EPISODE 2 BAB 23 PERJALANAN SEPASANG KEKASIH

Saat tengah malam, terlihat beberapa opas sedang mengangkat mayat. Mayat itu dibungkus dengan lilitan beberapa kain kotor. Tak berapa lama, mereka pun membakar mayat itu di halaman belakang markas mereka.

“Ah, untunglah keparat ini mati. Meskipun kita tak sempat membawanya ke pengadilan, kematian adalah hukuman yang pantas baginya,” kata seorang opas yang diikuti oleh anggukan yang lain setuju.

“Sekarang kita tinggal membuat laporas saja kepada atasan tentang hal ini” katanya.

“Apa yang akan kau tuliskan?” tanya temannya.

“Kita tulis saja bahwa ia tertangkap mencuri di rumah Yan-wangwe, dan ia mati dikeroyok penjaga di sana.”

“Bagus juga usulmu.”

Si nona mungil pelayan rumah Yan-wangwe menonton peristiwa ini dari balik kegelapan. Ia tersenyum puas dan segera menghilang di dalam kegelapan.

Tak lama setelah si nona pergi, salah seorang opas kemudian ‘terbang’ menghilang pula. Tentu saja si opas ini adalah Cio San.

Ratusan li (kilo) dari sana, Sam Siu dan Yan Niu Niu sudah tidur tenang di atas perahu kecil itu. Sang tukang perahu dengan cepat membawa perahunya keluar dari kota asal mereka. Kini mereka telah memasuki daerah lain.

Kedua sejoli yang dimabuk asmara itu seperti tidak lagi memperdulikan kejadian yang mereka alami. Bila cinta sudah mengisi hati, maka yang ada hanyalah asa dan harapan yang membuai.

Hal ini berlaku untuk setiap orang. Perempuan dan laki-laki. Tua maupun muda.

“Tuan, kita sekarang sudah memasuki daerah Ban Sing. Tak lama lagi kita akan memasuki dari San Tung,” tukas tukang perahu.

“Kami sangat berterima sekali atas bantuanmu, in-hiap (tuan penolong),” kata Sam Siu.

“Aih, diantara sesama sahabat, tidak perlu mengucapkan terima kasih segala,” tukas si tukang perahu sambil tersenyum.

“Sayang, siapakah sebenarnya A San ini? Mengapa ia begitu hebat mengatur pelarian kita?” tanya Yan Niu Niu.

“Hmmm, aku sendiri tidak pernah bertanya kepadanya tentang latar belakang kehidupannya. Yang ku tahu, ia adalah seorang sahabat yang sangat bisa diandalkan. Setia kawan dan jujur. Aku mengenalnya sekitar 2 tahun ini,” jelas Sam Siu.

“Kau baru mengenalnya 2 tahun ini tetapi ia sudah berkorban begitu besar untukmu?” tanya si nona lagi.

“Jika aku yang harus melakukan pengorbanan ini untuknya, aku akan melakukannya,” tukas Sam Siu dengan gagah.

Persahabatan antar laki-laki memang adalah hal yang cukup mengeherankan bagi perempuan.

“Tuan penolong, maukah tuan menjelaskan siapa tuan A San ini? Agar kelak kami dapat berterima kasih” tanya Yan Niu Niu kepada si tukang perahu.

“Mengenai nama aslinya, sungguh saya tak dapat memberitahukan. Tetapi yang bisa saya ceritakan, beliau adalah salah satu buronan yang paling dicari kerajaan”

“Hah?” sepasang kekasih ini melongo keheranan, “Apa yang telah ia perbuat?”
“Beliau biasanya mencuri harta benda orang kaya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang miskin. Sedangkan beliau sendiri tetap hidup dalam kemiskinan. Sebenarnya beliau memang sudah mengincar harta Yan-wangwe, tapi belum sempat rencana itu terlaksana, terjadilah kejadian ini.”

Begitu mendengar nama ayahnya disebut, wajah Yan Niu-Niu langsung berubah. Sam Siu merasakan hal ini dan mencoba menenangkannya, “Sayang, kau tak perlu khawatir. Aku akan selalu menjagamu. Kita akan hidup bersama selamanya. Dan susah dan senang. Bersediakah kau?”

