Wan Gui masih menatap jauh ke depan. Matanya tak pernah ingin melepas bayangan itu pergi. Cio San tahu, tak ada yang sanggup ia lakukan.
Ia berbalik lalu menghadap kepada ayah Wan Gui. Ia berlutut dan memberi hormat,
“Semoga Kaisar panjang umur!”
Ayah Wan Gui diam saja. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Lalu dengan suara halus ia berkata, “Aku sudah bukan kaisar lagi, tidak perlu sungkan”
Cio San masih berlutut.
“Bangkitlah!” perintahnya masih berwibawa. Suaranya masih membuat hati gentar. Orang ini masih pantas menjadi kaisar.
Cio San berdiri, ia tahu sang ‘kaisar’ ini tidak ingin diperlakukan seperti kaisar lagi. Sambil menjura, Cio San berkata, “Hamba mengusulkan bagi Yang Mulia untuk segera menyelamatkan diri dari sini”
“Kami pun mengusulkan hal yang sama” sahut kelima orang bhiksu pengawalnya.
Ayah Wan Gui lalu bepikir sebentar, ia berkata, “Aku tidak ingin lari dan bersembunyi lagi. Biarlah mereka datang. Aku hanya ingin menitipkan Kitab Bu Bok kepada kau, Cio San. Bawalah dan jaga kitab ini jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat”
Cio San menunduk, betapa ia tidak mungkin memaksa orang ini untuk berubah pendapat.
“Yang mulia, jika jalan kehidupan masih bisa diambil, mengapa memilih jalan kematian?” tanyanya sopan.
Sang ‘kaisar’ menatap Cio San dalam-dalam dan berkata, “Aku sebenarnya sudah mati sejak dahulu. Tetapi langit masih memberi kesempatan untuk bertobat dan mengikuti jalan buddha. Kehidupan sudah tidak berarti bagiku,” jawabnya datar.
Cio San menjura lagi, “Jalan buddha adalah jalan kehidupan, pengasihan, dan pengampunan. Hamba yakin, Yang Mulia akan memilih jalan ini.”
Lelaki setengah baya itu terdiam. Di matanya mengambang air mata. Ia menatap pula punggung anaknya yang masih berdiri di kejauhan, melepas pergi orang yang dikasihinya.
“Kehidupan manusia penuh nafsu. Seseorang tak pernah bisa lepas dari hal ini sampai ia mati,” katanya sambil menerawang jauh. “Tapi kau benar, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang tidak menghargai kehidupan”
Betapa bahagianya Cio San mendengar hal ini.
Sang ‘kaisar’ menoleh kepada para bhiksu pengawalnya dan berkata, “Para saudaraku sekalian, mari kita pergi!”
Agak terhenyak juga Cio San mendengar ini. Pergi ke mana? Kenapa tidak membuat persiapan? Bekal?
Tapi ia adalah orang yang berpikiran ‘mengalir’. Ia cuma tidak menyangka ada orang yang berpikiran yang sama seperti dirinya.
Kelima hweesio itu memimpin jalan di depan. Sang ‘kaisar’ mengikuti dari belakang. Cio San menoleh kepada sahabatnya yang jauh berdiri di sana.
Ia berjalan padanya dan menyentuh pundaknya.
“Siu-ko, ayo kita pergi”
Sahabatnya itu menoleh kepadanya sebentar. Lalu membuang muka. Cio San mengerti bahwa sahabatnya ini sedang murka kepadanya. “Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu” katanya pelan.
Sam Siu tidak menoleh. Ia berjalan mengikuti rombongan yang tadi sudah berangkat. Cio San mengikutinya dari belakang.
Perjalanan ini melalui gerbang belakang bio (kuil). Seorang bhiksu pengawal mundur ke belakang Cio San dan mulai menghapus jejak. Nampaknya ia sangat terlatih dalam hal ini. Setelah beberapa jam mereka berjalan menembus hutan dan menaiki bukit, sampailah mereka di depan sebuah air terjun kecil yang indah.
Cio San terkagum-kagum saat melihat keindahan ini. Apalagi pantulan percikan air menciptakan pelangi kecil yang melengkung indah. Selain dia, tiada satu pun dari rombongan ini yang kagum. Sepertinya mereka memang sudah sering ke tempat ini.
Jalan yang kemudian mereka ambil adalah sebuah jalan setapak yang sangat licin. Bebatuan pegunungan yang keras dan terjal pun mereka lalui. Bahkan sampai harus merangkak, memanjat, dan merayap.
