“Jadi apa yang harus kau lakukan? Apakah aku harus menemui Yan-siocia lagi?” tanya Sam Siu.
“Jika kau menemuinya lagi, ia akan mengusirmu pergi” kata A San.
“Aih...jadi apa yang harus kulakukan?’
“Kau tetap harus menemuinya. Jika ia mengusirmu, pergilah. Tapi pastikan bahwa ia tahu kedatanganmu. Perempuan suka dikejar-kejar. Jika kau terlihat susah karena mengejarnya, maka ia akan bahagia karena merasa dirinya berharga dan kau begitu menghargai dirinya sehingga rela kesusahan”
“Hmmm....jadi aku harus menerima saja jika ia mengusirku pergi...nah, jika bertemu kepadanya, apa yang harus ku katakan?”
“Katakan kau mengerti maksudnya. Dan suruh ia menunggu beberapa hari” tukas A San.
“Menunggu untuk apa? Memangnya kau punya rencana apa untukku?”
“Aku punya beberapa rencana, Siu-ko. Tapi kuharap kau percaya padaku. Aku akan menjelaskan rencana itu beberapa hari lagi. Setuju?” jelas A San.
“Setuju!” tanpa pikir panjang Sam Siu mengangguk dan tersenyum.
Entah kenapa, ada banyak orang di dunia ini yang sanggup membuat orang lain percaya sepenuhnya kepada dirinya. Namun hanya teramat sedikit orang yang mampu menjawab kepercayaan itu dengan tanggung jawab.
A San adalah salah satu dari segelintir orang itu.
Pagi-pagi sekali mereka berdua sudah bangun. Mengurusi kuda-kuda yang berada di istal milik keluarga Yan yang kaya raya. Yan-wangwe (Hartawan Yan) mempunyai kesukaan mengumpulkan kuda-kuda pilihan yang mahal-mahal.
A San sendiri tidak memiliki kemampuan mengurusi kuda. Ia hanya percaya sepenuhnya terhadap Sam Siu yang mengaku bisa mengurusi kuda. Awalnya A San mengira Sam Siu mengakui itu agar bisa diterima bekerja pada keluarga ini, rupanya Sam Siu memang betul-betul paham dengan kuda. Dari Sam Siu lah A San belajar banyak hal tentang kuda.
A San rupanya masih merasa sakit di tubuhnya sehingga ia tidak bisa bekerja dengan sepenuhnya seperti biasa. Terkadang ia harus berhenti dan beristirahat untuk memulihkan tenaganya. Sam Siu sendiri bekerja seperti biasa, dan malah menyuruh A San beristirahat sepenuhnya saja di bilik mereka. Tentu saja A San tidak mau. Ia tidak tega melihat sahabatnya itu bekerja keras sendirian, membersihkan kuda-kuda, membersihkan kandang, menyusun jerami, memberi makan, dan sebagainya. Apalagi jumlah kuda-kuda di istal itu ada puluhan ekor.
Saat A San sedang duduk bersandar di sebuah tiang, terdengarlah sebuah bentakan, “Siapa menyuruhmu istirahat?!”
Setelah2 bulan bekerja di sana, kedua orang ini sudah pasti paham siapa pemilik suara ini. Suara yang menggelegar ini adalah milik Yan-wangwe sendiri. Sang Cukong (majikan) ini jika bersuara memang selalu membentak.
Segera A San bangkit dari duduknya, dengan wajah menahan sakit, ia berkata, “Maaf sekali chungcu (panggilan untuk majikan pemilik rumah), hamba sedang sakit jadi tidak bisa bekerja sepenuhnya”
“Kau sakit? Kenapa tidak istirahat?” tanyanya sambil membentak pula. Dari belakangnya sudah muncul juga beberapa orang yang merupakan pelayan dan pengawalnya.
“Hamba merasa kasihan dengan Sam Siu, chongcu (majikan). Jika hamba beristirahat, maka ia harus bekerja sendirian” jelas A San.