Wajah si nona bersemu merah, kekhwatirannya perlahan-lahan menyurut, “Tentu saja, sayang. Ada kau disampingku, tak ada hal yang perlu kutakutkan”
“Kau tak takut hidup miskin?” tanya Sam Siu.

“Jika berusaha toh, kau pasti akan berhasil. Miskin sedikit pun toh aku tak perduli. Aku sudah punya kau”

Begitu tenang dirinya mengucapkan kata-kata ini.

Jika seorang perempuan memahami betapa dalamnya kata-kata ini, dan betapa rindunya seorang laki-laki mendengarkan ucapan ini, mereka tak akan mengucapkannya sembarangan.

Yan Niu Niu pun tidak mengucapkannya sembarangan. Ia tahu benar bahwa ucapan itu akan menguatkan kekasihnya itu, dan menguatkan hatinya sendiri.
Seorang laki-laki yang tidak putus asa, serta seorang perempuan yang sabar menemaninya. Hal ini adalah hal yang paling mengharukan di dalam kehidupan manusia sejak dahulu.

Di tangah malam yang dingin, di sungai yang tenang. Cahaya bintang dan rembulan menerangi jalan kedua anak muda ini. Cinta akan menerangi kehidupan yang kelam. Jika terlalu membara, ia akan membakar siapapun yang mengecapnya. Jika terlalu dingin, maka cinta itu akan mati dan beku.

Cinta seharusnya tenang bagaikan cahaya lentera di tengah malam yang gelap. Menerangi jalan, dan menuntun langkah.

Perjalanan akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Si tukang perahu meminta maaf karena tak dapat mengantarkan mereka lebih jauh. Sebelum pergi ia memberi sebuah kantong yang berisi uang.

“Uang ini tidak banyak. Tetapi dapat dipakai untuk kehidupan kalian selama beberapa bulan. Maaf hanya ini yang bisa diberikan oleh tuan kami, A San. Beliau sendiri memang tidak pernah mempunyai uang berlebih,” jelas si tukang perahu.

“Aih, bahkan sesudah melakukan semua rencana inipun, ia masih mengorbankan seluruh tabungannya selama bekerja. Benar-benar seorang sahabat sejati,” tukas Sam Siu penuh terima kasih.

Mereka berdua lalu memberi hormat dan meminta diri.
Dan perjalanan kehidupan pun dimulai.

Amat sangat tidak mudah untuk hidup dengan cara seperti ini. Sepasang kekasih yang kawin lari hidupnya selalu tidak pernah tenang. Tetapi ada cinta yang akan menjaga mereka. Sayagnya cinta saja tidak cukup.

Dalam kehidupan manusia, cinta saja tidak pernah cukup.

Selama berhari-hari mereka menempuh perjalanan. Dengan uang yang ada, mereka membeli kuda dan perbekalan. Juga membeli beberapa helai pakaian.
Perjalanan pun dilakukan dengan tenang. Mereka menyamar sebagai dua orang petani. Wajah mereka dikotori dengan arang agar tidak mudah dikenali. Hal ini malah menambah keasyikan dan kemesraan tersendiri.

“Sayang, masih jauh lagikah tempat itu?” tanya Yan Niu Niu.

“Sehari perjalanan lagi, sayang. Sabar sedikit ya...” kata Sam Siu dengan mesra.

“Aih, aku takut”

“Apa yang kau takutkan, sayang”

“Aku takut ayahmu tak akan menerima aku”

“Ah, tidak mungkin. Kita menempuh perjalanan sejauh ini adalah untuk menemui ayah. Meskipun dulu aku lari dari rumah, tetapi aku yakin ayah akan memaafkan aku,” jelas Sam Siu sambil tersenyum.

“Dulu mengapa engkau lari dari rumah?”

“Aku tidak betah. Setiap hari hanya disuruh mempelajari kitab suci”

Yan Niu Niu menarik muka, “Eh? Kitab suci? Memangnya ayahmu sejenis pendeta?”

