Kelima orang yang mengurung ini tidak ada yang berani bergerak. Cio San dan Kwee Mey Lan berada di dalam kurungan ini. Jarak mereka berdua sekitar 3 langkah. Jarak pengurungnya mungkin sekitar 10 langkah.
Tidak ada satu pun yang berani melangkah maju. Mereka sebenarnya orang-orang yang sangat percaya akan kemampuan sendiri. Tetapi melihat keyakinan diri Cio San, mereka jadi sedikit ragu.
Selama ini nama besar Cio San sudah didengar orang, tetapi orang yang pernah bertemu dengannya tidak banyak. Dari cerita yang terdengar, kehebatan Cio San dikisahkan simpang siur. Ada yang mengatakan ia adalah seorang kakek tua sakti, ada yang mengatakan ia adalah seorang bocah ajaib yang aneh, dan macam-macam cerita. Maklum manusia memang suka menambah-nambah dan mengganti cerita sesuai keinginannya sendiri.
Ada yang bilang bahwa Cio San memiliki ilmu yang sangat hebat, ada pula yang bilang ilmunya biasa-biasa saja. Ada juga yang bilang bahwa kehebatan Cio San hanya pada akalnya, dan ia dibantu oleh ilmu silat sahabat-sahabatnya.
Kelima orang ini awalnya tidak saling mengenal. Tetapi mereka bahu membahu untuk merebut kitab Bu Bhok. Entah mengapa buku ini menjadi sangat penting di kalangan Bu Lim.
Cio San masih memainkan rambutnya. Kelima pengurungnya masih ragu. Dua orang sudah mencabut pedang, satu orang membawa golok, satu orang membawa tombak, dan satu orang menggunakan tangan kosong.
“Kau tahu siapa kami?” tanya yang menggunakan tangan kosong.
Cio San menatapnya. “Aku tidak tahu siapa namamu. Yang aku tahu kau menguasai tinju pasir besi. Anakmu baru saja lahir, dan kau berasal dari Sen Cang.”
Si tangan kosong terbelalak. Dari mana Cio San tahu?
“Dan kau,” Cio San menoleh kepada pendekar tombak, “Kau adalah pelarian Siau Lim Pay selama setahun ini. Kau baru saja menghadapi musuh yang sangat kuat, tapi kau berhasil mengalahkannya. Aku tidak tahu pula namamu.”
Si jago tombak diam saja, tetapi raut wajahnya terlihat perubahan.
Sang jenderal Phoenix menoleh ke pendekar golok, “Nampaknya kau paling tidak sabar untuk maju. Silahkan!”
Si pendekar golok ini rupanya adalah seorang yang berangasan dan tidak sabaran. Ia juga terlalu percaya diri dan meremehkan orang lain.
Goloknya berwarna keemasan. Sekali bergerak golok itu malah mengincar leher Cio San, bukan mengincar Kwee Mey Lan. Yang mengincar Kwee Mey Lan justru dua orang pendekar pedang yang sedari tadi diam.
“Naga Menggerung Menyesal!”
Dari mulutnya terdengar teriakan itu. Dari tangan kirinya terlihat cahaya kuning yang bergerak meliuk-liuk bagai gerakan naga, menyambar kedua pendekar pedang itu. Saat itu mereka mengira dengan menyerang Kwee Mey Lan secara bersamaan, Cio San akan kerepotan. Sayangnya mereka salah. Cahaya kuning emas yang keluar dari telapak tangan Cio San itu benar-benar bagai naga yang melibas serangan mereka!
Kedua pendekar pedang itu terjengkang ke belakang, tidak mengerti bagaimana cahaya itu dapat bergerak bagaikan naga yang hidup!
Si pendekar golok tersenyum karena ia mengira perhatian Cio San terpecah pada kedua pendekar pedang itu. Goloknya menyabar leher Cio San demikian cepat. Si pendekar tongkat pelarian Siau Lim Pay pun sudah menyusul bergerak menyerang Kwee Mey Lan!
Mendapat serangan serempak yang berlainan tempat ini tidak membuat Cio San kelimpungan. Tangan kanannya menerima golok itu, dengan sedikit putaran telapak tangannya, ia menerima golok itu dengan lembut dari bawah. Begitu tangannya menyentuh golok itu, segera ia menepis golok itu ke atas.
