EPISODE 2 BAB 31 PERTARUNGAN DI TENGAH MALAM


Kelima orang yang mengurung ini tidak ada yang berani bergerak. Cio San dan Kwee Mey Lan berada di dalam kurungan ini. Jarak mereka berdua sekitar 3 langkah. Jarak pengurungnya mungkin sekitar 10 langkah.

Tidak ada satu pun yang berani melangkah maju. Mereka sebenarnya orang-orang yang sangat percaya akan kemampuan sendiri. Tetapi melihat keyakinan diri Cio San, mereka jadi sedikit ragu.

Selama ini nama besar Cio San sudah didengar orang, tetapi orang yang pernah bertemu dengannya tidak banyak. Dari cerita yang terdengar, kehebatan Cio San dikisahkan simpang siur. Ada yang mengatakan ia adalah seorang kakek tua sakti, ada yang mengatakan ia adalah seorang bocah ajaib yang aneh, dan macam-macam cerita. Maklum manusia memang suka menambah-nambah dan mengganti cerita sesuai keinginannya sendiri.

Ada yang bilang bahwa Cio San memiliki ilmu yang sangat hebat, ada pula yang bilang ilmunya biasa-biasa saja. Ada juga yang bilang bahwa kehebatan Cio San hanya pada akalnya, dan ia dibantu oleh ilmu silat sahabat-sahabatnya.

Kelima orang ini awalnya tidak saling mengenal. Tetapi mereka bahu membahu untuk merebut kitab Bu Bhok. Entah mengapa buku ini menjadi sangat penting di kalangan Bu Lim.

Cio San masih memainkan rambutnya. Kelima pengurungnya masih ragu. Dua orang sudah mencabut pedang, satu orang membawa golok, satu orang membawa tombak, dan satu orang menggunakan tangan kosong.

“Kau tahu siapa kami?” tanya yang menggunakan tangan kosong.

Cio San menatapnya. “Aku tidak tahu siapa namamu. Yang aku tahu kau menguasai tinju pasir besi. Anakmu baru saja lahir, dan kau berasal dari Sen Cang.”

Si tangan kosong terbelalak. Dari mana Cio San tahu?

“Dan kau,” Cio San menoleh kepada pendekar tombak, “Kau adalah pelarian Siau Lim Pay selama setahun ini. Kau baru saja menghadapi musuh yang sangat kuat, tapi kau berhasil mengalahkannya. Aku tidak tahu pula namamu.”

Si jago tombak diam saja, tetapi raut wajahnya terlihat perubahan.

Sang jenderal Phoenix menoleh ke pendekar golok, “Nampaknya kau paling tidak sabar untuk maju. Silahkan!”

Si pendekar golok ini rupanya adalah seorang yang berangasan dan tidak sabaran. Ia juga terlalu percaya diri dan meremehkan orang lain.

Goloknya berwarna keemasan. Sekali bergerak golok itu malah mengincar leher Cio San, bukan mengincar Kwee Mey Lan. Yang mengincar Kwee Mey Lan justru dua orang pendekar pedang yang sedari tadi diam.

“Naga Menggerung Menyesal!”

Dari mulutnya terdengar teriakan itu. Dari tangan kirinya terlihat cahaya kuning yang bergerak meliuk-liuk bagai gerakan naga, menyambar kedua pendekar pedang itu. Saat itu mereka mengira dengan menyerang Kwee Mey Lan secara bersamaan, Cio San akan kerepotan. Sayangnya mereka salah. Cahaya kuning emas yang keluar dari telapak tangan Cio San itu benar-benar bagai naga yang melibas serangan mereka!

Kedua pendekar pedang itu terjengkang ke belakang, tidak mengerti bagaimana cahaya itu dapat bergerak bagaikan naga yang hidup!

Si pendekar golok tersenyum karena ia mengira perhatian Cio San terpecah pada kedua pendekar pedang itu. Goloknya menyabar leher Cio San demikian cepat. Si pendekar tongkat pelarian Siau Lim Pay pun sudah menyusul bergerak menyerang Kwee Mey Lan!

Mendapat serangan serempak yang berlainan tempat ini tidak membuat Cio San kelimpungan. Tangan kanannya menerima golok itu, dengan sedikit putaran telapak tangannya, ia menerima golok itu dengan lembut dari bawah. Begitu tangannya menyentuh golok itu, segera ia menepis golok itu ke atas.

Begitu golok tertepis ke atas, Cio San suduh meluncur menyusuri tanah. Gerakannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari siapa pun. Sambil meluncur ke tanah, telapaknya memukul ke belakang. Sebuah pukulan jarak jauh pula. Tetapi kali ini ia menggunakan Thay Kek Koen (Tai Chi Chuan) untuk mendorong si pendekar golok menjauh. Sedangkan tangan kanan kirinya sudah memukul ke depan. Kembali terdengar suara, “Naga Terbang Di Langit!”

Jurus ini adalah kedua dari rangkaian jurus 18 Tapak Naga. Jurus ini dilancarkan saat seseorang bergerak meluncur ke depan. Walaupun merupakan pukulan jarak jauh, jurus kedua ini membutuhkan penggunanya untuk bergerak cepat ke depan agar menghasilkan dorongan pukulan yang jauh lebih kuat.

Si pendekar tombak yang menyerang Mey Lan pun tidak menyangka betapa Cio San dapat bergerak secepat itu sambil mengeluarkan dua jurus berbeda secara bersamaan pula.

Di dalam dunia persilatan, orang yang sanggup melancarkan dua jurus berbeda secara bersamaan, mungkin cuma Cio San seorang. Amat sangat susah untuk menggunakan dua jurus secara bersamaan, karena pengerahan tenaga, kuda-kuda, dan gerakannya amat sangat berbeda. Apalagi menggunakan dua jenis jurus yang berbeda. Dalam ilmu silat, jenis jurus terbagi dua, yaitu yang berdasarkan tenaga keras seperti 18 Tapak Naga, dan berdasarkan tenaga lembut seperti Thay Kek Koen. Kedua jenis ini amatlah berbeda sehingga para pendekar pasti akan lebih menitikberatkan untuk mempelajari salah satu. Menggabungkan keduanya adalah perbuatan yang hampir tidak mungkin. Hanya pendekar-pendekar besar yang paling berbakat saja yang bisa melakukannya, seperti pendekar besar Kwee Ceng.

Kini saat Cio San melakukannya dengan alami dan sangat mengalir, tentulah hasilnya sangat dahsyat. Si pendekar tombak itu menghalau cahaya emas di telapak tangan Cio San dengan tongkatnya. Gerakan jurusnya menghujam dan meluncur tak tertangkap mata. Ujung tombaknya bertemu telapak tangan Cio San.

Dengan gerakan kecil, Cio San menurunkansedikit telapak tangannya sehingga ujung tombak tidak bertemu dengan telapak tanganya. Ujung tombak itu malah masuk di antara celah-celah jari-jari Cio San.

Saat ujung tombak itu belum lagi lewat, Cio San telah menjepit ujung tombak yang pipih itu dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya!

Sepanjang hidup para pendekar-pendekar ini, belum pernah mereka melihat seseorang menangkap senjata tajam dengan kedua jarinya. Jepitan itu membuat tombak tidak bergerak sama sekali. Bahkan ketika si pendekar tombak mengerahkan seluruh tenaganya, tobak itu diam bagai tertancap di batu.

Penempatan waktu, kekuatan, serta kecerdasan Cio San berperan sangat penting dalam gerakan yang sederhana namun mencengangkan ini.

Ia hanya tersenyum lalu berbicara kepada dirinya sendiri, “Eh, aku menciptakan jurus baru!”

Bagaimana mungkin seseorang bisa menciptakan jurus baru dalam pertarungan sedahsyat ini. Bahkan dalam posisi yang paling tidak mungkin sekalipun, ia sanggup menciptakan jurus baru!

Tombak masih terjepit diam di tangan, pemilik tombak masih berusaha sekuat tenaga menggerakkan tombaknya. 3 orang sudah tergeletak di tanah, yang seorang lagi, si tangan kosong, masih berdiri mematung.

Kwee Mey Lan bahkan tidak perlu bergerak sama sekali. Ia telah percaya penuh kepada Cio San.

Dan Cio San memang tidak pernah mengecewakan siapapun!

Ia menatap si pendekar tombak. Katanya, “Menyerah dan pergilah. Untuk bisa mengalahkanku, kau membutuhkan 20 tahun.”

Crang! Lalu ujung tombak itu patah. Jepitan tangan Cio San telah menghancurkan tombak itu seperti daun kering.

“Kau baru saja melawan musuh yang kuat. Karena itu gerakanmu menjadi lamban. Aku tahu karena kau baru saja mengganti kayu di tombakmu. Kayu ini kayu yang baru. Terlihat jelas dari warnanya. Kemungkinan saat kau melawan musuh itu, ia berhasil mematahkan kayu tombakmu. Tetapi kau berhasil membunuhnya. Karena pertempuran itu, kau kehilangan banyak tenaga. Pasti ada beberapa luka yang kau sembunyikan di balik bajumu. Tercium aroma salap Ling Pek dari tubuhmu. Salap ini adalah salap mujarab untuk mengeringkan luka akibat senjata tajam.”

Si pendekar tombak hanya terpana. Begitu mudah jurus tombaknya dipatahkan. Begitu mudah tombaknya dihancurkan. Begitu mudah pula keadaan dirinya tertebak. Seluruh hidupnya dihabiskan hanya untuk mempelajari ilmu tombak. Lalu ilmu itu dipatahkan hanya dalam satu jurus.

Ia membanting tombak itu, dan tertunduk lesu. Pergi dari situ dengan perasaan tidak percaya.

Lalu Cio San berkata kepadanya, “Kau belajar silat karena ingin menjadi nomer satu. Belajarlah karena kau mencintainya. Dengan begitu kau tak akan kecewa.”

Si pendekar tombak menoleh lalu menjura, “Terima kasih atas petunjuk dan kemurahan hati Hongswee.”

