambil tersenyum.

Senyum memang adalah senjatanya.

Tak berapa lama yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tiga orang sosok besar yang menyeramkan. Kesemuanya berjanggut lebat. Kesemuanya datang menghunus golok.

“Aha...kita dapat mangsa, It-ko (kakak pertama)”

“Mangsa yang sedap” kata si kakak pertama.

Li Hiang tersenyum, tiga orang pembegal adalah seperti mainan bagi dirinya. Tapi dengan matanya yang tajam, ia tahu, ketiga begal ini bukan begal sembarangan. Ia pun menjaga perkataannya,

“Sam-wi-hohan (ketiga orang gagah) hendak kemana? Apakah tersesat?”

“Hey, kau laki-laki? Ku kira kau perempuan. Hahaha” tawa si kakak pertama.
“Kalian bawa apa? Cepat keluarkan!” teriaknya.

“Aku cuma bawa pedang” kata Li Hiang. Ia tidak butuh waktu untuk berbasa-basi. Ia tahu kapan bersikap sopan, dan kapan bersikap garang.

Cring!

Sebilah pedang ungu yang bercahaya dalam temaram malam yang dingin.
“Pedang...pedang..ungu!”

“Hahaha...kita tidak perlu mencari jauh-jauh, pedang ungu itu ada di sini!”

Di dalam hatinya Li Hiang kaget juga. Ternyata pedang ini memang sudah menimbulkan goncangan yang luar biasa di dalam dunia Kang Ouw (dunia persilatan). Tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk berita ini menyebar di mana-mana.

“Di lihat dari ciri-cirinya, ia memang cocok menjadi Jai-Hwa-Sian (Dewa Pemetik Bunga)” kata salah seorang.

“Aku memang Jai-Hwa-Sian. Jika mau mengambil pedang ini, silahkan maju”
“Hahahaha....sekali menyelam minum air. Hahahaha”

Begitu tertawanya berhenti, ketiga orang bertubuh besar menyeramkan ini bergerak dengan cepat mengurungnya. Li Hiang tidak panik. Dengan tenang ia maju menyambut kepungan ini. Dalam sekejap mata, ketiga orang itu sudah mengirimkan enam serangan berbahaya.

Angin serangan itu mengeluarkan deru angin yang mendesir. Wuuuuuuuussss......wuuuuuuuuus.

Tapi Li Hiang lebih cepat, pedangnya hanya diputar sekali berbentuk lingkaran, keenam serangan itu seketika terbenam dalam lingkaran cahaya ungu. Hal ini membuat Li Hiang dan kelima nona itu terhenyak. Tiada seorang pun yang menyangka, betapa bodohnya ketiga orang ini meneruskan serangan tangan kosongnya saat dihadang pedang.

Traaaang!

Terdengar bunyi yang mneyakitkan telinga. Pedang Ungu itu seperti berbenturan dengan logam keras. Keenam lengan itu ternyata sekeras baja!
Wajah Li Hiang tidak menampakkan panik sama sekali, padahal di dalam hatinya ia tercengang melihat kekuatan lengan ini. Dengan cepat ia mundur ke belakang, dan memutar tubuhnya. Angin pukulan itu lewat di belakangnya. Kelima nona yang berdiri di belakangnya tidak mampu menahan kekagetan. Hampir bersamaan mereka berteriak,

“Tiat Po San!” (Ilmu Baju Besi/Lonceng Emas)

Ilmu ini adalah ilmu yang langka, bahkan boleh dikatakan hampir punah, karena orang yang mempelajari ilmu ini tidak diperbolehkan berhubungan kelamin. Itulah sebabnya hanya sedikit orang yang mempelajari ilmu ini. Kini ilmu itu hadir secara tiba-tiba, kehadirannya tentu saja mencengangkan.

“Hahahaha. Pedang Ungu milik Tok Ko Kiu Pay pun tak mampu menembus kulit kami. Hahahaha. Hahahaha”

“Ah, jangan-jangan ini hanya sebuah pedang palsu” kata salah seorang.

Karena penasaran, mereka maju berbarengan menyerang Li Hiang. Sekali lagi si jubah merah memutar pedangnya, tapi kali ini ia mengincar mata para penyerangnya. Satu sabetan pedangnya telah mempu mencecar keenam mata penyerangnya. Karena serangan ini, ketiga orang beringas itu menahan sedikit gerakannya untuk menghindar.

Hal ini membuktikan kecerdasan Li Hiang ketika dengan cepat ia menemukan kelemahan ilmu Baju Besi Emas ini. Mata manusia, adalah bagian tubuh yang tidak bisa dilatih silat!

“Hngggggggg” ketiga orang ini menggerung dengan marah saat kelemahan mereka terbongkar dengan mudah. Li Hiang tersenyum menggoda, katanya “Sekeras apapun kalian berlatih, kelemahan di mata kalian tak akan mungkin tertutupi.