Begitu golok tertepis ke atas, Cio San suduh meluncur menyusuri tanah. Gerakannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari siapa pun. Sambil meluncur ke tanah, telapaknya memukul ke belakang. Sebuah pukulan jarak jauh pula. Tetapi kali ini ia menggunakan Thay Kek Koen (Tai Chi Chuan) untuk mendorong si pendekar golok menjauh. Sedangkan tangan kanan kirinya sudah memukul ke depan. Kembali terdengar suara, “Naga Terbang Di Langit!”
Jurus ini adalah kedua dari rangkaian jurus 18 Tapak Naga. Jurus ini dilancarkan saat seseorang bergerak meluncur ke depan. Walaupun merupakan pukulan jarak jauh, jurus kedua ini membutuhkan penggunanya untuk bergerak cepat ke depan agar menghasilkan dorongan pukulan yang jauh lebih kuat.
Si pendekar tombak yang menyerang Mey Lan pun tidak menyangka betapa Cio San dapat bergerak secepat itu sambil mengeluarkan dua jurus berbeda secara bersamaan pula.
Di dalam dunia persilatan, orang yang sanggup melancarkan dua jurus berbeda secara bersamaan, mungkin cuma Cio San seorang. Amat sangat susah untuk menggunakan dua jurus secara bersamaan, karena pengerahan tenaga, kuda-kuda, dan gerakannya amat sangat berbeda. Apalagi menggunakan dua jenis jurus yang berbeda. Dalam ilmu silat, jenis jurus terbagi dua, yaitu yang berdasarkan tenaga keras seperti 18 Tapak Naga, dan berdasarkan tenaga lembut seperti Thay Kek Koen. Kedua jenis ini amatlah berbeda sehingga para pendekar pasti akan lebih menitikberatkan untuk mempelajari salah satu. Menggabungkan keduanya adalah perbuatan yang hampir tidak mungkin. Hanya pendekar-pendekar besar yang paling berbakat saja yang bisa melakukannya, seperti pendekar besar Kwee Ceng.
Kini saat Cio San melakukannya dengan alami dan sangat mengalir, tentulah hasilnya sangat dahsyat. Si pendekar tombak itu menghalau cahaya emas di telapak tangan Cio San dengan tongkatnya. Gerakan jurusnya menghujam dan meluncur tak tertangkap mata. Ujung tombaknya bertemu telapak tangan Cio San.
Dengan gerakan kecil, Cio San menurunkansedikit telapak tangannya sehingga ujung tombak tidak bertemu dengan telapak tanganya. Ujung tombak itu malah masuk di antara celah-celah jari-jari Cio San.
Saat ujung tombak itu belum lagi lewat, Cio San telah menjepit ujung tombak yang pipih itu dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya!
Sepanjang hidup para pendekar-pendekar ini, belum pernah mereka melihat seseorang menangkap senjata tajam dengan kedua jarinya. Jepitan itu membuat tombak tidak bergerak sama sekali. Bahkan ketika si pendekar tombak mengerahkan seluruh tenaganya, tobak itu diam bagai tertancap di batu.
Penempatan waktu, kekuatan, serta kecerdasan Cio San berperan sangat penting dalam gerakan yang sederhana namun mencengangkan ini.
Ia hanya tersenyum lalu berbicara kepada dirinya sendiri, “Eh, aku menciptakan jurus baru!”
Bagaimana mungkin seseorang bisa menciptakan jurus baru dalam pertarungan sedahsyat ini. Bahkan dalam posisi yang paling tidak mungkin sekalipun, ia sanggup menciptakan jurus baru!
Tombak masih terjepit diam di tangan, pemilik tombak masih berusaha sekuat tenaga menggerakkan tombaknya. 3 orang sudah tergeletak di tanah, yang seorang lagi, si tangan kosong, masih berdiri mematung.
Kwee Mey Lan bahkan tidak perlu bergerak sama sekali. Ia telah percaya penuh kepada Cio San.
Dan Cio San memang tidak pernah mengecewakan siapapun!
Ia menatap si pendekar tombak. Katanya, “Menyerah dan pergilah. Untuk bisa mengalahkanku, kau membutuhkan 20 tahun.”
Crang! Lalu ujung tombak itu patah. Jepitan tangan Cio San telah menghancurkan tombak itu seperti daun kering.
