Melangkah.
Kehidupan manusia pada intinya adalah melangkah. Kehidupan tidak pernah diam. Yang diam hanyalah yang mati. Jika seseorang tetap diam di masa lalunya, maka ia sebenarnya mati walaupun ia masih hidup. Cio San telah mati selama 3 tahun ini.
Tetapi ia sudah datang. Ia sudah pulang.
Melangkah memerlukan keberanian, sebab itu banyak orang yang memilih diam karena ia tidak memiliki keberanian. Bergerak memerlukan tenaga pula. Siapa yang tidak bergerak, maka dia orang yang malas atau sakit.
Diam hanya boleh dilakukan saat kita beristirahat dari gemuruhnya dunia. Setelah mengumpulkan kekuatan, seseorang harus bergerak lagi.
Perjalanan begitu panjang di hadapannya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, harus melakukan apa pula. Tapi dari kejadian yang lewat baru-baru ini, Cio San melihat adanya sebuah rencana besar lagi.
Kaum persilatan tidak akan mungkin tertarik dengan Kitab Bu Bok. Kitab ini adalah kitab tentang siasat perang. Tidak ada yang menarik bagi ahli silat. Tetapi kitab ini adalah kitab dambaan para jendral perang. Kitab dambaan para kaisar!
Siapa gerangan La Ma yang sakti itu? Apakah ia benar-benar tertarik dengan kitab Bu Bok? Ataukah dia hanyalah orang suruhan? Ataukah dia adalah bagian dari sebuah persekongkolan jahat yang mempunyai rencana besar?
Ia tahu hidupnya tidak akan tenang lagi. Ia sudah cukup menikmati ketenangan selama 3 tahun. Sekarang saatnya kembali pada kehidupannya yang sebenarnya. Kehidupan yang penuh bahaya sudah menantinya di depan. Jika gerombolan La Ma itu cukup cerdas untuk melacak siapa Sam Siu sebenarnya dan membuat rencana seperti peristiwa yang lalu, mereka pasti juga cukup cerdas untuk mengambil kesimpulan bahwa kitab Bu Bok pasti sekarang berada pada dirinya.
Dengan penuh semangat ia berjalan. Lupa bahwa ia tidak punya uang sepeser pun. Selama ini sepanjang perjalanan ia selalu memetik buah atau menangkap hewan liar. Tetapi jika sudah masuk kota, maka untuk makan, seseorang harus punya uang.
Hal inilah yang membuat Cio San sedikit heran. Saat kecil dulu, ayahnya sering menceritakan kisah-kisah kepahlawanan. Ia sendiri juga sering membaca kisah hidup pendekra-pendekar besar seperti Kwee Ceng, Yo Ko, dan lain-lain. Di waktu dulu, ia merasa sangat kagum dengan kehidupan mereka yang penuh keberanian dan petualangan. Kini, yang ada di dalam kepalanya hanyalah sebuah perasaan heran.
Ya. Heran.
Para pendekar besar ini berkelana kesana kemari, dari mana mereka punya uang? Mungkin mereka bisa memetik buah atau menangkap hewan liar untuk makan. Tetapi apakah mereka tidak butuh baju? Jika mereka masuk ke sebuah kota, di mana mereka makan dan menginap? Menggunakan uang siapa pula? Jika mereka harus menggunakan jasa tukang perahu, siapa yang membayar? Apa mereka tidak butuh kuda? Kuda yang bagus sangat mahal harganya. Setidaknya untuk ukuran kantongnya.
Cio San tersenyum-senyum sendiri. Kehidupan para pendekar memang penuh suka duka. Herannya tak sedikitpun ia pernah membaca atau mendengar bahwa mereka pernah mengeluh kesulitan uang.
