EPISODE 2 BAB 27 PULANG, DAMAI


Perjalanan memakan waktu berhari-hari. Sepanjang perjalanan, Cio San menggunakan apa saja untuk mempercepat perjalanan. Terkadang ia menggunakan jasa tukang perahu, kadang ia harus berjalan kaki menembus hutan belantara. Semua ini untuk mempersingkat waktu perjalanannya. Ketika ia tidak membutuhkan kuda, ia menjual hewan ini untuk kemudian membeli lagi saat ia membutuhkan tenaganya.

Hari ke 11, Cio San tiba di sebuah kota. Kota ini membawa kenangan tersendiri baginya. Kota Liu Ya. Kota ini adalah kota di mana seluruh petualangannya dulu di mulai. Kota di mana ia bertemu pertama kali dengan Kwee Mey Lan.

Kwee Mey Lan.

Nama yang indah. Cinta pertama selalu membekas. Setiap orang  dapat jatuh cinta kepada orang lain, namun selalu ada seseorang yang begitu membekas di dalam hati hingga ia mati.

Cio San sudah tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Mey Lan. Tetapi kenangan manis dan indah selalu membayang dalam setiap jejak langkahnya. 
“Semoga kau selalu berbahagia. Menemukan apa yang kau cari selama ini” bisiknya di dalam hati.

Setelah menimbang-nimbang sebentar, Cio San memutuskan untuk mampir ke kedai milik keluarga Kwee. Sekedar untuk membangkitkan kenangan dan perasaan masa lampau.

Ia melawati jalanan menuju kedai itu. Jalanan ini sudah banyak berubah. Kota ini bertambah ramai. Ada nuansa tersendiri yang timbul di hatinya. Kenangan seperih apapun di suatu saat nanti toh akan terasa manis. Ia percaya itu.
Ketika sampai di depan kedai itu, ia sedikit takjub. Kedai itu sudah berubah menjadi sangat megah. Pengunjungnya pun bertambah ramai. ‘Lai-Lai’ tertulis di papan namanya. Ia tersenyum. Dunia boleh berubah, tetapi kenangan tidak akan berubah.

Langkahnya ringan memasuki kedai itu,

“Maaf tuan, sekarang pengunjung sedang penuh. Jika tuan mau memesan tempat, tuan bisa kembali lagi 2 jam dari sekarang” tegur seorang pelayan yang berdiri di depan pintu.

“Oh? Ramai sekali. Baiklah aku memesan tempat. Dua jam lagi aku datang”

“Maaf, atas nama siapa?” tanya si pelayan sopan.

“A San”

Setelah mencatat nama, si pelayan lalu berkata, “Untuk memesan tempat, tuan harus membayar uang jaminan.” Si pelayan menyebut harga dan Cio San pun membayar, setelah itu ia pun pergi.

“Kebetulan. Aku bisa mengunjungi rumah peristirahatan Khu-hujin di daerah ini” pikirnya dalam hati.

Dengan perasaan berkecamuk ia pun berangkat. Ada perasaan senang saat ia berpikir bahwa sebentar lagi ia akan bertamu ke rumah mewah itu. Tetapi ia khawatir jika Khu-hujin tidak berada di sana. Nyonya itu memiliki kesibukan yang amat padat.

Sesampai di depan gerbang rumahm ia malah disapa duluan oleh seorang penjaga, “Ah, siauya (tuan muda) sudah pulang? Mari masuk. Hujin (nyonya) sudah menunggu.”

Cio San hanya mengangguk dan tersenyum. Rupanya keangkeran keluarga ini memang masih belum luntur. Baru sebentar saja ia berada di kota ini, sang nyonya dan anak buahnya sudah mengetahui. Orang-orang hebat yang dipekerjakan keluarga ini memang tak terhitung jumlahnya dan tersebar di mana-mana.

Ia diantar sampai ke sebuah pavilliun di halaman belakang yang sangat luas. Sang nyonya besar sedang duduk sambil asik memperhatikan ikan-ikan peliharaannya yang berenang di kolam yang sangat indah.