Dengan kalap mereka menyerang kembali. Mungkin karena nekat serangan ini jauh lebih membabi buta. Bahkan mereka tak perduli untuk melindungi mata mereka. Kembali enam pukulan dari enam kepalan terarah pada Li Hiang. Dengan sekali melangkah, ia telah mengambil posisi yang menguntungkan untuk menyerang dan bertahan sekaligus. Ia mencondongkan badannya ke belakang, lalu dengan cepat, pedangnya sudah ia putarkan ke depan.

Jurus ini dikenal sebagai salah satu jurus ‘Hoa San Pay’ bernama “Pedang dan Bunga Menari Bersama”. Semua orang yang berada di sana kaget juga ketika melihat Li Hiang menggunakan jurus ini. Tetapi kekagetan itu bertambah menjadi keheranan yang teramat sangat ketika ketiga orang itu tetap meneruskan pukulan, padahal mata mereka terancam serangan dahsyat.

Traaaaaaaang!

Sabetan pedang itu menoreh di ketiga pasang mati itu!

Tetapi bukan mereka ya terlempar mundur dan kesakitan, melainkan Li Hiang!
Mata-mata itu ternyata kebal pula.

Li Hiang ternyata salah perhitungan!

Dan ia harus membayarnya dengan cukup mahal. Tubuhnya terhempas ke belakang dan dari bibirnya terlihat percikan darah segar.

“Hahahahaha” tawa ketiga orang itu menggema memenuhi hutan.

“Begitu mudahnya kau tertipu!”

Ternyata mereka berpura-pura takut terhadap serangan Li Hiang ke mata mereka tadi, adalah sebuah taktik pura-pura untuk mengecoh lawan. Saat sarangan berikutnya, mereka mengambil keuntungan dari tipuan ini untuk melanjutkan serangan dahsyatnya.

Tapi Li Hiang bukan pemuda sembarangan. Tubuhnya telah tergembleng oleh seorang nenek aneh sakti yang juga adalah kekasihnya. Dengan tenang ia bangkit. Sinar matanya mencorong. Setiap kali menghadapi tantangan dan bahaya, sinar matanya mencorong seperti ini.

Ia berbalik dan berbisik kepada kelima nona di belakangnya dengan menggunakan ilmu mengirimkan suara. Ilmu ini adalah sejenis ilmu melatih gelombang suara yang sangat tinggi, yang berguna untuk mengirimkan pesan atau suara hanya kepada orang yang dimaksud.

“Tutup jalan pendengaran”. Dengan cepat kelima nona itu mematuhi perintahnya. Mereka lalu duduk bersila dan bersemedhi.

Li Hiang mengeluarkan suling emasnya. Senjata ini belum pernah ia pergunakan sama sekali. Dari kejauhan yang terlihat seperti tongkat kecil berwarna emas. Li Hiang bergerak cepat. Sekali menghentak ia sudah berada di hadapan ketiga orang itu.

Ia memutar suling itu ditangannya. Terlihat lingkaran emas kecil di tangannya. Dari lingkaran itu terdengar suara dengung yang menggetarkan jantung!

Si jubah merah lalu melancarkan serangan. Serangannya cepat dan berat. Mengincar kepala ketiga orang itu. Kawanan berangasan itu menerima serangan dengan gagah berani. Tangan mereka diangkat. Orang pertama yang menerima serangan itu adalah si kakak pertama. Tapi ia kecelik, ketika ternyata Li Hiang merubah serangan itu dari kepalanya menuju kepalannya. Kecepatan kepalan itu berada dengan kecepatan serangan Li Hiang.

Bluuuuummm!

Dua orang yang lain tercengang melihat ternyata lingkaran kecil itu mampu melumpuhkan lengan sang kakak. Terdengar rintihnya kesakitan bercampur dengan marah!

Inti sari ilmu Thiat Po San (Baju Besi emas) adalah kekuatannya dalam menghadapi senjata tajam dan senjata lainnya. Tetapi jika menghadapi  serangan yang berisi tenaga dalam, maka ilmu ini sebenarnya tidak terlalu hebat. Namun dibutuhkan tenaga dalam yang amat sangat besar untuk bisa menembus ilmu ini.

Dengan cerdik, Li Hiang memutar-mutar seruling itu agar tenaga yang tersalurkan menjadi berlipat-lipat, sehingga tanpa mengerahkan tenaga yang terlalu besar pun, hasil serangan yang dihasilkan menjadi berlipat ganda!

Tangan si kakak pertama kesemutan untuk sementara ia tak dapat menggerakan lengannya. Melihat keadaan ini, kedua ‘adik’nya menyerang Li Hiang dengan penuh amarah. Tapi Li Hiang sekarang berada di atas angin, serangan tangan kosong mereka cukup di hadapi dengan kebutan lingkaran seruling emas di tangannya saja. Para penyerangnya serta merta kelagapan karena serangan mereka harus selalu ditarik kembali. 

Kini tubuh Li Hiang diliputi cahaya keemasan yang berputar mengelilingi tubuhnya, bahkan seperti sebuah ilmu Baju Besi Emas yang kini melindungi tubuhnya.

Cahaya emas ini begitu indah terlihat di dalam malam yang gelap.