“Kau baru saja melawan musuh yang kuat. Karena itu gerakanmu menjadi lamban. Aku tahu karena kau baru saja mengganti kayu di tombakmu. Kayu ini kayu yang baru. Terlihat jelas dari warnanya. Kemungkinan saat kau melawan musuh itu, ia berhasil mematahkan kayu tombakmu. Tetapi kau berhasil membunuhnya. Karena pertempuran itu, kau kehilangan banyak tenaga. Pasti ada beberapa luka yang kau sembunyikan di balik bajumu. Tercium aroma salap Ling Pek dari tubuhmu. Salap ini adalah salap mujarab untuk mengeringkan luka akibat senjata tajam.”
Si pendekar tombak hanya terpana. Begitu mudah jurus tombaknya dipatahkan. Begitu mudah tombaknya dihancurkan. Begitu mudah pula keadaan dirinya tertebak. Seluruh hidupnya dihabiskan hanya untuk mempelajari ilmu tombak. Lalu ilmu itu dipatahkan hanya dalam satu jurus.
Ia membanting tombak itu, dan tertunduk lesu. Pergi dari situ dengan perasaan tidak percaya.
Lalu Cio San berkata kepadanya, “Kau belajar silat karena ingin menjadi nomer satu. Belajarlah karena kau mencintainya. Dengan begitu kau tak akan kecewa.”
Si pendekar tombak menoleh lalu menjura, “Terima kasih atas petunjuk dan kemurahan hati Hongswee.”
“Sebenarnya kau tidak ingin ku ampuni karena berani menyerang nona ini. Jika nona ini mengampuni, baru aku akan mengampunimu,” tukas Cio San.
“Biarkan ia pergi San-ko,” kata Mey Lan.
Cio San mengangguk. Si pendekar tombak pergi. Untuk selamanya dunia persilatan tidak lagi mendengar tantang sepak terjangnya.
Dua orang pendekar pedang yang tergeletak di tanah terluka paling parah. Ini karena Cio San benar-benar mengerahkan tenaganya ketika menyerang mereka. Perbuatan mereka menyerang Mey Lan secara bersama-sama sungguh memalukan.
“Luka dalam kalian terlalu parah. Tulislah surat wasiat,” hanya itu kata Cio San tanpa menoleh sedikit pun kepada mereka. Matanya memandang pada pendekar golok yang tadi terlempar terkena Thay Kek Koen. “Kau kumaafkan karena langsung menyerangku dan tidak mengeroyok nona ini. Jika masih belum puas, silahkan maju lagi.”
Si pendekar golok sudah bangkit berdiri, ia lalu menjura. “Aku bukan tandinganmu. Tetapi amat memalukan jika kalah lalu mendapat pengampunan dari musuh. Biarkan aku menyerangmu lagi. Jika aku kalah, bunuhlah aku.”
Cio San sangat memahami isi hati kebanyakan kaum pendekar. Harga diri mereka terlalu tinggi.
Si pendekar golok bergerak menyerang. Kali ini ia melompat tinggi. Dalam satu gerakan, jaraknya dengan Cio San menjadi sangat pendek. Kecepatan yang cukup mengagumkan.
Golok itu datang membacok tepat di tengah kepala Cio San. Dengan tenang Cio San mundur selangkah ke belakang. Golok itu lewat di depannya. Begitu golok itu luput, entah bagaimana golok terhenti dan arah serangannya pun berubah. Kali ini tahu-tahu ia menyerang pinggang dengan sangat cepat. Serangan itu kembali luput karena Cio San sudah melopat tinggi ke atas dan berjumpalitan.
Saat Cio San di atas, entah bagaimana bacokan menyamping itu berubah menjadi bacokan ke atas. Si pendekar hanya melancarkan 3 serangan tapi serangan ini berubah-ubah gerakannya dengan amat cepat dan tak terduga.
Mengahadapi bacokan itu, Cio San menjulurkan tangan kirinya menyambut golok itu. Tapi si pendekar golok itu telah belajar dari serangan-serangan yang lalu, ia tahu bahwa Cio San pasti akan dapat menangkap golok itu. Jadi ia merubah gerakannya. Golok yang tadinya menyerang dari atas ke bawah, di bagian bawah tubuh Cio San, kini berubah menyerang dari atas ke bawah, karena si pendekar golok telah ikut melompat ke atas pula.
Jarak mereka sangat dekat. Menggunakan jurus itu sama saja bunuh diri, karena dengan ikut melompat, ia menjadi sarangan empuk bagi Cio San karena tubuhnya tepat berada di depan Cio San. Ia memang melakukan serangan nekat itu karena ia tahu ia bukan tandingan Cio San. Ia bermaksud untuk mati sama-sama.
