Sang ayah terkejut melihat hal ini, tetapi wajahnya tenang. Lalu dengan dingin ia bertanya, “Apa yang kalian inginkan?”
“Kitab Bu Bok” jawab si bhiksu hitam.
Ayah Sam Siu tersenyum dingin. “Walaupun kalian membunuh kami, kitab itu tak akan ku serahkan”
“Sayang....sayang...apa yang kau lakukan?” Sam Siu bertanya tak percaya. Jauh di dalam hatinya ia telah mengerti apa yang terjadi.
Yan Niu Niu tertawa dingin, “Kau lelaki bodoh. Sampai kapan kau mau menutupi jati dirimu?”
Sam Siu terkulai lemas, tidak menyangka jika selama ini ia telah dijebak. “Apakah...apakah...A San mengkhianatiku pula? Aih....”
“Sahabatmu itu sudah jadi abu gosong” sahut nona mungil pelayan.
Tak terkira betapa hancur hati Sam Siu. Ia kehilangan seluruh tenaga dan semangatnya.
Beberapa bhiksu muda yang berjumlah 5 orang itu diam tak bergerak. Berdiri tegak melindungi ayah Sam Siu.
“Jika kau tidak menyerahkannya baik-baik, aku akan membunuh kalian semua dan mengobrak abrik kuil ini. Bukankah lebih baik kau berikan saja kitab itu dan kami akan pergi secara baik-baik,” kali ini Yan-wangwe yang berbicara.
“Umpama kau benar-benar mau menghancurkan kami semua pun, buku itu tersimpan di tempat rahasia. Kau tak akan bisa menemukannya”
“Siau Ting, petehkan saja leher anak itu,” perintah si bhiksu hitam. Ternyata nama asli Yan Niu Niu adalah Siau Ting.
Saat Siau Ting akan menggerakaan tangannya, tahu-tahu angin deras telah menghantam tubuhnya dari belakang. Tak ayal tubuhnya terlempar ke depan dan Sam Siu lepas dari pegangannya. Kelima orang Bhiksu pengawal ayah Sam Siu dengan sigap menangkapnya.
Begitu terkejut si Bhiksu hitam ketika mengetahui ada orang bisa membokong tanpa sepengatahuannya. Dengan cepat ia menyerang ke arah pembokong itu.
Si pembongkong tidak menerima serangan itu, malahan ia berjumpalitan menghindar sambil melepaskan sebuah pukulan.
Sebuah pukulan yang amat sangat terkenal.
“Naga Menggerung Menyesal”
Terdengar suara raungan naga saat si pembokong meneriakan kata-kata itu. Dari tangannya pun terlihat sinar keemasan yang berbentuk meneyrupai naga.
Si bhiksu tua yang kulitnya hitam legam itu terkaget. Ia tidak menyangka akan diserang dengan pukulan yang sedemikan dahsyat.
Seorang laki-laki muda berdiri di sana.
Tepat di antara rombongan si bhiksu hitam, dan rombongan ayah Sam Siu.
“Kau? Bukankah kau sudah mati jadi abu gosong?” kali ini si nona mungil pelayan yang berbicara.
“Kalian bisa menipu, masakah orang lain tidak bisa menipu pula?” jawab lelaki ini. Wajahnya masih tertutupi jenggot lebat. Tapi kini pakaiannya bersih dan rapi. Rambutnya pun sudah disanggul pula.
“A San!” teriak Sam Siu.
“Maaf aku terlambat,” kata A San sambil menoleh dan tersenyum.
“Hati-hati. Mereka semua licik dan jahat” kata Sam Siu mengingatkan.
“Ada aku di sini. Apa yang harus kau takutkan?”
Itulah jawaban seorang sahabat!
Inilah nilai seorang sahabat!
Jika kau memiliki seorang sahabat seperti ini, kau telah memiliki segalanya.
