EPISODE 2 BAB 22 PENGORBANAN SEORANG SAHABAT

Beberapa pengawal yang berbadan besar itu menghampirinya. Ia gemetar ketakutan. Sebuah tendangan mendarat telak di perutnya. Ia terjengkang ke belakang. Hajaran, pukulan, dan tendangan merengsek masuk menghujam tubuhnya.

Ia tidak mengerahkan tenaganya sama sekali. Di saat menyamar seperti ini, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menerima hajaran itu dengan hati yang lapang.

Di saat biasa, para tukang pukul seperti ini akan mampus menggenaskan jika Cio San menggerakkan ujung kelingking saja. Tetapi saat ini bukanlah saat itu. Saat ini adalah saat di mana ia harus merelakan dirinya menjadi sasaran pukulan dan hinaan orang lain agar sahabatnya dapat meloloskan diri.

Wajahnya bengkak. Dari bibir dan hidungnya mengalir darah segar. Ulu hatinya terasa sakit sekali. Tangan dan kakinya hampir tak dapat digerakkan. Darah mengucur deras dari kepalanya yang bocor.

Sambil terus menghajar, para tukang pukul ini menanyakan segala hal yang berhubungan dengan menghilangnya Sam Siu dan Yan Niu Niu.

“A...ku...ti...dak..tahu...ke..mana...mereka..lari...”

Berulang kali Cio San menjawab ini sembari menerima hajaran terus menerus. Amat menyakitkan dan amat pedih penderitaannya.

Wajahnya sudah tak dapat dikenali. Darah mengalir membasahi  wajahnya. Pakaiannya pun belepotan darah dan debu. Di tengah malam seperti ini, keadaan Cio San sudah seperti hewan buruan yang tertangkap dan dikuliti.

Begitu hebat penyiksaan yang ia terima demi persahabatan. Jika pun harus mati demi sahabatnya, Cio San akan rela berulang kali menyerahkan nyawanya.

“Buk! Buk!” bunyi tubuh yang dikeroyok dengan sangat kejam ini.

Betapa payahnya ia menerima penyiksaan ini. Semua orang yang berada di sana memalingkan muka tidak tega. Sampai-sampai para tukang ini lelah sendiri lalu berhenti.

Tubuh itu tergeletak di tanah tak bergerak.

“Jangan bunuh dia. Tunggu sampai sadar lalu siksa lagi!” perintah Yan-wangwe (Hartawan Yan). “Yang lain, segera menyebar mencari keparat yang membawa lari anakku!”

Semua orang mematuhi perintah. Di sini Yan-wangwe adalah raja. Tak ada satu perkataannya pun yang boleh dibantah.

Cio San hampir tak sadarkan diri. Sepanjang pemukulan itu, ia memang tidak mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Ia sengaja melakukannya agar para pemukulnya tidak terlempar dan mati. Ia memiliki ilmu-ilmu ajaib yang membuatnya dapat menghancurkan mereka semua dalam satu kali gerak sederhana. Tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya.

Ia rela dipermalukan, disakiti, dan dihina.

Entah demi apa.

Ia berbaring lemah tak berdaya. Sepanjang hidupnya ia baru pertama kali ini dihajar sedemikian rupa oleh orang lain. Tetapi ia yakin, pengorbanannya ini akan terbayar lunas.

Menjelang terang tanah, suasana mulai sepi. Saat kejadian tadi, memang banyak orang sekitar yang datang menonton keramaian. Mereka-mereka ini adalah tetangga dari Yan-wangwe. Tembok besar yang mengelilingi gedung-gedung megah milik Yan-wangwe menghalangi orang-orang ini untuk masuk. Tetapi dari suara yang terdengarm, mereka memahami apa yang terjadi.

Cio San masih terkapar tak berdaya. Cahaya matahari yang terbit pelan-pelan mulai menyinari tubuhnya. Ia merasakan kehangatan yang mampu mengurangi rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.

“Byuuurrrrr!” seember air kotor disiram ke wajahnya. Entah air apa ini, baunya sangat busuk dan menyengat. Begitu terlihat ia menggerakkan tubuhnya, pukulan dan tendangan kembali menghantam tubuhnya.

Jika bukan karena latihan keras dan khasiat jamur aneh yang dulu pernah dimakannya, Cio San pasti sudah mati dengan tubuh hancur. Meskipun tenaga saktinya tidak ia kerahkan, setidaknya tubuhnya sendiri sudah sangat kuat tanpa pengerahan tenaga sakti itu.

“Kemana keparat itu membawa kabur anakku? Katakan?!! Cepat katakan!!!”

Tentu saja tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Cio San. Jika raja neraka sendiri yang datang bertanya kepadanya pun, ia tak akan menjawab.

“Tuan, ada beberapa opas (polisi) datang” terdengar suara salah seorang anak buah Yan-wangwe.

