Cio San sudah bercukur. Rambutnya disanggul rapi. Tubuhnya pun kini sangat wangi. Sekilas ia teringat Beng Liong yang memiliki wangi yang khas. Hatinya terasa kecut kita memikirkan sahabatnya itu. Tetapi ia mengeraskan hatinya dan mencoba melupakannya. Baju baru yang disediakan para pelayan di rumah itu untuk Cio San terlihat sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya. Wajahnya terlihat jauh lebih muda. Cahaya terang bersinar dari raut wajahnya yang gembira.
Ia pergi ke Lai-Lai. Tempat yang menyimpan begitu banyak cerita. Ia pernah tinggal di sana cukup lama. Ia hafal hampir seluruh sudut tempat itu. Tetapi tempat itu sudah amat berubah. Saat sampai di pintu depan, seorang pelayan menyapanya, “Maaf tuan, tempat kami penuh. Tuan bisa memesan tempat, tetapi harus menunggu cukup lama”
“Oh, aku sudah memesan tempat,” sahut Cio San sambil tersenyum. “Atas nama A San.” Sang pelayan memandang catatannya sebentar lalu tersenyum dan mengangguk, “Ah, mari silakan masuk tuan.”
Si pelayan mengantar Cio San duduk di kursinya. Kebetulan tempat itu berada di pojok dan mejanya kecil, hanya cukup untuk dua orang. “Maaf hanya tempat ini yang tersedia, tuan,” kata si pelayan. Cio San memuji, “Ah sempurna sekali. Cocok.”
“Baiklah kalau tuan suka. Tuan ingin memesan apa? Kami punya masakan dan arak terbaik. Kalau boleh menyarankan, saya menyarankan bebek panggang merah tabur kacang, dan arak gun siu. Itu adalah masakan unggulan kedai kami.”
Melihat si pelayan yang tangkas dan ramah, Cio San tersenyum senang dan berkata, “Kedengarannya enak! Baiklah, aku memesan itu saja.”
Ia tahu masakan itu harganya mahal. Tetapi ia tahu pula, di dalam kantong baju barunya, uangnya sangat banyak. Pelayan di rumah Khu-hujin sudah menyelipkan sebuah kantong uang yang cukup dalam di balik sakunya. Saat itu ia pura-pura tidak tahu saja. Karena untuk mengembalikan uang itu tentu tidak mungkin, sebab akan menyinggung Khu-hujin.
Seperti biasa, ia memperhatikan keadaan sekitar. Otaknya telah bekerja secara alami untuk memperhatikan, dan mengambil kesimpulan. Dari jejak tanah di sepatu, ia tahu bahwa orang yang duduk di meja sebelah baru saja datang dari kota Ceng Pau. Dari sarung pedang dan gagangnya, Cio San tahu bahwa seseorang yang duduk di pojok nun jauh di sana baru saja membunuh orang.
Begitu seterusnya. Otak dan pemikirannya tak pernah berhenti memperhatikan dan mengambil kesimpulan. Bahkan kelebihan inilah yang membuat ia bertahan hidup sampai sekarang.
Ta perlu menunggu terlalu lama, pesanannya sudah datang. Baunya wangi sekali. “Sungguh wangi! Terima kasih” puji Cio San. Si pelayan cuma mengangguk tersenyum bangga. Hanya itulah kebanggaan pelayan. Jika pekerjaan mereka dihargai dan dipuji. Cukup tersenyum manis, dan berterima kasih. Para pelayan akan sangat berterima kasih kepadamu pula. Malahan kemungkinan pelayanan mereka kepadamu malah semakin baik.
Tanpa tedeng aling, Cio San langsung menyantap hidangan di hadapannya. Ia paling suka makan. Apalagi makanan enak. Jika ada makanan tidak enak, ia akan selalu menemukan cara untuk membuatnya jadi lebih enak. Ini salah satu kelebihan kecil yang amat sangat dibanggakannya di hadapan sahabat-sahabatnya. Dan sahabat-sahabatnya pun mengakui hal ini. Apa yang dipesan Cio San akan mereka pesan pula. Apa yang dilakukan Cio San terhadap makanannya, akan mereka lakukan pula terhadap makanan mereka. Cio San makan di mana, di situ pula mereka akan makan. Pendek kata, jika Cio San makan batu. Sahabat-sahabatnya pun akan makan batu, karena mereka yakin, batu itu pasti enak rasanya.