“Hissss, budak tolol macam begini biar aku yang menghadapi” Yan-wangwe maju dengan gagah.
Tetapi belum lagi ia melangkah, si bhiksu telah menamparnya.
“Mundur!” bentaknya.
Yan-wangwe tak tahu sebab musabab ia ditampar. Yang ia tahu pipinya sudah memerah dan panas membara.
Lalu si bhiksu hitam bertanya dengan sopan,
“Apakah pinceng (saya, ucapan untuk bhiksu) berhadapan dengan Cio-hongswee yang tersohor itu?”
Cio San menjura, “Pendangan La Ma (panggilan untuk bhiksu asal tibet) sungguh tajam dan luas”
Si La Ma menatapnya.
“Di dunia ini, orang yang sanggup bergerak diam-diam di belakang pinceng (saya) bisa di hitung dengan jari. Apalagi pukulan sakti itu, mungkin cuma seorang di dunia ini yang mampu melakukannya” jelas si La Ma.
Yan-wangwe dan yang lain tersentak mendengar nama itu disebut. Sedari tadi ia sudah curiga siapa A San sebenarnya, tetapi ia tidak yakin orang sehebat Cio San ini menerima saja dipukul ramai-ramai oleh anak buahnya. Bahkan sempat menjadi jongos pula di kandang kudanya.
Kini ia dan kawan-kawannya hanya bisa melongo. Yan Niu Niu alias Siau Ting yang sedang tergeletak di tanah pun hanya melongo. Ia tadi mendapatkan serangan yang cukup kuat, tetapi tidak melukainya dengan berat. Meskipun begitu, ia was-was juga. Khawatir jika Cio San akan menghajarnya. Tubuhnya memang paling dekat dengan pendekar itu.
“Namamu Siau Ting?” tanya Cio San.
“Lim Siau Ting” jawab nona itu.
Cio San mengangguk. “Pergilah,” Ia lalu menoleh kepada Sam Siu, “Kau ingin aku menjelaskan semua ini?”
Sam Siu mengangguk.
“Mereka-mereka ini adalah sebuah komplotan. Mereka telah mengetahui jati dirimu sebenarnya. Untuk itulah mereka menyusun rencana agar kau dapat membawa mereke bertemu...eh..ayahmu..”
Saat menyebut ‘ayahmu’, entah kenapa Cio San sungkan sendiri.
“Jadi...jadi..keluarga Yan itu tidak pernah ada?” tanya Sam Siu dengan wajah sedih.
“Ada. Hanya saja Yan-wangwe dan Yan-siocia yang asli...sudah..” Cio San tidak tega meneruskan kata-katanya.
Sam Siu pun sudah mengerti kelanjutan kata-kata itu.
“Ketika kau sudah mengerti ini, mengapa tidak kau jelaskan kepadaku?” air mata Sam Siu akhirnya tumpah. “Aku dapat menerima pengkhianatan mereka kepadaku. Tetapi aku tak sanggup menerima kebohonganmu! Kau menutupi kebenaran dariku!”
Cio San hanya menatapnya terharu. Terharu karena lelaki di hadapannya itu menganggapnya sebagai seorang sahabat!
“Aku akan menjelaskan seluruhnya kepadamu saat ini semua selesai”
“Aku tidak butuh!” dengan mantap ia berdiri maju dan berjalan menuju rombongan La Ma.
“Kalian ingin bunuh kami? Silahkan bunuh. Namun kami tidak akan memberikan apa yang kalian cari!”
Cio San maju meraih tangannya.
Sam Siu menarik tangannya dengan kasar. “Kau, tiada beda dengan mereka. Kau pun memanfaatkan aku!”
Seorang kekasih dapat menghina, menolak, atau mencapakkannya. Ia akan mampu menerima semua itu. Tetapi jika seorang sahabat yang melakukannya, hidupnya seolah-olah tidak berguna lagi.