“Sebenarnya kau tidak ingin ku ampuni karena berani menyerang nona ini. Jika nona ini mengampuni, baru aku akan mengampunimu,” tukas Cio San.

“Biarkan ia pergi San-ko,” kata Mey Lan.

Cio San mengangguk. Si pendekar tombak pergi. Untuk selamanya dunia persilatan tidak lagi mendengar tantang sepak terjangnya.

Dua orang pendekar pedang yang tergeletak di tanah terluka paling parah. Ini karena Cio San benar-benar mengerahkan tenaganya ketika menyerang mereka. Perbuatan mereka menyerang Mey Lan secara bersama-sama sungguh memalukan.

“Luka dalam kalian terlalu parah. Tulislah surat wasiat,” hanya itu kata Cio San tanpa menoleh sedikit pun kepada mereka. Matanya memandang pada pendekar golok yang tadi terlempar terkena Thay Kek Koen. “Kau kumaafkan karena langsung menyerangku dan tidak mengeroyok nona ini. Jika masih belum puas, silahkan maju lagi.”

Si pendekar golok sudah bangkit berdiri, ia lalu menjura. “Aku bukan tandinganmu. Tetapi amat memalukan jika kalah lalu mendapat pengampunan dari musuh. Biarkan aku menyerangmu lagi. Jika aku kalah, bunuhlah aku.”

Cio San sangat memahami isi hati kebanyakan kaum pendekar. Harga diri mereka terlalu tinggi.

Si pendekar golok bergerak menyerang. Kali ini ia melompat tinggi. Dalam satu gerakan, jaraknya dengan Cio San menjadi sangat pendek. Kecepatan yang cukup mengagumkan.

Golok itu datang membacok tepat di tengah kepala Cio San. Dengan tenang Cio San mundur selangkah ke belakang. Golok itu lewat di depannya. Begitu golok itu luput, entah bagaimana golok terhenti dan arah serangannya pun berubah. Kali ini tahu-tahu ia menyerang pinggang dengan sangat cepat. Serangan itu kembali luput karena Cio San sudah melopat tinggi ke atas dan berjumpalitan.

Saat Cio San di atas, entah bagaimana bacokan menyamping itu berubah menjadi bacokan ke atas. Si pendekar hanya melancarkan 3 serangan tapi serangan ini berubah-ubah gerakannya dengan amat cepat dan tak terduga.

Mengahadapi bacokan itu, Cio San menjulurkan tangan kirinya menyambut golok itu. Tapi si pendekar golok itu telah belajar dari serangan-serangan yang lalu, ia tahu bahwa Cio San pasti akan dapat menangkap golok itu. Jadi ia merubah gerakannya. Golok yang tadinya menyerang dari atas ke bawah, di bagian bawah tubuh Cio San, kini berubah menyerang dari atas ke bawah, karena si pendekar golok telah ikut melompat ke atas pula.

Jarak mereka sangat dekat. Menggunakan jurus itu sama saja bunuh diri, karena dengan ikut melompat, ia menjadi sarangan empuk bagi Cio San karena tubuhnya tepat berada di depan Cio San. Ia memang melakukan serangan nekat itu karena ia tahu ia bukan tandingan Cio San. Ia bermaksud untuk mati sama-sama.

Tangan kanan Cio San yang masih belum terpakainya, bergerak menjulur untuk menyambut golok itu dari samping. Si pendekar golok tidak mengira tubuh Cio San bisa memuntir seperti itu bagaikan ular. Tidak ada manusia yang dapat memuntir tubuhnya sedemikian rupa seperti itu. Ia memang tidak tahu bahwa Cio San pernah mempelajari jurus ular sakti saat berada di sebuah goa bawah tanah.

Golok itu tertepis dan terlepas dari tangannya. Posisi tubuhnya kemudian terbuka lebar. Satu serangan saja orang ini akan mati dengan menggenaskan. Tetapi Cio San tidak menyerangnya. Dengan Thay Kek Koen, ia menggunakan puntiran tubuhnya sendiri untuk memuntir orang itu. Tenaga puntiran diri sendiri yang penuh kekuatan itu terselurkan ke tubuh si pendekar golok. Tubuhnya ikut memuntir dan berputar. Tak ayal lagi tubuh itu terhempas ke samping sambil terputar.

Sebenarnya hempasan itu tidak membahayakan jiwanya. Cio San sudah memperhitungkan bahwa hempasan itu akan membuat si pendekar golok mendarat di tanah dengan kedua kakinya. Tetapi sebuah gerakan cepat memotong putaran itu. Sebuah tinju mendarat tepat di batok kepala si pendekar golok dan memecahkan kepalanya!

Si tangan kosong rupanya bergerak!

“Begini lebih cepat. Ia toh memang ingin mati.”

Cio San tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya menampakkan raut wajah yang menyayangkan kejadian ini. Di dalam hatinya ia tahu omongan si tangan kosong memang benar.

Si tangan kosong memandangnya dalam-dalam, lalu bertanya, “Dari mana kau tahu bahwa istriku baru melahirkan? Dari mana juga kau tahu bahwa aku berasal dari Sen Cang? Dari mana kau tahu semua latar belakang kami?”

“Kau membawa daun pohon Lim Ca di kantongmu. Saat kau lewat tadi, baunya yang khas sudah tercium. Daun ini pahit dan jarang ada orang yang memakannya. Khasiat daun ini untuk menambah jumlah air susu ibu. Tumbuhan Lim Ca sangat umum di Tionggoan. Hanya daerah Sen Cang yang merupakan daerah kering di daerah selatan yang tidak memiliki tumbuhan ini. Dari ujung kepalanmu aku tahu kau mempelajari jurus pasir besi. Kepalan tanganmu berwarna kemerahan dan sangat tebal. Sedangkan telapak tanganmu terlihat lebih halus dan tidak semerah kepalanmu. Ini menandakan kau lebih sering melatih kepalan tangan, ketimbang telapak. Ada 2 buah guci yang kau bawa. Satunya berisi air untuk minum. Satunya lagi untuk apa? Tentunya untuk mengisi sesuatu yang bukan air. Saat aku menghubungkannya dengan kepalanmu, maka aku mengambil kesimpulan bahwa isi guci adalah pasir. Pasir khusus yang jika dipanaskan akan membantumu dalam berlatih jurusmu. Awalnya aku mengira kau mengisi guci itu dengan arak. Tapi saat ku perhatikan di dalam kedai, kau tidak meminum arak sama sekali. Kau menghindari arak, karena bagimu saat akan bertarung, arak akan mengganggu gerakanmu. Seluruhnya kalian berlima memang tidak memesan arak karena kalian tahu kalian akan bertarung denganku. Tapi kau, memang sejak dulu menghindar arak. Ini berhubungan pula dengan ilmu yang kau pelajari. Dari yang aku dengar, ilmu Pasir Besi mengharamkan penggunanya untuk meminum arak, karena akan mengganggu pengerahan tenaga di dalam perut. Apa penjelasanku sudah cukup?”

Si tangan kosong hanya bisa menarik nafas.

“Kau pun tidak ikut menyerang dan mengeroyokku, karena kau merasa mengeroyok itu adalah perbuatan rendah. Kau pun sangat yakin akan tinju mu itu. Kini saatnya maju dan membuktikan. Silahkan.....,” kata Cio San.

“Seumur hidup aku mempelajari tinju pasir besi, baru kali ini aku menemukan lawan yang sepadan,” kata si tangan kosong. Ia lalu menjura dan berkata, “Namaku Wan Si Cou. Adalah sebuah kehormatan bertemu Hongswee.” Saat berkata begitu terlihat ia mengumpulkan tenaga karena urat-urat di lengannya mulai menonjol dan tangannya berwarna merah legam seperti perunggu.

“Kehormatan pula bagi cayhe (saya),” jawab Cio San yang sudah mulai menggunakan bahasa ‘halus’ untuk menghormati lawannya.

“Tidak perlu sungkan. Lihat serangan!”

Tinjunya sudah melayang. Datang dengan suara menderu-deru. Wuuuuuum! Wuuuuuuum!

Cio San menghindari tinju ini dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan. Tahu-tahu satu lagi tinju si tangan kosong sudah melayang pula. Ketepatan waktu dan kekuatannya cukup mengagumkan. Cio San tidak menerima tinju dengan tangkisan, melainkan menunduk lalu sedikit berputar. Gerakan menunduk ini membuat ia berpindah dari kanan ke kiri. Kedua tinju yang sangat cepat itu berhasil di hindarinya, tanpa harus melangkahkan kaki. Dengan sendirinya tubuh se penyerang malah mendekat kepadanya. Dengan pundaknya, Cio San menyorong ke depan. Tangan kanannya menghentak ke arah pinggang.

Wan Si Cou terdorong ke belakang. Tetapi dengan lincah ia berjumpalitan agar tidak terhempas. Dengan keadaan kepala di bawah dan kaki di atas, ia melancarkan serangan yang amat sakit. Ada sekitar 10 tinju yang ia lancarkan hampir secara bersamaan.

Cio San menghindari kesepuluh tinju itu dengan lincah, tak ada satu pun yang engenai tubuhnya. Saat Wan Si Cou mendarat, Cio San sudah menyambutnya dengan tendangan yang sangat cepat. Wan Si Cou menyambut tendangan itu dengan tinju kanannya. Cahaya merah keluar dari tinju itu. Belum sempat kaki Cio San terkena tinju itu, ia melipat lututnya. Sehingga kakinya luput dari benturan dengan tinju. Tetapi gerakan tendangan itu tetap diteruskannya sehingga badannya berputar. Saat berputar itulah Wan Si Cou maju menyambar dengan tinju dahsyatnya. Cio San yang masih dalam gerakan memutar sedang dalam keadaan membelakangi Wan Si Cou sehingga menempatkannya dalam posisi yang berbahaya.

Ketika tinju itu akan menghujam punggungnya, ia kembali menggunakan gerakan ular sakti yang membuat tubuh bagian atasnya berputar hampir seluruhnya ke belakang. Kini tinju meluncur ke dadanya, namun Cio San menyapu tinju itu dengan Thay Kek Koen. Wan Si Cou melancarkan satu tinju lagi namun tinjunya yang pertama dipakai Cio San untuk menangkis tinjunya sendiri.