Sebenarnya sebagai seorang yang diangkat sebagai jendral kehormatan kekaisaran Beng dengan julukan ‘Hongswee’, harusnya hidup Cio San sangat menyenangkan. Ia bisa hidup nikmat hanya dengan mengandalkan julukan itu saja. Apalagi sang kaisar pun menganugerahkan sebuah lencana naga padanya. Lencana naga ini memberi kekuasaan yang amat sangat besar kepadanya. Siapa yang memiliki lencana naga ini dianggap seperti perwakilan kaisar langsung. Orang yang menunjukkan lencana naga maka seluruh ucapannya harus dituruti. Ini sudah ada dalam undang-undang dasar kekaisaran. Hanya ada 2 atau 3 orang yang memiliki lencana naga kekaisaran. Hanya kaisar pula yang boleh memberi atau mengambil kembali lencana itu.
Sayangnya Cio San tidak suka membawa lencana naga kemana-mana. Ia juga berpikir lencana itu tidak ada gunanya. Kebutuhannya hanya makan dan minum, mungkin 2 helai baju, dan seekor kuda tunggangan. Jadi Cio San tak sanggup membayangkan jika ia tidak punya uang untuk membayar makan di sebuah kedai, ia lantas menunjukkan lencana naga itu.
Mau ditaruh dimana kewibawaan kekaisaran ini jika pembawa lencana naga tidak punya uang untuk membayar makan?
Oleh sebab itu ia menyimpan lencana naga itu di sebuah tempat rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu.
Sebagai ketua perkumpulan terbesar di dunia, Kay Pang, ia juga sebenarnya mempunyai keuntungan yang besar. Partai ini adalah partai pengemis. Pengemis ada di seluruh dunia. Jika ia mau ia bisa memerintahkan para pengemis ini mencarikan makan untuknya. Markas perkumpulan ini pun tersebar di mana-mana. Asal ia memasukinya saja, akan ada ratusan orang berlutut di kakinya memberi hormat. Apalagi cuma urusan makan. Tetapi Cio San ini sudah bukan lagi pangcu (ketua) dari partai terbesar ini. Ia dulu sempat menyerahkan jabatan ini kepada orang lain, dan menyatakan mengundurkan diri dari partai ini. Jika ia dengan jumawa datang ke markas partai ini, ia tetap akan disambut oleh ratusan orang. Bedanya, mereka akan menyambutnya dengan serangan mematikan. Oleh sebab itu Cio San pun mengurungkan niat untuk menghubungi Kay Pang. Apalagi menghubungi partai terbesar sedunia itu hanya untuk urusan makan atau pinjam uang.
Cio San juga pernah menjabat dari partai nomer dua terbesar di dunia persilatan, yaitu Beng Kauw. Partai ini dulu amat berjaya, bahkan sempat berperan besar dalam mengusir penjajah dan mendirikan kekaisaran Beng. Nama kekaisaran ini pun diambil dari partai ini. Karena banyak kejadian, orang-orang menyebut partai ini Mo Kauw, atau partai ‘iblis’. Cio San dulu pernah tidak sengaja pula diangkat sebagai Kauwcu (ketua) nya. Tetapi ia sudah mengundurkan diri pula dari partai ini. Jabatan ketua ia berikan kepada sahabat baiknya, seorang wanita, Ang Lin Hua. Wanita ini adalah istri dari sahabat baiknya, Suma Sun.
Sebenarnya walaupun sudah tidak menjabat lagi sebagai ketua, banyak anggota Mo Kauw yang masih menganggapnya ketua. Hal ini terjadi karena mereka sangat mengagumi sepak terjang pemuda ini. Cio San pun mengetahui hal ini, karenanya ia mampu menggerakkan beberapa orang dalam pelaksanaan rencananya beberapa hari yang lalu. Tapi sungguh ia tidak punya muka untuk datang ke markas mereka untuk meminta makan atau meminjam uang. Karena ia tahu, orang-orang ini jauh lebih membutuhkan uang daripada dirinya.
Karena jika menyangkut hal hidup orang banyak, dan kepentingan umum, Cio San akan melakukan apa saja. Tetapi jika menyangkut dirinya sendiri, ia sangat sungkan merepotkan orang lain.