Begitu dalam kata ‘persahabatan’ dipegangnya erat-erat. Berapa banyak dari kita yang mampu melakukannya?
Air mata Cio San mengalir deras.
Rombongan para penjahat yang ada di depan mereka terkejut heran, “Eh, kalian pencinta sesama jenis?” tanya nona mungil pelayan.
Plak!
Sekali lagi La Ma menampar.
“Kalian lihat baik-baik. Itulah yang dinamakan setia kawan”
Meskipun ia terlihat jelas sebagai tokoh Liok Lim (golongan hitam), tetapi La Ma ini menjunjung tinggi rasa setia kawan.
“Wan Gui, mundur!” kali ini ayah Sam Sui yang bersuara. Ternyata nama asli Sam Siu adalah Wan Gui.
Mendengar bentakan ayahnya, Wan Gui tersentak.
“Anak mendengar” ia menunduk patuh dan berjalan kembali ke tempat semula.
Suara sang ayah memang penuh wibawa. Siapapun yang mendengar suara ini, hatinya pasti bergetar.
“Pendekar muda,” kata si ayah kepada Cio San. “Kau tidak perlu mengorbankan jiwa bagi kami. Semua ini sudah takdir dan merupakan kehendak langit. Biar pun mereka memaksa dan menghancurkan kami, mereka tak akan menemukan kitab itu”
“Yang Mulia,” Cio San mengangguk dengan hormat. “Karena siauwjin (saya orang yang rendah) pun sudah berada di sini, bukankah tidak mengapa jika siauwjin ikut dihancurkan pula oleh mereka” ia menjura dengan sangat dalam.
“Kau sudah tahu siapa aku”
Kalimat ini bukan pertanyaan, bukan pula pernyataan.
Di dunia ini orang disebut “Yang Mulia” hanya satu orang.
“Jika aku memiliki 5 orang saja seperti engkau, maka kejadian dahulu kala tak akan terjadi. Aih.....takdir terjadi, masa lalu tak dapat terlupa. Omitohoud....omitohuuuud... (Buddha welas asih)”
“Yang Mulia silahkan turunkan perintah!” salah satu dari kelima orang bhiksu pengawal itu berteriak.
Sang La Ma pandai membaca gelagat. Ia tahu jika ia bertempur mati-matian, kemungkinannya masih seimbang. Jika ia melawan Cio San, ia belum tahu hasilnya seperti apa. Meskipun ia tidak meragukan kekuatannya sendiri, ia pun tidak meragukan kekuatan Cio San.
Sedangkan ketiga orang anak buahnya jika dikeroyok oleh kelima Bhiksu itu pun kemungkinan besar akan kalah atau seimbang.
Tetapi jika mengundurkan diri, ia tak tahu harus di mana menaruh muka. Akhirnya ia memilih melawan. Lebih baik mati ketimbang malu.
“Cio-hongswee, aku mengajakmu bertaruh” kata si La Ma.
“Silahkan”
“Jika aku menang bertaruung melawanmu, maka kalian harus menyerahkan kitab itu dan membiarkan kami pergi. Tetapi jika aku kalah, maka aku dan rombonganku akan pergi dari sini dengan tenang.”
Betapa pintar kakek ini mengatur siasat. Dengan melakukan taruhan ini, dia memilih jalan mundur yang aman. Jika kalah toh ia tak akan mati terbunuh. Anak buahnya pun tidak harus bertarung.
“Kitab itu bukan milikku. Aku tidak berhak menjawab” kata Cio San.
“Jadi kau menolak tantanganku?”
Kembali si kakek hitam legam ini menggunakan kata-kata berbisanya.
Jika Cio San menolak maka ia mengaku kalah!