Blaaaaaaang!!!

Terdengar suara bagaikan besi berbenturan dengan besi. Suara yang memekakkan telinga. Kedua kepalan Wan Si Cou retak berantakan!

Kini Cio San melompat dan memutar tubuh bagian bawah pinggangnya yang tadi tidak ikut memutar mengikuti bagian atas tubuhnya. Putaran tenaga bagian bawah ini menghasilkan tenaga tendangan yang sangat kuat. Menghajar rusuk Wan Si Cou tanpa ampun.

Pendekar bertubuh kekar ini tanpa ampun terjengkang ke samping.

“Pulanglah. Temani istrimu. Mengapa membuang-buang nyawa meninggalkan keluarga?” ujar Cio San.

Wan Si Cou hanya meringis kesakitan. Kepalannya retak parah. Tulang rusaknya pun patah. Untung saja Cio San tidak membunuhnya.

“Lan-moi (adik Lan), aku harus pergi. Jagalah diri baik-baik. Kita bertemu beberapa hari lagi. Eh, siapa wanita yang menjaga kasir itu? Ibu tirimu kah?”
Kwee Mey Lan hanya mengangguk pelan. Matanya bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Cio San bertanya tentang ibu tirinya itu. Tetapi ia menanyakan pertanyaan yang lain, “Siapakah mereka ini, mereka mengapa menyerangmu?”
“Ada persekongkolan besar yang rupanya ingin menjatuhkan kekaisaran. Mereka membutuhkan kitab ini untuk menyiapkan pasukan yang besar dan kuat.”

Kembali Kwee Mey Lan mengangguk. “Kau berhati-hatilah.”


Lelaki di depannya mengangguk pula dan berkata, “Sampai jumpa!”


Related Posts:

EPISODE 2 BAB 30 PERNAH PERGI, PERNAH MATI, PERNAH BENCI


Kedua sosok itu saling bertatapan dalam diam. Di tengah kegelapan malam yang sunyi dan sepi. Kwee Mey Lan memandang Cio San dengan sebuah tatapan berjuta makna. Perempuan selalu memandang laki-laki dengan tatapan seperti ini. Tugas laki-laki lah untuk menerjemahkan tatapan ini. Biasanya laki-laki memang tidak pernah berhasil melakukannya.

Cio San kikuk tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apa. Kwee Mey Lan pun masih memandangnya. Sejuta makna itu tidak pernah berhasil dipahami Cio San. Memang ini mungkin satu-satunya hal yang tidak pernah bisa dipahami otaknya yang cerdas. Karena memahami perempuan memang tidak pernah bisa dengan menggunakan akal. Memahami perempuan haruslah dengan perasaan.

“Mey Lan...., baru pulang kah?” akhirnya Cio San bersuara.

“Pulang? Memangnya sejak kapan aku pergi?”

“Oh, sejak tadi aku di Lai-Lai, tidak melihat Mey Lan. Ku pikir kau pergi atau sedang berkelana bersama...”

“Kau mencariku? Ada urusan apa?” tanya Mey Lan ketus.

“Tidak apa-apa, hanya sekedar ingin bertemu....”

Hanya sekedar ingin bertemu.

Kalimat ini adalah kalimat yang paling menyakitkan yang pernah diucapkan oleh bibir manusia. Kalimat yang sederhana dan begitu pendek. Tetapi orang-orang yang mengucapkannya telah mengalami penderitaan yang begitu panjang. Kau baru akan mengerti betapa menyedihkannya kalimat ini jika kau pernah mengalaminya.

Pernahkah kau merindukan seseorang sehingga setiap helaan nafasmu kau menyebut namanya? Setiap detak jantungmu kau mendengar suaranya? Setiap matamu berkedip kau hanya melihat bayangannya. Pernahkah pula kau merindukan seseorang sehingga sinar matahari yang paling panas sekalipun terasa membeku di kulitmu? Salju yang memutih terasa panas membara? Pernahkah kau merindukan seseorang sehingga air matamu  berlinang-linang saat seseorang tidak sengaja menyebut namanya? Dadamu terasa sesak dan sempit saat kenangan tentangnya tiba-tiba datang sehingga membuatmu tenggelam dalam arus kenangan yang membuatmu tidak dapat bernafas? Pernahkah pula kau begitu merindukan seseorang sehingga di dalam kegelapan malam yang sunyi kau bangun dari tidurmu hanya untuk sekedar mendoakan namanya? Atau pernahkah kau begitu merindukan seseorang sehingga kau mengangkat tanganmu ke udara untuk mencoba menjangkau bayangannya yang begitu semu? Pernahkah kau begitu menginginkan bertemu dengannya sehingga jika ia meminta nyawamu, kau akan memberikannya berkali-kali jika bisa? Pernahkah kau merindukan seseorang sehingga setiap suapan makanan yang enak ke dalam mulutmu, kau berharap apa yang ia makan jauh lebih enak daripada makananmu? Pernah kah pula kau merindukan seseorang sehingga kau berharap setiap kepedihan yang ada di dunia ini ditimpakan kepadamu, sehingga orang yang kau rindukan itu tidak perlu mengalami kepedihan walau hanya seujung kuku?

Jika kau pernah mengalaminya, kau tak akan berkata apa-apa saat aku menanyakan hal ini kepadamu. Karena kau tahu betapa pedih dan menderitanya mengalami hal ini. Jika kau pernah merasakannya, maka kau hanya akan mampu meneteskan air matamu dan berkata “Jika aku harus mengalaminya sekali lagi, aku rela.”

Kau tahu kau akan mengatakan hal itu, karena kau tahu, ketika rindu dan cinta sudah menembus kulit dan tulang, ia akan mendarah daging. Sehingga rindu dan cinta itu berubah menjadi bagian dari dirimu. Menjadi DIRIMU. Sampai di saat kau matipun, rindu dan cinta itu akan terkubur dalam-dalam, atau hangus menjadi debu bersama tubuhmu.

Cio San pernah merasakannya. Ia pernah datang, pernah hidup, pernah cinta.
Siapapun, baik ia laki-laki atau perempuan, pastilah pernah datang di dalam kehidupan seseorang. Pernah hidup di dalam mimpi-mipinya, pernah begitu cinta terhadap seseorang.

Siapapun, baik ia laki-laki dan perempuan, pada suatu waktu pastilah akan mengalami perasaan seperti ini. Ketika rindu menumpuk dan begitu menggebu-gebu, rindu itu berubah menjadi kebencian. Kebencian terhadap diri sendiri karena ia tahu ia begitu tak berdaya melawan kerinduan itu.

Hal ini berlaku untuk laki-laki. Juga berlaku untuk perempuan.

Sesungguhnya setiap manusia yang masih bernafas, memiliki kerinduan terhadap sesuatu, atau seseorang. Kerinduan ini menghimpit dadanya. Menyerap seluruh hidup dan kebahagian. Kerinduan ini membunuhnya pelan-pelan. Tetapi yang amat mengherankan, kerinduan ini pulalah yang membuat seseorang bertahan hidup sampai sekarang.

Ia mungkin akan melanjutkan hidup itu dengan mencoba mencintai orang lain. Tetapi kerinduan terhadap ‘si dia’ ini, tak akan pernah berakhir. Ia mungkin akan mencoba menguburkan kerinduan ini dengan mencoba merindukan orang lain. Tetapi kerinduannya terhadap ‘si dia’ justru akan semakin mendalam dan menghancurkannya.

Rindu, bukanlah sebuah kata yang sederhana. Ia adalah sebuah kata yang mematikan. Mematikanmu dari dalam dan perlahan-lahan.

Cio San tahu, ia memang mencoba untuk pergi. Pergi dari kenangan atas cinta yang hilang. Ia pun telah mematikan perasaannya. Mencoba untuk menghidupkan perasaan itu terhadap orang lain. Mencoba untuk membenci cinta yang pernah pergi.

Tapi ia tak akan pernah bisa. Manusia manapun tak akan pernah bisa. Karena jika ia telah mencintai seseorang dengan begitu dalam, tak ada satu hal pun yang sanggup ia lakukan kecuali melanjutkan hidup di dalam kehampaan.

Kehampaan karena orang yang dicintai itu telah pergi bersama dengan segenap jiwanya. Karena cinta yang terlalu dalam selalu menimbulkan lubang di dalam hati dan perasaan. Lubang ini menciptakan sebuah ruang. Ruang milik ‘si dia’ yang tak akan pernah lagi terisi apa-apa. Karena ruang ini milik dia seorang. Tak ada seorang pun yang dapat hidup dan berkuasa di dalam ruang kecil itu kecuali ‘dia’ seorang.

Namun Cio San pun telah mengalami perjalanan yang panjang terhadap perasaannya. Ruang yang kosong di hatinya telah tertutup dan terisi. Bukan terisi dengan orang lain, melainkan terisi dengan pemahaman dan pencerahan.

Pencerahan yang didapatkan dari pemahaman bahwa seseorang sebenarnya dapat hidup tanpa cinta orang lain. Ia hanya perlu mengerti bahwa cinta yang terbaik, adalah cinta terhadap dirinya sendiri. Terhadap kekurangan dan ketidaksempurnaannya dirinya sendiri. Bahwa semua mimpi dan harapan belum tentu terkabul. Manusia lemah dan tak dapat menentukan takdir.

Jika kau bisa memahami hal ini, kau akan bahagia. Dengan atau tanpa cinta orang lain. Karena walaupun kau pernah datang, pernah hidup, dan pernah cinta. Pada akhirnya pun kau akan pernah pergi, pernah mati, dan pernah benci.

Pada akhirnya kau akan memahami bahwa semua kepedihan memang datang untuk menghidupkanmu!

Kehidupan selalu berharga. Kepedihan selalu datang untuk membuat kita menghargai kehidupan itu. Dan Cio San telah memahaminya seluruhnya.