“Benar. Beliau adalah seorang hwesio (bhiksu)”

“Hah? Jika beliau adalah hwesio, bagaimana mungkin kau lahir? Hwesio kan tidak boleh menikah?” tanya si nona.

Ada perubahan di wajah Sam Siu. Seperti ada kesedihan yang tiba-tiba datang menghiasi wajahnya. Katanya, “Dulu kami adalah sebuah keluarga. Tetapi semua berubah sejak terjadi sebuah kecelekaan. Rumah kami terbakar. Ibu dan kakakku meninggal dalam kecelekaan itu. Hanya aku dan ayah yang selamat. Karena sedih, beliau akhirnya memilih menjadi hwesio.”

“Oh, kasihan sekali nasibmu sayang. Aku berjanji akan menjaga dan mencintaimu selamanya.”

“Karena itulah, bagaimana pun juga, kita harus tetap meminta restu dari ayahku. Meskipun ayahmu tidak merestui hubungan kita, setidaknya ayahku menyetujuinya,” Sam Siu tersenyum.

“Eh, dulu sebelum menjadi hwesio, apa pekerjaan ayahmu?”

“Beliau adalah seorang siucai (sastrawan). Menyukai puisi, dan musik. Beliau adalah pelukis juga. Lukisan beliau banyak yang terjual dulunya, meskipun beliau belum seperti siucai yang terkenal lainnya”

“oh, aku ingin sekali mempelajari puisi dan melukis. Aku juga suka bermain musik. Kau harus mendengarkanku bermain khim (kecapi)” tawa si nona manja.

“Kalau cuma permainan khim, hampir setiap hari aku mendengarkannya dari balik jendelamu, sayang,” tawa Sam Siu.

“eh, jadi kau mencuri dengar? Jangan-jangan kau mengintip juga ya? Dasar nakal!” si nona memukul kekasihnya. Pukulan yang manja. Pukulan kekasih yang manja adalah satu-satunya pukulan  yang menyenangkan di dunia ini. Sedangkan pukulan yang paling tidak menyenangkan adalah pukulan kekasih yang menangkap basah kau berbuat serong.

Perjalanan dilalui dengan mesra dan kecupan-kecupan yang hangat. Sam Siu mampu menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang sebelum mereka menikah. Sepanjang jalan saling bercerita satu sama lain. Menceritakan apa yang mereka suka, apa yang mereka tidak suka.

Sambil menikmati alam, mengarungi kehidupan bersama kekasih tercinta. Rasa-rasanya semua orang pun menginginkan hal demikian.
Akhirnya perjalanan mereka sampai pula.

Sebuah bio (kuil) agama buddha yang terpencil di daerah kaki pegunungan. Mereka telah melalui perjalanan selama berhari-hari, jadi begitu tempat yang tertuju sudah terlihat, bukan main senangnya perasaan mereka.

“Kau bilang ayahmu tinggal di rumah?”

“Ya bio (kuil) ini adalah rumah kami. Ayah yang membangunnya dengan menggunakan sisa hartanya.”

“Hebat sekali.....Aku tak sabar bertemu dengan beliau.”

Sam Siu tersenyum. Ia pun sudah tidak sabar. Sudah lebih dari 3 tahun ia tidak berjumpa dengan ayahnya.

Sesampai di gerbang bio, ada beberapa hweesio muda yang sedang menyapu pelataran.

“Gi-hudya (sebutan bagi pendeta buddha), selamat pagi. Apakah masih mengenalku?” sapa Sam Siu kepada salah seorang.

Para hweesio itu menoleh, “Siauya (tuan muda)? Waaaaaah akhirnya kau pulang juga!’ mereka menyambutnya dengan gembira.

Mereka saling berpeluk dan mengucap salam.

“Wah, kau tambah besar! Sudah pergi lama, tahu-tahu pulang membawa istri. Selamat!”

Ramai mereka menyambut pemuda ini.

“Eh, apakah ayah sehat-sehat?” tanya Sam Siu.

“Tentu saja, beliau ada di...”

“Ehhm.....”

Terdengar suara batuk. Rupanya keramaian ini mengundang orang yang terbatuk ini keluar.