Dengan melipat satu tangan ke belakang, dan dengan memainkan rambutnya, Cio San berkata dengan tenang. “Ada dua hal yang harus kau pahami. Pertama, kami semua disini lebih memilih menyerahkan nyawa ketimbang menyerahkan kitab itu. Kedua, aku tak akan kalah”
“Pendekar muda yang sombong” kata si La Ma perlahan. “Baiklah. Aku menawarkan tawaran kedua”
“Silahkan”
“Jika aku menang, maka kau tidak boleh menghalangi kami menyerang bhiksu-bhiksu ini dan mengobrak-abrik tempat ini. Tapi jika aku kalah, aku akan pergi dengan tenang”
Cio San tersenyum, enak sekali kakek tua ini mengajukan tawaran.
“Jika kau kalah, berjanjilah bahwa kau dan rombonganmu tidak akan mengganggu ‘Yang Mulia’ atau mencari kitab itu lagi.”
Si La Ma berpikir sebentar, lalu berkata, “Baik lah”.
Ia lalu maju 3 langkah ke depan. “Kita mulai” ia mengangkat tangannya menjura.
Cio San pun maju 3 langkah dan menjura. “Silahkan”
Tak ada kuda-kuda yang dilakukannya. Berdiri santai dengan satu tangan terlipat ke belakang, dan jemarinya memainkan rambutnya yang jatuh di bahu.
Melihat gaya berdiri ini si La Ma terhenyak juga, tetapi hatinya terasa panas. Anak muda sombong ini meremehkan dirinya!
“Awas serangan!” ia bergerak dengan cepat.
Tak ada seorang pun yang dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana bayangan itu bergerak, tahu-tahu ia sudah berada di atas kepala Cio San.
Telapaknya menyerang ke depan, mengincar batok kepala pendekar muda itu. Menerima serangan ini Cio San tidak melangkah menghindar. Ia hanya membengkokan tubuhnya ke samping. Dari telapak tangan kanannya terdengar suara berderik.
Inilah jurus ciptaannya yang menggoncang dunia, “Telapak Ular Derik”
Gerakannya jauh lebih cepat dari serangan si La Ma. Melihat serangan itu, sang La Ma menjulurkan telapak tangan yang satunya pula.
Kedua telapak itu beradu!
Blaaaaaaaaaaaaaam!!!!!!
Terdengar suara menggelegar!
Tanah tempat Cio San berpijak hancur tak beraturan. Tetapi tubuh pendekar itu tetap tegak. Rupanya sang La Ma dengan nekat mengajak Cio San beradu tenaga dalam.
Sebagai orang yang lebih tua dan pelatihan tenaga dalamnya lebih lama, sang La Ma yakin ia mempunyai tenaga dalam yang lebih dahsyat. Oleh karena itu ia berlaku nekat.
Begitu tenaga itu beradu, tubuh Cio San secara alami menggerakkan ‘Thay Kek Kun’. Ilmu andalan Bu Tong-pay ini adalah ilmu ciptaan pendeta Thio Sam Hong yang amat termahsyur.
Ilmu ini menyerap tenaga sang La Ma ke dalam sebuah kekosongan yang dalam. Kakek tua itu merasa tenaga dalamnya amblas hilang kemana, tahu-tahu tenaga itu seperti muncul kembali dan malah menyerang dirinya!
Tak hilang akal, si kakek berputar mencoba mengimbangi kekuatan arus pusaran yang muncul dari serangan Cio San. Sebuah tindakan yang pintar yang lahir dari kemampuannya memahami jurus orang lain.
Dengan berputar seperti itu mengikuti pusaran yang ada, sang kakek membuat pusaran tenaga itu jsutru bertambah besar dan semakin membesar. Para penonton yang berada di pinggiran merasa terdorong oleh besarnya kekuatan yang diciptakan. Jika tidak segera memasang kuda-kuda, seseorang bisa terdorong jatuh.
Kekuatan yang membesar itu mengeluarkan sinar kilat yang bercahaya!