Alangkah beruntung orang yang memahami hal ini.

“Mengapa kau baru datang sekarang? Mengapa pula kau membohongiku sejak dulu?” Mey Lan bertanya kepadanya.

Dalam hati Cio San tersenyum. Dulu, bukan ia yang pergi.

“Aku harus menutupi jati diriku dari musuh-musuhku. Karena itulah aku memakai topeng dan menyamar. Sama sekali tidak ada bermaksud membohongimu.”

“Jika kau sudah pergi, kau tak perlu datang kembali!” tukas Mey Lan.

Perempuan jika berbicara memang temanya selalu melompat-lopat. Ini karena apa yang ada di dala perasaan mereka begitu banyak. Dan mereka ingin mengeluarkannya seluruhnya.

“Aku tidak pernah pergi,” Cio San memilih tegas berkata-kata. “Dulu kau lah yang pergi meninggalkan aku.”

“Kau yang pergi! Kau meninggalkanku sendirian. Tanpa tahu kau akan kembali atau tidak. Hidup terombang ambing di dalam kesepian. Tanpa masa depan! Coba kau katakan kepadaku, bagaimana aku harus hidup? Mengapa kau tak pernah mengerti perasaanku?”

Perempuan memang tidak boleh merasa kesepian. Saat ia merasa kesepian, ia akan mencari seseorang untuk mengisi kesepiannya, terkadang sementara, terkadang untuk selamanya. Ini pelajaran utama yang harus dipahami laki-laki. Terlalu banyak duka yang lahir atas kenyataan ini. Baik di pihak laki-laki maupun di pihak perempuan.

Meskipun lelaki tidak sepenuhnya salah, perempuan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Lalu jika tidak ada yang salah, siapa pula yang patut dipersalahkan?

Cinta memang selalu tentang setia. Setia bersama, setia menanti, ataupun juga setia untu terus mencintai walau cinta itu tidak berbalas.

Siapa telah setia, dia telah mencinta.

Ada orang yang rela menyakiti diri sendiri demi kesetiaannya terhadap hal-hal yang tidak pasti.

Kwee Mey Lan bukan salah satu dari mereka. Meskipun begitu, ia tidak pernah bisa disalahkan. Tidak ada perempuan yang bisa disalahkan. Rumus ini memang sebaiknya dipahami laki-laki.

Bukan karena perempuan ingin menang sendiri. Mereka memang terlahir dan tercipta seperti ini. Keinginan dan kebutuhan untuk dicintai dan dimanjakan, sudah menjadi bagian dari diri mereka sejak mereka lahir. Hal ini telah dimulai sejak perempuan pertama hidup di muka bumi. Akan terus berlaku hingga perempuan terakhir mati di kolong langit.

Laki-laki harus mengerti. Laki-laki mana saja harus mengerti. Jika ia tidak mengerti, maka ia akan mengalami kesulitan hidup dan kekecewaan yang mendalam.

Adalah kewajiban laki-laki untuk memahami perempuan. Mau atau tidak mau. Rela atau tidak rela. Kewajiban ini sudah di mulai sejak laki-laki pertama hidup di muka bumi. Akan terus berlaku hingga laki-laki terakhir mati di kolong langit.

Meskipun perempuan tidak bisa disalahkan, laki-laki pun tidak bisa disalahkan. Laki-laki memang sulit memahami perempuan. Mereka tercipta berbeda. Mereka memiliki tantangan hidup tersendiri. Perempuan yang tidak memahami hal ini akan hidup dalam penantian dan kesepian.

Semua kesedihan di dunia ini sebenarnya berawal dari ketidakmengertian laki-laki terhadap perempuan, dan ketidakmengertian perempuan terhadap laki-laki.

Tetapi walaupun Cio San telah mengerti, tetap saja hatinya terasa perih bertemu dengan mantan kekasihnya ini. Meskipun kau telah sembuh dari patah hati, telah melanjutkan hidup dengan sungguh-sungguh, kau tak akan dapat menghindarkan diri dari perih seperti ini.

Bagaimana mungkin perih akan cinta bisa menghilang, sedangkan penyebab perih itu telah menjadi bagian dari darah dan dagingmu? Jiwa dan hidupmu? Perasaan dan akal sehatmu?

Kwee Mey Lan telah tergantikan oleh Khu Ling Ling di dalam hati Cio San. Tetapi ruang bagi Kwee Mey Lan tak pernah terisi siapapun. Ruang bagi Khu Ling Ling pun tidak pernah terisi siapapun.

Inilah perbedaan laki-laki dan perempuan. Laki-laki mungkin dapat mencintai beberapa perempuan pada saat yang bersamaan. Selalu ada ruang kosong di hati laki-laki bagi beberapa perempuan, yang masing-masing tak dapat menggantikan yang lain.

Perempuan berbeda, ia hanya dapat mencintai satu orang. Jika hari ini ia mencintaimu, seluruh hidupnya adalah milikmu. Tetapi jika di hari esok ia mencintai orang lain, maka seolah-olah ia tak kenal lagi padamu. Ia mungkin akan mengingat kenangan tentangmu, tetapi perasaan cintanya kepadamu telah hilang sepenuhnya.

Cukup lama mereka bertatapan dalam diam. Lalu masing-masing luluh. Kekerasan hati yang datang karena kekecewaan, perlahan-lahan akan luluh. Sedalam apapun kemarahanmu pada seseorang yang mengecewakan cintamu, pada akhirnya kau akan luluh juga. Ini hanyalah masalah waktu. Hati manusia pun mudah berubah. Jika cinta bisa berubah menjadi benci, kenapa pula benci tak dapat berubah menjadi cinta?

Pernah pergi, pernah mati, pernah benci.

Lalu tatapan mereka yang dingin kini mulai menghangat. Kehangatan yang lahir dari rindu dan kenangan akan mengalahkan angin musim gugur yang dingin. Bisa pula mencairkan salju yang beku di musim dingin.

“Mey Lan, apakah sehat?” tanya Cio San tulus.

“Iya. Apakah San-ko (kakak San) sehat pula?”

Ia mengangguk. Ada perasaan sejuk di hatinya, walaupun ia tahu pertanyaan ini mungkin adalah sebuah basa-basi. “Selama ini, bagaimanakah hidupmu?”

“Aku..., telah menjadi murid Go Bi-pay. Hari ini pulang karena ayah sedang sakit.”

“Oh, sakit apa?”

“Entahlah. Aku malah belum bertemu.”

Berbagai macam perasaan berkecamuk di hati Cio San. Ia ingin membantu, tetapi ia telah berjanji untuk menemui sahabat-sahabatnya. Janji kepada sahabat tidak boleh sekalipun di langgar.

“Jika urusanku selesai, aku akan langsung menemui ayahmu. Dalam 4-5 hari aku akan kembali ke sini,” janjinya.

“Baik lah. Aku akan menanti. Hati-hatilah.”

Laki-laki yang pergi dan perempuan yang menanti. Tidak ada yang lebih mengharukan selain hal ini.

Cio San lalu menoleh, “Kalian ingin kitab Bu Bok? Boleh coba ambil sekarang, atau tidak pernah sama sekali.”

Kelima orang yang telah mengepungnya tak jauh dari situ hanya menggumam, “Hmmmm....”

Salah satu dari mereka berkata, “Jika sendirian, memang susah melawanmu. Jika berlima menyatukan kekuatan, ku pikir setan pun terbirit-birit.”

“Aku bukan setan. Aku Cio San!”

Tentu saja Cio San adalah Cio San. Cio San bukan orang lain. Bukan pula setan. Ia lalu meletakan tangan kirinya di belakang. Tangan kanannya memainkan ujung rambutnya.

“Majulah!”

“Teman-teman, kita tujukan saja serangan kita kepada perempuan itu,” kata salah seorang pengepung.

Kwee Mey Lan kaget, tangannya meraih pedang yang sejak tadi ditentengnya.


Cio San tersenyum kepadanya dan berkata, “Tidak perlu. Aku jamin, belum sempat mereka bergerak 5 langkah mendekatimu, nyawa mereka akan dibawa kabur setan.”



Related Posts:

EPISODE 2 BAB 29 SANG JENDERAL


“Aih, hongswee memang hongswee, cayhe sungguh kagum,” Tia Ciati menjura. Cio San hanya tersenyum, tangannya melambai kepada pelayan untuk meminta arak lagi. Tak lama kemudian arak pun sudah datang.

“Sebaiknya cayhe (saya) cerita dari awal,” kata Tia Ciati. Cio San mengangguk sambil menuangkan arak di mangkok masing-masing.

“Cayhe adalah jenderal dari suku Miao. Wanita tadi adalah adik seperguruan cayhe, bernama Sui Tami. Kami membutuhkan kitab Bu Bok untuk keperluan peperangan. Tidak ada jalan lain kecuali merebutnya dari Hongswee. Tetapi kami sadar kemampuan sendiri tidak mungkin memetik bintang di langit. Bertempur melawan Hongswee sudah jelas tidak mungkin, racun pun tidak mungkin. Mengambil diam-diam pun jelas tidak masuk akal. Satu-satunya jalan agar kami mendapatkan kitab itu, adalah dengan cara meminta baik-baik. Untuk itulah kami mengarang sandiwara ini, agar dapat diterima menjadi sahabat Hongswee.”

Cio San mengangguk tersenyum, “Cepat sekali berita tentang kitab Bu Bok ini tersebar.”

Tia Ciati mengangguk, “Nampaknya berita ini sengaja disebar untuk membatasi pergerakan Hongswee. Hampir semua orang di dunia Kang Ouw sudah mendengar bahwa kitab ini berada pada Hongswee. Tetapi yang sudah pikun dan berani merebutnya secara terang-terangan mungkin baru cayhe seorang.”

“Rencana yang ciangkun jalankan sebenarnya cukup baik. Rupanya ciangkun (jenderal) sudah menyelediki segala hal tentang cayhe (saya) sehingga menggunakan ‘persahabatan’ sebagai umpannya. Sayang, banyak hal-hal kecil yang ciangkun lupakan,” tukas Cio San.