“Ahhh...para opas ini selalu datang terlambat!” dengus si tuan besar ini.
“Selamat pagi wangwe” tegur salah seorang opas.

“Pagi” jawab si wangwe sambil mendengus.

“Kami mendengar ada kejadian di sini” kata si opas.

“Semua orang juga sudah mendengar ada kejadian di sini!” bentaknya tidak suka. Rupanya Yan-wangwe memiliki kebencian tersendiri terhadap para opas ini.

Salah seorang anak buah Yan-wangwe lalu menceritakan seluruh kejadian. Salah satu opas lalu memeriksa tubuh Cio San yang tergeletak tak berdaya.

“Hah? Dia ini adalah buronan yang kita cari-cari selama ini!”

“Benarkah?” tanya salah seorang opas lagi.

“Benar, cian-bu (kapten). Ciri-cirinya persis benar” jawab si opas yang memeriksa.

“Heh? Buronan apa?” tanya Yan-wangwe tertarik.

“Dia ini adalah salah satu pencuri ulung yang merupakan buronan negara.”

“Apakah kau yakin?” tanya Yan-wangwe.

“Yakin sekali. Kami sudah mendapat perintah mencari orang ini, rupanya ia selama ini bersembunyi di sini”

“Omongan bau kentut! Memangnya siapa yang menyembunyikan dia?” bentak Yan-wangwe. Rupanya ia takut akan tersangkut paut masalah buronan kerajaan.

“Apakah wangwe mengijinkan kami untuk membawanya ke markas? Kami akan menanyai dan membawanya ke pengadilan” kata sang cian-bu (kapten).

“Eh...bawa saja. Tapi tolong tanyakan juga kemana kawan sekongkolnya membawa lari putriku!”

***

Cio San dimasukkan ke dalam ruang tahanan kecil di markas opas. Ketika ia akhirnya mampu memulihkan kesadarannya seutuhnya, dilihatnya beberapa opas sudah berada di dalam ruang tahanan itu pula. Duduk disampingnya dengan penuh prihatin,

“Aih, kauwcu. Mengapa kauwcu (ketua) membiarkan mereka melakukan hal ini kepada kauwcu. Satu perintah saja, akan siauwjin (aku orang rendah) habisi seluruh isi rumah ‘ceng’ (rumah) itu” kata salah seorang opas.

Cio San duduk bersila, lalu tersenyum. Terasa amat sakit baginya untuk tersenyum sedikit saja.

“Tak apa-apa. Memang harus begini rencananya” katanya lirih sambil menahan sakit.

“Begitu mendapat perintah dari pemilik kedai, kami langsung menyiapkan segalanya” kata si cian-bu (kapten).

“Terima kasih sekali, koko (kakak). Tanpa bantuan kalian sekalian, rencanaku tak akan berhasil” kata Cio San sambil tersenyum.

Senyum yang perih karena menahan perih di wajahnya.

Ada sebagian senyum yang memang terasa perih. Dan biasanya rasa perih itu berada di hati, bukan di wajah.

“Aih, mana berani siauwjin (aku orang rendah) dapat menerima panggilan ‘koko’ ini. Kauwcu jangan berlaku sungkan.” Jawab si cian-bu.

Cio San hanya mengangguk tersenyum. Katanya, “Saatnya kita melanjutkan rencana berikutnya”

“Siap” kata beberapa orang yang berada di dalam ruang tahanan itu. Mereka pun meminta diri keluar dari situ.

Cio San lalu bersemedi untuk memusatkan tenaga saktinya. Jika ia mau, dalam beberapa jam saja tubuhnya akan pulih seketika. Tetapi ia melakukannya sedikit demi sedikit. Hanya seperlunya saja untuk menghilangkan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Siang menjelang. Di ruangan tahanan yang kecil dan sempit itu hanya ia seorang yang berada di sana. Ada beberapa ruang tahanan pula di situ, tetapi kosong pula.

Ia memilih tidur untuk menjernihkan pikirannya. Masih banyak yang harus ia hadapi nanti. Seluruh rencananya harus berjalan dengan sempurna.

Setelah beberapa jam tertidur, terdengar suara pintu dibuka. Pintu ini adalah pintu utama ruangan di mana bilik-bilik tahanan berada.

Seorang tamu datang berkunjung dengan diantar seorang opas. Tamu itu lalu duduk di hadapan Cio San. Mereka terpisah terali besi kokoh yang mengurung tubuh Cio San. Si opas yang mengantar pun keluar dan mengunci pintu dari luar.

Nona mungil pelayan yang cantik.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya prihatin.

Dengan memasang tampang melas, Cio San mengangguk.

“Sungguh tak tega aku melihat keadaanmu” kata si nona lagi.