“Adik berdua, ayo kita serang dia dengan menggabungkan kekuatan!” teriak si kakak pertama.

Mendengar teriakan ini, mereka lalu membentuk barisan. Si Kakak duduk berjongkok di tanah, tangannya diangkat ke depan. Terlihat tangannya berkilat memenacarkan cahaya keemasan. Kedua adiknya berdiri di hadapannya menyandarkan pinggang mereka ke telapak tangan sang kakak. Tubuh mereka pun terlihat berpendar mengeluarkan cahaya keemasan.

Li Hiang paham, ini adalah bentuk penyatuan cin-keng (tenaga sakti) yang akan menimbulkan serangan yang amat dahsyat. Ia memutar seruling di tangannya semakin kencang. Suara menderu yang dihasilkan seruling itu semakin mengencang. Lama-lama terdengar seperti semakin melengking. Dengan tenang ia menunggu sampai ketiga orang itu melancarkan serangan.

Lalu saat yang ditunggu pun tiba. Kedua orang itu terlontar bagaikan anak panah yang maha dahsyat. Kecepatannya sukar dibayangkan dan diikuti.  Yang satu menggunakan tendangan yang menghujam keras ke ulu hati, sedangkan yang satu menyusur ke bawah mengincar kuda-kuda.

Serangan ini jika dijelaskan terdengar biasa-biasa saja. Tetapi kecepatannya sangat sukar untuk diikuti. Li Hiang terhenyak dengan begitu cepatnya mereka bergerak. Selama hidupnya, ia telah menghadapi puluhan bahkan ratusan pertarungan, tapi belum ada satupun yang menyemai cepatnya gerakan ini.

Ia pun bergerak. Tidak ada jalan untuk menghindari gerakan ini. Jika ia mundur ke belakang, nona-nona yang sedang bersemedi ini semuanya akan terancam bahaya tertabrak dirinya dan penyerangnya. Jika menghindar ke samping, para penyerang ini mungkin akan meneruskan serangan mereka kepada nona-nona ini.

Li Hiang bergerak ke samping. Begitu penyerangnya lewat sejengkal, dan terus meneruskan serangan mereka ke depan menuju nona-nona itu, ia melemparkan serulingnya ke arah si kakak pertama yang sedang berjongkok itu. Ia tahu, pusat tenaga serangan ini justru berada kepada lontaran tenaga sang kakak. Setelah ia melontarkan mereka, tenaganya yang tadi telah penuh terisi, akan habis terkuras untuk melempar mereka. Seperti perumpamaan balon yang terisi penuh lalu meledak.

Seruling itu bergerak sangat cepat menghujam kepala si kakak yang terkaget-kaget menerima serangan tiba-tiba itu. Ia tak pernah menyadari hidupnya berakhir dengan kepala pecah terhantam seruling emas.

Jarak nona-nona itu masih cukup jauh. Li Hiang masih sempat memutar tubuh menggunakan jurus cakar untuk mencengkeram kedua penyerang itu dari belakang. Cengkeraman itu memang tak mampu menembus kulit mereka yang kebal dan tebal, tapi cengkeraman itu mampu memperlambat gerakan mereka.
Begitu mereka mendengar teriakan menyedihkan dari sang kakak yang kepalanya pecah itu, serta merta mereka menghentikan serangan dan menoleh ke belakang. Saat mereka menoleh itu, semua sudah terlambat. Seruling yang tadi dilemparkan Li Hiang, telah kembali ke tangan pemiliknya. Dengan kecapatan tinggi, ia menghajar tenggorokan kedua orang ini dengan sekali gerakan.

Rasa kaget, dan cemas terhadap keadaan kakak mereka, ditambah dengan hilangnya tenaga serangan mereka karena tadi berhenti tiba-tiba, memberikan waktu yang cukup dan keuntungan yang cukup besar bagi serangan Li Hiang.
Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, mereka telah roboh dengan tenggorokan pecah!

Terdengar suara, “grrrkkkk....grrrkkkkk”, dari mulut mereka saat sekarat. Lalu kemudian hening karena kedua orang ini telah menyusul sang kakak bertemu Giam Lo Ong (Dewa Kematian).

Kelima nona itu melihat pertarungan ini dengan mata terbelalak. Walaupun mereka bersemedi menghimpun kekuatan untuk menutup jalan pendengaran, mata mereka tetap terbuak menyaksikan dahsyatnya pertarungan ini.
Li Hiang memberi isyarat bagi mereka untuk membuka kembali jalan pendengaran mereka.

“Hiang-ko (kakak Hiang) kau hebat” puji mereka serentak.

Tentu saja setelah semua perhatian, kebaikan, dan pesona Li Hiang selama ini, mereka akan menyebutnya dengan panggilan yang mesra.

Li Hiang tersenyum, katanya, “Hampir saja. Musuh yang berbahaya”
“Siapa mereka?” tanya Cin-Cin.

“Jika tebakanku tidak salah, mereka adalah Tiga Iblis Gunung yang cukup terkenal di kalangan Liok Lim (golongan hitam)”

“Apakah mereka kesini untuk mengejar pedang ungu, ataukah untuk keperluan lain?” tanya Sim Lan.