“Kau sudah pulang?” sang nyonya tersenyum.

“Ya. Saya sudah pulang,” Cio San pun tersenyum.

Pulang adalah sebuah kata yang sederhana. Tapi maknanya terlalu dalam. Terkadang manusia banyak meneteskan air mata ketika membicarakan kata ini.

“Duduklah,” kata Khu-hujin mempersilakan. Cio San ia duduk di dekat tangga kecil paviliun itu. Paviliun itu lumayan besar, sehingga jarak antara mereka berdua lumayan jauh. Khu-hujin tidak berkata apa-apa. Ia hanya memainkan sebuah lagu. Sebuah lagu ciptaan kekasihnya, yang dulu sempat dimainkan Cio San. Alunan merdu lagu indah itu mengalir bagaikan angin di musim gugur. Dingin namun hangat.

Seperti sebuah kenangan.

Kenangan selalu dingin, namun menghangatkan.

Rimbunan bambu hijau meliuk diterpa angin. Dedaunannya mulai menguning. Lentingan nada dari jari-jari yang memetik khim seolah-olah menari bersama ranting-ranting pohon willow. Gemericik air di kolam membuat lagu ini terasa lebih indah dan sendu.

Lagu yang sedih dan menyentuh hati. Lalu entah bagaimana tanpa terasa, nada yang sedih itu berubah menjadi sebuah lagu yang indah dan penuh pengharapan.

Cio San hanya bisa termenung. Kesedihan selalu beriringan dengan harapan. Sesedih apapun kehidupan seseorang, lilin kecil yang menyalakan api harapan selalu menanti di ujung perjalanan.

Khu-hujin bernyanyi. Suaranya terdengar bagai seorang anak gadis yang penuh cinta dan kerinduan. Cinta dan kesetiaan memang akan membuat seorang setua apapun menjadi jauh lebih muda.

Bunga Bwee mekar di batu merah, 
Si dia berdiri di atas es dan salju dari ribuan mil, 
Ia tidak berani menghadapi dingin dan pahitnya musim dingin, 
Ia setia menanti datangnya matahari. 

Bunga Bwee mekar, 
setiap kuntumnya berkemilauan, 
Si dia mengangkat kepalanya menatap mekar ribuan bunga, 
Aroma wangi tubuhnya terbang ke awan dan angkasa, 
Ia mengajak bunga untuk mekar bersama-sama, 
Untuk menyanyi dan merayakan musim semi baru akan datang...



Air mata mengalir di pipinya yang masih begitu indah di usianya yang sudah senja. Tetapi senyumnya tetap tersungging. Matanya jauh memandang ke depan. Ke angkasa raya yang biru.

Air mata ini adalah air mata pengharapan. Karena kesedihan telah hilang seluruhnya dari dalam hatinya. Kenangan memang tak pernah berada di dalam pikiran atau perasaan. Ia mendarah daging.

Cio San pun turut meneteskan air mata. Bibirnya pun turut tersenyum. Matanya pun turut memandang langit biru nun jauh di sana. Di dalam suasana seperti ini, bahkan bernafas pun adalah dosa. Apalagi mengucapkan kata-kata.

Lalu lagu itu usai.

Air mata dan senyum masih berada di sana.

Kenangan pun sudah terlupa seluruhnya. Karena jika kau terlalu dalam mencintai seseorang, kau akan jarang mengingatnya. Karena kau tahu ia telah menjadi bagian dari hidupmu, nafasmu, tubuhmu, dan harapan-harapanmu.

Khu-hujin dan Cio San telah memasuki tahap ini. Tahap di mana perasaan mereka sudah mati seluruhnya. Kenangan telah pudar seluruhnya. Yang tertinggal hanyalah doa dan harapan akan kebaikan.

Memangnya selain mendoakan yang terbaik, apa pula yang bisa kau lakukan terhadap cinta masa lalu?