Tubuh kedua orang ini melayang di udara. Tetapa karena pusaran ini, tubuh mereka hanya berputar-putar di tempat. Semakin lama semakin kencang!
Angin yang tercipta oleh putaran kedua orang ini malah telah menderbangkan atap kuil, debu, dan kayu-kayu serta bebatuan kecil.
Sungguh tak terduga bagaimana kekuatan kedua orang ini bisa menghasilkan badai yang kencang.
Cio San tenang. Wajahnya memerah pertanda ia sedang mengerahkan tenaga dalamnya sekuat yang ia bisa. Di pihak lain, wajah si kakek yang hitam legam terlihat memutih pucat.
Adu tenaga ini berlangsung cukup lama, sampai-sampai baju yang mereka pakai pun koyak moyak.
Betapa pun mereka berdua mencoba untuk bertahan.
Cio San tak dapat menggunakan ilmu lainnya, yaitu ‘Ilmu Menghisap Matahari’. Jika ia menggunakan ilmu ini, maka justru akan berbahaya bagi dirinya. Arus pusaran kekuatan itu begitu kuat sehingga ia menyerap tenaga pusaran itu, malah akan menyerang dirinya sendiri.
Ibarat air yang meluber karena ember yang terlalu penuh. Atau ibarat balon udara yang pecah karena kelebihan angin.
Satu-satunya cara yang bisa mereka berdua lakukan adalah tetap mempertahankan keadaan dan menambah tenaga.
Pertarungan adu tenaga ini sungguh tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Tanah di bawah mereka pecah berhamburan. Batu-batuan terlempar ke segala arah. Yang menonton pun terpaksa menghindar dan berlindung di balik apapun yang bisa melindungi mereka.
Kedua tangan mereka menempel. Tapi masing-masing memiliki satu tangan lagi yang mereka persiapkan untuk serangan pamungkas.
Seolah-olah pikiran mereka sudah tersambung, gerakan serangan pamungkas ini dilancarkan dengan bersamaan pula. Si kakek mengisi tangannya dengan tenaga yang ia simpan sedari tadi. Tenaga paling dahsyat yang pernah ia keluarkan sepanjang hidupnya.
Cio San menerimanya pula dengan telapak tangannya. Tetapi ia tidak mengisi telapak tangan itu dengan kekuatan. Ia bahkan tidak mengisi telapak tangannya dengan apapun.
Kosong!
Dalam Thay Kek Koen, kosong dapat mengalahkan isi.
Karena dengan kekosongan inilah, Cio San menyerap seluruh tenaga serangan sang La Ma dengan menggunakan ‘Ilmu Menghisap Matahari’ lalu menyalurkannya melalui telapak tangannya yang menempel ke tangan si kakek, dengan menggunakan Thay Kek Koen.
Sang kakek tahu Cio San mampu menggunakan Thay Kek Koen, dan Ilmu Menghisap Matahari. Yang tidak ia ketahui adalah Cio San mampu menggunakan jurus itu secara bersamaan!
Itulah kesalahannya!
Dan keselahan ini membuatnya terlempar beberapa tombak jauhnya. Ia memuntahkan darah segar yang amat banyak. Seluruh organ tubuhnya terluka dalam dengan amat sangat hebat.
Ia terluka karena pukulannya sendiri.
Untunglah Cio San tidak menyalurkan seluruh tenaga itu. Begitu kakek itu terlempat, ia menggunakan tangannya yang lain untuk menyalurkan tenaga sisa. Tangan itu memukul ke daerah kosong yang tidak ada seorang pun berdiri di situ.
Kekuatan yang keluar sanggup menghancurkan apapun yang berada di sana. Tembok, batu besar, pepohonan, segalanya berterbangan berhamburan ke segala arah.
Alangkah menakutkannya lelaki ini.
Lelaki yang begitu muda, tetapi sudah sedemikian hebatnya.
Sang La Ma pingsan. Ia bahkan sekarat.