“Sepertinya mengejar hal lain. Itulah sebabnya mereka tadi berkata ‘sambil menyelam minum air’” jelas Li Hiang.

Sudah jelas apa yang dicari mereka itu adalah sebuah ‘hal’ lain yang berada di Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih).

“Ilmumu hebat sekali, Hiang-ko” puji si kurus manis.

“Iya benar, hebat sekali serulingmu” puji yang lain.

“Apa nama ilmu itu?” tanya yang lain pula.

“Sudahlah, itu tidak penting” ujarnya sambil tersenyum hangat, “Keadaan kalian lah yang paling kupikirikan. Apakah kalian semua baik-baik saja?’

“Tentu saja, ada Hiang-ko di sini, tentu saja kami baik-baik saja” jawab mereka hampir berbarengan.

Li Hiang tersenyum.


Senyum memiliki banyak arti.


Related Posts:

EPISODE 2 BAB 7 SEORANG LAKI-LAKI, LIMA ORANG GADIS




Tan Cin mengeluarkan sebuah sempritan dari sakunya, lalu meniupnya. Tak berapa lama serombongan perempuan cantik sudah datang.

“Kau berhasil!” tukas salah seorang.

Tan Cin tersenyum, “Menaklukan laki-laki yang bernama besar seperti dia  ternyata sangat mudah”

“Kerja yang bagus” kata salah seorang memuji.

Li Hiang saat melihat mereka tetap tersenyum, ujarnya “Memang benar cerita yang kudengar. Para gadis Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih) memang cantik-cantik”

“Tutup mulutmu” seorang gadis memarahinya, tapi saat memandang wajah Li Hiang, gadis itu terhenyak. Orang buta pun terhenyak memandang Li Hiang.

Beberapa orang gadis lalu memondong tubuh Li Hiang untuk diletakkan diatas sebuah kereta yang sudah mereka siapkan. Setelah membongkar-bongkar barang bawaan Li Hiang, mereka akhirnya menemukan yang mereka cari.

“Ada!” wajah mereka semua gembira.

Saat ditarik, pedang itu memancarkan cahaya keungu-unguan. Tentu saja benda inilah yang mereka cari.

“Jika kalian mencari pedang itu, kenapa tidak meminta saja? Tidak perlu repot-repot menculikku” ujar Li Hiang sambil tertawa.

“Mulutmu seperti perempuan. Terlalu cerewet” bentak salah seorang.

Mereka lalu berangkat pergi dari situ sambil menyekap Li Hiang di dalam kereta. Dibutuhkan perjalanan berhari-hari untuk sampai ke markas mereka. Sepanjang perjalanan Li Hiang menolak untuk makan dan minum. Hanya sekali-sekali saja ia mau menerima roti atau buah pemberian nona-nona itu.

“Jika kau tidak mau makan, kami tak perduli. Tapi jika sampai kau mati di perjalanan, guru akan memarahi kami” kata seorang gadis. Wajahnya cukup ramah. Pipihnya sedikit montok. Li Hiang senang memandang wajahnya.

“Terima kasih” Li Hiang terima saja ketika ia disuapi nona itu. “Nona baik sekali. Tidak seperti yang lain. Mereka semua judes” kata Li Hiang sambil tersenyum.

“Makanya kau harus menurut kata-kataku. Kalau tidak, aku akan lebih judes daripada mereka” tukas si nona pipi montok.

“Baiklah cici (kakak perempuan) yang baik” kata Li Hiang.

“Eh, kau memanggilku kakak? Ditengok dari wajah saja, sudah jelas kau lebih tua daripada aku”

“Memangnya berapa umur cici yang baik?” tanya Li Hiang serius. Jika bertanya, orang akan merasakan pertanyaannya sungguh-sungguh dan ia benar ingin tahu.

“Umurku 20 tahun. Dan kau jangan memanggil aku cici”

“Dua puluh tahun? Wah, tadinya aku ingin menggodamu karena ku kira kau seorang nona cilik”

“Nona cilik?”

“Benar. Dilihat dari wajahmu, tak ada seorang pun yang percaya kau berumur 20 tahun”

“Memangnya tampangku seperti orang berumur berapa?” tanya si nona penasaran.

“Paling banyak 16 tahun atau 17 tahun” jelas Li Hiang.

Pipi nona yang montok itu memerah. Lalu ia berkata, “Kau tak perlu menggodaku!” sambil berbalik pergi.

Tapi sebelum pergi, ia menoleh dan berkata, “Jika kau ingin makan sesuatu, mintalah kepadaku.”

Li Hiang mengangguk, dan berkata dengan tulus “Terima kasih, nona”

Pelajaran kelima: perempuan paling suka dianggap lebih muda.

Tentu saja Li Hiang amat memahami pelajaran ini.

Dengan pendengarannya yang tajam, ia bisa mendengar nona-nona itu membicarakan dirinya.

“Eh kau harus hati-hati jika berbicara kepadanya, kata suhu ia pintar merayu” kata salah seorang.