Tangan kanan Cio San yang masih belum terpakainya, bergerak menjulur untuk menyambut golok itu dari samping. Si pendekar golok tidak mengira tubuh Cio San bisa memuntir seperti itu bagaikan ular. Tidak ada manusia yang dapat memuntir tubuhnya sedemikian rupa seperti itu. Ia memang tidak tahu bahwa Cio San pernah mempelajari jurus ular sakti saat berada di sebuah goa bawah tanah.
Golok itu tertepis dan terlepas dari tangannya. Posisi tubuhnya kemudian terbuka lebar. Satu serangan saja orang ini akan mati dengan menggenaskan. Tetapi Cio San tidak menyerangnya. Dengan Thay Kek Koen, ia menggunakan puntiran tubuhnya sendiri untuk memuntir orang itu. Tenaga puntiran diri sendiri yang penuh kekuatan itu terselurkan ke tubuh si pendekar golok. Tubuhnya ikut memuntir dan berputar. Tak ayal lagi tubuh itu terhempas ke samping sambil terputar.
Sebenarnya hempasan itu tidak membahayakan jiwanya. Cio San sudah memperhitungkan bahwa hempasan itu akan membuat si pendekar golok mendarat di tanah dengan kedua kakinya. Tetapi sebuah gerakan cepat memotong putaran itu. Sebuah tinju mendarat tepat di batok kepala si pendekar golok dan memecahkan kepalanya!
Si tangan kosong rupanya bergerak!
“Begini lebih cepat. Ia toh memang ingin mati.”
Cio San tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya menampakkan raut wajah yang menyayangkan kejadian ini. Di dalam hatinya ia tahu omongan si tangan kosong memang benar.
Si tangan kosong memandangnya dalam-dalam, lalu bertanya, “Dari mana kau tahu bahwa istriku baru melahirkan? Dari mana juga kau tahu bahwa aku berasal dari Sen Cang? Dari mana kau tahu semua latar belakang kami?”
“Kau membawa daun pohon Lim Ca di kantongmu. Saat kau lewat tadi, baunya yang khas sudah tercium. Daun ini pahit dan jarang ada orang yang memakannya. Khasiat daun ini untuk menambah jumlah air susu ibu. Tumbuhan Lim Ca sangat umum di Tionggoan. Hanya daerah Sen Cang yang merupakan daerah kering di daerah selatan yang tidak memiliki tumbuhan ini. Dari ujung kepalanmu aku tahu kau mempelajari jurus pasir besi. Kepalan tanganmu berwarna kemerahan dan sangat tebal. Sedangkan telapak tanganmu terlihat lebih halus dan tidak semerah kepalanmu. Ini menandakan kau lebih sering melatih kepalan tangan, ketimbang telapak. Ada 2 buah guci yang kau bawa. Satunya berisi air untuk minum. Satunya lagi untuk apa? Tentunya untuk mengisi sesuatu yang bukan air. Saat aku menghubungkannya dengan kepalanmu, maka aku mengambil kesimpulan bahwa isi guci adalah pasir. Pasir khusus yang jika dipanaskan akan membantumu dalam berlatih jurusmu. Awalnya aku mengira kau mengisi guci itu dengan arak. Tapi saat ku perhatikan di dalam kedai, kau tidak meminum arak sama sekali. Kau menghindari arak, karena bagimu saat akan bertarung, arak akan mengganggu gerakanmu. Seluruhnya kalian berlima memang tidak memesan arak karena kalian tahu kalian akan bertarung denganku. Tapi kau, memang sejak dulu menghindar arak. Ini berhubungan pula dengan ilmu yang kau pelajari. Dari yang aku dengar, ilmu Pasir Besi mengharamkan penggunanya untuk meminum arak, karena akan mengganggu pengerahan tenaga di dalam perut. Apa penjelasanku sudah cukup?”
Si tangan kosong hanya bisa menarik nafas.
“Kau pun tidak ikut menyerang dan mengeroyokku, karena kau merasa mengeroyok itu adalah perbuatan rendah. Kau pun sangat yakin akan tinju mu itu. Kini saatnya maju dan membuktikan. Silahkan.....,” kata Cio San.
“Seumur hidup aku mempelajari tinju pasir besi, baru kali ini aku menemukan lawan yang sepadan,” kata si tangan kosong. Ia lalu menjura dan berkata, “Namaku Wan Si Cou. Adalah sebuah kehormatan bertemu Hongswee.” Saat berkata begitu terlihat ia mengumpulkan tenaga karena urat-urat di lengannya mulai menonjol dan tangannya berwarna merah legam seperti perunggu.