Lalu mereka sampai tepat di balik air terjun. Suara air terjun itu lumayan keras juga. Percikan airnya sampai membasahi tubuh mereka semua. Salah satu bhiksu pengawal lalu menekan sebuah batu. Ternyata batu ini berfungsi sebagai sejenis tuas yang membuka sebuah pintu rahasia.
Di balik pintu ini ternyata adalah sebuah goa rahasia yang indah. Mereka semua masuk, dan kembali si pengawal menutup pintu rahasai dari dalam.
Melihat keadaan goa ini, Cio San teringat keadaan dulu saat ia terjebak di goa bawah tanah. Suasananya hampir mirip, kecuali bahwa goa ini ternyata memiliki sinar matahari yang masuk melalui atap dan dinding batu yang memiliki lubang-lubang.
Di dalam goa pun mengalir sungai kecil serta memiliki tumbuh-tumbuhan beraneka ragam. Mungkin karena cahaya matahari yang masuk, serta persediaan yang cukup banyak, tanaman ini dapat tumbuh dengan subur.
Persedian makan dan minum yang berlimpah, tempat tinggal yang tersembunyi, suasana yang bersih dan sehat, goa ini adalah sebuah tempat persembunyian yang sempurna!
“Kau pasti heran melihat keadaan goa ini. Aku justru menemukan tempat ini berdasarkan petunjuk yang berada di dalam kitab Bu Bok,” kata sang ‘kaisar’ kepada Cio San yang mendengarkan dengan mengangguk-angguk.
Mereka kemudian beristirahat dengan cara duduk bersandar. Beberapa orang pengawal memetik buah dan mengambilkan air minum.
Setelah selesai menikmati makanan ini, sang ‘kaisar’ berkata, “Kau nampaknya harus menceritakan asal mula keadaan ini, Cio-hongswee.”
Bahkan kaisar yang ini pun memanggilnya dengan sebutan Hongswee. Sang jenderal Phoenix!
Cio San bercerita tentang awal pertemuannya dengan Sam Siu atau Wan Gui. Ia bercerita pula saat mereka di terima kerja di rumah keluarga Yan.
“Ketika mengetahui bahwa nona Yan menyukai Siu-ko (kakak Siu), hamba menjadi curiga. Walaupun cinta antara wanita kaya raya dan pemuda miskin memang pernah ada, tetapi hal ini lebih banyak terjadi di dalam puisi dan cerita-cerita karangan penyair belaka,” jelas Cio San.
Sang ‘kaisar’ hanya tersenyum. “Lanjutkan.”
Sam Siu atau Wan Gui yang mendengarkan dari jarak yang cukup jauh hanya memandang wajah tak perduli. Ia menatap kosong ke langit-langit goa.
“Hamba hanya curiga, apa maksud nona Yan sebenarnya. Apalagi ada kejadian ia dijodohkan lalu seolah-olah memancing Siu-ko untuk kawin lari. Dalam pengetahuan hamba, seorang perempuan secantik nona Yan, yang hidup dalam kemewahan dalam seumur hidupnya, pasti akan berpikir 1000 kali untuk kawin lari dengan seorang pemuda....yang...eh..tidak memiliki apa-apa”.
Si kaisar tak tahan untuk memotong, “Kau nampaknya memiliki kebencian terhadap perempuan?”
Cio San ingin tertawa dan berdalih, tapi akhirnya ia berkata, “Walaupun hamba tidak membenci perempuan, hamba memeiliki beberapa pengalaman yang mengajarkan kepada hamba untuk lebih hati-hati dalam menghadapi perempuan”
Sang ‘kaisar’ ini tersenyum bijak.
Cio San melanjutkan, “Hamba terpaksa harus menyelidiki hal ini. Kecurigaan hamba terbukti ketika suatu hari, saat hamba sedang berjalan dengan Siu-ko, hamba ditotok seorang tidak dikenal. Ini bukan totokan mematikan. Si pelaku hanya ingin tahu apakah hamba bisa silat. Dengan begitu dia bisa menyusun rencana seandainya hamba terlibat dalam urusan ini. Dia pun hanya ingin tahu apakah hamba merupakan pengawal rahasia dari Siu-ko. Oleh karena itu hamba merelakan ditotok, agar jati diri hamba tidak diketahui.”
Lanjutnya,
“Kecurigaan hamba bertambah pula saat hamba menyadari bahwa kuda kesayangan Yan-wangwe (hartawan Yan) ternyata tidak menyukai tuannya sendiri”
“Dari mana kau tahu?” tanya sang ‘kaisar’.
“Hamba menyadari saat Siu-ko berkata si kuda ini merasa tidak nyaman saat dikendarai Yan-wangwe. Padahal kuda itu sudah menjadi tunggangannya selama setahun lebih. Kesimpulan yang hamba ambil adalah bahwa, sang kuda tahu bahwa orang yang menungganginya ini bukan lah tuannya”
‘Kaisar’ tua itu hanya mengangguk-angguk.
“Begitu menyadari ini, hamba mencari tahu keadaan pengurus kuda sebelum kami. Katanya ia dipecat tanpa sebab. Ia kemudian mati bunuh diri meminum racun. Tapi menurut perhitungan hamba, ia tentu dibunuh. Mengapa dibunuh? Karena sebagai pengurus kuda, ia pasti sadar juga bahwa Yan-wangwe yang ini adalah Yan-wangwe palsu! Kudanya sendiri tidak mengenalnya. Padahal selama ini Yan-wangwe begitu akrab dengan kudanya. Karena hal inilah si tukang kuda itu dibunuh untuk menghilangkan kecurigaan. Ia katanya mati bunuh diri dengan mencampurkan racun ke dalam makanan dan minumannya. Tetapi orang yang mau berpikir akan mengerti bahwa jika seseorang ingin bunuh diri dengan racun, ia akan langsung meminumnya. Tidak perlu mencampurkan dengan makanan atau minuman. Pasti ada orang lain yang menaruh racun di makanan dan minumannya”
“Pemikiran yang bagus” puji sang ‘kaisar’.
“Setelah mengetahui bahwa Yan-wangwe ini palsu, maka hamba pun mengambil kesimpulan bahwa Yan-siocia (nona Yan) juga palsu. Kini yang hamba perlukan hanyalah alasan mereka melakukan semua ini.”
Lanjutnya, “Hamba baru bisa mengerti alasan semua ini, setelah hamba, eh, menemukan cincin milik Siu-ko (kakak Siu)”
“Oh, jadi kau pun memeriksa barang ku pula. Bagus sekali perbuatanmu” tukas Sam Siu dari jauh.
“Lanjutkan ceritamu, Cio San” perintah sang ayah.
“Dari cincin itu, hamba mengetahui siapa Siu-ko yang sebenarnya”
“Nah, menarik. Coba jelaskan bagaimana kau mengetahui jati dirinya hanya berdasarkan sebuah cincin.”
“Awalnya tiada yang aneh. Sebuah cincin berwarna merah dengan ukiran huruf “Ma” atau yang berarti ‘Kuda’. Pertamanya hamba mengira huruf ini adalah she (marga) asli dari Siu-ko. Atau juga mungkin nama julukan, karena Siu-ko sangat ahli dalam urusan kuda”
Lanjutnya,
“Sampai saat itu, hamba belum bisa menebak siapa Siu-ko sebenarnya. Pikiran hamba baru terbuka setelah hamba menyadari bahan cincin itu. Cincin itu terbuat dari bahan yang tidak umum. Walaupun bahan itu bahan umum, tetapi jarang sekali orang membuat cincin dari bahan ini. Bahan ini bernama ‘Cu’ (Zhu dalam dialek mandarin. Berarti ‘Vermililion’, atau bahan ‘Cinnabar’ sejenis bebatuan yang dipakai juga untuk bahan pewarna).”
“Apa yang kau temukan dalam bahan ‘Cu’ itu?” tanya sang ‘kaisar’.
“Nama asli keluarga kekaisaran yang sekarang adalah she (marga) 'Cu'. Hamba menemukan setelah mencoba mengingat-ingat sejarah. Kaisar kedua di dalam dinasti ini, bernama Cu Yun Wan. Ia diangkat menjadi kaisar pada umur 14 tahun, menggantikan ayahnya yang meninggal sebelum menjadi kaisar. Pengangkatan ini mengakibatkan adik dari ayahnya yang merasa lebih berhak, untuk memberontak. Sang pemberontak itu kemudian menjadi kaisar ketiga dinasti Beng, bernama kaisar Yong Lu.”
Si bhiksu ini hanya mengangguk-angguk sambil memejamkan mata.
“Nasib kaisar kedua ini tiada seorang pun yang tahu. Istananya dibakar seluruh keluarganya meninggal. Tapi hamba mengetahui dari cincin itu, dengan bahan ‘Cu’ yang melambangkan nama keluarga, serta huruf ‘Ma’ atau ‘kuda’ yang merupakan nama marga asli dari permaisuri. Setelah hamba mengingat-ingat, nama permaisuri itu adalah...”
“Cukup. Jangan kau sebut namanya,” air mata telah meleleh di pipi sang ‘kaisar’. “Lanjutkan saja ceritamu.”
“Setelah hamba mengetahui latar belakang ini, hamba mengambil kesimpulan bahwa Siu-ko adalah keturunan dari kaisar ini. Ia mungkin selamat dari pembakaran istana dan pembunuhan keluarganya. Dan mungkin saja ia membawa pusaka-pusaka berharga. Karena setahu hamba, banyak pusaka dan kitab yang hilang saat pembakaran istana itu.”
“Mengetahui ini, hamba mencoba memainkan saja permainan ini. Menyusun rencana sebaik mungkin agar para penjahat ini tidak mengetahui bahwa hamba sengaja melakukannya justru agar dapat membongkar persekongkolan ini. Karena jika tidak ditangkap tangan, amat sangat sulit membuktikannya.”
Lanjutnya,
“Hamba menuliskan rencana dengan matang, lalu mengumpulkan beberapa anak buah hamba yang tersebar di kota itu. Kemudian membuntuti para penjahat itu kemari. Sisanya, Yang Mulia sudah mengerti sendiri.”
“Bagus” tukas sang kaisar. “Kau memang memiliki kemampuan. Sungguh tidak menyesal aku bertemu denganmu. Tidak menyesal”
Tetapi di seberang sana, anaknya merasa sungguh menyesal. Wajahnya masih membatu, matanya pun masih menerawang.
“Kau telah bercerita cukup panjang. Kini giliranku yang bercerita.”
“Hamba mendengar dengan seksama, Yang Mulia” kata Cio San.
“Kejadian itu pemberontakan itu memang benar. Pamanku sendiri yang menghancurkan istanaku. Saat itu aku menggendong Wan Gui, dan anakku yang pertama digandeng oleh istriku. Entah bagaimana ia sedikit tertinggal di belakang, lalu sebuah kayu palang atap terbakar dan roboh. Memisahkan kami. Aku hendak kembali tetapi para pengawal melumpuhkanku dan aku hilang kesadaran. Tahu-tahu aku sudah berada di tempat lain. Saat kami kabur, beberapa pengawalku sempat menyelamatkan sebagain pusaka yang penting, termasuk Kitab Bu Bok. Berdasarkan petunjuk dalam kitab inilah aku menemukan tempat ini. Dengan sisa uang yang ada kami membangun kuil buddha dan hidup menyepi disini. Kau tentu tahu apa isi kitab Bu Bok bukan?”
Cio San mengangguk dan menjawab, “Kitab itu adalah kitab kuno yang ditulis oleh jendral Gak Hui (Yue Fuei dalam dialek mandarin). Kitab ini berisikan segala petunjuk mengenai peperangan. Konon katanya siapapun yang menggunakan petunjuk yang ada di dalamnya tidak ada kalah dalam perang. Saat menghadapi serbuan bangsa Goan (Mongol) dahulu, leluhur pendekar besar nan sakti, Kwee Ceng, menyimpan kitab ini di dalam golok sakti bernama ‘Golok Pembunuh Naga’. Dalam perjalanannya, tetua hamba di Bu Tong-pay, Thio Bu Kie-cianpwee (yang lebih tua) lah yang memiliki kitab itu. Kemudian saat beliau mengundurkan diri, kitab ini beliau serahkan kepada orang yang kemudian menjadi kaisar pertama, Yang Mulia Cu Guan Ceng, yang merupakan kakek dari anda, Yang Mulia.”
“Benar sekali. Oleh karena itu, kitab ini adalah warisan leluhur kita. Harus dijaga dan tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat. Jika tidak, seluruh kerajaan ini akan hancur.”
Cio San menjura.
“Ketahuilah bahwa kerajaan pun selama ini mengejar-ngejar aku. Mereka mengira dengan membawa kitab ini, aku akan mengumpulkan pasukan dan memberontak. Padahal tidak ada niatku sama sekali. Aku hanya berharap kitab ini jangan lagi digunakan untuk menyerang dan membunuh orang lain. Sampai kaisar yang ketiga, yaitu pamanku, wafat pun, kerajaan sampai saat ini masih mengejarku. Oleh karena itu, jika kau bersedia, kumohon bawalah saja kitab ini. Biarkan aku hidup tenang, dan mengikuti jalan Buddha” sambil berkata begitu, ia lalu beranjak mengambil sesuatu dari balik dinding di belakang tempat duduknya. Sebuah kitab. Lalu ia menyerahkannya dengan sopan dan sambil menunduk kepada Cio San.
Sekali lagi pendekar muda ini menjura. Diberikan tugas seberat ini, entah bagaimana ia menjalankannya. Apalagi sang kaisar yang terusir ini sampai membungkuk sedemikian rupa kepadanya.
“Terima kasih atas apa yang sudah kau perbuat. Omitohoud (Buddha welas asih)...Omithoud....” sang kaisar memberi salam seperti kaum Buddha lalu memejamkan matanya dan bersemedi.
Cio San bersoja (berlutut dan memberi hormat) sebentar, lalu berdiri dari situ. Kelima pengawal pun nampaknya sudah menutup mata dan bersemedi pula.
Hanya Sam Siu atau Cu Wan Gui yang masih membuka mata. Sepasang mata itu pun menatap Cio San dengan sangat tajam.
“Ada banyak hal yang harus kau jelaskan kepadaku”
“Begitu banyak, dari mana harus ku mulai?”
“Tentang cinta sejati. Kau berjanji menunjukkan kepadaku tentang cinta sejati. Nampaknya berupa kebohongan belaka.”
“Justru apa yang terjadi padamu adalah cinta sejati” kata Cio San sungguh-sungguh.
“Jelaskkan kepadaku”
“Cinta sejati, bukanlah cinta yang berakhir dengan kebahagiaan. Walaupun banyak yang berakhir dengan bahagia, banyak pula yang berakhir menyedihkan. Tetapi cinta sejati adalah cinta sejati. Memiliki dirinya atau tidak, kau tetap menyayanginya. Mengharapkan kebahagiaan dan kehidupan terbaik kepadanya. Mendoakannya, bahkan menantinya. Ia akan melukaimu berkali-kali, tapi kau tahu dengan pasti, kau pun akan memaafkannya berkali-kali pula. Karena cinta sejati mengalahkan takdir. Takdir mungkin akan mempersatukan dua orang di dalam pernikahan, tetapi takdir tak dapat menghalangi seseorang untuk terus mencintai meskipun apapun yang terjadi. Karena cinta sejati adalah milik hatimu. Bukan milik orang lain, bukan milik takdir. Engkaulah yang akan menentukan untuk terus mencintainya atau tidak. Kau menuliskan takdirmu sendiri terhadap perasaan cintamu. Inilah yang dinamakan cinta sejati”
Mendengar penjelasan yang panjang lebar itu, Cu Wan Gui hanya terdiam. Air mata mengalir deras di pipinya.
Cio San melanjutkan,
“Jika kau tidak mengalami kejadian memilukan seperti ini, kau tak akan pernah tahu cinta yang sebenarnya. Jika aku membongkar semua persekongkolan ini dari awal, kau tak akan mencintai Lim Siau Ting dengan begitu dalam. Walaupun ia palsu, yang kau tak tahu wajah aslinya seperti apa, sifatnya seperti apa, kehidupannya seperti apa, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu memaafkan segala kebohongannya. Akan membuatmu menerima dia apa adanya. Membuatmu menanti di dalam penantian yang panjang hanya untuk bertemu dengannya sekali saja”
“Kau rela membiarkanku jatuh ke dalam penderitaan sekejam itu?” tanya Cu Wan Gui.
“Umpama aku harus membuangmu ke dalam sebuah jurang penuh ular berbisa, asalkan aku yakin kau akan selamat dan akan berubah menjadi seorang lelaki yang lebih baik, aku akan tetap melakukannya”
Cu Wan Gui mengangguk. Ia mengerti sekarang. Air mata masih meleleh di pipinya. Air mata persahabatan!
“Baik! Kau pergilah. Saat aku telah menjadi lelaki sejati seperti yang kau inginkan, aku akan mencarimu!” katanya tegas dan lantang.
Cio San mengangguk, “Ketika saat itu tiba, giliran kau yang akan melemparkanku ke jurang penuh ular agar aku bisa menjadi orang sepertimu!”
“Baik!”
“Baik!”
“Aku pergi!”
“Selamat jalan, sahabat!”
Jian Wen emperor |
0 Response to "EPISODE 2 BAB 25 YANG MULIA"
Posting Komentar