“Benar” yang lain mengiakan.

“Ah dia tidak sehebat itu” seorang nona membantah.

“Hei Cin Cin, saat kau bersamanya, apa ia merayumu?” tanya salah seorang.
“Ih, dia sih tidak sehebat kabar yang terdengar. Kami cuma mengobrol biasa dan sama sekali ia tidak merayuku. Kecuali saat ia mencoba memelukku” jelas Tan Cin yang rupanya bernama Cin Cin.

“Ia memelukmu?” serempak mereka bertanya.

“Waaaah, kau beruntung sekali”

“Aih, aku sih, mana mau dipeluk laki-laki kurang ajar macam begitu” tukas salah seorang.

“Eh kau tidak boleh menyalahkan dia, dia kan hanya menjalankan perintah suhu” timpal salah seorang.

Li Hiang tersenyum.

Perempuan. Mereka begitu akrab, tapi begitu suka menyimpan perasaan tidak suka satu sama lain. Seakrab-akrabnya perempuan, pasti memendam ketidaksukaannya kepada sahabatnya. Hal ini entah sudah menjadi bagian dari sifat mereka, atau karena pengaruh lingkungan, Li Hiang hanya tertawa.
Ia mencoba beristirahat. Perjalanan masih panjang. Dan gadis-gadis di luar kereta masih bertanya-tanya mengapa lelaki ini masih tetap tenang dan menjaga kesopanannya.

Keeseokan paginya, cahaya mentar bersinar menembus jendela kereta. Tiga orang wanita di dalam kereta duduk dengan sigap di hadapannya. Seolah-olah lelaki yang baru bangun tidur adalah seekor singa yang siap menerkam mereka.

“Selamat pagi sam-wi-siocia (tiga nona)” ucapan salam ini dilontarkan dengan sopan dan ringan, seolah-olah ia bukan tawanan nona-nona ini.

“Pa...pagi” nona pipi montok menjawab dengan ragu-ragu, diikuti pelototan mata kedua nona yang lain.

“Eh, kalian belum tidur?” tanya Li Hiang.

“Apa perdulimu?” jengek salah seorang.

“Manusia jika kurang tidur, kulit akan mengendur, kantong mata akan timbul, pipi menjadi tembem. Jika keseringan, tak lama lagi gadis cantik akan berubah menjadi nenek-nenek. Apa kalian belum mendengar hal ini?”

Mendengar penjelasan Li Hiang mau tidak mau ketiga nona itu tergetar juga hatinya. Maklumlah, menjadi tua adalah ketakutan wanita di manapun di dunia ini.

Lanjut Li Hiang, “Banyak-banyaklah minum air putih, hal ini lumayan membantu”

“Tidak perlu sok memberi perhatian!” bentak nona manis yang tubuhnya agak sedikit terlalu kurus. Tapi cantik sekali.

Li Hiang tersenyum saja, perempuan selalu ‘marah’ jika ada yang memberi perhatian. Padahal hati mereka senang. Ini mungkin hanya sekedar menutupi rasa senang, atau mereka khawatir jika perhatian itu hanya basa-basi.

Li Hiang hanya mengangguk-angguk saja. Saat menoleh di luar, pemandangan sungguh indah. Mereka sedang melalui bukit. Di kanan kiri pemandangan sangat menarik hatinya.

Ia tersenyum memandang pemandangan di luar sana. Seolah-olah ia sendirian di sana.

“Orang ini sudah gila. Tersenyum-seyum sendiri” bisik gadis-gadis itu.

Li Hiang seperti tidak mendengar kasak kusuk nona-nona di depannya. Perhatiannya terpusatkan memandang keindahan alam di jendela. Sekian lama ia menikmati pemandangan itu, nona-nona di depannya sudah mulai bosan.

Ia sama sekali tak berkata apa-apa. Sikapnya tenang dan tak ragu-ragu. Senyum lembutnya tak pernah hilang.

“Apa yang kau lihat di jendela itu?” tanya si pipi montok.

“Kecantikan”

Mendengar kata ‘kecantikan’, ketiga nona turut menoleh. Yang mereka lihat hanyalah alam. Mereka telah berkali-kali melihatnya. Terlalu sering malah.
“Hmmmmm”

Kata ‘Hmmmm’ adalah kata yang paling diucapkan perempuan. Itu mereka lakukan jika apa yang ada di hati mereka berbeda dengan apa yang ingin mereka ucapkan.

Li Hiang masih memandang ke luar jendela. Terbentang sebuah danau yang indah. Daerah di sekitar Himalaya memang diliputi banyak danau.

“Hey kau, makan dulu” kata si kurus, sambil berkata begitu ia mengeluarkan bekal roti dari dalam bungkusan. Li Hiang seolah-olah tidak mendengarkan.
Dengan gemas nona itu membanting kaki, “Ya sudah jika tidak mau makan, biar kau mampus kelaparan!”

Li Hiang menoleh kepada nona pipi montok, “Nona membawa bekal apa?”
“Aku...aku membawa kacang-kacangan” jawab si pipi montok.