“Kehormatan pula bagi cayhe (saya),” jawab Cio San yang sudah mulai menggunakan bahasa ‘halus’ untuk menghormati lawannya.
“Tidak perlu sungkan. Lihat serangan!”
Tinjunya sudah melayang. Datang dengan suara menderu-deru. Wuuuuuum! Wuuuuuuum!
Cio San menghindari tinju ini dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan. Tahu-tahu satu lagi tinju si tangan kosong sudah melayang pula. Ketepatan waktu dan kekuatannya cukup mengagumkan. Cio San tidak menerima tinju dengan tangkisan, melainkan menunduk lalu sedikit berputar. Gerakan menunduk ini membuat ia berpindah dari kanan ke kiri. Kedua tinju yang sangat cepat itu berhasil di hindarinya, tanpa harus melangkahkan kaki. Dengan sendirinya tubuh se penyerang malah mendekat kepadanya. Dengan pundaknya, Cio San menyorong ke depan. Tangan kanannya menghentak ke arah pinggang.
Wan Si Cou terdorong ke belakang. Tetapi dengan lincah ia berjumpalitan agar tidak terhempas. Dengan keadaan kepala di bawah dan kaki di atas, ia melancarkan serangan yang amat sakit. Ada sekitar 10 tinju yang ia lancarkan hampir secara bersamaan.
Cio San menghindari kesepuluh tinju itu dengan lincah, tak ada satu pun yang engenai tubuhnya. Saat Wan Si Cou mendarat, Cio San sudah menyambutnya dengan tendangan yang sangat cepat. Wan Si Cou menyambut tendangan itu dengan tinju kanannya. Cahaya merah keluar dari tinju itu. Belum sempat kaki Cio San terkena tinju itu, ia melipat lututnya. Sehingga kakinya luput dari benturan dengan tinju. Tetapi gerakan tendangan itu tetap diteruskannya sehingga badannya berputar. Saat berputar itulah Wan Si Cou maju menyambar dengan tinju dahsyatnya. Cio San yang masih dalam gerakan memutar sedang dalam keadaan membelakangi Wan Si Cou sehingga menempatkannya dalam posisi yang berbahaya.
Ketika tinju itu akan menghujam punggungnya, ia kembali menggunakan gerakan ular sakti yang membuat tubuh bagian atasnya berputar hampir seluruhnya ke belakang. Kini tinju meluncur ke dadanya, namun Cio San menyapu tinju itu dengan Thay Kek Koen. Wan Si Cou melancarkan satu tinju lagi namun tinjunya yang pertama dipakai Cio San untuk menangkis tinjunya sendiri.
Blaaaaaaang!!!
Terdengar suara bagaikan besi berbenturan dengan besi. Suara yang memekakkan telinga. Kedua kepalan Wan Si Cou retak berantakan!
Kini Cio San melompat dan memutar tubuh bagian bawah pinggangnya yang tadi tidak ikut memutar mengikuti bagian atas tubuhnya. Putaran tenaga bagian bawah ini menghasilkan tenaga tendangan yang sangat kuat. Menghajar rusuk Wan Si Cou tanpa ampun.
Pendekar bertubuh kekar ini tanpa ampun terjengkang ke samping.
“Pulanglah. Temani istrimu. Mengapa membuang-buang nyawa meninggalkan keluarga?” ujar Cio San.
Wan Si Cou hanya meringis kesakitan. Kepalannya retak parah. Tulang rusaknya pun patah. Untung saja Cio San tidak membunuhnya.
“Lan-moi (adik Lan), aku harus pergi. Jagalah diri baik-baik. Kita bertemu beberapa hari lagi. Eh, siapa wanita yang menjaga kasir itu? Ibu tirimu kah?”
Kwee Mey Lan hanya mengangguk pelan. Matanya bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Cio San bertanya tentang ibu tirinya itu. Tetapi ia menanyakan pertanyaan yang lain, “Siapakah mereka ini, mereka mengapa menyerangmu?”
“Ada persekongkolan besar yang rupanya ingin menjatuhkan kekaisaran. Mereka membutuhkan kitab ini untuk menyiapkan pasukan yang besar dan kuat.”
Kembali Kwee Mey Lan mengangguk. “Kau berhati-hatilah.”
Lelaki di depannya mengangguk pula dan berkata, “Sampai jumpa!”