Sam Siu melangkahkan kakinya dengan mantap namun perlahan. Di tengah malam seperti ini, walaupun hampir seluruh penghuni ‘Ceng’ ini sudah tidur, masih banyak penjaga yang berkeliling di dan berjaga. Rumah seluas dan sebesar ini memang harus dijaga dari segala kemungkinan kejahatan seperti pencuri atau perampok.
Setelah beberapa bulan tinggal di sana, Sam Siu sudah paham letak-letak penjagaan. Karena itu dengan mudah ia bisa menyelinap kesana kemari. Ia pun sengaja membeli baju baru berwarna hitam. Minyak wangi masih belum dipakainya, khawatir jika tercium para pengawal.
Tak butuh lama baginya untuk sampai ke bawah jendela sang nona pujaan hati. Tetapi perjalanan yang singkat itu baginya bagaikan perjalanan bertahun-tahun.
Jendela mungil itu terbuka sedikit. Di sebelahnya terdapat kolam yang indah yang dulu dibuatnya bersama A San. Untunglah di bawah jendela di samping kolam, terdepat sedikit jalur yang bisa dipakainya untuk berjalan.
Sam Siu kini tepat di bawah jendela yang tidak cukup tinggi itu. Dengan mengendap-endap, ia merepatkan tubuhnya ke tembok, lalu mendekatkan kepalanya ke jendela itu.
“Yan-siocia (nona Yan)....Yan-siocia” bisiknya lirih.
Jendela itu terbuka lagi sedikit. Terlihat sebuah bayangan yang menengok keluar. Kamar nona ini gelap sehingga Sam Siu tidak bisa memastikan bayangan siapa itu. Tapi jantungnya sudah berdegup kencang.
Cinta dapat membuat seseorang mengenal orang yang dicintainya walaupun di tengah bayang-bayang kegelapan.
Tetapi kadang cinta begitu membutakan sehingga kesalahan dan kekurangan yang terang benderang pun tak terlihat sama sekali.
Tentu saja Sam Siu kemudian mengenal bayangan siapa itu. Bayangan yang telah dirindukannya selama ini. Mengisi malam-malam kosongnya. Hadir setiap saat di dalam angan-angannya.
“Yan-siocia...”
“Kau kah itu, Sam-ko (kakak Sam)?”
Mendengar suaranya saja, entah hati Sam Siu sudah mencelos kemana. Suara ini demikian lembut. Mengucapkan namanya dengan bisikan lirih pula.
“Benar, siocia (nona)” bisik Sam Siu lirih pula.
“Masuklah” jendela itu terbuka sedikit lebar.
Laki-laki yang masuk kamar perempuan yang bukan istrinya, di tengah malam, lewat jendela pula, tentu saja bukan laki-laki baik. Sam Siu paham ini. Perempuan yang mengijinkannya pun bukan perempuan baik-baik pula. Sam Siu juga paham ini.
“Ah...tapi...tapi..ini tidak benar, siocia” katanya ragu-ragu.
“Siu-ko (kakak Siu), jika kau tertangkap justru nasib kita berdua akan lebih berbahaya”
Sam Siu lalu teringat percakapannya dengan A San, ia lalu memberanikan dirinya. Perempuan kan memang suka lelaki pemberani yang ‘brengsek’.
Laki-laki yang memasuki kamar perempuan di tengah malam melalui jendela, adalah laki-laki ‘brengsek’.
Mengingat ini ia justru tertawa dalam hati, dan tambah bersemangat.
Tadi saat berbisik-bisik, dia sudah menggunakan minyak wanginya. Di teteskan di pergelangan tangan, dan belakang leher. Sebelum berangkat juga ia sudah mandi dan membersihkan diri. Rambutnya diikat rapi. Bajunya pun baru. Intinya, Sam Siu sudah melakukan segala hal yang harus dilakukan seorang laki-laki ketika akan berhadapan dengan seorang perempuan.
Di tengah kegelapan, kamar itu hanya diterangi sebuah lilin.
Wajah itu begitu cantik.
Seseorang tidak perlu membanding-bandingkan kecantikan seorang wanita dengan pemandangan atau keadaan alam. Jika wanita ini sudah menjadi penghuni hatinya, segala macam apapun di dunia ini mana pantas dibandingkan dengannya?
Sam Siu juga begitu. Ia tidak berani dan tidak mungkin membandingkan nona ini dengan apapun juga. Karena apapun juga tidak pantas dibandingkan dengan nona ini.
Di dalam gelap, mata nona ini bersinar terang. Mata seorang perempuan selalu seperti ini saat bertemu orang yang disukainya.
“Siu-ko, kau...kau..sudah mendengar kabar bukan?” tanya Yan Niu Niu terbata-bata.
“Sudah” kata Sam Siu lirih.
Si nona cantik terdiam menunggu Sam Siu melanjutkan kata-katanya. Ia berharap lelaki ini mengatakan sesuatu. Tetapi Sam Siu hanya diam saja.
