Saat Sam Liu kembali, A San sudah tertidur dengan pulas. Terdengar suara mendengkur pula. Sam Siu bergerak hati-hati agar tidak membangunkan sahabatnya yang sedang tertidur itu.
Tapi A San segera tersadar, “Eh, sudah pulang? Bagaimana hasinya?”
“Oh, maaf membuat kau terbangun. Semua berjalan lancar. Aku membuatnya semakin penasaran. Hehe” kata Sam Siu.
A San mengangguk-angguk sambil tersenyum, “Bagus. Sekarang beristirahatlah. Kemungkinan besok aku akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan”
Sam Siu mengangguk pula. Tetapi pemuda ini tidak langsung tidur, malah duduk di ujung dipan sambil melamun. Wajahnya menunjukkan raut yang bahagia.
Menyadari ini A San bertanya, “Apa yang barusan kalian lakukan?”
“Heheh” Sam Siu tertawa. Tawanya menjelaskan banyak hal.
“Kau mencium dia ya? Hahah” tawa A San.
“Hahaha...”
Tawa juga kadang menjadi sebuah jawaban.
“Ini merupakan sebuah kemajuan yang luar bisa. Hahaha” tawa A San.
“Ya. Aku sendiri tidak menduga aku berani melakukannya. Tapi kami berbicara dan ia meletakkan wajahnya di depan wajahku sangat dekat. Aih.....betapa cantik. Betapa anggun dan lembut” mata Sam Siu menerawang, senyum tak memudar dari bibirnya.
“Karena wajahnya sangat dekat dengan wajahmu, kau tak dapat menahan diri untuk menciumnya ya?”
“Hehe. Tentu saja”
Ini adalah cara perempuan minta dicium. Laki-laki manapun jika menghadapi keadaan seperti ini akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Sam Siu.
“Seandainya ia membatalkan pernikahannya dan memilihmu, apa yang akan kau lakukan?”
“Hah?” Sam Siu tidak bisa menjawab. Ini pertanyaan yang sudah ada di benaknya sejak beberapa hari yang lalu. Ia hanya takut menanyakannya kepada dirinya sendiri.
“Menurutmu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.
“Apakah kau sungguh-sungguh cinta kepadanya?” A San balik bertanya.
“Ya”
Jika kau mencintai seseorang, seolah-olah hidupmu jauh lebih berarti dari hidupnya. Bukan saja tidak berarti, tetapi jika kau harus mati pun kau akan rela.
Tidak banyak orang yang merasakan cinta sedalam ini. Tetapi tidak sedikit pula orang yang hidupnya menderita karenanya.
Cinta mendorongmu untuk melakukan hal-hal yang mengagumkan.
“Kau pasti tahu jika ayahnya tak bakal setuju” tukas Cio San.
Sam Siu mengangguk. Hal ini adalah hal utama yang paling mengganggu pikirannya.
“Aku yakin kau akan berkata bahwa kau akan rela melepasnya pergi jika itu bisa membuatnya bahagia” kata A San.
“Benar”
“Tapi kau tahu dan yakin dengan pasti bahwa ia tidak bahagia dengan pernikahan ini”
“Benar”
Apakah seorang laki-laki mengatakan bahwa ia merelakan kekasihnya pergi dengan orang lain asalkan kekasihnya itu bahagia, adalah seorang yang pengecut?
Bahagia itu hanya sementara. Setelah itu seorang manusia harus menjalani pula kesedihan dan kepedihan.
Apakah jika kekasihnya itu pergi, maka ia akan bahagia? Tetapi jika kekasihnya itu memilih untuk tinggal, apakah si laki-laki juga sanggup membahagiakannya?
Bahagia itu fana.
Seseorang dapat dimanjakan, dapat dijaga, dapat dihidupi dan dihujani dengan kemewahan, tetapi tidak ada jaminan bahwa ia akan bahagia.
Seseorang dapat dihujani dengan kesusahan, kelaparan, dan kesepian, tetapi tidak ada jaminan bahwa ia tidak berbahagia.