“Aku mau kacang” sahut Li Hiang sambil tersenyum. Dengan rikuh si nona menyuapkan kacang-kacangan itu ke mulut Li Hiang. Kedua nona yang lain memandang dengan iri.

Li Hiang makan dengan lahap namun perlahan. Caranya mengunyah kacang menyenangkan sekali. Dengan tersenyum ia memuji gelang giok milik si pipi montok,

“Indah sekali giok itu”

Si popo montok tersenyum, tapi buru-buru ia mengubah sikap.

Dua temannya yang lain melengos. Tapi walaupun mereka melengos, secara tidak sadar masing-masing merapikan rambut dan pakaian.

Hari telah memasuki siang yang terik. Walaupun cahaya matahari bersinar terang, cuacanya masih terasa sangat dingin. Mereka berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda-kuda. Si pipi montok dan si kurus kini pindah ke depan, berganti tugas dengan dua orang yang tadinya bertugas sebagai kusir.

Begitu kedua nona yang tadinya menjadi sais itu masuk ke dalam kereta, terciumlah wangi yang khas yang keluar dari tubuh dan pakaian Li Hiang. Perempuan paling suka wewangian. Tapi wewangian itu harus lembut dan tidak menusuk, ada perasaan tersendiri di hati mereka kita mencium wewangian seperti ini.

“Ah ji-wi siocia (kedua nona)” sapa Li Hiang halus sambil menganggukan kepala.

Kedua nona yang baru masuk itu tidak membalas, hanya saling menatap mata Li Hiang dan menundukkan muka. Tidak perlu siapapun engkau, asalkan kau perempuan, kau pasti akan tertunduk malu jika dipandangi Li Hiang.

“Kalian beristirahatlah” kata si nona yang tertinggal, rupanya ia ketua rombongan nona-nona cantik ini. Walaupun ia bukan yang paling cantik, tatapan matanya sangat mempesona. Mau tidak mau, Li Hiang harus memujinya,

“Mata nona...”

Ia menjengek, “Kenapa mataku?”

Li Hiang hanya mendengus sambil tersenyum. Menaklukan perempuan galak ada caranya sendiri. Untuk saat ini ia sebaiknya menahan diri.

Kedua nona yang baru masuk tadi, kini sudah mulai merebahkan diri bersandar pada dinding kereta yang terbuat dari kayu itu. Walaupun tidak terlalu besar, kereta ini memang lumayan mewah.

Setelah beristirahat cukup, akhirnya perjalanan di mulai lagi. Li Hiang membuka omongan, “Aku heran, mengapa ketuamu menyuruh kalian meringkusku di sana. Padahal jika ini dilakukan di dalam markas kalian, bukankah jauh lebih gampang?”

Tak ada yang menjawab, hanya nona mata indah yang menoleh padanya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi diurungkannya. Kedua nona lain sudah malas bicara, mungkin karena ingin beristirahat.

Setelah berpikir sejenak, Li Hiang tersenyum sambil berkata, “Ah aku tahu”.

Si nona mata indah menatapnya, menanti ia berbicara lebih jauh. Tetapi setelah sekian lama menunggu, Li Hiang tidak kunjung bicara. Karena penasaran, si mata indah bertanya, “Apa yang kau tahu?”

Li Hiang hanya menatapnya sekilas lalu tersenyum lagi. “Jika nona sudah tahu, mengapa bertanya?”

“Apa kau selalu bersikap semenyebalkan ini? Aku heran bagaimana gadis-gadis itu bisa tertipu dengan manusia macam kau!”

Senyum di wajah Li Hiang menghilang dengan cepat, katanya dingin. “Kau pikir aku manusia macam apa? Masa dengan otakmu yang cerdas kau tak dapat berpikir bahwa aku sebenarnya mengalah terhadap kalian?”

“Hah? Jangan melucu”

Bagitu kata ‘cu’ selesai, Li Hiang telah meniupkan sebuah kacang dari dalam mulutnya. Tiupan itu sangat keras dan cepat menghujam kepada hiat to (titik syaraf) yang tertotok. Dengan serta merta totokannya terbuka. Si mata indah masih belum sadar apa yang terjadi ketika dengan cepat, tangan Li Hiang telah menutuk tiga hiat to di tubuhnya. Si mata indah diam tak berkutik.

Kedua nona yang tadi beristirahat pun sudah terkena totok!

Li Hiang menatap si mata indah dengan tajam. “Jika aku menelenjangimu sekarang, kira-kira apa yang bisa kau perbuat?”

Matanya jauh memandang keluar jendela. Rasa sepi di hatinya entah bagaimana bisa diobati. Semakin ia memandang jauh ke luar, semakin wajah Hiang Hiang terbayang di matanya.

Dengan sedih ia menoleh ke si mata indah yang kini memandangnya dengan sangat ketakutan. Lalu ia berkata, “Aku akan membuka totokan kalian. Berjanjilah untuk tidak berbuat bodoh. Jika aku melihat kalian melakukan hal bodoh, dalam satu kali gerakan aku akan melepas Am Gi (senjata rahasia) yang menembus lehermu. Mengerti?”