Seorang perempuan selalu mengharapkan laki-laki mengerti maksud hatinya. Sayangnya jarang laki-laki yang memahami hal ini. Yan Siu Siu adalah perempuan, Sam Siu adalah laki-laki.
Oleh karena itu, akhirnya Yan Niu Niu bertanya, “Jadi...eh...apa pendapatmu..??”
“Eh, pendapatku.....eh, ehm, boleh ku tahu nona akan dikawinkan dengan siapa?”
“Ia seorang petugas kerajaan. Dari kota sebelah” jelas si nona.
Sam Siu terdiam. Memangnya apa yang sanggup dikatakan seorang laki-laki di saat seperti ini?
“Apakah nona mencintainya?” tanya Sam Siu.
Di dalam hatinya, si nona mungkin berkata, “Tentu saja aku tidak mencintainya. Kau pikir buat apa aku mengundangmu kemari untuk membicarakan hal ini? Dasar tolol!”
Tetapi di luarannya, si nona hanya berkata, “Aku...aku tidak tahu..”
Seorang laki-laki akan mengira bahwa perempuan bersikap tidak jelas saat berkata , “Aku tidak tahu”. Tetapi sebenarnya dibalik kata-kata ini, ada berjuta makna yang ingin disampaikannya, tetapi tidak sanggup dikatakannya.
“Jika...jika...nona menyukainya..maka..aku pikir..”
Belum selesai Sam Siu menyelesaikan kata-kata, si nona cantik sudah menatapnya dengan sebal,
“Kau bodoh! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!” sambil membanting kaki nona itu membalikkan badan.
Tak terasa ia meneteskan air matanya.
Kaum laki-laki memang bodoh. Walaupun ungkapan ini tidak sepenuhnya salah, ungkapan ini pun tidak sepenuhnya benar.
Laki-laki yang bodoh biasanya laki-laki yang baik dan terlalu baik. Laki-laki yang pintar dan mampu mengerti perasaan perempuan, justru paling sering memanfaatkan perasaan itu.
Hanya laki-laki yang sudah berpengalaman dengan banyak perempuanlah yang mampu mengerti perempuan.
Laki-laki yang berpengalaman dengan banyak perempuan, biasanya bukan laki-laki baik-baik.
“Eh...nona...apakah...aku salah bicara..aku minta maaf”
“Pergilah! Sudah ku bilang aku tak mau menemuimu lagi” si nona berbicara dari balik punggungnya. Suaranya terdengar serak dan bergetar. Kadang-kadang ada keindahan tersendiri di dalam suara perempuan yang sedang menangis.
Kelemahan perempuan adalah salah satu keindahan dan pesonanya.
Sam Siu hanya menunduk menyesal, tak tahu apa kesalahannya. Ia hanya mampu berkata, “Baiklah....jika ini memang kemauan nona...aku tidak bisa menolak...tetapi sebelum aku pergi...aku ingin mengatakan bahwa aku....”
Lama Sam Siu terdiam,
“Bahwa aku....”
Si nona pun menunggu.
“Ah sudahlah......”
Tanpa disadarinya, Sam Siu sudah melakukan hal yang sangat menarik perhatian wanita. Kata-kata dan kalimat yang belum selesai, adalah hal yang sangat membangkitkan rasa ingin tahu dan penasaran mereka. Laki-laki yang pintar akan sanggup memanfaatkan ini. Walaupun Sam Siu bukan laki-laki yang pintar, secara tidak sengaja ia sudah melakukannya.
“Eh, apa yang ingin kau katakan?” nona ini kini sudah membalik badan dan bertatapan dengan Sam Siu.
“Aih....” Sam Siu bingung memikirkan apa yang harus diucapkannya.
Lama ia terdiam, lalu berkata, “Aih...walaupun aku mengatakannya sekarang pun, toh sudah terlambat....tak lama lagi nona akan....”
Si nona memotong, “Katakan saja!”
“Aku...aku.....aih”
“Dari tadi ‘aih’ melulu, kau datang sejauh ini hanya untuk berkata ‘aih’?” bentak si nona lirih. Dengan gemas ia membanting kakinya.
Sam Siu mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ia terdiam sebentar.
“Walau sudah terlambat, sekaranglah saat kau mengatakannya. Lebih baik terlambat atau tidak sama sekali, setelah ini toh aku tak akan bertemu denganmu lagi” di dalam perkataan nona ini, terdapat ancaman yang sangat mengguncang jiwa.
Jika aku mengatakannya atau tidak mengatakannya, apa artinya? Toh nantinya aku tak akan bertemu lagi denganmu.
Tetapi jika tidak sekarang, setelat apapun, perasaan hati seseorang harus diungkapkan.
“Jika aku mengatakannya.....aku harap nona tidak marah...” kata Sam Siu.
“Kau mau bilang apa sih?” tanya si nona dengan setengah marah.
Sam Siu mengumpulkan segenap keberaniannya. Untuk yang kali ini saja, sesudah ini, semua akan berakhir.
“Aku...aku...telah lama mencintai nona....”
Akhirnya.