Karena bahagia itu fana.
Bahagia adalah bayang-bayang yang menggantung di benak umat manusia. Membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hal-hal ini kadangan mengagumkan. Kadang pula sangat menakutkan. Bahkan menjijikkan.
“Ku pikir, aku lebih baik memberitahukan rencanaku sekarang. Mumpung perasaan hatimu sedang berbahagia” tukas Cio San.
Sam Siu mengangguk.
“Menurutku jika cintanya terlalu mendalam kepadamu, ia akan mengajakmu lari dari sini” jelas A San.
“Apa? Kau sungguh-sungguh? Ia..ia..memilih meninggalkan kemewahan dan memilih untuk hidup terlunta bersamaku? Itu tidak mungkin!” bantah Sam Siu.
“Kau tidak memahami kekuatan cinta seorang perempuan. Jika ia sudah menyukai seseorang, ia akan melakukan cara apapun agar dapat bersama orang itu”
“Apakah itu termasuk rela menderita terlunta-lunta?” tanya Sam Siu.
“Sekarang memang kau miskin, tetapi jika seorang wanita menganggap kau memiliki ‘sesuatu’ yang bisa membuatnya bahagia di masa depan, ia akan memilihmu. Lebih baik ia menderita untuk sementara waktu, lalu kemudian bahagia di masa depan. Daripada jika ia harus hidup dalam kemewahan tetapi menderita selamanya”
Lanjut A San, “Jika pun kau sekarang tidak memiliki apa-apa, belum tentu besok kau tidak memiliki apa-apa pula. Kau lelaki sejati, wajahmu tampan, tubuhmu tegap dan sehat. Apa pula yang harus ditakutkan. Uang dan kehormatan bisa dicari. Tetapi cinta sejati, jika hilang, kau tak akan pernah menemukannya lagi”
Sam Siu berpikir dengan lama. Dari wajahnya mengalir keringat yang cukup deras. Tubuhnya bergetar, dan matanya berkaca-kaca. Setelah lama berpikir, ia akhirnya berkata, “Kau benar”.
A San tersenyum. Entah apa makna senyum ini. Terlihat aneh dan menyedihkan.
Sam Siu pun menyadarinya, “Mengapa kau tersenyum seperti itu?”
“Cinta sejati, tidak hanya mengenal kebahagiaan, tetapi juga penderitaan. Jika kau berani menjalaninya, kau akan menjadi manusia yang lebih baik. Apa kau siap?”
Ia terdiam sejenak, lalu menjawab, “Aku siap”
A San memandangnya dengan kagum.
Laki-laki yang melakukan hal-hal bodoh demi cinta, adalah laki-laki yang harus dikagumi.
“Kau tidurlah. Besok aku akan mengatur semuanya untukmu” kata A San.
“Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu”
***
Pagi-pagi sekali A San sudah bangun. Ia bersiap-siap untuk membeli beberapa keperluan di kota. Sam Siu kni bertugas sendirian mengurusi kuda.
Setelah A San membeli segala keperluannya, hari ternyata sudah cukup terang. Ia berjalan dengan tenang dan santai, tetapi sebenarnya ia telah menyelediki keadaan sekitar. Setelah yakin bahwa tidak ada seorang pun yang membuntutinya, ia menuju ke sebuah tempat yang memang sejak lama sudah ingin ditujunya.
Sebuah kedai teh kecil di pinggiran sungai, tempat kemaren ia dan Sam Sui mampir.
Pemilik kedai ini rupanya bersiap-siap akan tidur. Kedai arak semacam ini memang buka sampai fajar menjelang. Lalu tutup untuk kemudian buka di siang hari.
“Maaf sekali tuan, kami akan tutup” jawab pemilik kedai yang sudah terlihat setengah baya itu.
Dengan tersenyum A San berkata, “Angin dari barat menyapa. Apakah saudara merasakan cahayanya?”
Pemilik kedai itu tertegun, lalu bertanya, “Cahaya di depan mata masakah kami buta? Tapi entah siapakah pembawa cahaya ini?”
“Raja tanpa mahkota, adalah kaisar di tengah cahaya”
Betapa terkejutnya pemilik kedai itu, “Mari silahkan masuk....”
Begitu A San memasuki kedai itu, si pemilik kedai ingin cepat-cepat menutup pintu kedai itu, namun A San mencegahnya, “Jangan ditutup. Justru akan menimbulkan kecurigaan”
“Aih..tapi..tapi...bagaimana mungkin siauwjin (saya orang rendahan) tidak memberi hormat kepada Kauwcu (ketua)...” kata si pemilik kedai lirih.
“Aku sudah bukan kauwcu lagi, harap cianpwee (anda yang lebih tua) tidak berlaku sungkan” ujar A San menenangkan.
“Sekali menjadi Kauwcu, maka selamanya menjadi kauwcu. Mana berani siaujin bersikap kurang ajar” katanya penuh hormat. Lanjutnya, “Jadi selama ini kauwcu menyepi di sini. Maafkan sungguh siauwjin pantas mampus”
Sambil berkata begitu ia sudah siap-siap membenturkan kepalanya ke meja.
“Jika cianpwee (yang lebih tua) bunuh diri, lalu siapa yang akan membantu cayhe (saya)?” tanya A San.
“Kauwcu ada perintah apa? Siauwjin siap menyumbang nyawa!” walaupun ucapannya lirih, ketegasan dan kesungguhan hati terdengar jelas di dalam suaranya.
“Semua yang cayhe (saya) butuhkan ada di catatan ini, ada berapa anggota kita di kota ini?”
“Seluruhnya berjumlah 123 orang. Tersebar di berbagai penjuru kota”
Tanya A San, “Bukankah anggota kita ada pula yang menjadi opas (sejenis polisi) di kota?”
“Ada beberapa, Kauwcu”
“Apakah cianpwee bisa mempercayainya?” tanya Cio San.
“Bisa kauwcu. Hampir semua anggota kita disini sangat terpercaya”
“Cayhe sudah bertemu dengan beberapa dari mereka, saat berkeliling kota dahulu. Namun kupikir hanya cianpwee lah yang cayhe percaya” tukas A San.
“Aih, terima kasih sekali kauwcu. Siauwjin siap mengorbankan nyawa. Turunkan saja perintah”
“Baca saja catatan ini. Lalu lakukan seperti yang tertulis di dalamnya. Pilihlah orang yang benar-benar cianpwee percaya. Jika sudah selesai, cayhe akan mengirimkan surat kepada Ang-kauwcu (ketua Ang) tentang jasa cianpwee”
“Siap laksanakan perintah!”
Ang-kauwcu adalah Ang Lin Hua.
Salah seorang wanita terbaik yang pernah dikenalnya dengan sangat dekat. Yang juga merupakan istri dari sahabat dekatnya, Suma Sun.
Saat ia pergi dahulu, ia meninggalkan jabatan Kauwcu (ketua) kepada Ang Lin Hua, yang merupakan putri satu-satunya dari Kauwcu yang lama.
Menjadi ketua dari sebuah perkumpulan yang amat sangat besar, yang anggotanya tersebar di seluruh pelosok dunia, bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Dan ia sendiri merasa tidak mampu melaksanakannya. Jika boleh memilih, ia akan memilih menyepi di gunung atau di pinggiran danau yang tenang. Menikmati musik dan sastra, menikmati arak bersama sahabat-sahabat terbaiknya.
Dan ia memang memilih jalan itu.
Tetapi dunia dengan segala permasalahannya telah memanggilnya untuk kembali. Dan demi kemanusiaan serta persahabatan, ia harus kembali.
Dan ia kembali.
Walaupun wajahnya kini ditutupi jenggot lembut, rambutnya pun tidak tersisir rapi, pakaian yang dipakainya kumal, bilik yang ditinggalinya kumuh, dirinya tetaplah dirinya.
Meskipun setiap hari ia terhina, menjadi jongos dan diperintah orang lain dengan cara yang sangat menyakitkan hati, dirinya adalah dirinya.
Harga dirinya mungkin sudah lama terkoyak moyak. Harapannya sudah lama pudar di dalam kegelapan. Kebanggaannya mungkin telah sirna seluruhnya.
Tapi dirinya tetaplah dirinya.
Cio San adalah Cio San.
Cio San bukan orang lain.
Jika kau membunuhnya berkali-kali, ia akan tetap muncul kembali. Datang dengan senyum yang sama.
Selamanya Cio San cuma dia seorang. Tak akan ada Cio San yang kedua. Besok tiada yang lain, kelak tiada yang berikutnya. Sepanjang jaman hanya ada satu. Seluruh dunia mencintainya atau membencinya pun ia tidak perduli.
Karena Cio San adalah Cio San.
Ia telah menyepi selama 3 tahun. Mencoba memahami dan mengambil hikmah dari seluruh kejadian yang menimpanya. Ia telah lahir kembali oleh segala kesulitan dan penderitaan.
Orang seperti Cio San selalu terlahir kembali. Itulah mengapa ia mendapat julukan Hongswee. Jenderal Phoenix. Burung Hong (phoenix) selalu lahir kembali dari abu jasadnya. Menjadi api yang bersinar terang, menjadi bahan pembicaraan orang selama-lamanya.
Saat terlahir kembali, ia menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Cio San pergi melangkah dengan ringan. Seluruh tugas yang butuh ia kerjakan telah ia kerjakan. Seluruh rencana yang butuh dijalankan telah ia jalankan. Jika semua hal yang butuh dikerjakan di muka bumi ini sudah dikerjakan, maka manusia hanya bisa mempercayakan nasib kepada langit.
Ia selalu percaya kepada langit, karena ia pun percaya kepada dirinya sendiri.
Jika langit menurunkan hujan, ia akan berteduh. Jika menurunkan panas ia akan memanfaatkan cahayanya. Jika menurunkan badai ia akan menerjangnya.
Ia selalu menerjang.
Walau ia terluka dan terjatuh, ia akan terus berlari ke depan. Dengan caranya sendiri, dengan kekuatannya sendiri.
Memang ada waktu bagi seseorang untuk memulihkan lukanya. Dan Cio San telah pulih. Selama bertahun-tahun ini ia menyembuhkan luka dan mengumpulkan kekuatan.
Kini ia kembali.
Cio San berjalan pulang kembali ke rumah keluarga Yan. Siang sudah menjelang. Di sepanjang jalan, banyak pengemis meminta-minta. Orang berlalu lalang dengan ramai. Sekali lagi ia menggunakan pikirannya untuk ‘memeriksa’ berbagai macam orang. Kadang ia merasa senang dengan kebiasaannya ‘membaca’ orang lain. Tetapi lebih sering ia terluka dengan kemampuannya ini. Cio San telah memutuskan hanya menggunakan kemampuannya jika ia benar-benar memerlukannya. Selama bertahun-tahun ia berlatih untuk menahan diri agar pikirannya tidak secara langsung ‘membaca’ orang lain. Walaupun sulit, ia sudah mulai bisa mengendalikannya.
Sesampai di rumah, ia segera merapikan barang belanjaannya lalu menemui Sam Siu. Sahabatnya itu rupanya sedang beristirahat setelah sejak pagi bekerja.
“Kau lama betul. Urusan apa saja yang kau kerjakan?” tanya Sam Siu sambil tertawa.
“Urusanmu!’ tukas Cio San sambil tertawa pula. Lanjutnya, “Makan siang nanti, temuilah si nona mungil pelayan nona Yan”
“Apa yang harus kukatakan?”
“Tulislah surat untuk nona Yan. Ajak ia melarikan diri malam ini juga”
“Apa? Kau gila?”
“Jika kau tidak mengajaknya, justru ia yang akan mengajakmu nantinya” kata Cio San.
“Eh? Beneran? Apa kau pikir wanita memang seperti ini?”
“Tidak semua, tapi aku yakin Yan-siocia (nona Yan) memang seperti ini”
Sam Siu menatap sahabatnya dalam-dalam. Ia baru mengenalnya beberapa tahun. Tetapi ada semacam keunikan tersendiri di dalam diri sahabatnya itu, yang membuat ia percaya sepenuhnya.
“Baik. Aku percaya kepadamu”
“Bersiaplah. Tulislah surat itu dan berikan kepada si nona saat makan siang. Bungkuslah barang-barangmu. Tengah malam nanti, aku akan membantu kalian kabur dari sini”
“Bagaimana caranya?”
“Aku akan membuat keributan. Jika saat itu terjadi, bersiaplah untuk menyelinap bersama Yan-siocia lewat pintu belakang. Kau tahu pintu itu, kan? Pintu tempat biasanya para pelayan keluar masuk.” Jelas Cio San.
“Tempat itu di jaga ketat. Bagaimana aku bisa melewatinya?”
“Percayakan kepadaku” jawab Cio San.
“Lalu saat aku sudah lolos pintu itu? Apa yang harus ku lakukan?”
“Ada seorang sahabatku yang menunggumu di luar. Ia akan siap mengantarmu ke manapun kau mau.”
“Aih...aku..tidak..tahu harus kemana”
Cio San memandangnya dalam-dalam. “Demi cintamu. Kau harus rela berkorban. Aku yakin kau tahu apa yang harus kau perbuat”
Sam Siu memandangnya dalam-dalam pula. Seolah-olah Cio San telah ‘membaca’ seluruh keadaan dirinya. Lalu ia berkata, “Aku tidak mengenalmu sebelumnya. Selama 2 tahun ini hanya kau sahabat karibku. Aku rela mengorbankan diriku ini, adalah juga karena aku percaya sepenuhnya padamu. Pertanyaanku hanya satu. Apakah selama ini keputusanku untuk mempercayaimu sudah benar?”
Cio San mengangguk mantap.
Sam Siu pun mengangguk dengan mantap.
Yang dibutuhkan oleh seorang sahabat sebenarnya hanyalah sebuah anggukan kecil. Anggukan kecil ini bermakna sangat dalam. Hanya orang-orang yang mempunyai persahabatan yang tuluslah yang benar-benar mengerti arti anggukan kecil ini.
Lalu Cio San berkata, “Jika nanti di masa depan, kau menemukan kesulitan dan kepedihan hati karena perbuatanku, aku ingin kau mengerti bahwa aku melakukan ini semua untukmu. Demi kebaikanmu. Aku tahu lelaki yang kuat, dan memiliki hati yang tulus. Aku hanya memiliki sebuah pertanyaan kepadamu. Apakah penilainku ini benar?”
Sam Siu mengangguk mantap.
Mereka lalu bersalaman. Air mata menetes di pipi Sam Siu. Perpisahan akan segera tiba. Perpisahan selalu menyakitkan. Tetapi perpisahan selalu menyimpan harapan-harapan baru tentang masa depan.
Sam Siu lalu bersiap-siap. Segala petunjuk Cio San dilaksanakannya. Saat makan siang tiba, ia pun menyerahkan surat itu secara diam-diam kepada si nona pelayan yang cantik mungil itu.
Sore hari setelah seluruh pekerjaan mereka selesai, Sam Siu dan Cio San beristirahat. Cio San membantu Sam Siu memberekan barang-barangnya. Mereka melakukannya dengan diam-diam agar tidak menimbulkan kecurigaan. Setelah selesai, Cio San memilih tidur. Hal ini menimbulkan keheranan dalam hati Sam Siu, tanyanya “Kau bisa tidur dalam suasana seperti ini, A San?”
“Saat tidak ada lagi yang bisa dilakukan, aku memilih tidur untuk memulihkan tenaga dan menjernihkan pikiran.” Jelasnya.
Sam Siu hanya mengangguk-angguk saja. Sejak awal bertemu, ia sudah memiliki kekaguman yang begitu besar terhadap sahabatnya ini. Perbuatannya, pemikirannya, dan tindakannya, walaupun sederhana, selalu menimbulkan kekaguman tersendiri. Jika langit runtuh sekalipun, Sam Siu akan mempercayakan nyawanya kepada sahabatnya ini.
Ada banyak kejadian yang terjadi selama ia hidup bersama A San. Meskipun bukan kejadian yang heboh dan besar, sikap dan tindakan A San selalu tepat, jujur, dan berani. Ia telah belajar mempercayainya. Lelaki yang sedang tiduran sambil mendengkur di hadapannya ini bukan lelaki sembarangan.
Sam Siu tidak pernah menanyakan asal usulnya, tetapi ia paham dan sadar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Ada kejadian di masa lalunya yang membuat sahabatnya ini tidak pernah membuka diri untuk bercerita. Ia pun tidak pernah berniat untuk bertanya, karena ia tahu A San pun tidak pernah berniat untuk menanyakan masa lalunya pula.
Persahabatan yang tulus didasarkan oleh kepercayaan dan harapan masa depan. Bukan atas kejadian dan cerita-cerita masa lalu.
Jauh di lubuk hati Sam Siu, ia yakin A San pun memiliki penilaian yang sama terhadap dirinya. Ia yakin bahwa A San pun menilai bahwa dirinya ini pun memiliki nilai-nilai yang setara dengan dirinya. Karena itulah A San memilih Sam Siu sebagai sahabatnya.
Persahabatan selalu jauh lebih dalam daripada sekedar berkumpul bersama.
Tengah malam hampir tiba. Sam Siu berbaring namun tak dapat memejamkan mata. Kejadian yang akan terjadi nanti mungkin akan merubah seluruh hidupnya.
Cio San terbangun. Tenaganya telah pulih seluruhnya. Pikirannya pun jernih. Ia telah siap menghadapi semua ini.
Dengan wajah dan senyum yang cerah ia bangkit dari tidurnya. Sam Siu pun bangkit. Melihat senyum di wajah sahabatnya, kepercayaan diri Sam Siu pun terkumpul kembali.
“Aku heran kepadamu, kau selalu mampu membuat orang lain merasa lebih baik” kata Sam Siu sambil tersenyum.
Orang yang selalu mempu membuat orang lain merasa lebih baik, adalah mereka yang telah mengalami berbagai macam kejadian terburuk dalam hidupnya. Orang yang mampu membuat orang lain tertawa dengan lepas, biasanya adalah mereka yang paling mampu menyembunyikan air mata kesedihannya. Orang yang paling kuat dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup, biasanya adalah orang yang paling lemah kekuatannya. Tetapi orang-orang seperti ini selalu hidup demi orang lain. Justru dari sinilah kekuatan mereka lahir dan tumbuh.
Cio San adalah salah satu dari orang-orang seperti ini.
“Kau sudah siap?” tanya Cio San.
“Tentu saja!” jawabannya tegas dan menantang.
Mereka lalu bersalaman dan berpelukan di dalam kegelapan kamar yang sempit itu.
“Pergilah”
“Aku pergi”
Betapa gagahnya Sam Siu melangkah. Meskipun dengan mengendap-endap di dalam kegelapan, langkah-langkahnya dilakukan dengan keberanian. Orang yang berani memang bukanlah orang yang tidak mempunyai rasa takut, melainkan orang yang mampu menaklukkan rasa takutnya itu.
Cio San menegakkan tubuhnya. Ia hanya bisa mempercayakan semua rencana ini kepada langit. Hanya bisa mempercayakan keberhasilan rencana ini kepada penilaian-penilaiannya tentang sifat dan watak manusia.
Ia lalu bergerak. Gerakan yang sangat lincah dan tak dapat diikuti oleh mata. Dalam sekejap ia telah ‘terbang’ membumbung ke atap rumah. Gerakan yang sangat cepat itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa. Jika ia bergerak di siang hari yang terang benderang pun, belum tentu ada orang yang mampu melihat gerakannya. Apalagi saat ia melakukan gerakan ini di tengah malam buta.
Dari tangannya ia melempar sesuatu ke depan. Tidak terdengar suara apa-apa, hanya terlihat kilatan api di atap rumah. Dari atas atap ia memperhatikan segala sesuatu.
Tidak ada yang mencurigakan. Orang kepercayaannya yang tadi pagi sudah ia perintahkan pun sudah berada di posisi yang ditentukan.
Dengan sigap Cio San melompat turun.
Lalu dengan keras ia berteriak, “Kebakaran! Kebakaran!”
Tak berapa lama sudah ramai orang berkumpul di api yang semakin membesar itu!
Keadaan menjadi ramai dan kacau. Begitu banyak orang berusaha untuk memadamkan api itu. Cio San pun pura-pura memadamkan api yang ia buat sendiri itu. Ia sebelumnya sengaja memilih tempat yang tidak orang tinggal disitu. Tempat yang terbaik adalah atap gudang tempat penyimpanan bahan makanan.
Dengan kelihaian matanya, Cio San melihat Sam Siu dan Yan Niu Niu berhasil meloloskan diri melewati pintu kecil yang mereka rencanakan. Penjaga di sana telah terbius oleh jarum-jarum rahasia. Ini merupakan perbuatan orang suruhan Cio San.
Lega sekali hati Cio San ketika melihat sahabatnya berhasil melosokan diri bersama kekasihnya. Anak buahnya yang ia suruh berjaga tak jauh dari pintu kecil itu pun sudah bersiap di sana dengan beberapa orang terpercayanya. Mereka juga sudah siap dengan beberapa kuda.
Begitu Sam Siu dan Yan Niu Niu datang, kuda-kuda itu kemudian berlari ke segala arah. Tujuannya untuk mengacaukan jejak, karena Sam Siu dan Yan Niu Niu sendiri sekarang sudah berada di pundak 2 orang suruhan Cio San. Dengan cepat mereka menyusup melalui rumah-rumah dan gang-gang kecil. Tak berapa lama mereka sudah di tepi sungai. Di sana sebuah perahu sudah menanti mereka.
“Tuan, terima kasih atas pertolongannya,” kata Sam Siu penuh hormat.
“Tidak perlu siauya (tuan muda). Anda adalah sahabat tuan kami. Sekarang cepatlah naik perahu. Seorang sahabat kami sudah siap mengantar anda kemana saja” jawab si tuan penolong yang ternyata ada pemilik kedai teh.
Sam Siu dan Yan Niu Niu tanpa ragu menaiki dan menghilang di balik kabut malam.
Tak berapa lama api di rumah Yan-wangwe sudah berhasil dipadamkan. Semua orang dapat bernafas dengan lega. Tetapi Cio San tahu, tak berapa lama lagi, sang empunya rumah akan sadar bahwa anak perempuan satu-satunya sudah menghilang.
Dan benar saja, kini telah terdengar suara marah-marah membentak dari Yan-wangwe (hartawan Yan). Ia memerintahkan seluruh anak buahnya mencari nona itu. Setelah beberapa lama tanpa hasil, ia memerintahkan untuk mengumpulkan seluruh penghuni mulai dari keluarga sampai pelayan dan para pengawal.
Tadi butuh waktu lama pula untuk mengetahui bahwa Sam Siu tidak ada di dalam barisan ini.
“Kau!” bentak si hartawan kepada Cio San. “Di mana kawanmu?”
“Dia...dia....kabur....” jawab Cio San penuh rasa takut.
“Kabur? Mengapa tidak sejak tadi kau laporkan kepadaku?”
“Hamba....hamba...takut” wajah Cio San pucat ketakutan.
“Pengawal! Bawa dia dan pukul dia! Tanya sampai dia mengakui semua kejadian ini!”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 21 APAPUN DEMI CINTA"
Posting Komentar