Selain ketiga ‘jabatan’ ini, Cio San pun masih memiliki suatu kelebihan. Yaitu ia telah dianggap bagian dari keluarga ‘Khu’. Keluarga ini adalah salah satu keluarga paling kaya di Tionggoan (China). Usaha mereka meliputi berbagai bidang. Toko dan tempat usaha mereka tersebar dimana-mana. Konon katanya, tempat usaha mereka ini jauh lebih banyak dari kantor pemerintah.
Kepala keluarga ini, yaitu Khu-hujin (Nyonya Khu) sudah menganggapnya seperti ‘anak’ sendiri. Bahkan juga menyetujui hubungannya dengan cucu sang Hujin, yaitu Khu Ling Ling. Mengingat nama ini, dada Cio San serasa sempit. Jantungnya bergetar tak karuan. Meskipun ia sudah melupakan nama ini, tetap saja dadanya terasa sakit saat mendengar namanya. Mungkin karena sebenarnya seseorang tidak bisa melupakan orang yang dicintainya. Ia hanya bisa mencoba untuk tidak mengingatnya.
Karena lupa dan tidak ingat sebenarnya adalah 2 hal yang berbeda.
Jika ia mau, ia bisa masuk ke kota mana saja, mencari cabang usaha keluarga Khu, dan mengambil apapun yang ia suka. Tetapi ia merasa amat tidak pantas jika seorang laki-laki memasuki toko mantan kekasihnya untuk meminta macam-macam. Selain tidak punya harga diri, laki-laki semacam ini juga tidak punya malu.
Oleh karena sebab-musabab di inilah, Cio San tidak melakukan apa-apa dan terus berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai.
Ia pernah menjadi tukang masak di sebuah kedai. Pekerjaan ini sangat disukainya, bahkan ia yakin ia memiliki bakat dalam hal ini. Saat bekerja sebagai tukang masak inilah ia bertemu dengan Kwee Mey Lan, cinta pertamanya. Dan umumnya, cinta pertama selalu berakhir tidak mengenakkan. Cerita Cio San pun seperti itu. Oleh karena itu Cio San memilih untuk tidak menjadi tukang masak lagi. Ia takut ia akan bertemu dengan Kwee Mey Lan-Kwee Mey Lan berikutnya.
Ia lalu berpikir untuk menjadi pesilat jalanan. Pekerjaan ini cukup menjanjikan. Seseorang cukup memilih sebuah tempat di kota, paling baik jika di pinggir jalan. Ia cukup mempertontonkan kepandaiannya bersilat. Jika penonton kagum atas kepandaiannya, mereka akan memberi uang.
Cio San berpikir sebentar lalu mengambil keputusan. Ya, ia akan menjadi pesilat jalanan!
Setelah berkeliling sebentar di pusat kota, ia akhirnya menemukan sebuah pojok jalanan yang tidak begitu ramai. Dengan suara diberat-beratkan, ia lalu berteriak:
“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian, perkenalkan nama cayhe (saya) adalah A San. Cayhe datang dari jauh bukan untuk memamerkan kepandaian. Cayhe hanya ingin memberi tontonan yang menghibur kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian. Bagi saudara-saudara yang bisa ilmu silat, mohon maafkan cayhe yang sudah lancang. Sungguh cayhe tidak ingin menantang siapa-siapa, cayhe hanya ingin mencari sesuap nasi”
Setelah berteriak lantang, banyak orang yang berkumpul. Mereka penasaran ingin melihat kehebatan silat lelaki ini. Maklum, ilmu silat di jaman ini adalah sesuatu yang mengagumkan. Siapapun yang menguasainya akan memiliki nilai lebih di mata orang. Semakin hebat, semakin tinggi pula nilainya.
“Hooooop!” Cio San mulai bersilat.
Gerakannya mantap, luwes, dan lincah. Tentu saja ia tidak menunjukkan kemampuan silatnya yang sebenarnya. Jika ia mempertunjukkannya, tidak ada satu orang penonton pun yang akan sanggup melihat gerakannya yang sangat cepat itu.