“Apa itu? Mohon petunjuk dari Hongswee.”

“Pertama, yang paling jelas, adalah ciangkun ingin menyamar sebagai orang yang telah melalui perjalanan yang jauh. Pakaian ciangkun sudah benar. Kotor dan sedikit awut-awutan. Tubuh ciangkun pun sudah berdebu. Cukup meyakinkan. Tapi ciangkun memiliki kuku pendek yang terlihat baru habis dipotong. Orang yang tergesa-gesa dalam perjalanan jauh, apalagi sedang dalam keadaan dikejar-kejar, tidak mungkin punya waktu untuk potong kuku dulu.”

Tia-ciangkun (jenderal Tia) hanya mengangguk-angguk memandang kukunya.

“Yang kedua, saat nona itu datang kemari. Pakaiannya juga sudah pas. Sedikit berdebu dan sedikit kurang rapi. Cocok untuk menunujukkan keadaan orang yang bepergian jauh. Yang ia lupa, jika beperan sebagai seorang putri Miao yang kabur dari rumah, ia harusnya menggunakan pakaian orang Han (orang Tionghoa). Dia kan harus menyamar dan berbaur, supaya para pengejarnya tidak mudah menemukannya. Jika aku seorang putri Miao, melarikan dari rumah. Masakah aku akan menggunakan pakaian Miao lengkap?”

Sekali lagi Tia-ciangkun cuma bisa manggut-manggut. Penjelasan Cio San sederhana dan sangat masuk akal. “Kami memohon maaf sebesar-besarnya. Merupakan kesalahan besar karena kami meremehkan ketajaman pandangan dan kecerdasan Hongswee. Sungguh kami meminta maaf dengan kerendahan hati,” katanya sungguh-sungguh.

Kata Cio San, “Ada lagi sebuah kesalahan yang sangat besar dari ciangkun. Ketika kalian berdua bertengkar, kalian menggunakan bahasa Han (tionghoa). Seharusnya kan kalian bertengkar menggunakan bahasa Miao.”

“Aih.....” sang Ciangkun hanya melongo. Ini sebuah kesalahan besar yang lahir dari kesalahan kecil. Awalnya ia bermaksud dengan pertengkaran itu ia bisa mengambil hati Cio San, apa daya ternyata justru membongkar sandiwara mereka.

“Karena ciangkun telah membohongiku, rasanya cukup pantas jika ciangkun dihukum,” kata Cio San.

“Baiklah. Apa hukumannya?”

“Habiskan arak ini bersamaku,”

“Itu saja?”

“Itu saja.”

Arak pun masuk tenggorokan. Masuknya pun sangat cepat. Setelah berguci-guci arak itu habis, Cio San pun lalu berkata, “Sebenarnya kau kan tahu, aku tidak mungkin memberikanmu kitab itu. Kekaisaran sekarang sedang berusaha menumpas keras pemberontakan suku Miao di beberapa daerah di selatan. Jika aku memberikannya kepadamu, bukankah itu sama saja dengan mengkhianati tanah airku?”

“Apa boleh buat? Cayhe pun hanya berusaha membela tanah air cayhe......”

Jika dua orang yang berbeda suku dan kepercayaan, yang pada saat itu sedang berseteru atau berperang, bisa duduk berdampingan dan menikmati arak, tentunya kehidupan di kolong langit ini bisa lebih tenang.

“Aku mengagumi keterusteranganmu, ciangkun. Aku sendiri tidak setuju dengan seluruh peperangan ini. Seandainya kita semua dapat berbuat sesuatu untuk menghentikannya. Sayangnya sepintar dan sehebat apapun manusia, ia tak akan pernah dapat menghentikan peperangan, karena sepertinya, perang adalah takdir di dalam hidup manusia.”

Sebagai seorang jenderal, Tia-ciangkun tahu betul apa maksud Cio San. Perang tidaklah ditentukan oleh para serdadu dan panglima. Perang selamanya ditentukan oleh mereka yang menikmati tahta, dan mereka yang memiliki kepentingan akan kekuasaan. Mereka ini tidak pernah turun ke medan perang. Hanya menikmati kasur empuk bersama permaisuri atau selir-selirnya. Mereka-mereka inilah yang berbahagia atas kemenangan pasukan, di saat ribuan bahkan jutaan prajurit meregang nyawa di medan pertempuran.

Perang selalu kejam. Tetapi bukan darah yang tertumpah atau nyawa yang terbuang yang membuat perang menjadi begitu kejam. Kekejaman itu muncul dari kenyataan bahwa justru orang yang paling tidak tahu apa-apa, dan yang paling tidak punya kepentingan apa-apalah, yang dipaksa berangkat ke dalam arena peperangan itu. Sedangkan ia yang paling berkepentingan justru menikmati ketenangan hidup di istananya.

“Peperangan yang sebenarnya belum terjadi antara kekaisaran dan suku kami. Hanya terdapat perseteruan-perseteruan kecil yang mengakibatkan gesekan-gesekan kecil antara orang Han (tionghoa) dengan orang Miao. Hal ini sebenarnya bisa diatasi jika semua pihak bisa menahan diri dan saling mengerti. Raja kami sebenarnya terus mengutamakan perdamaian. Hanya saja beberapa dari menteri di dalam pemerintahan selalu berusaha menghasut raja kami mengambil keputusan untuk berperang,” jelas Tia-ciangkun.

Cio San melihat kejujuran di mata Tia Ciati.

“Apa yang bisa ciangkun (jenderal) lakukan untuk mencegah semua itu?” tanyanya.

“Tidak ada. Tentara kekaisaran Beng sudah memasuki kota-kota di daerah selatan. Mereka banyak melakukan kekerasan dan memperkosa wanita kaum kami. Sepertinya para tentara ini sengaja membuat keonaran agar perseteruan semakin meruncing. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain melindungi kaum kami. Di kota kami banyak sekali penduduk biasa yang merupakan orang Han. Tapi kami diperintahkan untuk tidak mengganggu mereka. Segala perlawanan yang kami lakukan, adalah untuk mebela diri,” jelas jenderal Tia.

Mendengar hal ini, Cio San cuma menghela nafas. Segala hal yang berhubungan dengan siasat kekuasaan memang selalu membuatnya jijik. Ia pernah menyelamatkan kaisar di masa lalu. Tetapi perbuatan itu bukan karena ia mendukung dan mencintai kaisar itu. Ia merasa wajib melakukannya karena itu adalah hal yang benar.

Kebenaran harus selalu dilihat dengan jernih, tidak perduli apapun sukumu, kepercayaanmu, bangsamu. Jika sebuah perbuatan itu salah, maka selamanya perbuatan itu salah. Tak akan menjadi benar walaupun ia dilakukan oleh orang sukumu, atau orang yang memiliki kepercayaan yang sama denganmu.

Di masa peperangan, amat sangat sulit menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Semua orang mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri. Mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Meskipun Tia-ciangkun secara terang-terangan mengakui bahwa ia sebenarnya mengincar kitab Bu Bok, Cio San bisa melihat ketulusan dan kejujuran di matanya. Ia tidak pernah salah menilai orang lain. Inilah kelebihannya yang utama.

“Aku ingin ciangkun menjanjikan satu hal untukku, sebagai balasannya, aku akan memperlihatkan kitab Bu Bok kepada ciangkun. Anda boleh membaca selama mungkin sampai tengah malam nanti. Karena pada saat itu, aku akan meneruskan perjalanan,” ujar Cio San.

“Janji apa?”

“Berjanjilah bahwa ciangkun tidak akan memberitahukan isi kitab itu kepada orang lain!”

Sang jenderal mengangguk, “Baik. Aku berjanji!”

Janji adalah kehormatan, kedua orang ini paham betul akan hal itu. Maka Cio San mengeluarkan kitab itu dari balik bajunya. Sebuah kitab tebal yang terbuat dari kulit hewan. Dengan mata berbinar-binar sang jenderal membuka halamannya. Lembar demi lembarnya dibuka dengan hati-hati. Dibacanya satu persatu dengan teliti. Terkadang ia berhenti sebentar untuk menghafalkan tulisan yang ia baca.



Cio San membiarkan sang jenderal mempelajari isi kitab itu. Dia sendiri tenggelam dalam arak yang entah sudah berapa kali diantarkan para pelayan.

Jika orang yang berpikirannya sempit, tentu akan memandang Cio San sebagai pengkhianat karena membiarkan orang lain, yang saat itu berseberangan dengan bangsanya, untuk membaca rahasia tentang siasat perang milik bangsanya. Tetapi bagi mereka yang mau berpikir, perbuatan Cio San ini penuh makna yang dalam. Hanya dengan cara inilah dua orang berseberangan dapat mengesampingkan segala pertentangan dan duduk bersama-sama menikmati kedamaian. Perang tidak pernah mengenai rakyat jelata. Perang selalu mengenai kekuasaan.

Mungkin, walaupun kemungkinannya sangat kecil, hanya rakyat yang cerdas yang tak dapat diadu domba dan dibodohilah yang sanggup mencegah peperangan. Karena rakyat yang telah bersatulah yang ditakuti oleh para penguasa. Rakyat yang telah pintar, dan tidak termakan kabar burung. Tidak terbakar fitnah serta cerita-cerita bohong. Mungkin inilah satu-satunya harapan atas kedamaian. Karena inilah Cio San membiarkan Tia-ciangkun membaca isi kitab Bu Bok. Dengan kejernihan hati, kecerdasan dan kepintarannya, ia mungkin akan dapat mempelajari banyak hal yang kelak membantunya menghentikan perang!

Siapa tahu?

Langit memiliki rahasianya sendiri. Manusia hanya dapat berusaha. Akhirnya selesailah sang jenderal muda itu membaca kitab Bu Bok. Setelah menutup kitab itu, ia meletakkannya di atas meja, lalu menjura memberi hormat amat dalam. Setelah selesai, ia pun menjura kepada Cio San,

“Sungguh pelajaran yang amat sangat berharga. Cayhe (saya) amat berterima kasih bahwa Cio-hongswee mengijinkan cayhe untuk membacanya. Sekali lagi terima kasih, Hongswee.”