Seorang laki-laki jika akhirnya mengatakan hal ini, terasa beban berat yang ditanggungnya selama ini hilang lenyap. Namun anehnya, terasa pula beban aneh yang baru yang muncul pula.
Beban itu bernama ‘harapan’.
Berharap bahwa si nona pun memiliki perasaan yang sama. Walau secuil saja, walau tidak mungkin, walau apapun yang terjadi.
Mendengar itu si nona terdiam.
Lalu dengan sebal ia memandang Sam Siu,
“Aku tak mau bertemu dengan kau lagi!”
Sebenarnya Sam Siu sangat berharap bahwa nona itu akan tersenyum, lalu berkata ‘Aku pun juga’.
Tetapi ia sejak lama telah bersiap-siap dengan jawaban si nona tadi. Dengan memejamkan sejenak, ia menghela nafas.
Dibutuhkan perjuangan yang amat berat bagi seorang laki-laki untuk mengatakan cinta. Sayangnya tidak banyak perempuan yang mampu menghargai hal ini.
Yan Niu Niu adalah perempuan tulen.
“Baiklah nona, aku pergi....Jaga diri nona baik-baik.....”
Sebenarnya Sam Siu ingin menyentuh ujung jemari nona itu untuk sekedar perpisahan dan salam terakhir. Betapa ia menyanjung jari jemari itu dan rela mati oleh jari-jari itu.
Tapi nona itu diam saja. Wajahnya membeku.
Jika seorang perempuan menyuruhmu pergi, kau harus pergi.
Maka Sam Siu pun pergi.
Meninggalkan jendela yang kemudian terdengar ditutup oleh si empunya. Meninggalkan wangi kamar dan cahaya lilin di dalam kegelapan. Pergi jauh meninggalkan semua itu bukanlah perkara sulit. Untuk melupakan kenangan tentang semua itu lah yang sungguh berat.
Sam Siu telah sampai di kamarnya, A San memang sejak tadi menunggunya. Melihat dari raut wajah Sam Siu, A San sudah tahu apa yang terjadi.
Sam Siu pun bercerita, sambil berkaca-kaca.
Setelah selesai bercerita A San malah tertawa. Tertawanya tertawa senang pula.
“Tak ku sungka kau menertawakan penderitaan sahabatmu sendiri” tukas Sam Siu, walaupun sedikit kecewa, ia terpaksa harus tersenyum juga.
“Aku menertawakan kebodohanmu, Siu-ko” jawab A San.
“Aku? Bodoh? Aku tak mengerti...”
“Jika seorang perempuan memarahimu, menyuruhmu pergi, dan berkata bahwa ia tak ingin bertemu denganmu lagi, maka justru kau harus datang dan mengubernya. Apalagi seorang perempuan yang memasukanmu ke dalam kamarnya di tengah malam”
“Ah masa? Benarkah?”
“Jika seorang perempuan sudah tidak sayang dan cinta kepadamu, untuk bertemu dan melihat tampangmu saja ia sudah tidak sudi. Mana mungkin ia mau memasukanmu malam-malam ke dalam kamarnya” tukas Cio San.
“Tetapi...tetapi...kenapa ia mengusirku? Kenapa tidak berkata bahwa ia menginginkan aku pula?” tanya Sam Siu.
“Jika perempuan berkata jujur, maka ia bukan perempuan. Justru karena ia perempuan maka ia berkata dan bertingkah seperti itu”
Karena perempuan adalah perempuan. Rasa-rasanya ungkapan ini saja sudah cukup untuk menjelaskan segalanya.
Lanjut A San,
“Jika kau berharap saat kau mengungkapkan cintamu, seorang wanita akan memasang wajah bahagia dan berkata, ‘aku pun mencintaimu’, maka kau keliru. Seorang perempuan umumnya, akan memasang tampang heran dan sebal. Memberi banyak alasan ini dan itu. Membuat kau bertanya-tanya apa maksud mereka sebenarnya.”
“Mengapa mereka melakukan hal seperti ini?” tanya Sam Siu.
“Karena mereka tidak ingin dianggap gampangan dan murahan. Sebisa mungkin mereka akan membuat dirinya susah dikejar. Perempuan sangat menyukai hal ini. Mereka menikmati mempermainkan perasaan laki-laki. Jika ada laki-laki bingung karena mereka, kaum perempuan justru senang” jelas A San.
“Aih, jadi sebenarnya kaum laki-laki dan kau perempuan sama saja? Sama-sama suka mempermainkan perasaan orang?”
“Benar. Bedanya cuma satu, perempuan justru suka perasaannya dipermainkan, sedangkan laki-laki justru kebingungan dan kelimpungan” ujar A San.
“Jadi sekarang, apa yang harus kulakukan?”
“Kau harus mempermainkan permainannya” tukas A San sambil tersenyum.
“Bagaimana jika aku kalah? Aku tak paham permainan ini”
Sambil bangkit dari pembaringan, A San berkata,
“Ada aku disini, siapa yang bisa mengalahkanmu?”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 19 PERMAINAN"
Posting Komentar