Si nona dan kedua sahabatnya hanya mengedipkan mata dengan ketakutan. Li Hiang benar-benar membuka totokan mereka. Lalu berkata, “Jangan ganggu tidurku. Kalian pun tidurlah.”

Lalu dengan tenang ia pun berbaring dan memejamkan mata.

Keringat dingin telah membasahi tubuh mereka. Dalam mimpi pun mereka tidak pernah membayangkan betapa berbahayanya lelaki ini. Mereka hanya bisa memandangnya dengan segala macam perasaan bercampur aduk.

Lalu secara tiba-tiba, Li Hiang membuka mata, “Nona yang matanya indah, siapa namamu?”

“Eh..eh”

“Namamu Eh Eh?”

“Eh...na..namaku Sim Lan”

“Oh, nona Sim Lan. Salam kenal. Namaku Li Hiang” lalu ia menoleh ke dua nona di sebelahnya, “Kau?”


“Namaku Kiong Ji”
Nona yang satunya berkata, “Aku..” sebelum ia selesai bicara, Li Hiang telah memotongnya, “Aku tak lupa namamu Cin Cin” katanya sambil tersenyum. Lalu ia menoleh ke si mata indah, “Nona Sim Lan, masih jauhkah perjalanan kita?”

Sim Lan berpikir sebentar lalu berkata, “Jika tidak ada halangan, mungkin sekitar 5 hari kita sudah sampai”

Li Hiang menganggukkan kepala, lalu berkata “Tanpa harus menculikku pun, aku bakalan ke Pek Swat Ceng. Mengapa ketuamu menyuruh kalian menculikku, apa karena merasa jauh lebih gampang menaklukanku saat aku lengah?”

Sim Lan menjawab, “Benar. Kata guru, jika kau telah memasuki markas, maka seluruh jiwamu, tubuhmu, dan pikiranmu telah terpusatkan untuk bertempur. Jika hal itu terjadi, amat sangat susah menaklukanmu”

“Kalian kan berjumlah sangat banyak, mengapa memandang remeh diri sendiri?” tanya Li Hiang.

Sim Lan tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepala.
Lalu Tan Cin yang menjawab, “Perkampungan kami saat ini sedang dalam kondisi genting. Banyak musuh yang datang menyerang”

Li Hiang terdiam sesaat, lalu berkata, “Apakah rahasia kalian sudah bocor dan tersebar kemana-mana?”

Ketiga nona itu hanya saling memandang, lalu Cin Cin lah yang berkata, “Benar”.

Li Hiang hanya menghela nafas. “Jika itu yang terjadi, maka merupakan sebuah malapetaka yang besar. Siapa saja yang sudah menyerang kesana?”

“Banyak tokoh dari kalangan hitam. Banyak juga dari kalangan putih. Kami sudah berhasil menghalau dan mengusir mereka. Tapi harga yang kami bayar sangat mahal. Kami kehilangan banyak sekali anggota kami”

“Apakah gurumu terluka?” tanya Li Hiang lagi.

Mereka hanya tertunduk diam. Hal ini saja sudah merupakan jawaban bagi Li Hiang. Ia tidak berbicara. Hanya menggelengkan kepala penuh penyesalan.
“Apakah maksud tuan datang ke tempat kami, sama dengan maksud orang-orang yang menyerang itu?” kali ini Sim Lian yang bertanya.

“Tentu saja. Tetapi aku bermaksud memintanya baik-baik. Aku bahkan bermaksud menukarnya dengan pedang ungu itu” jelas Li Hiang.

“Aihhh” mereka semua menghela nafas.

“Tempat kalian bukankah sangat rahasia, bagaimana mungkin bisa didatangi berbagai macam orang?” tanya Li Hiang.

Mereka semua menggeleng tak mengerti. Li Hiang berpikir lama, lalu dengan tiba-tiba bertanya, “ Kenapa Tan Ling tidak ikut rombongan?”

“Ia...memutuskan untuk berangkat lebih dulu untuk melapor”

“Siapa yang memutuskan hal itu?” tanya Lia Hiang.

“Dia sendiri” jawab Cin Cin.

“Celaka!” kata Li Hiang. “Bisa jadi ia pengkhianatnya!”

Mereka semua terhenyak. “Tidak mungkin”

Li Hiang bertanya lagi, “Dengan apa kalian berkirim kabar?”

“Menggunakan burung elang salju” jawab Cin Cin.

“Lalu kenapa ia harus melapor sendiri?” tukas Li Hiang.

Mereka seperti tersadar, tapi dengan segera Tan Cin membantah, “Tidak mungkin ciciku melakukan hal yang memalukan seperti itu! Tidak mungkin!”

Li Hiang kemudian menenangkan, “Nona, aku minta maaf jika terlalu cepat mengambil kesimpulan. Sebelum ada bukti memang ama sangat tidak pantas jika menuduh seseorang” kata Li Hiang. Lanjutnya, “Untuk hal ini, aku benar-benar meminta maaf kepada nona”

Cin Cin mengangguk.