“Alasan saja. Kau bekerja supaya upahmu tidak dipotong karena tidak masuk!” bentak Yan-wangwe yang berperawakan gendut dan sedikit botak. “Kalau mau bekerja kau harus sungguh-sungguh. Jika setengah-setengah seperti ini, upahmu akan ku potong!”
A San mengangguk. Sam Siu ingin membelanya tapi setelah dipikir hal ini hanya akan mengeruhkan suasana, Sam Siu mengurungkan niatnya.
“Siapkan kudaku!” bentak Yan-wangwe lagi.
“Baik chungcu (majikan)” sahut mereka berdua sambil bergegas.
Tak berapa lama kuda sudah siap. Kuda pribadi milik Yan- wangwe adalah sebuah kuda hitam yang tinggi besar. Kuda ini adalah kuda pilihan daerah padang rumput yang harganya sangat mahal. Kuda ini sangat setia kepada tuannya, dan lagi sangat pintar. Melihat kudanya sudah bersih, dan wangi, apalagi pelana yang terpasang terlihat mewah dan serasi, Yan-wangwe terlihat puas. Ia lalu berkata, “Untung kerjamu bagus. Hari ini aku tidak memotong upahmu!”
Sambil berkata begitu ia menaiki kuda gagahnya. Kuda ini agak sedikit berontak saat dinaiki juragan gendut ini. Untung Sam Siu dengan sigap sudah menahan kendali kuda dan menenangkan sang kuda gagah ini.
“Aaah! Kuda goblok! Percuma kubeli kau mahal-mahal! Sudah setahun ini masih saja kau tidak mau tunduk pada majikanmu!” Dengan tergopoh-gopoh ia mengendalikan kudanya itu.
Kuda-kuda bagi para pelayan dan pengawal pun sudah disiapkan A San. Beberapa orang ini berlaku kasar dan mendorong A San yang dianggap menutupi jalan mereka, “Minggir!”
A San hanya bisa menyabarkan dirinya, dan meminta maaf. Seluruhnya rombongan itu berisi 6 orang. Mereka kemudian membedal kuda dan berangkat dengan semangat.
Debu mengudara.
Sam Siu hanya tertawa. Katanya, “Begitu galaknya Yan-wangwe sampai-sampai kudanya saja takut dan emoh kepadanya”
“Oh, bukankah kuda pilihan seperti sangat cerdas? Mengapa sampai satu tahun masih belum bisa akrab dengan tuannya. Haha” tawa A San.
“Seperti yang kubilang tadi, mungkin karena Yan-wangwe terlalu galak. Aku saja yang baru bekerja 2 bulan di sini sudah bisa mengakrabkan diri dengan kuda itu.” Tukas Sam Siu.
“Haha. Kau tidak boleh berbicara yang buruk terhadap chungcu (majikan) mu sendiri. Apalagi dia kan calon mertuamu” goda A San.
“Haha. Sialan!” maki Sam Siu sambil melempar lumpur.
Sambil bercanda mereka kemudian masing-masing membersihkan diri lalu bersiap-siap untuk makan siang. Biasanya tak lama lagi lonceng tanda makan siang akan dibunyikan.
A San mencoba memaksa meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku karena terlalu banyak berbaring. Dengan berjalan-jalan sendirian sejenak, ia merasa tubuhnya menjadi lebih segar. Apalagi udara daerah rumah itu yang banyak ditumbuhi pepohonan dan bunga-bungaan segar. Sambil berjalan-jalan, A San memperhatikan suasana sekitar. Ada beberapa orang yang lalu lalang, melakukan pekerjaan masing-masing. Sebuah rumah besar jenis ‘Ceng’ (perkampungan) seperti ini memang memerlukan banyak orang untuk mengurusinya.
Ia dan Sam Siu walaupun baru 2 bulan bekerja di sana, sudah mengenal hampir seluruh pekerja yang ada di Ceng itu. Saat makan siang adalah saat di mana mereka semua bertemu dan bercengkerama dengan akrab.
Mereka berdua pun sangat menikmati saat-saat ini karena inilah saat dimana mereka bisa mempelajari banyak hal tentang tempat ini. Sam Siu tentu saja menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui kabar berita nona kesayangannya. Tidak perlu waktu lama bagi A San untuk melihat Sam Siu sudah duduk semeja dengan nona pelayan yang kemarin datang menemui mereka. Entah apa yang mereka bicarakan.