“Bantu dia!” perintah Cio San, “Kerahkan tenaga kalian ke bagian pusarnya”
kata-kata ini ia ucapkan kepada ketiga orang anak buah sang La Ma.
Mereka dengan buru-buru melakukan yang ia perintahkan.
“Rasakan tenaga yang berputar itu, tahan di sana jangan sampai bergerak. Biarkan saja titik jantungnya. Jika kalian menambah tenaga di sana, justru urat jantungnya akan putus”
Ia memberi perintah dengan tenang sehingga para anak buah ini pun tenang juga melakukannya. Mereka percaya Cio San memang benar-benar ingin menyelematkan majikan mereka. Karena jika Cio San mau, ia sanggup membunuh sang La Ma sejak tadi!
Setelah lama bersemedi dan menyalurkan tenaga, akhirnya tenaga di pusar si kakek dapat dikendalikan. Mereka semua mengakhiri semedi dan penyaluran tenaga itu.
“Bawa dia pergi dan jangan kembali lagi” perintah Cio San.
Tentu saja mereka tidak perlu diperintah dua kali. Ketika hendak pergi, Sam Siu atau Wan Gui berteriak, “Berhenti”
Mereka berhenti.
Wan Gui menatap Lim Siau Ting. Tatapan yang penuh kesedihan.
“Jika kau berjanji untuk mengubah dirimu, aku masih mempertahankan janjiku”
Nona ini terdiam sejenak. Lalu tersenyum sinis,
“Cih” ia membuang ludah dan berbalik badan.
Meninggalkan seorang lelaki yang mencintainya begitu dalam.
Perempuan selalu menyakiti lelaki yang mencintainya terlalu dalam. Ini mungkin sudah sifat mereka. Sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Seorang lelaki memang tidak boleh mencintai perempuan terlalu dalam. Apabila ia nekat melakukannya, ia akan terluka berkali-kali.
Berkali-kali.
Karena berapa kali pun perempuan itu melukainya, ia akan terus memaafkan dan mengharapkannya kembali.
Jika seorang lelaki telah berjanji untuk menunggu seorang perempuan, maka walaupun perempuan itu menghancurkannya berkali-kali, lelaki itu akan tetap menunggunya.
Jumlah lelaki seperti ini memang tidak banyak. Namun jumlah mereka sungguh tidak sedikit pula.
Wan Gui adalah jenis lelaki semacam ini.
Cio San memandangnya dengan kagum. Lalu menjura.
Sesungguhnya ada begitu banyak hal yang bisa ia pelajari dari lelaki muda ini. Lelaki yang dipermalukan dan dikhianati namun tetap memperlihatkan cinta sejati.
“Aku akan menunggumu” bisik Wan Gui lirih. Bayangan Lim Siau Ting sudah begitu jauh. Lelaki muda ini tetap berdiri tegak menatap punggung sang perempuan.
Perempuan yang sudah pergi.
Yang sudah pergi belum tentu tidak akan kembali lagi.
Itulah yang berada di benaknya. Ia akan menunggu. Menunggunya berubah. Menunggunya menyadari bahwa tiada seorang lelaki pun yang akan mencintainya setulus dan sedalam ini.
Apakah ini kesalahan terbesarnya?
Hanya waktu yang dapat menjawab semua ini.
Jika itu merupakan kesalahan, toh ia tidak akan menyesal.
Seseorang tidak perlu menyesal jika ia mencintai orang lain dengan begitu dalam. Justru orang yang dicintai itulah yang sesungguhnya menyesal karena meninggalkannya.
Ya. Jauh di lubuk hati mereka, siapapun itu, baik ia lelaki maupun perempuan, jika ia pergi meninggalkan orang yang mencintainya teramat dalam, maka ia akan menyesal.
Menyesalnya pun sedalam cinta yang ia sia-siakan.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 24 LELAKI YANG MENUNGGU"
Posting Komentar