Cio San balas menjura. Katanya, “Semoga ciangkun menemukan hikmah membaca kitab ini.”

“Tentu saja, sebuah hikmah yang sangat dalam, Hongswee.”

“Apa itu?”

“Bahwa kemenangan berperang tidak pernah bisa dibandingkan dengan kedamaian dan kesejahteraan rakyat,” tukas sang jenderal.

“Tapi cayhe (saya) pernah mendengar bahwa untuk mencapai perdamaian, seseorang harus rela berperang,” ujar Cio San.

“Pemahaman itu keliru. Kedamaian hanya akan bisa dihasilkan oleh kesadaran dan kejernihan hati. Perang, hanya akan menimbulkan kedamaian yang sementara. Pada akhirnya akan timbul perang lagi di antara mereka.”

“Setuju,” kata Cio San. “Justru karena aku yakin bahwa ciangkun akan sampai pada pemahaman inilah, aku mengijinkan ciangkun untuk membaca kitab ini. Kelak di masa depan, ciangkun mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk menghentikan perang.”

Sang jenderal hanya mengangguk-angguk dengan dalam. Di hadapan Cio San yang sederhana dan masih muda, seorang jenderal seperti dia pun harus menunduk dengan penuh kagum.

Orang yang mengagumkan, memang bukanlah orang yang memiliki harta dan kekayaan yang melimpah. Bukan mereka yang memiliki anak buah atau pasukan yang banyak. Bukan mereka yang memiliki kekuasaan dan jabatan penting. Bukan pula mereka yang memiliki kekuatan dan kesaktian. Orang yang mengagumkan adalah mereka yang melakukan hal-hal kecil yang sederhana demi orang lain. Menyingkirkan sebuah duri di jalanan agar orang lain tidak terkena duri, adalah perbuatan mengagumkan.

Sesuatu yang kecil dan sederhana, memang selalu mengagumkan. Kecil dan sederhana, tidak pernah remeh. Karena kecil dan sederhana memerlukan ketulusan dan tidak meminta imbalan. Amat sangat sedikit orang yang melakukan sesuatu tanpa mencari imbalan, sekecil apapun. Menunggu ucapatn terima kasih adalah pamrih. Yang paling benar adalah melakukan sesuatu tanpa menanti balasan apapun, walaupun itu hanya sekedar ucapan ‘terima kasih’.

“Ciangkun, saat ini sudah tepat tengah malam. Banyak orang yang mengincar kitab ini, Dari penglihatanku saja, sudah ada 5 orang di dalam kedai ini yang mengincarnya. Mulai sekarang mungkin hidupmu tidak akan tenang. Untuk mencariku, orang-orang ini mungkin tak akan berani. Tapi mereka akan melakukan segara cara licik untuk mendapatkan isi kitab ini. Kau tentu tahu resikonya ketika aku mengijinkan ciangkun membaca kitab ini?”

“Tentu saja. Cayhe telah siap dengan segala macam kemungkinan,” ia mengangguk dengan mantap. Ia memang pantas menjadi seorang jenderal.

“Cayhe harus pergi. Kita harus berpisah sampai di sini, di masa depan mungkin kita akan bertemu lagi. Cayhe harap, kita bertemu sebagai sahabat, dan bukan sebagai musuh.”

“Tentu saja Hongswee. Cayhe akan berusaha sebisa mungkin untuk mengatasi perang. Cayhe sudah memiliki beberapa cara.”

“Baiklah, kita berpisah. Sampai jumpa!”

“Sampai jumpa. Dan oh, mengenai hidangan tadi, biarkan cayhe yang membayar,” tukas Tia Ciati sambil tersenyum.

Cio San tentu tersenyum pula. Mereka sama-sama berdiri dan menuju ke ciangkui (kasir) untuk membayar. Setelah selesai, mereka bersalaman sekali lagi. Tia Ciati segera melesat hilang di dala kegelapan malam. Tidak lama terdengar derap kaki kuda yang mengikutinya. Rupanya para pengawalnya pun selalu berada di dekatnya. Cio San tahu mereka bukan orang sembarangan.

Saat Cio San melangkahkan kaki keluar dari halaman kedai, 5 orang dari dalam kedai pun ikut keluar. Cio San tersenyum di dalam hati. Hidupnya memang tidak pernah tenang. Tetapi sungguh kaget dirinya ketika langkah kakinya harus berhenti. Terhentinya pun karena sebuah sosok yang berada di depannya.


Kwee Mey Lan!

Related Posts:

EPISODE 2 BAB 28 URUSAN YANG TERLALU BANYAK


Cio San sudah bercukur. Rambutnya disanggul rapi. Tubuhnya pun kini sangat wangi. Sekilas ia teringat Beng Liong yang memiliki wangi yang khas. Hatinya terasa kecut kita memikirkan sahabatnya itu. Tetapi ia mengeraskan hatinya dan mencoba melupakannya. Baju baru yang disediakan para pelayan di rumah itu untuk Cio San terlihat sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya. Wajahnya terlihat jauh lebih muda. Cahaya terang bersinar dari raut wajahnya yang gembira.

Ia pergi ke Lai-Lai. Tempat yang menyimpan begitu banyak cerita. Ia pernah tinggal di sana cukup lama. Ia hafal hampir seluruh sudut tempat itu. Tetapi tempat itu sudah amat berubah. Saat sampai di pintu depan, seorang pelayan menyapanya, “Maaf tuan, tempat kami penuh. Tuan bisa memesan tempat, tetapi harus menunggu cukup lama”

“Oh, aku sudah memesan tempat,” sahut Cio San sambil tersenyum. “Atas nama A San.” Sang pelayan memandang catatannya sebentar lalu tersenyum dan mengangguk, “Ah, mari silakan masuk tuan.”

Si pelayan mengantar Cio San duduk di kursinya. Kebetulan tempat itu berada di pojok dan mejanya kecil, hanya cukup untuk dua orang. “Maaf hanya tempat ini yang tersedia, tuan,” kata si pelayan. Cio San memuji, “Ah sempurna sekali. Cocok.”

“Baiklah kalau tuan suka. Tuan ingin memesan apa? Kami punya masakan dan arak terbaik. Kalau boleh menyarankan, saya menyarankan bebek panggang merah tabur kacang, dan arak gun siu. Itu adalah masakan unggulan kedai kami.”

Melihat si pelayan yang tangkas dan ramah, Cio San tersenyum senang dan berkata, “Kedengarannya enak! Baiklah, aku memesan itu saja.”

Ia tahu masakan itu harganya mahal. Tetapi ia tahu pula, di dalam kantong baju barunya, uangnya sangat banyak. Pelayan di rumah Khu-hujin sudah menyelipkan sebuah kantong uang yang cukup dalam di balik sakunya. Saat itu ia pura-pura tidak tahu saja. Karena untuk mengembalikan uang itu tentu tidak mungkin, sebab akan menyinggung Khu-hujin.

Seperti biasa, ia memperhatikan keadaan sekitar. Otaknya telah bekerja secara alami untuk memperhatikan, dan mengambil kesimpulan. Dari jejak tanah di sepatu, ia tahu bahwa orang yang duduk di meja sebelah baru saja datang dari kota Ceng Pau. Dari sarung pedang dan gagangnya, Cio San tahu bahwa seseorang yang duduk di pojok nun jauh di sana baru saja membunuh orang.

Begitu seterusnya. Otak dan pemikirannya tak pernah berhenti memperhatikan dan mengambil kesimpulan. Bahkan kelebihan inilah yang membuat ia bertahan hidup sampai sekarang.

Ta perlu menunggu terlalu lama, pesanannya sudah datang. Baunya wangi sekali. “Sungguh wangi! Terima kasih” puji Cio San. Si pelayan cuma mengangguk tersenyum bangga. Hanya itulah kebanggaan pelayan. Jika pekerjaan mereka dihargai dan dipuji. Cukup tersenyum manis, dan berterima kasih. Para pelayan akan sangat berterima kasih kepadamu pula. Malahan kemungkinan pelayanan mereka kepadamu malah semakin baik.

Tanpa tedeng aling, Cio San langsung menyantap hidangan di hadapannya. Ia paling suka makan. Apalagi makanan enak. Jika ada makanan tidak enak, ia akan selalu menemukan cara untuk membuatnya jadi lebih enak. Ini salah satu kelebihan kecil yang amat sangat dibanggakannya di hadapan sahabat-sahabatnya. Dan sahabat-sahabatnya pun mengakui hal ini. Apa yang dipesan Cio San akan mereka pesan pula. Apa yang dilakukan Cio San terhadap makanannya, akan mereka lakukan pula terhadap makanan mereka. Cio San makan di mana, di situ pula mereka akan makan. Pendek kata, jika Cio San makan batu. Sahabat-sahabatnya pun akan makan batu, karena mereka yakin, batu itu pasti enak rasanya.

Ia menikmati masakan ini dengan sungguh-sungguh. Rasanya sangat enak. Kwee-ciangkui (pemilik rumah makan), ayah Kwee Mey Lan, rupanya berhasil menemukan tukang masak yang berbakat. Teringat akan Kwee-ciangkui, Cio San penasaran. Kemana orang tua yang baik hati itu? Yang menjaga bagian kasir bukanlah dirinya, melainkan seorang wanita tua dengan dandanan cukup menor. Apakah ini istri barunya? Cio San tersenyum sendiri. Pintar juga Kwee-ciangkui mencari istri.

Wanita itu masih lumayan muda. Mungkin sekitar 35 tahunan. Tubuhnya padat memikat. Bajunya pun lumayan ketat. Wajahnya masih cantik, sayang dandanannya cukup tebal. Kebanyakan perempuan memang seperti ini. Semakin tua, dandanannya semakin tebal. Mungkin untuk menutupi kerutan wajah yang perlahan-lahan muncul menjarah kecantikan mereka.