Usianya belum begitu tua. Tetapi siapapun dapat melihat bahwa penderitaan yang hebat, telah membuat usianya nampak lebih dari setengah abad.

“Ayah.....” Sam Siu berlari menuju orang itu dan berlutut di kakinya.

“Kau sudah pulang”

Kalimat ini bukan kalimat pertanyaan, juga bukan kalimat pernyataan.
“Anak sudah pulang ayah......”

Sang ayah diam saja.

Lelaki itu lalu menatap ke depan, seorang perempuan berdiri di sebelah kereta kuda.

“Kau membawa istri?” tanya si ayah.

“Kami belum menikah ayah. Anak tidak berani menikah sebelum mendapat restu dari ayah”

“Karena ingin menikah jadi kau pulang kemari?” tanya si ayah tajam.

Sam Siu tak tahu apa yang harus ia katakan. Wajahnya masih berlutut mencium kaki ayahnya.

Yan Niu Niu hendak maju ke depan memperkenalkan diri, namun kata-kata tajam sang ayah menghentikan langkahnya.

“Berhenti nona. Kuil kami terlarang bagi kaum perempuan.”

“Ayah mohon maafkan anak” kata Sam Siu penuh kesedihan.

“Kau hanya datang kemari untuk memohon restuku, bukan? Nah pergilah. Kau telah mendapatkan restuku” kata si ayah dengan datar. Ia lalu berbalik punggung dan melangkah pergi dari situ.

 Si anak tetap berlutut dan berjalan mengikuti ayahnya dari belakang.

“Ayah....ayah...kumohon maafkan lah anak....ayah...kumohon...”

Siapapun yang melihat pemandangan ini akan trenyuh hatinya. Seorang anak yang berlutut menyembah menyeret wajah di tanah, sedangkan ayahnya berjalan pergi meninggalkannya.

Hubungan anak dan ayah, terkadang begitu renggang. Tetapi perasaan cinta di hati mereka sesungguhnya begitu dalam.

Air mata Sam Siu menetes membasahi tanah. Ia masih berlutut dan ‘menyembah’ dengan penuh hormat. Sekali pun ia tidak berani mengangkat wajahnya.

Semua orang terpana dan tak tahu harus melakukan apa melihat kejadian ini. Betapa memilukan dan menyayat hati.

“Ayah...maafkanlah anak....”

Tiada hal yang paling mengharukan selain pemandangan seorang anak yang memohon ampun kepada orang tuanya. Atas kesalahan-kesalahannya.

“Pergi.”

Dan pula, tiada hal yang paling menghancurkan jiwa selain pemandangan seorang ayah mengusir anaknya pergi.

Sang ayah tetap membalik punggung.

Entah karena ia sendiri tak sanggup melihat pemandangan ini, atau karena ia sendiri menyembunyikan air matanya.

Semua yang berada di sana, begitu terpana, sampai-sampai tak sadar bahwa sudah ada 3 bayangan yang hadir di situ pula. Bayangan ini bergerak begitu cepat dan tersembunyi, sehingga tak ada seorang pun yang menyadari kedatangannya.

“Rupanya kau disini. Haha” suara ini adalah suara Yan-wangwe (Hartawan Yan).

“Tidak sia-sia usaha kita” suara ini adalah suara si nona mungil pelayan.

“Hmmmm” suara ini milik seorang tua yang janggutnya menjuntai. Tubuhnya hitam legam. Kepalanya gundul. Ada dua buah anting-anting emas menggantung di telinganya.

Bajunya seperti bhiksu tetapi berwarna mereah darah.

Semua orang yang di sana menatap kaget. Beberapa bhiksu muda itu bergerak cepat.

“Lindungi Thaysu (bhiksu utama)” seru mereka serempak. Dalam sekejap mereka sudah membentuk sebuah barisan pertahanan.

Sam Siu menoleh kaget, dengan cepat ia bergerak menuju Yan Niu Niu dan menariknya pergi.


Alangkah herannya saat ternyata Yan Niu Niu bergerak cepat dan menotok tubuhnya kaku!



Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 23 PERJALANAN SEPASANG KEKASIH"

Posting Komentar