Di sini, para pekerja jika makan memang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Terkadang ada cerita cinta antar para pekerja ini. A San suka memperhatikan hal ini. Otaknya pun bekerja untuk menebak-nebak apa saya yang terjadi di antara mereka-mereka. Kadang-kadang ia pun tersenyum sendiri.
“Hey, kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya seorang pekerja yang kebetulan duduk berhadapan dengan A San di sebuah meja makan yang panjang.
“Ah, tidak apa-apa, koko (kakak). Hanya teringat sebuah kejadian lucu di masa lalu” jelas A San.
“Kau yang mengurus kuda? Yang menggantikan si tua Souw dan anaknya?”
“Iya benar sekali koko” jawab A San sambil mengangguk.
“Kasihan sekali nasib mereka” kata si pekerja.
“Oh? Memangnya ada apa, koko?” tanya A San
“Aku juga baru tahu hal ini. Beberapa hari yang lalu, ia dan anaknya mati bunuh diri”
“Hah?”
“Iya. Kabarnya harta simpanan mereka hilang dicuri orang. Karena tidak kuat menahan sedih, mereka berdua membunuh diri”
“Aih, sungguh malang sekali nasib mereka”
“Itulah. Aku dan beberapa pekerja di sini rencananya akan datang melayat ke rumahnya sehabis makan siang. Sekedar memberikan sumbangan ala kadarnya” jelas si koko.
“Apakah aku boleh ikut, koko?” tanya A San sungguh-sungguh.
“Eh? Beneran? Terserah sih. Kau toh kan tidak mengenalnya?”
“Yah, mendiang Souw-lopek (orang yang sudah tua) kan merupakan orang yang aku gantikan, rasanya cukup pantas jika aku dan Sam Siu datang melayat”
“Baiklah. Terserah kau saja”
Setelah melanjutkan makan, mereka pun berangkat ke rumah duka. Rumah si tua Souw berada di sebuah desa yang berada di luar kota kecil itu. Walaupun tidak terlalu jauh, jaraknya pun tidak dekat.
Sesampai di sana rumah duka terlihat cukup banyak orang, meskipun tidak terlalu ramai. Rupanya si tua Souw ini merupakan orang yang baik di daerah itu sehingga banyak tetangga yang turut berduka pula.
A San dan rombongan berbaur dengan para pelayat. Dari carita para tetangga, ia baru tahu jika ternyata si tua Souw tinggal sendirian bernama anak laki-lakinya. Istrinya sudah mati lama. Anak laki-lakinya sendiri juga merupakan pemuda yang otaknya sedikit ‘terbelakang’. Mereka hidup dari bekerja di rumah Yan-wangwe.
“Kasihan sekali nasib Souw-lopek, mereka sudah bertahun-tahun bekerja pada Yan-wangwe, tanpa sebab akibat mereka dipecat” cerita salah seorang pelayat yang merupakan tetangga si tua Souw.
“Dipecat?” tanya A San.
“Iya. Yan-wangwe memang begitu. Namanya sudah terkenal sebagai hartawan yang semaunya sendiri. Jika tidak suka, langsung main pecat. Kau kan kerja di sana. Masa tidak tahu?” nampaknya si pelayat ini tidak menutup-nutupi ketidaksukaannya terhadap hartawan itu.
“Aih, Souw-lopek tidak pernah bercerita apa-apa. Kami para pekerja juga tidak diberitahukan oleh atasan kami tentang pemecatan Souw-lopek....sungguh menyedihkan...” tukas A San sungguh-sungguh.
“Kau harus berhati-hati saat bekerja di sana. Salah sedikit kau bisa dipecat! Lalu kemudian kau mati bunuh diri. Kami sampai kerepotan membersihkan muntahannya di mana-mana?”
“Muntah?”
“Ya! Ia mati minum racun bersama anaknya itu. Sungguh menyedihkan.”
“Minum racum? Ah menyedihkan sekali. Racun apa gerangan?” tanya A San.