“Kau sudah mengerti?” tanya sang nyonya besar.

Cio San hanya mengangguk. Air matanya masih mengalir deras. Tetapi air mata ini bukan air mata kesedihan. Manusia yang mampu memiliki air mata seperti ini hanyalah manusia-manusia mulia dan setia. Amat sangat sedikit manusia yang memiliki air mata ini. Namun orang yang menjadi penyebab air mata ini amat sangat banyak.

“Kau sudah bertemu Ling-Ling?” tanya sang nyonya lagi.

Cio San pun mengangguk pula.

“Berarti kau sudah tahu alasan mengapa ia pergi?” 

“Sudah, hujin.”

“Jelaskan kepadaku,” pinta Khu-hujin.

“Ada sebuah permasalahan yang membuat ia memilih pergi. Bukan karena sudah tidak mencintai saya lagi, melainkan justru karena cintanya terlalu dalam.”

Lanjutnya,

“Ia pergi karena ia tahu, jika saya terus bersamanya, saya akan berhenti menjadi diri saya sendiri.”

“Benar sekali,” sahut Khu-hujin. Ia melanjutkan, “Khu Ling-Ling terkena sebuah sakit yang aneh. Penyakit ini sudah menghinggapinya sejak ia masih kecil. Selama ini ia bisa bertahan hidup karena ramuan-ramuan khusus, dan sumbangan tenaga sakti dari tetua-tetua sakti di Siao Lim-pay, dan beberapa perguruan lain. Ia terlihat sehat dan biasa saja saat telah meminum ramuan itu dan mendapat curahan sinkang (tenaga sakti). Tetapi satu persatu tetua ini telah meninggal. Ling-Ling pun tidak ingin menggantungkan hidup kepada mereka. Ia pun tidak ingin menggantungkan hidup kepadamu. Karena ia tahu, engkau bukan miliknya seorang. Kau adalah milik dunia. Semua orang di kolong langit ini berhak memilikimu. Kecerdasan dan kepandaianmu dibutuhkan umat manusia. Karena itulah ia memilih pergi. Mengorbankan cintanya. Mengorbankan dirinya sendiri. Kau tentu bisa mengerti....”

Ia hanya bisa memejamkan mata. Berharap air yang menggantung di mata itu bisa ‘tertelan’ kembali. Namun justru air mata itu semakin melimpah ruah. Tetapi ia memberanikan diri untuk bicara,

“Saya telah tahu ia sakit. Saat saya ingin memegang tangannya, ia menarik tangannya. Ia tidak ingin saat saya memegangnya, saya akan mengetahui sakitnya. Karena dulu saat masih bersama, saat saya memegang tangannya, ia akan membalas pegangan tangan saya.”

Dari pegangan tangan seorang perempuan, kau akan tahu perasaannya kepadamu. Dari matanya, dari helaan nafasnya. Dari apa yang tidak ia katakan. Seorang lelaki memang harus mempelajari semua ini agar kelak ia sendiri tidak kecewa.

“Apakah tidak ada sesuatu apapun yang dapat mengobatinya?” tanya Cio San.
“Hanya ada satu, ‘Anggrek Tengah Malam,” jawab sang hujin (nyonya besar).

Cio San pernah membaca tentang bunga ini. Sebuah bunga sakti yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan membuat seseorang awet muda dan panjang umur. Tetapi bunga ini bagaikan dongeng, tak ada satu pun orang di muka bumi yang mengetahui keberadaannya.

“Saya akan mencari bunga itu,” tukas Cio San.

“Justru perkataan inilah yang ditakutkan Ling-ji (anak Ling). Kau akan menghabiskan seluruh waktumu untuk mencari bunga ini. Lalu meninggalkan segala urusan yang lain. Padahal urusan dunia ini begitu banyak yang harus kau selesaikan,” kata Khu-hujin.

Cio San menghela nafas. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Mengapa pula urusannya begitu banyak? Mengapa pula ia diberi kemampuan seperti ini?

Khu-hujin seolah-olah mengerti perasaan Cio San. Ia lalu berkata, “Semakin kuat seseorang, semakin banyak pula urusan yang harus ia selesaikan. Ku harap kau pernah mendengar pemahaman ini, San-ji (anak Ji).”

Lanjutnya,

“Kau harus menghargai keputusan Ling-ji (anak Ling). Pengorbanan yang ia lakukan, tidak boleh kau sia-siakan. Hiduplah sebaik-baiknya. Berikan sebesar-besarnya manfaat kepada orang yang membutuhkan kekuatanmu. Hanya itulah satu-satunya cara yang bisa kau lakukan untuk menghargai pengorbanan Ling-ji.”

Apa boleh buat?

Itulah sebuah pertanyaan yang bukan merupakan pertanyaan. Begitu berat, namun harus dihadapi. Dihadapi sendirian pula. “Apa boleh buat?”

Lama sekali ia termenung. Khu-hujin pun membiarkan anak muda itu tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Cukup lama kesunyian itu berlangsung. Hanya suara desiran angin dan gemercik kolam yang terdengar. 

Air mata lelaki muda ini pun perlahan-lahan mengering. Sejak beberapa tahun yang lalu, ia mengira ia tak dapat lagi menangis. Tetapi ia salah sesalah-salahnya. Manusia yang tak dapat menangis hanyalah manusia yang sudah mati. Ia mengira perasaannya yang telah mati ini tak akan membuatnya meneteskan air mata barang setetes pun. Tapi ia salah. Perasaan yang sudah mati, sebenarnya hidup sehidup-hidupnya. Perasaan itu hanya menanti sebuah cahaya kecil untuk menerangi kegelapannya. Saat cahaya itu datang, manusianya akan mengalami hidup yang lebih hidup. Akan mengalami pencerahan. Akan menghadapi kehidupan setelah kematian. Terlahir kembali!

Cio San terlahir kembali!

Kenangan, harapan, dan kesunyian adalah cahaya-cahaya kecil yang menuntun umat manusia. Ia tak akan pernah bisa berlari atau sembunyi darinya. Ia mungkin akan mampu membohongi dirinya sendiri. Tetapi kebohongan terhadap diri sendiri tak akan dapat bertahan lama. Pada akhirnya seseorang akan mengakui bahwa cinta adalah sebuah hal yang agung yang akan merubah hidupnya. Sepedih apapun cinta itu, cinta selalu mampu merubah seorang manusia menjadi lebih baik.

Air mata telah mengering seluruhnya. Pandangan mata itu kembali jernih. Wajahnya kini berseri-seri. Beban berat yang menghimpit dadanya seolah-olah telah terangkat seluruhnya. Khu-hujin menatap perubahan itu dengan senyum,

“Kau tak perlu malu menjadi seorang yang patah hatinya. Keadaan itu justru akan menyelamatkanmu. Membuatmu menjadi manusia yang lebih baik. Membuatmu mampu merubah dunia dengan hal-hal besar. Seseorang yang hanya mendapatkan kesenangan di sepanjang hidupnya, tak akan pernah menghargai manusia dan kehidupan. Tak akan pernah menghargai rejeki. Tak akan pernah menghargai usia dan waktu. Tak akan pernah menghargai jerih payah, dan pengorbanan.”

Cio San mengangguk dan tersenyum, “Saya paham seluruhnya!”

“Bagus. Kau pantas mendapatkan julukan Hongswee!”

Burung Hong Hong adalah burung yang selalu bangkit dari kematian. Lahir dari abu tubuhnya sendiri. Walaupun tiada manusia yang seperti burung Hong Hong, setidaknya ada beberapa manusia yang mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Manusia-manusia seperti ini patut pula mendapat julukan ‘Hongswee’. Sang jenderal phoenix.

Ia benar-benar telah pulang. Telah kembali menjadi dirinya sendiri. Telah kembali utuh menjadi manusia. Selama beberapa tahun ini ia hanyalah sebuah tubuh yang bergerak tanpa perasaan. Karena ia mencoba mematikan perasaan itu. Sekarang perasaan itu telah hidup. Karena cinta. Bukan cinta kepada orang lain, melainkan cinta yang tulus kepada diri sendiri. Terhadap kekurangan dan penderitaan diri sendiri. Seseorang jika sudah bisa menghargai dirinya sendiri, barulah ia menjadi manusia seutuhnya. Menghargai diri sendiri bukan berarti egois, tamak, dan serakah. Menghargai diri sendiri adalah dengan cara mensyukuri segala kejadian yang terjadi. Mencoba memperbaiki, tidak patah semangat, dan selalu bisa berdamai dengan keadaan.

Damai.

Itulah yang ia rasakan sekarang. Sebuah kata kecil yang sederhana namun teramat sangat berharga. Terlalu sering diremehkan, namun sesungguhnya tak terhitung nilainya.

“Hari sudah menjelang sore. Bukankah kau memesan makan di Lai-Lai?” tanya Khu-hujin. Begitu besar kekuasannya di kota ini sampai-sampai ia pun tahu apa yang Cio San lakukan sebelum datang menemuinya.

Lelaki muda berjulukan ‘Hongswee’ ini kemudian tersenyum, saat akan meminta diri, Khu-hujin berkata sambil tertawa, “Kau mandilah dulu dan bercukur. Tampangmu lebih mirip perampok daripada seorang enghiong (ksatria sejati).”

Ia hanya mengangguk dan tertawa. Sambil bersoja (bersujud) menghormati wanita tua yang cantik itu, Cio San meminta diri.

“Eh, nanti dulu. Ada sebuah hal yang lupa kusampaikan kepadamu,” tukas Khu-hujin. “Anggrek Tengah Malam, terakhir kudengar berada di puncak Himalaya. Seorang pendekar besar yang hidupnya cukup menderita, bernama Li Hiang adalah orang terakhir yang diketahui memiliki bunga ini. Sayangnya ia tewas di sana. Dari kabar yang kutahu, orang tua Suma Sun, dan Bwee Hua tua juga berada di sana saat kejadian itu terjadi. Hanya itu kabar yang ku ketahui. Jika kau ingin keterangan yang lebih jelas, kau dapat bertanya kepada Suma Sun.”

“Haha. Dari mana hujin (nyonya besar) tahu bahwa saya akan mencari bunga itu?”

“Aku kan yang memberikan kitab tentang wajah dan gerak gerik kepadamu. Ilmuku tentu jauh diatasmu,” si nyonya besar tertawa. Lanjutnya, “Kau boleh saja mencari bunga itu, asalkan kau berjanji bahwa kau tidak meninggalkan tugas-tugasmu yang lain.”

“Tentu saja, hujin. Terima kasih atas segala petunjuknya. Saya minta diri”

“Pergilah.”

Sang nyonya besar memandang pundak yang melangkah pergi menjauh. Entah permasalahan apa lagi yang akan menghadapinya di masa depan. Tetapi Khu-hujin yakin, pundak itu akan dapat menampung keseluruhan beban itu dengan gagah berani.


(catatan: Lirik lagu 'Bunga Bwee Merekah' (Hokkian: Ang Bwee Hua/ mandarin: Hong Mei Hua) yang dinyanyikan Khu-hujin dan dimuat di video itu dalam bahasa mandarin:

Hong yan shang hong mei kai,
qian li bing shuang jiao xia cai,
san qiu yan han he suo ju,
yi pian dan xin xiang yang kai。

Hong mei hua er kai,
duo duo fang guang cai,
an shou nu fang hua wang duo, 
xiang piao yun tian wai,
huan xing ban hua qi kai fang,
gao ge huan qing xin chun lai。

Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 27 PULANG, DAMAI"

Posting Komentar