Menghadapi perempuan, seorang laki-laki harus bijaksana. Ia sangat mengerti, amat sangat bodoh beradu pendapat dengan perempuan. Karena perempuan tidak pernah punya pendapat. Mereka hanya mempunyai dorongan perasaan. Jika akal mereka berkata ‘Ya’, namun hati mereka mengatakan ‘Tidak’, maka mereka pasti akan berkata ‘Tidak’.

Li Hiang pun lebih memusatkan perhatiannya untuk memikirkan segala kemungkinan. Lama sekali ia berpikir. Ketiga nona dihadapannya pun tidak berkata apa-apa. Terlihat mereka begitu tidak tenang, dan gugup. Dengan hangat Li Hiang berkata, “Tenanglah. Aku pasti memikirkan segala cara untuk menolong kalian”.

Jika seorang laki-laki selalu ada untuk menenangkan perasaan perempuan, maka lelaki seperti inilah yang harus dicari dan dijaga. Herannya, perempuan selalu lebih tertarik dengan laki-laki yang membuat perasaan perempuan berkobar dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Sepanjang hidupnya, perempuan selalu lebih tertarik dengan lelaki seperti ini. Perasaan perempuan memang tidak pernah tenang, seperti kuda liar yang membawa mereka kepada jurang penderitaan. Lalu ketika mereka sudah terjatuh ke dalam jurang itu, mereka menangis menyesal. Saat ada laki-laki lain menarik mereka keluar dari jurang itu, justru tidak jarang mereka justru mendorong laki-laki itu jatuh ke dalam jurang yang sama.

Li Hiang amat sangat paham, hal yang paling berbahaya di dunia ini adalah perasaan perempuan. Justru karena berbahaya lah, ia tertarik untuk memasukinya. Ia memang terlahir untuk mencintai bahaya.

Dan bahaya kematian sekarang telah membayang di depan mata. Li Hiang tidak pernah suka untuk membunuh orang. Baginya kehidupan itu sangat indah. Ia hidup untuk menikmati keindahan itu. Tetapi entah dari mana tuduhan dan fitnah bahwa ia suka membunuh korban-korbannya ia tidak pernah tahu. Ia pun tidak punya waktu untuk meluruskan hal itu. Baginya, selama ia tidak pernah melakukannya, ia tidak pernah perduli dengan pendapat orang lain.

Hari telah menjelang malam. Gelap telah menyelimuti dunia. Rombongan kecil ini beristirahat di tepian telaga yang sangat indah. Kedua orang kusir, yaitu si pipi montok dan si kurus terkaget-kaget ketika mengetahui apa yang terjadi di dalam kereta selama perjalanan. Hal ini diam-diam telah menimbulkan kekaguman yang amat besar di dalam hati mereka. Di hati kelima nona yang cantik-cantik itu.

Saat mereka telah mengetahui kesaktian dan kecerdasan Li Hiang, sudah pasti mereka tidak banyak berulah. Bahkan sekarang, segala perkataan Li Hiang mereka dengarkan dengan patuh. Ia telah membuktikan bahwa ia bukanlah orang yang kejam dan perusak kehormatan wanita. Li Hiang malah terlihat sebagai seorang lelaki sejati yang perduli dan melindungi mereka.

Di malam itu, Li Hiang memasak untuk mereka, membuat api unggun untuk mengahangatkan mereka. Lelaki yang tampan itu bahkan memperhatikan hal yang secil-kecilnya.

“Tan Cin, dengan dekat api, nanti kau bau asap”

“Kiong Ji, makanlah daging kijang ini. Jika kurang makan nanti tubuhmu lemah”

“Sim Lan, kau pakailah jubah ini untuk menghangatkan tubuhmu”

“Eh bagus sekali sepatu mungilmu itu”

“Ah, pita itu serasi sekali dengan rambutmu”

“Hmm, kau memang pintar memilih baju. Rajutan kembangnya itu siapa yang buat?”

Malam itu mereka habiskan untuk saling mengakrabkan diri. Bahaya sudah menanti, bukankah amat baik untuk bergembira ria? Hal ini akan menambah kekuatan, dan daya pikir. Juga membuat tubuh lebih kuat dan waspada.

Malam itu justru Li Hiang lah yang berjaga-jaga. Sedangkan kelima nona itu tidur dan beristirahat dengan pulas. Tapi Li Hiang tahu, walaupun nona-nona itu terlihat telah percaya kepadanya, mereka tetap saja masih tidur dengan waspada. Masing-masing mereka tidur dengan menggengam pedang dan senjata rahasia.

Di tengah malam, di temani rembulan, ia mengeluarkan sebuah seruling kecil yang selama ini selalu dibawanya. Ia memainkan sebuah lagu yang sangat indah. Tiupannya sangat merdu. Nona-nona itu semua terbangun namun tak berani berkata apa-apa, takut mengganggu tiupan seruling yang indah itu. Sebuah seruling emas.

Seruling Emas yang juga menyimpan banyak rahasia!




Related Posts: