Pagi datang menjelang. Cahaya matahari yang hangat menembus celah-celah papan yang merupakan dinding dari bilik kamar mereka. Segelap apapun malam, matahari selalu datang untuk menerangi hari. Seperti pula kehidupan manusia, cahaya selalu datang untuk menerangi gelapnya hidup. Walaupun manusia tidak pernah tahu kapan cahaya itu datang, yang ia perlukan hanyalah kesabaran.
Sabar memang sebenarnya tidak mengenal batas. Jika mengenal batas, maka itu berarti tidak sabar.
A San sudah terbangun dari tadi. Sam Siu juga sudah terbangun. Bagi para pekerja rendahan seperti mereka, bangun pagi adalah kewajiban. Kata orang, semakin rajin bekerja maka rejeki semakin besar yang menghampiri. Sayangnya, banyak sekali orang kaya yang tidak perlu bekerja keras. Sejak lahir sudah kaya 7 turunan. Kadang kekayaan seseorang tidak ada hubungannya dengan seberapa keras ia bekerja.
Ini bukan rumus. Ini hanya beberapa kenyataan yang kita temukan di dalam kehidupan.
Tok Tok Tok!
Di luar seseorang mengetuk pintu. A San segera bergegas membukanya.
Ternyata seorang nona. Masih muda, wajahnya lumayan pula. A San ingat siapa dia. Nona ini adalah pelayan pribadi Yan Niu Niu.
“Selamat pagi nona” tegur A San sambil tersenyum. Sam Siu sendiri sudah muncul di balik punggungnya.
“Aih pemuda macam apa kalian, jam segini baru bangun” cela nona itu sambil tersenyum.
“Hari ini kan hari libur” tukas Sam Siu sambil tersenyum pula. Lanjutnya, “Ada apa nona datang mencari kami?”
“Aku mencari kau” tunjuk nona itu kepada A San.
“Dia?” tanya Sam Siu keheranan.
Si nona hanya mengangguk.
“Aku membawa sebuah berita kepadamu” kata si nona itu tersenyum.
Meskipun wajahnya tidak begitu cantik, ia juga tidak begitu jelek. Perempuan cantik seperti Yan Niu Niu memang suka mencari teman atau pembantu yang berwajah seperti ini. Hanya sekedar agar wajahnya terlihat paling cantik di sebuah kumpulan.
Sam Siu masih mematung. Ia tidak percaya justru nona itu mencari A San dan bukan dirinya.
“Eh, kenapa kau masih di sini?” tanya si nona kepada Sam Siu.
“Memangnya aku harus kemana? Ini kan tempatku” tanya Sam Siu.
“Aih, pantas saja ‘nona’ berkata kau ini laki-laki bodoh” tukas si nona. Kata ‘nona’ yang ia maksud tentu adalah Yan Niu Niu, majikannya.
“Nonamu berkata begitu tentang aku? Aih.....” kata Sam Siu sambil menepuk jidat.
Sambil tersenyum A San berbisik kepadanya, “Siu-ko kau pergilah mandi sebentar, saat kau kembali aku akan menceritakan semuanya kepadamu”
“Baiklah” Sam Siu dengan sedikit linglung pergi dari situ.
“Ada petunjuk apa dari nona?” tanya A San sopan.
Setelah melihat sekeliling dan memastikan tak ada orang yang ikut mendengar, si nona pelayan itu lalu berkata pelan,
“Nona akan menikah”
A San mengangguk, “Apakah Yan-siocia (nona Yan) dijodohkan?” tanyanya.
“Eh, dari mana kau tahu?” tanya nona pelayan itu.
“Jawab saja” tukas A San.
“Iya benar. Kabar ini apakah sudah tersebar di rumah besar ini?” tanya si nona.
“Aku baru mendengarnya darimu” jawab A San.
Sambil memandang A San, bibir si nona pelayan menekuk. Katanya, “Kau tampaknya jauh lebih pintar dari si tolol itu”
“Laki-laki manapun jika jatuh cinta pasti akan jadi tolol. Kau tak perlu mencelanya” kata A San sambil tersenyum kecut.
Lalu katanya, “Katakan pada Yan-siocia, Sam Siu akan menemuinya malam ini. Di dekat kolam di bawah jendela kamarnya, tepat tengah malam”
“Eh?” si nona pelayan tidak sanggup berkata apa-apa. Karena ternyata A San sudah tahu maksud perkataan dan kedatangannya kemari.
Lama ia mematung, lalu berkata, “Jika laki-laki seluruhnya memiliki pengertian seperti kau, kami para perempuan akan sungguh-sungguh bahagia.” Ia lalu pergi sambil tertawa.
A San pun tersenyum, tapi ia merasa kecut hati.
Urusan laki-laki dan perempuan meskipun terlihat sederhana, sesungguhnya jauh lebih berat dari dugaan siapapun. Karena urusan laki-laki dan perempuan hanya terlihat sederhana jika itu menyangkut orang lain. Jika menyangkut diri sendiri, urusan yang terlihat sederhana itu ternyata terasa jauh lebih berat dari urusan langit dan bumi.
Ini nampaknya sudah menjadi rumus semenjak dahulu kala.
Begitu Sam Siu kembali dalam keadaan segar sehabis mandi, A San menceritakan hal ini kepadanya.
“Ia datang dan menceritakan rencana pernikahan ini kepadamu?” tanyanya tidak percaya. “Apakah....apakah...Yan-siocia (nona Yan) suka kepadamu..?”
A San menggeleng sambil tersenyum.
“Jangan-jangan...justru kau..suka kepadanya?” tanya Sam Siu lagi.
A San tertawa.
Sahabat di depannya ini bukan seorang yang tolol. Tetapi kemudian bersikap seperti seorang pikun. Jika bukan karena cinta, seorang laki-laki tak akan berubah seperti ini.
“Yan-siocia memerintahkan pelayannya untuk memberitahukan hal ini kepadamu” jelas A San.
“Lalu kenapa ia tidak menceritakan kepadaku, malah mengusirku pergi?” tanya Sam Siu.
“Justru jika ia langsung menceritakan kepadamu, maka ia boleh dianggap bukan perempuan” tukas A San.
“Aku tidak mengerti maksudmu” kata Sam Siu keheranan.
“Perempuan tidak akan pernah bisa mengungkapkan isi perasaannya kepada laki-laki yang disukainya secara langsung. Cara terbaik adalah menyampaikannya kepada sahabatnya. Biar sahabatnya itu saja yang mengungkapkannya kepada orang yang disukainya.”
“Aih....aku tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran mereka” ujar Sam Siu sambil geleng-geleng kepala. Lanjutnya, “Jadi maksudmu, Yan-siocia, suka kepadaku?”
A San mengangguk.
“Tetapi ia harus menikah dengan orang yang lebih pantas. Aku bisa mengerti” kata Sam Siu tertunduk sedih.
“Ia mengirim pelayannya bukan hanya memberitahukan pernikahannya itu kepadamu. Ia punya maksud lain” jelas A San.
“Apa itu?” tanya Sam Siu penasaran.
“Kau akan mengetahuinya nanti malam. Aku telah membuat janji atas namamu, untuk bertemu dengan Yan-siocia tepat tengah malam nanti”
Sam Siu terbelalak, “Berani betul kau membuat janji ini” wajahnya memperlihatkan raut marah, tetap matanya terlihat senang.
Begitulah.
Kini mereka berdua sudah berada di pasar. A San menemani Sam Siu untuk membeli beberapa keperluan pribadi. Wewangian, pisau cukup, baju baru, dan ikat kepala baru.
Sam Siu menghabiskan hampir seluruh gajinya untuk ini.
Ini kali pertama mereka pergi ke pasar sejak bekerja di rumah Yang-wangwe (hartawan Yan).
A San menggunakan kesempatan ini untuk menikmati suasana sekitarnya. Keramaian ini kadang-kadang terasa syahdu di hatinya. Dengan memperhatikan berbagai orang di sekitarnya, A San menemukan hiburan tersendiri.
Sudah lama ia tidak melatih otaknya. Saat mereka duduk beristirahat di sebuah kedai kecil menikmati teh di pagi hari, A San memulai kesenangannya itu.
Menilai orang yang lewat.
Lelaki itu selingkuh.
Perempuan ini menyukai lelaki di depannya.
Anak muda yang tadi lewat telah mencuri uang milik ibunya.
Pria tua itu ternyata menyukai tetangganya yang jauh lebih muda daripadanya.
Tukang sayur yang lewat tadi, adalah orang kerajaan.
Pengemis itu bukanlah pengemis.
Pelajar yang lewat itu adalah seorang pendekar yang sedang mencari seseorang.
Semua diterkanya dengan tepat. Itulah sebabnya kenapa ia menutup diri dari dunia. Pikirannya selalu cerdas dan tepat dalam memikirkan sesuatu. Hanya dengan memandang sekilas, ia dapat mengetahui kehidupan orang lain, rahasia mereka, perbuatan-perbuatan mereka.
Bagi orang lain, kemampuan seperti ini adalah rahmat yang sangat besar. Bagi dirinya ini seperti kutukan.
Ia dapat menyadari, bahwa saat berbicara dengan orang lain, ia bisa menangkap ketulusan orang itu, maksud orang itu. Jika seorang berkata yang baik terhadapnya, ia bisa mengerti ternyata di hatinya orang itu menyimpan kebencian.
Hari demi hari ia selalu berhadapan dengan kepalsuan manusia.
Hal inilah yang membuat ia mengasingkan diri dari keramaian dan riuh kehidupan. Memutuskan menjadi orang rendahan, terhina, diremehkan. Setidaknya ia bisa merasa diperlakukan dengan adil.
Jika seseorang memujimu dan bersahabat denganmu, tetapi kau tahu ia memiliki kebencian yang mendalam kepadamu. Jika seorang wanita berkata ia mencintaimu, lalu ternyata dihatinya menyimpan kebusukan dan pengkhianatan.
Apa yang bisa kau lakukan?
Menuduhnya?
Lalu jika ia berkilah, apa yang bisa kau lakukan?
Justru kau yang dituduh balik dengan tuduhan yang menyakitkan hati.
Oleh sebab itu, kemampuan yang dimiliki A San ini sebenarnya merupakan kutukan baginya. Ada penderitaan besar yang tak seorang pun bisa mengerti kecuali dirinya.
“Eh, apa yang kau pikirkan?” tanya Sam Siu.
“Tidak ada. Hanya melamun saja” jawab A San. “Kau sendiri pun melamun”.
Mereka berdua tertawa. Persahabatan lelaki yang cukup dalam, memang kebanyakan seperti ini. Masing-masing melamun. Tidak banyak yang diceritakan. Karena tanpa bercerita pun para lelaki sudah mengerti isi hati masing-masing. Kadang para lelaki saling memaki satu sama lain pula. Tetapi justru persahabatan di hati mereka semakin mendalam.
Hal ini berbeda dengan perempuan. Jika bertemu saling memuji dan bercerita dengan ramai. Tapi seseungguhnya masing-masing menyimpan perasaan tidak enak satu sama lain.
Karena itulah persahabatan perempuan tidak pernah bisa lebih dalam dari persahabatan lelaki. Karena itu pula perempuan tidak pernah bisa mengerti mengapa laki-laki lebih suka menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya, ketimbang bersama kekasihnya.
Persahabatan di hati laki-laki, kadang lebih tulus, lebih jujur, dan lebih dalam. Walaupun tidak melebihi cinta terhadap kekasihnya, seorang lelaki sering lebih mengutamakan sahabat-sahabatnya.
“Ayo kita kembali. Sudah saatnya memberi makan kuda-kuda” kata A San.
Mereka lalu kembali pulang ke rumah besar milik Yan-wangwe (hartawan Yan). Dalam perjalan pulang, mereka kembali melewati kerumunan pasar.
Di tengah kerumunan yang ramai itu, seseorang menotok punggung A San.
Ia berteriak kesakitan. Tetapi di tengah keriuhan pasar itu tak ada seorang pun yang mendengar. Hanya Sam Siu yang mendengar karena ia kebetulan orang yang paling dekat dengan A San.
“Eh kau kenapa?”
Wajah A San memperlihatkan kesakitan yang amat sangat. Dengan sekuat tenaga ia menahan rasa sakit. Wajahnya terlihat pucat, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya.
“Seseorang menotok punggungku....Aaaaaah”
Sam Siu memapahnya dengan penuh khawatir. Matanya menyapu keadaan sekitar mencoba mencari siapa pelakunya.
Di pasar seramai itu, siapa saja bisa menjadi pelakunya.
A San meringis, “Sekujur tubuhku seperti tersengat! Sakitnya menjalar ke seluruh tubuh! Aaaa....kita..istirahat sejenak...” pintanya.
Akhirnya mereka berdua duduk di salah satu sudut pasar yang agak sepi. A San berusaha menahan sakitnya. Wajahnya bertambah pucat dan tubuhnya menggigil.
“Aku akan membawaku ke tabib!” seru Sam Siu.
“Tidak perlu. Sakitnya sudah mulai menghilang sekarang”
Dengan mengatur nafas A San mencoba bertahan. Setelah beberapa lama, akhirnya ia berkata,
“Ayo kita pulang”
“Kau yakin sudah kuat?” tanya Sam Siu
A San hanya mengangguk. Mereka kemudian berjalan pulang. Jarak pasar dan rumah keluarga Yan sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi karena perjalanan di lakukan dengan perlahan, sampai juga mereka di hadapan gerbang rumah megah itu. Rumah ini juga disebut ‘Ceng’ (perkampungan), karena terdiri dari kumpulan beberapa rumah, dan sebuah rumah induk yang besar. Kaum hartawan, pejabat, dan golongan terkemuka di Tionggoan (China daratan) selalu memiliki perkampungan, atau ‘Ceng’ seperti ini.
Sesampai di depan gerbang, terlihat penjaga gerbang sedang memarahi sekumpulan pengemis.
“Pergi kalian! Tiap hari duduk saja di sini! Jika diberi terus akan jadi kebiasaan! Dasar pemalas!” bentak sang penjaga.
“Eh, kakak Soh, ada apa kok marah-marah begini?’ tanya Sam Siu.
“Ini para pengemis. Sudah beberapa hari ini selalu datang. Setelah dikasih bukannya pergi malah terus nongkrong di depan sini. Mengganggu pemandangan saja!”
“Sudah sejak kapan mereka berada di situ terus, kakak Soh?” tanya A San sambil terbata-bata
“Sudah 4-5 hari ini. Eh, kenapa kau?”
“Aku terjatuh tadi menghindari kuda” jawab A San sambil meringis.
“Ah, kau sih tidak hati-hati. Kau sudah ke tabib?”
A San dan Sam Siu mengangguk.
Mereka lalu masuk dan menuju bilik mereka di bagian paling belakang di rumah yang sangat luas itu. Sam Siu membaringkan A San ke dipan kayu.
“Istirahatlah. Aku akan memanaskan air untukmu. Di kebun ada beberapa daud yang bisa ku masuk jadi obat” kata Sam Siu penuh perhatian.
A San mengangguk sambil tersenyum pahit. Ia sungguh tidak ingin merepotkan sahabatnya. Sambil berbaring ia menutup matanya. Mencoba memikirkan apa yang baru saja di alaminya.
Apa maksud semua ini? Otaknya berpikir keras.
Otaknya adalah otak yang sangat dihormati di kalangan Bu Lim (orang persilatan). Hanya saja otak ini sudah beberapa tahun sengaja tidak diasahnya.
Guna otak adalah untuk berpikir.
Dan pikiran manusia adalah sumber dari kekhawatiran dan kepedihan hati.
Selama ini A San tidak mau berpikir lagi. Tapi kini ia ingin berpikir. Tiba-tiba semangatnya terbakar lagi. Setelah sekian lama ia bersembunyi di balik topeng ketidakberdayaan.
Sam Siu datang membawa beberapa lembar dedaunan. Air sudah dipanaskannya sebelum pergi tadi. Sambil menunggu air itu matang, Sam Siu menumbuk dan menghancurkan dedaunan itu.
“Kau yakin seseorang menotokmu?” tanya Sam Siu.
“Sebenarnya aku tidak yakin. Karena setelah ku toleh, tidak ada seorang pun di belakangku” jelas A San.
“Nah! Aku pun berpikiran yang sama.” Tukas Sam Siu sambil memandang A San dalam-dalam.
A San pun memandangnya.
“Nanti sore ku antarkan kau ke tabib” tegas Sam Siu.
A San mengerti maksud Sam Siu. Sahabatnya ini mengira mengidap sebuah sakit parah.
“Kau benar. Aku memang menderita sakit” kata A San.
“Sakit apa?” tanya Sam Siu penuh perhatian.
“Sejak kecil aku mengidap sejenis ayan. Datang menyerangnya pun tidak menentu. Terkadang bertahun-tahun aku tidak terserang. Tetapi jika kadang menyerang, bisa dalam beberapa kali” A San merasa pedih jika harus berbohong terhadap sahabatnya.
“Kau sudah mencoba berobat?” tanya Sam Siu.
“Sudah. Kata tabib yang dulu, penyakit ini tidak berbahaya, namun memang tidak bisa disembuhkan seluruhnya. Jika berbaring istirahat dan meminum obat-obatan, dalam beberapa hari aku akan sembuh” jelas A San.
“Mengapa kau berbohong kepadaku dan mengatakan ada orang yang menotokmu?”
Walaupun mereka bukan ahli silat, siapapu di jaman itu pernah mendengar tentang ilmu totok. Ilmu ini adalah ilmu yang harus dimiliki semua pendekar Kang Ouw (dunia persilatan).
“A..aku...malu mengakui memiliki penyakit ayan...” jawab A San penuh penyasalan.
“Aih....terhadap seorang sahabat masa kau malu mengakui kekuranganmu. Penyakit toh bukan hal yang memalukan. Aku akan ke tabib sekarang. Memintanya datang memeriksamu”
“Tabib mahal, kita tidak mampu membayarnya” kata A San. “Walaupun tabunganku masih ada, aku akan menggunakannya untuk keperluan lain”
“Keperluan lain?” alis Sam Siu terangkat. “Aku masih punya sisa uang sedikit” katanya.
“Jika kau menggunakan uang itu untuk memanggil tabib dan membeli obat, aku tak akan meminumnya. Kita kan masih punya beberapa obat-obatan yang bisa dibuat sendiri.” Kata A San.
“Kau kenapa begitu keras kepala?” Sam Siu hanya bisa menggelengkan kepala.
“Sakitku ini hanya sakit kambuhan. Satu dua hari sudah hilang. Kenapa justru kau yang terlalu khawatir?” tukas A San sambil tersenyum.
Sam Siu berkata, “Baiklah. Jika dalam 3 hari kau tidak membaik. Aku akan memanggilkan tabib. Jika kau tidak meminum obatnya, kan ku robek mulutmu dan memasukan obat itu dengan paksa. Kau mengerti?”
A San tertawa pahit. “Kuda-kuda sudah memanggilmu karena lapar. Jika kau terus berkhotbah di sini, aku takut mereka akan datang ke sini dan menendang pantatmu”
“Aih...Iya, aku lupa. Kau sih merepotkan. Haha” ia tertawa sambil bergegas ke kandang kuda.
A San kembali berbaring. Sambil berpikir, paling asik jika ditemani arak. Sayang mereka tidak punya arak. Setiap hari mereka memang minum arak. Tetapi arak itu adalah jatah sehabis makan yang diberikan oleh rumah itu. Tidak bisa diambil seenaknya.
Jika sudah ingat arak, ia selalu ingat sahabat-sahabatnya. Apa kabar mereka sekarang? Semoga terus bahagia.
Ia tersenyum, tetapi matanya berair.
Seseorang jika mengingat sahabatnya yang jauh, akan selalu seperti ini.
Meskipun kini ia jauh dari mereka, ia yakin mereka tidak melupakannya dan selalu mendoakannya. Karena ia pun begitu. Selalu mengingat dan mendoakan mereka.
Kini ia pun telah memiliki seorang sahabat dekat. Biarpun baru kenal beberapa tahun, ketulusan dan kebaikan hati sahabatnya itu tidak pernah ia ragukan. Ia memang tidak pernah meragukan sahabat-sahabatnya. Karena itu orang yang benar-benar bisa menjadi sahabatnya, hanya bisa dihitung dengan jari.
Orang yang mengenalnya sungguh banyak. Ia pun banyak mengenal orang. Tetapi yang benar-benar ia anggap sahabat, hanya terdiri dari beberapa orang saja.
Ia sanggup mati dan menderita untuk orang-orang ini. Karena ia tahu, mereka pun sanggup mati dan menderita untuk dirinya.
“Sepertinya nanti malam, aku tidak jadi bertemu dengan Yan-siocia” tukas Sam Siu sambil dari luar jendela.
“Kenapa? Kau sudah gila?’ tanya A San.
“Jika malam nanti kau terserang penyakit lagi, tidak ada orang yang mengurusmu” tegas Sam Siu.
“Aih, aku kan sudah bilang Siu-ko (kakak Siu), penyakit ini hanya kadang-kadang saja datang”
“Justu karena kadang-kadang saja itu maka harus mendampingimu. Kau yakin nanti malam tidak terserang?”
“Yakin!”
Sam Siu lalu memunculkan kepala di jendela. “Aku justru tidak yakin!’
Sambil tertawa A San menukas, “Haha. Kau mengaku saja tidak berani bertemu dengan nona kita itu”
“Eh, aku bukan kalangan Kang Ouw (persilatan) yang bisa kau pancing-pancing dengan kata ‘tidak berani’” katanya sambil tertawa pula.
Kata ‘tidak berani’ adalah kata yang paling tabu di dunia persilatan. Seseorang lebih suka dimaki-maki daripada dituduh ‘tidak berani’.
“Jika kau tidak berani pergi, aku saja yang akan pergi” sahut A San.
“Pergi saja jika kau berani” Sam Siu tertawa.
“Lihat saja nanti”
Dari kejauhan, di balik pepohonan kebun yang lebat, sepasang mata menatap kedua sahabat itu dari kegelapan bayang-bayang.
Ia nampaknya cukup puas melihat A San terbaring lemah, sedangkan Sam Siu harus bekerja sendirian. Lalu sepasang mati itu menghilang dari sana.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 17 LELAKI DAN PERSAHABATAN"
Posting Komentar