Perempuan cantik yang menjadi tua, selalu menjadi sebuah ironi tersendiri.
Lagak wanita di bagian kasir ini juga cukup menarik. Ia mengatur urusan Ciaulauw (kedai makan/arak) ini dengan cukup luwes dan ramah. Cio San jadi asik sendiri memperhatikan wanita ini. Tentu saja dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin ketahuan memelototi wanita ini.

Tiba-tiba terdengar keributan di luar. Rupanya seorang tamu memaksa masuk, padahal sang pelayan telah memberitahukan bahwa tempat itu sudah penuh.
“Biarkan aku masuk!” terdengar suara yang cukup menggelegar.

“Maaf, tuan. Tidak bisa, tempat kami sudah penuh,” si pelayan mencoba mencegahnya. Tapi apa daya, dengan satu tarikan, si pelayan sudah dilempar orang itu keluar. Rupanya orang ini adalah seorang ahli Gwa-kang (tenaga luar). Melihat caranya melempar pelayan itu, Cio San terkesan. Bukan terkesan dengan tenaganya, melainkan terkesan dengan cara lemparnya. Orang itu menggunakan gerak sedemikian rupa sehingga pelayan itu jatuhnya tepat dengan kedua kakinya dan tidak terluka pula. Dari sini saja, Cio San menilai bahwa orang ini bukan orang yang jahat. Ia cuma bersifat keras dan kasar.

Orang itu masuk ke dalam. Dari cara berpakaiannya Cio San tahu bahwa orang ini berasal dari suku Miao. Sebuah suku dari banyaknya suku yang hidup di Tionggoan (China daratan). Hubungan suku Han (suku mayoritas di China daratan) dengan suku Miao akhir-akhir ini memang kurang baik. Dari kabar yang terdengar, ada gerakan pemberontakan yang dilakukan suku ini di beberapa tempat. Karena itulah, saat orang ini masuk, seluruh orang yang berada di dalam Lai Lai-ciulauw (kedai Lai Lai) ini langsung membuang muka.
Cio San menyambutnya dengan senyum, “Toako (kakak)! Duduk lah di sini. Masih ada sebuah kursi kosong.”

Melihat teguran yang bersahabat itu, orang Miao ini lalu tersenyum senang, ia menoleh kepada si wanita penjaga kasir, “Tuh, ada kan! Kalian saja yang tidak mau menerima orang Miao!” Sebenarnya tabu membicarakan urusan antar suku seperti ini, tetapi orang Miao memang lebih terbuka dalam urusan berbicara.

Ia lalu duduk tepat di sebelah Cio San. Karena bangku yang tersisa cuma sebuah bangku yang agak panjang yang diduduki Cio San. “Salam kenal!” katanya sambil menjura. Cio San tersenyum dan membalas salamnya. “Nama cahye, A San. Kalau boleh tahu, siapakah nama toako (kakak) yang gagah?”

“Namaku Tia Cati. Senang berkenalan dengan anda!” mulutnya tersenyum tetapi matanya memandang bebek dan arak yang ada di atas meja.

“Tia-toako (kakak Tia) nampaknya lapar dan barusan berjalan jauh. Ini makan dulu bebekku. Masih ada beberapa bagian yang utuh. Biar ku pesan lagi hidangan yang lain,” kata Cio San sambil melambaikan tangan memanggil pelayan. Tia Cati ini tanpa ragu-ragu langsung mengambil bebek itu dan melahapnya. “Baik. Bagus sekali. Terima kasih.”

Bagi orang lain, perbuatan ini sangat tidak sopan. Apalagi mereka mendengar bahwa kedua orang ini baru saling kenal. Dalam suku Miao sendiri pun ada aturan tata kesopanan tersendiri. Nampaknya memang sudah sifat dan pembawaan Tia Cati sendiri yang seperti ini. Cio San tersenyum dalam hati memperhatikan lagak orang di sebelahnya ini. Tanpa tedeng aling, tanpa basa-basi, jujur dan terbuka. Cio San menghargai ini. Sekali pandang saja ia tahu, orang ini cocok dijadikan sahabat.

Perawakannya tinggi besar, bercambang lebat, rambutnya disanggul namun sedikit awut-awutan. Ketika bebeknya selesai masuk perutnya, hidangan lain yang dipesan Cio San sudah datang pula. Mereka berdua menghabiskan makanan ini dengan lahap tanpa bercakap-cakap.

Jika makanan enak berada di dalam mulut, apa pula gunanya berbicara? Orang lain yang memperhatikan tingkah kedua orang ini cuma bisa geleng-geleng kepala.

“San-toako (kakak San), aku tahu engkau bukan orang biasa. Tetapi musuhku sedang mengejarku. Aku terpaksa makan untuk mengisi tenaga. Jika nanti ia masuk kemari, ku mohon kau pergilah. Aku tidak ingin sahabat baruku terkena urusanku,” kata Tia Ciati.

“Memangnya ada orang yang berani mencari perkara denganmu?” tanya Cio San sambil tersenyum.

“Orang lain tidak berani. Tapi orang ini berani. Aku sudah bosan lari darinya, kuputuskan untuk melawannya di sini saja,” tukas Tia Ciati sambil gegares paha domba yang cukup besar.

Dalam hati Cio San cukup kaget. Musuh yang mampu membuat laki-laki gagah seperti ini melarikan diri, bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.

Tia Ciati menatap pintu dengan sedikit khawatir. Tapi mulutnya tidak berhenti makan dan menenggak arak. “Aih, enak sekali arak ini!” tapi begitu kata ‘ini’ selesai, wajahnya memucat. Rupanya bayangan musuhnya telah tiba di depan pintu. Mau tidak mau, Cio San menoleh ke pintu juga. Entah bagaimana musuh itu bisa masuk tanpa dihadang pelayan. Mungkin karena ada beberapa kursi yang sudah kosong.

Musuh itu sudah tiba!

Alangkah herannya Cio San ketika melihat yang masuk itu adalah seorang perempuan kurus langsing, dengan pakaian khas suku Miao. Wajahnya lumayan walaupun bukan wajah perempuan paling cantik nomer satu di dunia. Cio San berani memberi nilai 7 untuk wajah ini.



“Sekarang kau tak bisa lari lagi!” kata wanita itu. Suaranya melengking.

“Aku memang tidak kepingin lari,” jawab Tia Ciati tenang sambil melahap paha domba. Meskipun tenang, Cio San dapat melihat keringat sebesar butiran jagung di dahinya.

“Jadi kau setuju akan menikahiku?”

Hampir pecah tawa Cio San mendengar hal ini. Tetapi ia berpura-pura menenggak arak. Biarpun mangkoknya sudah kosong, ia masih berpura-pura menenggak, agar menutupi tawanya.

“Tidak kepingin lari, kan bukan berarti kepingin nikah,” jawab Tia Ciati pelan.

Braaaaak!! Si nona menggebrak meja.

“Jadi apa maumu???!!!” tanyanya dengan mata membelalak.

Cio San tak tahu apa yang harus ia lakukan. Rasanya yang paling baik dilakukan seseorang ketika sahabatnya dimarahi kekasihnya, adalah duduk diam dan tidak ikut campur.

“A...aku, hanya ingin kau memberiku kebebasan. Tidak perlu mengejar-ngejar sampai kemari....” kata Tia Ciati.

“Bicaran sembarangan!Kau sendiri yang berjanji akan menikahiku. Kini mau ingkar janji?” bentak si nona.

Orang-orang disekeliling menahan tawa. Rupanya laki-laki yang galak dan gagah berani ini takut kepada calon istrinya. Laki-laki yang galak memang cuma takluk kepada satu hal. Perempuan yang galak.

Perempuan yang galak ini sedang melototi mereka. Walaupun Cio San tidak ikut-ikutan masalah ini, sedikit banyak ia merasa dipelototi juga. Rasanya sungguh tidak enak. Cio San lalu berdiri dan berkata, “Nona, duduklah dulu. Biar saya ambilkan kursi yang kosong.”

“Tidak perlu! Kau siapanya?” galak betul pertanyaannya.

Tentu saja Cio San tidak bisa menjawab. Dikatakan baru saja kenal, mereka sudah menyantap hidangan bersama-sama seperti orang kelaparan, duduk berdampingan pula. Dikatakan kenal pun, mereka baru saja bertemu beberapa menit yang lalu.

“Eh...aku..aku..”

“Kau yang membantunya melarikan diri kesini?”

“Eh bukaaaan...bukaaaan,” Tia Ciati buru-buru memotong. “Aku baru saja kenal. Ia menawarkan untuk duduk di sebelahnya karena meja yang lain penuh.”

Si nona memandang ke sekeliling. Meja banyak yang kosong. Entah karena memang pengunjung yang lain sudah selesai makan, atau karena Tia Ciati sedang sial.

“Bohong besar! Meja kosong segitu banyaknya!”

Tia Ciati memandang ke sekeliling dan terpaksa tertenduk lemas.

“Kau! Siapa namamu?” pertanyaannya sungguh tidak sopan.

“Namaku A San”

“Kau sahabatnya?”

“Benar”

Apa salahnya mengakui seseorang sebagai sahabat? Seburuk apapun sifatnya,ia pasti juga punya kebaikan.

“Sejak kapan kau mengenalnya?”

“Baru beberapa saat yang lalu,” Cio San menjawab seperti seorang pencuri yang tertangkap basah.

“Baru saja kenal, kalian sudah duduk berdampingan, makan dengan mesra pula. Kau begini licin dandannya. Tampan pula. Ah jangan...jangan....., kalian...kalian...saling mencinta?”

Cio San cuma melongo. Cara nona ini mengambil kesimpulan memang lumayan cerdas. Kalau saja bukan dia yang dituduh seperti itu, tentu ia akan tertawa.

Sayangnya tidak ada seorang laki-laki pun yang bisa tertawa jika dirinya sendiri yang dituduh mencintai sesama jenis.

“Omongan ngawur!” Tia Ciati akhirnya angkat bicara. “Kau boleh mempermalukan aku, tetapi tidak boleh mempermalukan sahabatku!”