Cio San mencampurkan banyak gaya silat. Ia bergerak dengan langkah gerakan Bu Tong yang terkenal ‘Melangkah Di Atas Awan’ tetapi menggabungkannya dengan pukulan khas Kay Pang, ‘Jurus Tongkat Memukul Anjing’.
Ilmu silat ini seperti asal-asalan, namun cukup indah juga dipandang. Tetapi ahli silat yang paham pasti tahu bahwa gerakan-gerakan seperti ini adalah gerakan ngawur yang tidak ada dalam pelajaran silat manapun.
Setelah bersilat cukup lama, penonton yang hadir pun semakin bertambah. Cio San menjadi semakin bersemangat untuk bersilat. Gerakannya tambah mengada-ada. Entah jurus apa yang sudah ia mainkan, intinya ia hanya ingin memperlihatkan keindahan bentuk, tanpa perduli gerakan itu benar-benar bisa dipakai dalam pertarungan sebenarnya.
“Berhenti!!!! Bubar! Bubar semua!”
Terdengar sebuah teriakan.
Saat orang-orang menoleh, ternyata mereka mengenalnya sebagai Tam-toako, atau kakak Tam. Tidak ada yang tahu nama panjangnya siapa. Semua mengenalnya dengan nama Tam-toako.
Kakak Tam.
Jika kau bertanya kepada seluruh orang-orang kecil di kota ini, mereka tahu siapa Tam-toako. Ia adalah kebanggan kota ini.
Ia adalah seorang pesilat jalanan pula, seperti Cio San. Dan tempatnya bersilat pun tepat di tempat Cio San bersilat. Seluruh orang yang ramai berkumpul di sini sebenarnya ingin tahu mengapa ada orang baru berani bersilat di tempat itu.
“Kau tahu siapa aku?” tanya Tam-toako sambil berjalan menembus kerumunan penonton. Tentu saja mereka semua memberi jalan kepadanya.
“Tidak” kata Cio San tersenyum sambil menggeleng.
“Jika tidak tahu, mengapa kau berani bersilat di sini?”
“Umpama aku mau buang air juga apa harus tahu siapa kau?” Cio San tertawa masam.
“Kurang ajar!” kata-kata dibarengi dengan serangan tendangan Tam-toako.
Untuk kalangan pesilat biasa, serangan ini cukup mengagumkan. Gerakannya cepat, dan tepat. Mengarah ke dagu Cio San. Tetapi mana bisa serangan pesilat biasa ini dipakai untuk menghadapi Cio San?
Ia menghindarinya dengan gaya yang dibuat-buat. Sedikit pura-pura takut dan menghindar ke belakang. “Aih, toako. Kenapa harus berkelahi? Semuanya kan bisa dibicarakan baik-baik.
Tam-toako tidak peduli. Berturut-turut ia melancarkan pukulan. Cio San menangkisnya sambil berpura-pura kesakitan.
Terjadi kekacauan karena semua penonton kini mulai memasang taruhan. Taruhan paling besar tentunya dialamatkan kepada Tam-toako. Selama ini tak ada seorang pun yang mampu menghadapi Ta.-toako!
Melihat ini Cio San bertanya, “Eh, jika aku menang, apakah aku akan dapat uang pula?”
“Tentu saja!” jawab para penonton.
“Kau tak akan menang!” Tam-toako menyerang tanpa kenal ampun.
Di umur 7 atau 8 tahun, saat Cio San masih sakit-sakitan dan belajar silat di Bu Tong pay, ia bisa mengalahkan Tam-toako dalam satu atau dua jurus. Apalagi dalam keadaan sekarang. Sayangnya Cio San sangat menikmati hal ini.
Ia menikmati dianggap remeh orang lain. Karena ia tidak pernah menyukai pujian. Ia mengerti betul bahwa dibalik pujian, terdapat kecemburuan dan iri hati yang besar.
Manusia amat sangat jarang memuji dengan tulus. Mereka memuji untuk menutupi rasa cemburu. Di dalam hati mereka tersimpan niat untuk menjadi lebih baik daripada orang yang dipujinya.
Tetapi memang ada juga orang yang tulus. Cuma jumlahnya amat sangat sedikit.
Mendengar kata ‘uang’ tentu saja Cio San bertambah semangatnya. Ia bukan mata duitan. Tetapi ia perlu makan dan berganti baju. Selama beberapa hari perjalanan, bau keringat dan debu sudah menempel cukup kuat di baju itu.
Dengan sebuah gerakan kecil, Cio San berhasil menjatuhkan Tam-toako. Gerakan ini dilakukan dengan cara pura-pura lari menghindar ketakutan. Tetapi si ‘kakak’ ini dengan cepat berdiri dan menyerang lebih ganas.
Mendapat serangan seperti ini Cio San seolah-olah tidak dapat menghindar. Ia menjadi tersudut karena tidak dapat mundur lagi. Sebuah pukulan memasuki ulu hatinya.
Duggg!
“Uhk!” terdengar suaranya merintih.
“Hahaha. Aku menang! Aku menang!” Tam-toako berteriak senang karena ia melihat Cio San terkapar dan tak dapat bangun lagi.
“Sekarang kau pergi! Jangan pernah bersilat di sini lagi. Tempat ini milikku! Jangan pernah bersilat di kota ini. Pergilah kau sejauh-jauhnya!” bentaknya.
Cio San menunggu agak lama baru ia berdiri. Dengan pelan ia berjalan meninggalkan tempat itu. Orang-orang memandangnya dengan penuh tawa dan cacian.
“Makanya, jangan sok jago! Hahahaha”
Sudah dihajar, tidak dapat uang pula. Ia melangkah dengan gontai. Udara sore bertiup sepoi-sepoi. Langit berwarna kuning cerah.
Ia duduk di pinggiran pantai. Mendengarkan deburan ombak dan angin pantai.
Lama sekali ia duduk di sana, hingga seseorang datang dan mengagetkannya dari lamunannya.
“Selamat sore” kata orang itu menjura.
Cio San tersenyum. Ia balas menjura pula.
“Dari 5 orang yang membuntuti ku sejak 3 hari yang lalu, hanya kau seorang yang tidak tertipu dengan sandiwaraku tadi”
Orang yang datang itu menunduk hormat. Ia masih muda. Pakaiannya rapi, dan wajahnya berwibawa. Sebelum ia berbicara, Cio San sudah membuka suara,
“Ada perlu apa kekaisaran mencariku?”
“Aih....sungguh hamba kagum. Tidak ada hal yang bisa disembunyikan dari Hongswee” kata orang itu menunduk kagum.
“Badanmu tegap. Raut wajah dan gerak tubuh menggambarkan pelatihan ketentaraan yang lama. Kau pasti tentara kerajaan. Apalagi aku baru saja melihat sebuah lencana ketentaraan tersembunyi di balik sakumu,” jelas Cio San.
Orang ini kembali tersenyum kagum. Katanya, “Sebaiknya hamba memang tidak perlu berbasa-basi kepada Hongswee. Nama hamba Nio Sin Kung. Sesungguhnya hamba mencari Hongswee karena ditugaskan oleh atasan hamba.”
“Siapa?”
“Kao Ceng Lun”
“Oh. Ada apa?” tanya Cio San penasaran.
“Telah terjadi pencurian di gudang istana kaisar”
Cio San terhenyak dan kaget. Kekagetannya bukan karena mendengar gudang istana dibobol maling. Melainkan karena ia heran mengapa mereka mencari dirinya, bukan Cukat Tong.
“Kenapa tidak bertanya kepada Cukat Tong? Aih....apakah ada sesuatu terjadi padanya?” ia bertanya cemas.
“Hamba hanya diperintahkan menyampaikan ini kepada Hongswee. Mengenai urusan lain, harap Hongswee tanyakan kepada atasan hamba, Kao-Bu Ciang (kolonel Kao)” jelas orang itu.
“Dia sudah berpangkat Bu Ciang? Hebat. Semuda itu. Di mana aku bisa menemuinya?”
“Beliau sedang berada di kota kelahirannya. Beberapa hari yang lalu, saat beliau sedang bertugas menyelidiki beberapa perkara, beliau mampir ke kota kelahirannya. Tak tahunya, di sana malah terjadi kejadian yang sama sekali tidak beliau duga. Ayah beliau dibunuh orang!”
“Hah?”
“Sebuah kejadian yang mengerikan sekali, Hongswee. Karena itu beliau tidak dapat menjemput sendiri dan memerintahkan hamba untuk menjemput”.
“Siapa yang memberitahukanmu tentang keberadaanku? Suma-tayhiap (pendekar Suma)?”
“Benar. Selama ini Suma-tayhiap selalu mengikuti perkembangan kehidupan Hongswee. Entah bagaimana caranya. Hamba mencari Hongswee sampai ke rumah Yan-wangwe, mendengar bahwa terjadi keributan. Lalu hamba mengusut hingga ke bio (kuil) di gunung timur. Kembali hamba terlambat pula karena ketika sampai di sana ternyata bio ini sudah kosong. Kemudian hamba mencari lagi hingga akhirnya sampai kemari”
Dalam hati Cio San tertawa. Memang tak ada satu hal pun yang bisa ia sembunyikan dari ‘serigala’. Ia juga cukup kagum dengan kecerdasan Nio Sin Kung yang mampu mencarinya sampai kemari.
“Aku akan segera berangkat. Kau pulanglah dahulu.” Kata Cio San kepadaa Nio Sin Kung.
“Apakah Hongswee akan berkunjung ke tempat Cukat-tayhiap (pendekar Cukat)? Beliau sekarang tidak menetap lagi di kota yang lama. Ini hamba bawakan peta tempat tinggalnya. Ini ada juga uang seadanya untuk perjalanan. Hamba juga suda menyediakan kuda. Itu yang tertambat di sana” katanya sambil menunjuk sebuah kuda putih yang amat gagah.
“Kalian para petugas kerajaan, memang sangat penuh perhitungan, sudah tahu apa yang akan kulakukan”
‘Semua ini atas petunjuk Suma-tayhiap, dan Kao-bun ciang (kolonel Kao). Mereka sudah memberitahukan kepada hamba bahwa Hongswee pasti akan mencari kabar Cukat-tayhiap dahulu. Oleh karena itu mereka berdua pun sudah menitip janji untuk bertemu dengan Hongswee di sana pada tanggal 14 bulan depan”
Cio San mengangguk.
“Untuk sekadar pengetahuan Hongswee, empat orang lain yang membuntuti Hongswee sudah pergi karena tertipu sandiwara Hongswee. Tetapi kami sudah mengirim orang juga untuk membuntuti mereka. Dalam satu dua hari, kami akan mendapatkan kabar jati diri mereka.”
Cio San tahu, yang dimaksud dengan ‘kami’ adalah ‘Kim Ie Wie’, yang berarti ‘Pengawal Baju Sulam’. Pasukan ini adalah pasukan rahasia milik kekaisaran. Bertugas untuk menyelidiki segala urusan rahasia. Mereka bahkan diberi kekuasaan untuk menangkap, menghukum, dan membunuh jika diperlukan. Mereka tidak membutuhkan ijin untuk melakukan itu semua. Kaisar telah memberi kekuasaan yang besar kepada pasukan ini. Sebuah pasukan yang menakutkan.
Ia hanya mengangguk, dan berkata “Baik, terima kasih. Sekarang juga aku berangkat.”
“Selamat jalan. Semoga Thian (langit) memberi perlindungan hingga sampai di tujuan”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 26 KEMBALI MENJALANI HIDUP"
Posting Komentar