“Terima kasih, nona. Ada keperluan apa nona kemari?” tanya Cio San lirih.

“Aku..aku hanya ingin melihat keadaanmu saja. Apakah kau baik-baik saja?” tanyanya sedih.

Cantik juga.

“Yah, seperti yang nona liat” kata Cio San sambil tertawa sedih.

“Aih, kau jangan memanggilku nona. Aku cuma pelayan” katanya tersenyum sedih pula. Jika tersenyum, nona ini sungguh manis. Tubuhnya mungil dan lesung pipitnya menggemaskan.

Si nona lalu bercerita keadaan di luar. Bahwa Yan-wangwe telah mengerahkan banyak orang mencari Sam Siu dan Yan Niu Niu tetapi sampai sore itu belum membawa hasil.

Cio San mendengarkannya dengan penuh perhatian. Lalu nona itu berkata, “Aku ingin memberitahukan sebuah rahasia kepadamu. Sini” katanya sambil berbisik.

Cio San maju ke depan menjulurkan kepalanya. Si nona juga menjulurkan kepalanya seperti hendak berbisik ke telinga Cio San. Tetapi kali ini bukan bibirnya yang berbicara. Kali ini jarinya yang ‘berbicara’.

Ia menggores sebuah luka kecil di leher Cio San.

Cio San secara nalurikan menarik badannya ke belakang sambil keheranan, “Nona apa maksudmu?’

“Aku menggoreskan racun di lehermu. Jangan khawatir, racun ini tidak bakalan membunuhmu seketika. Mungkin tengah malam nanti baru kau mampus”

Cio San hanya bisa terbelalak ketakutan.

“Sekarang ini tubuhmu kaku, dan lidahmu kelu bukan? Nah, nikmati saja. Aku pulang dulu” ia pergi sambil tersenyum.

Perempuan yang pergi sambil tersenyum meninggalkan laki-laki yang menderita bukan cuma dia seorang. Jumlah perempuan seperti ini tak pernah bisa dihitung secara pasti.

Ia mengetuk pintu yang dikunci dari luar. Setelah terbuka, bayangannya pun kemudian menghilang.

Cio San tersenyum.

Racun yang sanggup membuat kepalanya pusing saja, sampai saat ini belumlah ditemukan orang. Apalagi yang sanggup membunuhnya.

Persekongkolan busuk ini semakin menarik baginya.

Tak berapa lama si cian-bu (kapten) datang. “Kauwcu tidak apa-apa?” tanyanya.

“Tentu saja”

“Semua tebakan dan rencana Kauwcu benar-benar terjadi sesuai kenyataan. Sungguh Siauwjin (aku orang rendahan) merasa bangga memiliki kauwcu seperti anda” katanya.

“Aku sudah bukan Kauwcu lagi. Kauwcu kalian adalah Suma-hujin (Nyonya Suma/Ang Lin Hua)” kata Cio San.

Si cian-bu tidak membantah tetapi juga tidak mengiakan. Ia hanya menunduk dengan penuh rasa hormat.

Selama ini partai mereka yang besar selalu mendapat hinaan orang. Dituduh sesat dan meresahkan. Baru ketika Cio San menjadi Kauwcu lah, partai mereka ini kembali disegani dan dihormati. Kejadian di istana kaisar yang menghebohkan itu, memangnya siapa pula manusia di dunia ini yang belum pernah mendengar?

Ia baru pertama kali bertemu dengan lelaki gagah di hadapannya ini. Bertemunya pun saat lelaki ini sudah tidak lagi menjabat menjadi ketuanya. Tetapi rasa hormatnya yang dalam tidak akan mungkin pudar barang secuil pun. Keyakinan dan rasa percayanya terhadap lelaki yang berada di dalam tahanan ini semakin besar dan bertambah besar.

Cio San telah menuliskan perintah dan petunjuk yang amat sangat jelas. Seolah-olah dia sudah mengerti segala kejadian yang akan terjadi nanti. Lelaki ini masih muda. Jauh lebih muda dari dirinya malah. Tetapi akal dan kehebatannya sangat sulit dicarikan tandingan. Belum pernah sepanjang partainya berdiri ratusan tahun yang lalu, mereka memiliki ketua yang demikian muda, cerdas, namun sederhana.

“Tugas kalian sudah hampir selesai. Jika urusan ini beres seluruhnya, aku akan melaporkan kepada Suma-Kauwcu” kata Cio San sambil tersenyum.

“Tidak perlu, Kauwcu. Selama hidup bisa berbakti kepada Kauwcu, kami sudah merasa sangat puas” kata si kapten sambil menjura.

Cio San pun menjura.


“Ada orang-orang seperti kalian inilah yang membuat partai kita berjaya” 





Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 22 PENGORBANAN SEORANG SAHABAT"

Posting Komentar