Nah! Kata-kata ini sungguh merdu di telinga Cio San. Sejak awal, pandangannya terhadap Tia Ciati memang tidak salah. Laki-laki berdiri gagah seolah-olah ingin melindungi Cio San dari semprotan amarah kekasihnya.

“Kau berani membentakku?!”

“Tentu saja berani. Kenapa tidak berani?!” matanya melotot.

“Aku adalah tuan putrimu! Ayahku adalah Siauw-ong (raja kecil)!”

“Dan, lelaki ini adalah sahabatku!” suara bentakan Tia Ciati jauh lebih menggelegar dan membahana.

Semua orang yang mendengar ini terhenyak. Untuk ukuran tuan putri, nona ini derajatnya sangat terhormat. Jika kemana-mana, para tuan putri seperti ini harus diiringi dayang-dayang dan pengawal. Tetapi nona ini datang sendirian.
Yang lebih mengherankan, si lelaki tegap ini berani membentaknya. Jika dipikir-pikir, walaupun lelaki ini sudah dijodohkan dengan si tuan putri, tetap saja sekarang derajadnya masih di bawah si putri. Entah mungkin anak pejabat atau panglima.

Persahabatan.

Bukankah persahabatan sungguh berat nilainya?

Tia Ciati tahu nilainya. Tentu saja Cio San juga tahu nilainya.

Telingan Cio San yang tajam, mendengar keributan yang datang dari jauh. Belasan kuda datang menghampiri. “Nona, pengawal-pengawal anda sudah datang.”

Si nona bingung sebentar, ia menoleh dan tidak ada siapa-siapa di pintu. Para pengunjung masing-masing duduk di mejanya ingin mengetahui akhir dari tontonan menarik ini.

“Dasar tukang bohong. Mereka tidak tahu aku pergi,”

“Tunggu saja, sebentar lagi mereka muncul”

Karena penasaran si nona menatap terus ke arah pintu. Ia baru yakin ketika terdengar suara kuda dari jauh. Dengan memasang wajah sebal, dan mempelototi Cio San, ia berkata, “Aku akan membuat perhitungan denganmu.” Dalam sekelebat nona itu melayang dan menghilang dari jendela.

Tia Ciati pun berdiri dan menepuk pundah Cio San, “San-toako, sepertinya aku juga harus pergi. Sampai bertemu lagi. Terima kasih atas suguhannya.” Ia pun menghilang melalui jendela.

Tinggalah Cio San yang kini duduk menenggak arak. Semua mata memandang ke arah pintu. Menanti siapa lagi yang akan datang. Kejutan apa lagi yang akan terjadi.

Derap kuda itu berhenti tepat di halaman kedai. Ada belasan orang yang datang. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki berpakaian khas suku Miao juga. Lagaknya cukup gagah, sepertinya seorang serdadu. Anak buahnya segera memasuki kedai dan mulai berkeliling mencari orang. Para pengunjung tetap duduk diam dan tenang. Rupanya mereka sudah terbiasa dengan hal seperi ini.

“Selamat sore, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Maaf mengganggu. Kami ingin bertanya, apakah tuan-tuan melihat seorang gadis yang cantik, yang berpakaian suku Miao, masuk ke tempat ini?”

Semua mata pengunjung tertuju pada Cio San.

Si kepala pasukan juga bukan orang yang bodoh. Ia segera paham arti pandangan orang-orang ini. “Tuan, apakah tuan...”

“Ia sudah pergi lewat jendela” potong Cio San.

Si kepala pasukan meneliti Cio San dengan tajam, lalu berkata, “Tuan siapakah nona kami?”

“Aku sahabatnya”

“Hmmm....” ia berpikir sebentar, kemudian berkata, “Mau kah tuan ikut dengan kami? Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan.”

“Tidak”

Singkat, padat, dan jelas.

“Maafkan jika kami harus memaksa,” kata si kepala pasukan. Ia hendak berteriak memberi perintah kepada pasukannya, ketika Cio San kemudian memotong,

“Jika aku berkata kepada tuan putrimu, kau mengkasari sahabatnya, kira-kira hukuman apa yang akan ia berikan kepadamu?”

“Aih....” rupanya perkataan itu menusuk dengan tepat. Tapi ia bisa menguasai diri lalu bertanya dengan tenang, “Maafkan jika kami kasar, tuan. Kami hanya mengkhawatirkan keadaan tuan putri. Tapi jika boleh tahu, dari mana tuan mengenal tuan putri kami?”

“Tuan putrimu kan bukan baru sekali ini berkelana. Tidak mengherankan jika ia banyak menjalin persahabatan.”

Sekali lagi ucapan Cio San mengena pula. Dengan pikirannya ia sudah bisa mengetahui apa yang sedang terjadi. Si tuan puteri ini adalah jenis puteri yang susah diatur dan banyak perkara. Dilihat dari gelagatnya, tentu si tuan puteri ini sedang melarikan diri dan berkelana di dunia yang bebas.

“Baiklah jika begitu. Bolehkah saya mengetahui nama tuan yang terhormat?” tanya si kepala pasukan.

“Namaku A San.”

“Tanpa she (marga)?”

“She ku tidak penting”

“Baik. Kami mohon diri dulu. Jika tuan bertemu dengan tuan putri, harap sampaikan pesan bahwa siau-ong (raja kecil) marah besar tuan putri kabur lagi. Dimohon tuan putri segera pulang.”

“Baiklah. Akan ku sampaikan.”

“Terima kasih banyak, San-enghiong (ksatria San),” si kepala pasukan menjura lalu mohon diri. Cio San balas menjura pula. Lalu duduk kembali menikmati arak dan makanannya. Pasukan berkuda itu sudah menghilang dari sana.

“Urusan perempuan yang keras kepala memang amat banyak,” katanya pelan.

“Benar!”

Ternyata si nona putri yang dicari-cari itu sudah berada di situ. Sejak tadi ia tidak kabur melainkan bersembunyi di atas genteng. Tentu saja Cio San tahu hal ini. Itulah sebabnya ia mengucapkan kata-kata tadi. Rupanya kata-kata itu memang ditujukan kepada si tuan putri.

Si nona duduk di hadapannya. Mengambil pula daging domba, tanpa minta ijin. Sepertinya si nona dengan Tia Ciati memang mempunyai sifat yang mirip. Sama-sama tanpa tedeng aling dan bebas tidak terikat aturan.

“Kenapa kau lari?” tanya Cio San.

“Aku dipaksa menikah!”

“Ooooh? Kau sendiri tidak suka dipaksa menikah. Kenapa kau memaksa orang lain menikah denganmu?”

“Karena ia sudah berjanji kepadaku!”

“Janji itu mungkin dilakukannya saat mabuk, atau tidak sadarkan diri,” kata Cio San.

“Eh enak saja bicara! Aku ingat betul ia sadar sesadar-sadarnya. Aku pun ingat betul tanggal berapa ia mengatakan hal itu!”

“Oh? Kapan itu?”

Si nona menerawang sambil tersenyu sendiri, “Tanggal 20 bulan 6, tepat 20 tahun yang lalu!”

Cio San hampir memuntahkan arak yang sudah melewati tenggorokannya. “Itu kalian umur berapa? 5 tahun?!”

“Aku berumur 5 tahun. Ia berusia 7 tahun saat itu,”

Sebenarnya Cio San ingin menuturinya tentang berbagai hal, tapi ia tahu nona ini tidak bisa dinasehati. Ada dua macam manusia yang tidak bisa dinasehati, manusia yang sedang jatuh cinta, dan manusia yang sudah mati.

Akhirnya ia hanya bisa bertanya, “Jadi kau benar-benar mencintainya?”

“Mengapa pertanyaanmu sebodoh ini? Tentu saja aku mencintainya!”

Cio San tertawa. Orang yang memakinya bodoh seumur hidupnya memang baru perempuan ini. Tetapi ia tidak tersinggung malahan tertawa.

“Jika kau mencintainya, buatlah agar ia yang mengejarmu. Jangan kau yang mengejar dia.”

“Melihat tampangku saja, ia lari terbirit-birit. Bagaimana mungkin ia akan berbalik mengejarku?”

“Semua ada cara dan siasat. Jika kau tahu caranya, kau akan bisa menaklukannya.”

“Oh, jadi kau tahu caranya?”

“Tidak”

Braaaaaak! Suara tangan sang nona menghentak meja.

“Tetapi aku mengenal seseorang yang mengetahui caranya,” jelas Cio San sambil tersenyum.

“Siapa?”

“Aku akan memberitahukan kepadamu saat seluruh urusanku selesai. Sambil menunggu, kau harus berjanji untuk tidak mengejar-ngejar dirinya.”

Si nona memikirkan matang-matang perkataan itu. Membutuhkan waktu cukup lama baginya untuk kemudian berkata, “Baiklah! Entah kenapa, aku percaya kepadamu.”

Nona ini bukan orang pertama yang mengatakan hal ini, pun ia bukan orang yang terakhir.

“Nah sekarang pergilah. Saat urusanku selesai, aku akan mencarimu.”

Tuan putri ini memandangnya dalam-dalam. Lalu pergi tanpa suara. Cio San memandangnya pergi.

Jika seseorang sudah jatuh cinta dengan begitu tak berdaya, tiada hal yang dapat ia lakukan selain mempercayai apapun yang orang katakan kepadanya.
Si nona pergi menghilang, bersama mentari sore yang tenggelam di ufuk barat.

Suasana Lai Lai sudah mulai sepi. Cio San masih menikmati araknya. Lalu terdengar suara Tia Ciati, “Kau berhasil mengusirnya, San-toako! Aku harus berterima kasih kepadamu!”

Cio San memandangnya sambil tersenyum, lalu katanya, “Duduklah!”

Tia Ciati duduk dengan santai lalu menuangkan arak. Tetapi wajahnya segera berubah ketika melihat wajah Cio San yang sangat sungguh-sungguh. “Ada apa?” tanya Tia Ciati.

“Jika kalian ingin meminta sesuatu dariku, cukup datang saja dan katakan sejujurnya. Tidak perlu mengarang-ngarang cerita segala!”

Related Posts: