“Aih, hongswee memang hongswee, cayhe sungguh kagum,” Tia Ciati menjura. Cio San hanya tersenyum, tangannya melambai kepada pelayan untuk meminta arak lagi. Tak lama kemudian arak pun sudah datang.
“Sebaiknya cayhe (saya) cerita dari awal,” kata Tia Ciati. Cio San mengangguk sambil menuangkan arak di mangkok masing-masing.
“Cayhe adalah jenderal dari suku Miao. Wanita tadi adalah adik seperguruan cayhe, bernama Sui Tami. Kami membutuhkan kitab Bu Bok untuk keperluan peperangan. Tidak ada jalan lain kecuali merebutnya dari Hongswee. Tetapi kami sadar kemampuan sendiri tidak mungkin memetik bintang di langit. Bertempur melawan Hongswee sudah jelas tidak mungkin, racun pun tidak mungkin. Mengambil diam-diam pun jelas tidak masuk akal. Satu-satunya jalan agar kami mendapatkan kitab itu, adalah dengan cara meminta baik-baik. Untuk itulah kami mengarang sandiwara ini, agar dapat diterima menjadi sahabat Hongswee.”
Cio San mengangguk tersenyum, “Cepat sekali berita tentang kitab Bu Bok ini tersebar.”
Tia Ciati mengangguk, “Nampaknya berita ini sengaja disebar untuk membatasi pergerakan Hongswee. Hampir semua orang di dunia Kang Ouw sudah mendengar bahwa kitab ini berada pada Hongswee. Tetapi yang sudah pikun dan berani merebutnya secara terang-terangan mungkin baru cayhe seorang.”
“Rencana yang ciangkun jalankan sebenarnya cukup baik. Rupanya ciangkun (jenderal) sudah menyelediki segala hal tentang cayhe (saya) sehingga menggunakan ‘persahabatan’ sebagai umpannya. Sayang, banyak hal-hal kecil yang ciangkun lupakan,” tukas Cio San.
“Apa itu? Mohon petunjuk dari Hongswee.”
“Pertama, yang paling jelas, adalah ciangkun ingin menyamar sebagai orang yang telah melalui perjalanan yang jauh. Pakaian ciangkun sudah benar. Kotor dan sedikit awut-awutan. Tubuh ciangkun pun sudah berdebu. Cukup meyakinkan. Tapi ciangkun memiliki kuku pendek yang terlihat baru habis dipotong. Orang yang tergesa-gesa dalam perjalanan jauh, apalagi sedang dalam keadaan dikejar-kejar, tidak mungkin punya waktu untuk potong kuku dulu.”
Tia-ciangkun (jenderal Tia) hanya mengangguk-angguk memandang kukunya.
“Yang kedua, saat nona itu datang kemari. Pakaiannya juga sudah pas. Sedikit berdebu dan sedikit kurang rapi. Cocok untuk menunujukkan keadaan orang yang bepergian jauh. Yang ia lupa, jika beperan sebagai seorang putri Miao yang kabur dari rumah, ia harusnya menggunakan pakaian orang Han (orang Tionghoa). Dia kan harus menyamar dan berbaur, supaya para pengejarnya tidak mudah menemukannya. Jika aku seorang putri Miao, melarikan dari rumah. Masakah aku akan menggunakan pakaian Miao lengkap?”
Sekali lagi Tia-ciangkun cuma bisa manggut-manggut. Penjelasan Cio San sederhana dan sangat masuk akal. “Kami memohon maaf sebesar-besarnya. Merupakan kesalahan besar karena kami meremehkan ketajaman pandangan dan kecerdasan Hongswee. Sungguh kami meminta maaf dengan kerendahan hati,” katanya sungguh-sungguh.
Kata Cio San, “Ada lagi sebuah kesalahan yang sangat besar dari ciangkun. Ketika kalian berdua bertengkar, kalian menggunakan bahasa Han (tionghoa). Seharusnya kan kalian bertengkar menggunakan bahasa Miao.”
“Aih.....” sang Ciangkun hanya melongo. Ini sebuah kesalahan besar yang lahir dari kesalahan kecil. Awalnya ia bermaksud dengan pertengkaran itu ia bisa mengambil hati Cio San, apa daya ternyata justru membongkar sandiwara mereka.
“Karena ciangkun telah membohongiku, rasanya cukup pantas jika ciangkun dihukum,” kata Cio San.
“Baiklah. Apa hukumannya?”
“Habiskan arak ini bersamaku,”
“Itu saja?”
“Itu saja.”
Arak pun masuk tenggorokan. Masuknya pun sangat cepat. Setelah berguci-guci arak itu habis, Cio San pun lalu berkata, “Sebenarnya kau kan tahu, aku tidak mungkin memberikanmu kitab itu. Kekaisaran sekarang sedang berusaha menumpas keras pemberontakan suku Miao di beberapa daerah di selatan. Jika aku memberikannya kepadamu, bukankah itu sama saja dengan mengkhianati tanah airku?”
“Apa boleh buat? Cayhe pun hanya berusaha membela tanah air cayhe......”
Jika dua orang yang berbeda suku dan kepercayaan, yang pada saat itu sedang berseteru atau berperang, bisa duduk berdampingan dan menikmati arak, tentunya kehidupan di kolong langit ini bisa lebih tenang.
“Aku mengagumi keterusteranganmu, ciangkun. Aku sendiri tidak setuju dengan seluruh peperangan ini. Seandainya kita semua dapat berbuat sesuatu untuk menghentikannya. Sayangnya sepintar dan sehebat apapun manusia, ia tak akan pernah dapat menghentikan peperangan, karena sepertinya, perang adalah takdir di dalam hidup manusia.”
Sebagai seorang jenderal, Tia-ciangkun tahu betul apa maksud Cio San. Perang tidaklah ditentukan oleh para serdadu dan panglima. Perang selamanya ditentukan oleh mereka yang menikmati tahta, dan mereka yang memiliki kepentingan akan kekuasaan. Mereka ini tidak pernah turun ke medan perang. Hanya menikmati kasur empuk bersama permaisuri atau selir-selirnya. Mereka-mereka inilah yang berbahagia atas kemenangan pasukan, di saat ribuan bahkan jutaan prajurit meregang nyawa di medan pertempuran.
Perang selalu kejam. Tetapi bukan darah yang tertumpah atau nyawa yang terbuang yang membuat perang menjadi begitu kejam. Kekejaman itu muncul dari kenyataan bahwa justru orang yang paling tidak tahu apa-apa, dan yang paling tidak punya kepentingan apa-apalah, yang dipaksa berangkat ke dalam arena peperangan itu. Sedangkan ia yang paling berkepentingan justru menikmati ketenangan hidup di istananya.
“Peperangan yang sebenarnya belum terjadi antara kekaisaran dan suku kami. Hanya terdapat perseteruan-perseteruan kecil yang mengakibatkan gesekan-gesekan kecil antara orang Han (tionghoa) dengan orang Miao. Hal ini sebenarnya bisa diatasi jika semua pihak bisa menahan diri dan saling mengerti. Raja kami sebenarnya terus mengutamakan perdamaian. Hanya saja beberapa dari menteri di dalam pemerintahan selalu berusaha menghasut raja kami mengambil keputusan untuk berperang,” jelas Tia-ciangkun.
Cio San melihat kejujuran di mata Tia Ciati.
“Apa yang bisa ciangkun (jenderal) lakukan untuk mencegah semua itu?” tanyanya.
“Tidak ada. Tentara kekaisaran Beng sudah memasuki kota-kota di daerah selatan. Mereka banyak melakukan kekerasan dan memperkosa wanita kaum kami. Sepertinya para tentara ini sengaja membuat keonaran agar perseteruan semakin meruncing. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain melindungi kaum kami. Di kota kami banyak sekali penduduk biasa yang merupakan orang Han. Tapi kami diperintahkan untuk tidak mengganggu mereka. Segala perlawanan yang kami lakukan, adalah untuk mebela diri,” jelas jenderal Tia.
Mendengar hal ini, Cio San cuma menghela nafas. Segala hal yang berhubungan dengan siasat kekuasaan memang selalu membuatnya jijik. Ia pernah menyelamatkan kaisar di masa lalu. Tetapi perbuatan itu bukan karena ia mendukung dan mencintai kaisar itu. Ia merasa wajib melakukannya karena itu adalah hal yang benar.
Kebenaran harus selalu dilihat dengan jernih, tidak perduli apapun sukumu, kepercayaanmu, bangsamu. Jika sebuah perbuatan itu salah, maka selamanya perbuatan itu salah. Tak akan menjadi benar walaupun ia dilakukan oleh orang sukumu, atau orang yang memiliki kepercayaan yang sama denganmu.
Di masa peperangan, amat sangat sulit menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Semua orang mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri. Mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Meskipun Tia-ciangkun secara terang-terangan mengakui bahwa ia sebenarnya mengincar kitab Bu Bok, Cio San bisa melihat ketulusan dan kejujuran di matanya. Ia tidak pernah salah menilai orang lain. Inilah kelebihannya yang utama.
“Aku ingin ciangkun menjanjikan satu hal untukku, sebagai balasannya, aku akan memperlihatkan kitab Bu Bok kepada ciangkun. Anda boleh membaca selama mungkin sampai tengah malam nanti. Karena pada saat itu, aku akan meneruskan perjalanan,” ujar Cio San.
“Janji apa?”
“Berjanjilah bahwa ciangkun tidak akan memberitahukan isi kitab itu kepada orang lain!”
Sang jenderal mengangguk, “Baik. Aku berjanji!”
Janji adalah kehormatan, kedua orang ini paham betul akan hal itu. Maka Cio San mengeluarkan kitab itu dari balik bajunya. Sebuah kitab tebal yang terbuat dari kulit hewan. Dengan mata berbinar-binar sang jenderal membuka halamannya. Lembar demi lembarnya dibuka dengan hati-hati. Dibacanya satu persatu dengan teliti. Terkadang ia berhenti sebentar untuk menghafalkan tulisan yang ia baca.
Cio San membiarkan sang jenderal mempelajari isi kitab itu. Dia sendiri tenggelam dalam arak yang entah sudah berapa kali diantarkan para pelayan.
Jika orang yang berpikirannya sempit, tentu akan memandang Cio San sebagai pengkhianat karena membiarkan orang lain, yang saat itu berseberangan dengan bangsanya, untuk membaca rahasia tentang siasat perang milik bangsanya. Tetapi bagi mereka yang mau berpikir, perbuatan Cio San ini penuh makna yang dalam. Hanya dengan cara inilah dua orang berseberangan dapat mengesampingkan segala pertentangan dan duduk bersama-sama menikmati kedamaian. Perang tidak pernah mengenai rakyat jelata. Perang selalu mengenai kekuasaan.
Mungkin, walaupun kemungkinannya sangat kecil, hanya rakyat yang cerdas yang tak dapat diadu domba dan dibodohilah yang sanggup mencegah peperangan. Karena rakyat yang telah bersatulah yang ditakuti oleh para penguasa. Rakyat yang telah pintar, dan tidak termakan kabar burung. Tidak terbakar fitnah serta cerita-cerita bohong. Mungkin inilah satu-satunya harapan atas kedamaian. Karena inilah Cio San membiarkan Tia-ciangkun membaca isi kitab Bu Bok. Dengan kejernihan hati, kecerdasan dan kepintarannya, ia mungkin akan dapat mempelajari banyak hal yang kelak membantunya menghentikan perang!
Siapa tahu?
Langit memiliki rahasianya sendiri. Manusia hanya dapat berusaha. Akhirnya selesailah sang jenderal muda itu membaca kitab Bu Bok. Setelah menutup kitab itu, ia meletakkannya di atas meja, lalu menjura memberi hormat amat dalam. Setelah selesai, ia pun menjura kepada Cio San,
“Sungguh pelajaran yang amat sangat berharga. Cayhe (saya) amat berterima kasih bahwa Cio-hongswee mengijinkan cayhe untuk membacanya. Sekali lagi terima kasih, Hongswee.”
Cio San balas menjura. Katanya, “Semoga ciangkun menemukan hikmah membaca kitab ini.”
“Tentu saja, sebuah hikmah yang sangat dalam, Hongswee.”
“Apa itu?”
“Bahwa kemenangan berperang tidak pernah bisa dibandingkan dengan kedamaian dan kesejahteraan rakyat,” tukas sang jenderal.
“Tapi cayhe (saya) pernah mendengar bahwa untuk mencapai perdamaian, seseorang harus rela berperang,” ujar Cio San.
“Pemahaman itu keliru. Kedamaian hanya akan bisa dihasilkan oleh kesadaran dan kejernihan hati. Perang, hanya akan menimbulkan kedamaian yang sementara. Pada akhirnya akan timbul perang lagi di antara mereka.”
“Setuju,” kata Cio San. “Justru karena aku yakin bahwa ciangkun akan sampai pada pemahaman inilah, aku mengijinkan ciangkun untuk membaca kitab ini. Kelak di masa depan, ciangkun mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk menghentikan perang.”
Sang jenderal hanya mengangguk-angguk dengan dalam. Di hadapan Cio San yang sederhana dan masih muda, seorang jenderal seperti dia pun harus menunduk dengan penuh kagum.
Orang yang mengagumkan, memang bukanlah orang yang memiliki harta dan kekayaan yang melimpah. Bukan mereka yang memiliki anak buah atau pasukan yang banyak. Bukan mereka yang memiliki kekuasaan dan jabatan penting. Bukan pula mereka yang memiliki kekuatan dan kesaktian. Orang yang mengagumkan adalah mereka yang melakukan hal-hal kecil yang sederhana demi orang lain. Menyingkirkan sebuah duri di jalanan agar orang lain tidak terkena duri, adalah perbuatan mengagumkan.
Sesuatu yang kecil dan sederhana, memang selalu mengagumkan. Kecil dan sederhana, tidak pernah remeh. Karena kecil dan sederhana memerlukan ketulusan dan tidak meminta imbalan. Amat sangat sedikit orang yang melakukan sesuatu tanpa mencari imbalan, sekecil apapun. Menunggu ucapatn terima kasih adalah pamrih. Yang paling benar adalah melakukan sesuatu tanpa menanti balasan apapun, walaupun itu hanya sekedar ucapan ‘terima kasih’.
“Ciangkun, saat ini sudah tepat tengah malam. Banyak orang yang mengincar kitab ini, Dari penglihatanku saja, sudah ada 5 orang di dalam kedai ini yang mengincarnya. Mulai sekarang mungkin hidupmu tidak akan tenang. Untuk mencariku, orang-orang ini mungkin tak akan berani. Tapi mereka akan melakukan segara cara licik untuk mendapatkan isi kitab ini. Kau tentu tahu resikonya ketika aku mengijinkan ciangkun membaca kitab ini?”
“Tentu saja. Cayhe telah siap dengan segala macam kemungkinan,” ia mengangguk dengan mantap. Ia memang pantas menjadi seorang jenderal.
“Cayhe harus pergi. Kita harus berpisah sampai di sini, di masa depan mungkin kita akan bertemu lagi. Cayhe harap, kita bertemu sebagai sahabat, dan bukan sebagai musuh.”
“Tentu saja Hongswee. Cayhe akan berusaha sebisa mungkin untuk mengatasi perang. Cayhe sudah memiliki beberapa cara.”
“Baiklah, kita berpisah. Sampai jumpa!”
“Sampai jumpa. Dan oh, mengenai hidangan tadi, biarkan cayhe yang membayar,” tukas Tia Ciati sambil tersenyum.
Cio San tentu tersenyum pula. Mereka sama-sama berdiri dan menuju ke ciangkui (kasir) untuk membayar. Setelah selesai, mereka bersalaman sekali lagi. Tia Ciati segera melesat hilang di dala kegelapan malam. Tidak lama terdengar derap kaki kuda yang mengikutinya. Rupanya para pengawalnya pun selalu berada di dekatnya. Cio San tahu mereka bukan orang sembarangan.
Saat Cio San melangkahkan kaki keluar dari halaman kedai, 5 orang dari dalam kedai pun ikut keluar. Cio San tersenyum di dalam hati. Hidupnya memang tidak pernah tenang. Tetapi sungguh kaget dirinya ketika langkah kakinya harus berhenti. Terhentinya pun karena sebuah sosok yang berada di depannya.
Kwee Mey Lan!
0 Response to "EPISODE 2 BAB 29 SANG JENDERAL"
Posting Komentar