“Entahlah racun apa. Sepertinya ia mencampurkan sendiri racun itu ke dalam makanan atau minumannya”
“Aih, sungguh malang sekali nasib Souw-lopek. Kudengar ia bunuh diri karena uang tabungannya dicuri orang?” tanya A San.
“Sepertinya begitu. Minggu lalu rumahnya kebobolan maling. Dari yang kudengar ia kehilangan uang pesangon setelah dipecat Yan-wangwe.”
“Sungguh malang nasib Souw-lopek, ia pasti sedih sekali saat kejadian itu” kata A San penuh simpati.
“Ya sebenarnya kasihan. Tapi uang pesangon itu tidak seberapa. Lagian ia juga saat mengalami pencurian itu terlihat tabah dan sabar. Cuma, yah, entahlah. Kita kan tidak tahu isi hatinya. Bisa jadi ia hanya menutupi saja perasaan hatinya” tukas si tetangga.
“Oh, apakah Souw-lopek meninggalkan surat atau pesan terakhir?”
“Setahuku sih tidak. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Sungguh malang memang nasibnya. Keluarga sudah tidak punya. Hanya kamilah para tetangga mengurusinya saat ini.”
A San manggut-manggut mendengar cerita panjang lebar dari si tetangga tersebut. Tak lama kemudian mereka harus minta diri untung segera pulang meneruskan pekerjaan.
Saat pulang A San melihat Sam Siu sedang bersantai. Ia memang tidak ikut melayat karena harus menjaga istal kuda. Mereka memang sering berjaga bergantian jikalau salah seorang memiliki keperluan keluar rumah itu.
“Kabar apa yang kau dengar si nona mungil itu?” tanya A San langsung.
“Eh, tahu darimana kau jika aku mendapat kabar bagus?”
“Wajahmu bercahaya sampai ke rumah duka Souw-lopek. Hahah” tawa A San.
“Si nona mungil itu cerita kalau nona besarnya masih marah-marah. Katanya aku bodoh dan tolol” kata Sam Siu.
“Dimaki bodoh dan tolol kok kau malah senang?” kata A San menggoda.
“Kan kau yang cerita sendiri, jika perempuan memaki seorang laki-laki bodoh dan tolol, itu berarti si perempuan memiliki kemauan dan keinginan yang tidak dimengerti oleh si laki-laki” jelas Sam Siu.
“Nampaknya kau sudah memahami sekali pelajaran yang kuberikan, Siu-ko.
Jika begini terus kurasa kau harus memanggilku ‘suhu’ (guru).” Tawa A San.
“Aku justru akan memanggil ‘kongkong’ (kakek) kepadamu. Pengetahuanmu tentang sifat perempuan sungguh tiada bandingnya. Hahahah. Jika bukan karena pengalaman ratusan tahun bersama ribuan perempuan, ku kira kongkong (kakek) ku yang tercinta ini tidak mungkin selihai ini. Hahaha”
A San iku tertawa pula. Ia telah memutuskan sejak beberapa tahun yang lalu, bahwa untuk segala urusan mengenai perempuan, ia hanya akan tertawa.
Menangis tidak akan menyelesaikan masalah.
Ia sudah terlalu lihai dalam menangis. Kali ini ia belajar untuk tertawa.
Walaupun segala urusan di dunia ini tidak dapat diselesaikan dengan tawa, urusan-urusan ini tak dapat pula diselesaikan dengan menangis.
Ia telah menderita cukup lama, telah berpikir cukup lama. Segala kepedihan yang telah dilaluinya membuatnya belajar banyak hal. Membuatnya memperhatikan banyak hal.
Dirinya bukan manusia sempurna yang mengerti dan menguasai segala hal. Bukan makhluk paling cerdas dan cakap dalam mengatasi segala persoalan. Ia memiliki kelemahan-kelemahannya sendiri. Memiliki sisi menyedihkan yang tidak ingin ia tunjukkan kepada orang lain.
Jadi ia memilih tertawa.
Selama ini ia sudah begitu ahli dalam menertawakan dirinya sendiri. Jika orang lain menertawakan dirinya, ia akan tertawa lebih keras daripada orang lain.
Jadi ia memilih tertawa.
Semua orang di dunia ini sebaiknya memilih tertawa pula.
Dunia yang semuram ini harus sedikit dicerahkan oleh tawa manusia.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan, Siu-ko?” tanya A San setelah puas tertawa.
“Aku akan datang lagi kepadanya nanti malam” tegas Sam Siu dengan yakin.
“Lalu apa yang akan kau katakan kepada Yan-siocia. Apakah seperti rencana kita semalam? Mengatakan bahwa kau ‘memiliki rencana untuknya’?”
“A..ku masih belum yakin...” ujar Sam Siu.
“Kau memaksa datang menemui seorang perempuan, tapi tak yakin apa yang ingin kau bicarakan?” tanya A San tersenyum.
“Ia akan menganggapku sudah gila bukan? Aih......”
“Haha. Ia justru akan menganggapnya ‘manis’. Datanglah kepadanya dan katakan ini kepadanya. Katakan bahwa kau hanya ingin menemuinya. Hal yang lain tidaklah penting. Menemuinya adalah hal yang paling penting di dunia ini.”
“Jika ia merengut dan mengusirku seperti tadi malam?”
“Katakan bahwa kau sudah memiliki rencana dan berharap agar ia bersabar”
“Sebenarnya apa sih rencanamu?” tanya Sam Siu penasaran.
“Kau kan sudah berjanji untuk percaya kepadaku, Siu-ko?” senyum A San.
“Iya. Tetapi aku tetap penasaran. Ini kan menyangkut hidupku, aku harus tahu”
Ini menyangkut hidup banyak orang.
A San tersenyum, “Jika semuanya sudah selesai ku atur, yakinlah bahwa kau orang pertama yang kuberitahu, Siu-ko. Percayalah kepadaku”
“Baiklah”
Dua orang sahabat yang saling percaya, rasanya cukup memberi harapan di dalam kehidupan yang muram ini.
Setelah menyelesaikan pekerjaan sore hari. Mereka pun masih menungguh kedatangan Yan-wangwe kembali. Kuda-kuda yang dipakai rombongan itu harus diurus pula. Bekerja sebagai pengurus kuda harus selalu siap sedia setiap waktu. Harus menjaga dan merawat hewan-hewan itu, dan mempersiapkan mereka jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Untunglah menjelang gelap rombongan Yan-wangwe sudah pulang sehingga Sam Siu dan A San tidak perlu menunggu terlalu lama.
Setelah cukup beristirahat sampai hampir tengah malam, Sam Siu pun bangkit untuk membersihkan diri dan berdandan. A San yang saat itu tertidur, untuk menghilangkan sakit karena totokan yang masih sedikit tersisa, akhirnya harus terbangun juga.
“Kau sudah siap?” tanyanya.
Sam Siu mengangguk. “Doakan aku!” bisiknya lirih sambil menepuk pundak A San, yang kemudian dibalas pula oleh A San. “Tentu saja. Hati-hati!”
Sam Siu pun berangkat.
Sebenarnya A San ingin menyelinap dan mengikuti Sam Siu juga. Tapi setelah berpikir sebentar, ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya.
Cahaya lentera di bilik itu sudah dimatikan sejak tadi. Dengan sigap ia bergerak cepat, memeriksa segala isi bilik kecil itu. Ia ingin tahu siapa Sam Siu sebenarnya.
Selama 2 tahun ini, ia tak pernah menanyakan asal usul Sam Siu. Sebaliknya, Sam Siu pun tidak pernah menanyakan asal-usul A San. Mereka berdua bersahabat akrab tanpa memahami latar belakang masing-masing.
Kini A San memutuskan untuk mencari tahu.
Di dalam kegelapan matanya bersinar terang. Saat kecil dulu ia pernah hidup cukup lama di dalam kegelapan, sehingga otot dan syaraf matanya terlatih melihat di dalam kegelapan.
Tubuhnya pun memiliki kemampuan untuk bergerak amat sangat cepat. Bahkan di dunia ini, boleh dibilang gerak tubuhnya lah yang paling cepat di antara manusia-manusia yang tercipta di kolong langit ini.
Ia telah memeriksa seluruh yang harus diperiksa. Ia meninggalkan bagian yang paling ia curigai untuk diperiksa terakhir. Selama ini ia selal memperhatikan mata dan perhatian Sam Siu mengarah ke salah satu kaki dipan mereka. Seseorang yang menyimpan barang harga di suatu tempat, selalu akan berusaha menutupinya. Tetapi justru ada saat di mana ketika nalurinya mendorongnya untuk melakukan kekeliruan dan menunjukkan rahasianya.
A San telah menguasai hal-hal semacam ini dengan sangat baik.
Ia lalu mengangkat dipan itu dan memperhatikan. Kaki dipan itu terbuat dari bambu oleh sebab itu memiliki ruang di dalamnya. Di dalam ruang itu ia menemukan sebuah kotak kecil.
Kotak kecil berwarna merah terang.
Di dalam kotak itu terdapat sebuah cincin indah dari bahan berwarna merah pula. Bahan ini terbuat dari sejenis batu-batuan kristal merah yang indah.
Ada tulisan sebuah huruf yang terukir di cincin itu ‘Ma’.
‘Ma’ berarti kuda.
Cincin ini walaupun bukan cincin murahan. Juga bukan cincin mahal yang langka. Bahan untuk membuat cincin ini adalah sebuah bahan dari kristal yang biasanya dijadikan sebagai bahan pewarna.
Pewarna yang dihasilkan pun berwarna merah seperti batu kristal itu.
Merah seperti ini, dalam bahasa Hokkian di sebut ‘Cu’ (mandarin: Zhu. Dalam bahasa Inggris, warna ini disebut ‘Vermillion’ atau ‘Scarlett’). Para pelukis dan seniman menggunakan bahan ini sebagai pewarna. Para tabib menggunakan surbuknya untuk pengobatan.
Tidak ada yang aneh dari cincin ini. Tulisannya pun tidak aneh. Yang aneh adalah bahan batu kristal seperti ini sangat jarang dipakai untuk membuat cincin. Itu saja.
Tulisan ‘Ma’ yang berarti ‘Kuda’ pun tidak mencurigakan. Kata ‘Ma’ ini bisa merupakan nama ‘she’ (marga) keluarga yang umum di Tionggoan. Mungkin saja nama keluarga Sam Siu yang sebenarnya adalah ‘Ma’. Atau bisa pula nama ini merupakan penghormatan kepada pemilik cincin ini untuk kepandaiannya mengurusi ‘Kuda’.
A San semakin bersemangat untuk mencari tahu.
Setelah penyelidikannya selesai, ia lalu mengembalikan benda itu ke tempat semula. Ia sendiri sudah sangat lihay untuk memperkatikan letak sebuah benda sesuai posisinya. Jadi jika ia menyentuhnya sedikit saja, ia tahu bagaimana cara mengembalikannya ke tempat semula.
Kemampuan ini berlaku untuk barang orang lain. Dan terutama bagi barang-barangnya sendiri. Jika ada sedikit saja perubahan terhadap letak posisi benda apapun di sekelilingnya, ia akan tahu. Oleh karena itu ia tahu jika sebelumnya ada orang lain datang memeriksa ke bilik mereka saat mereka sedang makan siang tadi. Ia pun juga tahu bahwa orang yang menyusup dan memeriksa bilik mereka ini pun sudah tahu keberadaan cincin milik Sam Siu.
Kepandaian ini tidak ia dapatkan sejak lahir. Ia mengembangkannya perlahan-lahan. Apalagi seorang sahabat karibnya pun membimbing dan mengajarkannya tentang hal ini.
Teman karibnya itu bahkan mendapat julukan “Raja Maling”.
Semua orang di muka bumi tahu dan kenal siapa ‘Raja Maling’. Semua orang di muka bumi pun tahu siapa nama sahabat karib dari si ‘Raja Maling’ ini.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 20 CINCIN BERWARNA MERAH"
Posting Komentar