Ia menikmati masakan ini dengan sungguh-sungguh. Rasanya sangat enak. Kwee-ciangkui (pemilik rumah makan), ayah Kwee Mey Lan, rupanya berhasil menemukan tukang masak yang berbakat. Teringat akan Kwee-ciangkui, Cio San penasaran. Kemana orang tua yang baik hati itu? Yang menjaga bagian kasir bukanlah dirinya, melainkan seorang wanita tua dengan dandanan cukup menor. Apakah ini istri barunya? Cio San tersenyum sendiri. Pintar juga Kwee-ciangkui mencari istri.
Wanita itu masih lumayan muda. Mungkin sekitar 35 tahunan. Tubuhnya padat memikat. Bajunya pun lumayan ketat. Wajahnya masih cantik, sayang dandanannya cukup tebal. Kebanyakan perempuan memang seperti ini. Semakin tua, dandanannya semakin tebal. Mungkin untuk menutupi kerutan wajah yang perlahan-lahan muncul menjarah kecantikan mereka.
Perempuan cantik yang menjadi tua, selalu menjadi sebuah ironi tersendiri.
Lagak wanita di bagian kasir ini juga cukup menarik. Ia mengatur urusan Ciaulauw (kedai makan/arak) ini dengan cukup luwes dan ramah. Cio San jadi asik sendiri memperhatikan wanita ini. Tentu saja dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin ketahuan memelototi wanita ini.
Tiba-tiba terdengar keributan di luar. Rupanya seorang tamu memaksa masuk, padahal sang pelayan telah memberitahukan bahwa tempat itu sudah penuh.
“Biarkan aku masuk!” terdengar suara yang cukup menggelegar.
“Maaf, tuan. Tidak bisa, tempat kami sudah penuh,” si pelayan mencoba mencegahnya. Tapi apa daya, dengan satu tarikan, si pelayan sudah dilempar orang itu keluar. Rupanya orang ini adalah seorang ahli Gwa-kang (tenaga luar). Melihat caranya melempar pelayan itu, Cio San terkesan. Bukan terkesan dengan tenaganya, melainkan terkesan dengan cara lemparnya. Orang itu menggunakan gerak sedemikian rupa sehingga pelayan itu jatuhnya tepat dengan kedua kakinya dan tidak terluka pula. Dari sini saja, Cio San menilai bahwa orang ini bukan orang yang jahat. Ia cuma bersifat keras dan kasar.
Orang itu masuk ke dalam. Dari cara berpakaiannya Cio San tahu bahwa orang ini berasal dari suku Miao. Sebuah suku dari banyaknya suku yang hidup di Tionggoan (China daratan). Hubungan suku Han (suku mayoritas di China daratan) dengan suku Miao akhir-akhir ini memang kurang baik. Dari kabar yang terdengar, ada gerakan pemberontakan yang dilakukan suku ini di beberapa tempat. Karena itulah, saat orang ini masuk, seluruh orang yang berada di dalam Lai Lai-ciulauw (kedai Lai Lai) ini langsung membuang muka.
Cio San menyambutnya dengan senyum, “Toako (kakak)! Duduk lah di sini. Masih ada sebuah kursi kosong.”
Melihat teguran yang bersahabat itu, orang Miao ini lalu tersenyum senang, ia menoleh kepada si wanita penjaga kasir, “Tuh, ada kan! Kalian saja yang tidak mau menerima orang Miao!” Sebenarnya tabu membicarakan urusan antar suku seperti ini, tetapi orang Miao memang lebih terbuka dalam urusan berbicara.
Ia lalu duduk tepat di sebelah Cio San. Karena bangku yang tersisa cuma sebuah bangku yang agak panjang yang diduduki Cio San. “Salam kenal!” katanya sambil menjura. Cio San tersenyum dan membalas salamnya. “Nama cahye, A San. Kalau boleh tahu, siapakah nama toako (kakak) yang gagah?”
“Namaku Tia Cati. Senang berkenalan dengan anda!” mulutnya tersenyum tetapi matanya memandang bebek dan arak yang ada di atas meja.
“Tia-toako (kakak Tia) nampaknya lapar dan barusan berjalan jauh. Ini makan dulu bebekku. Masih ada beberapa bagian yang utuh. Biar ku pesan lagi hidangan yang lain,” kata Cio San sambil melambaikan tangan memanggil pelayan. Tia Cati ini tanpa ragu-ragu langsung mengambil bebek itu dan melahapnya. “Baik. Bagus sekali. Terima kasih.”
Bagi orang lain, perbuatan ini sangat tidak sopan. Apalagi mereka mendengar bahwa kedua orang ini baru saling kenal. Dalam suku Miao sendiri pun ada aturan tata kesopanan tersendiri. Nampaknya memang sudah sifat dan pembawaan Tia Cati sendiri yang seperti ini. Cio San tersenyum dalam hati memperhatikan lagak orang di sebelahnya ini. Tanpa tedeng aling, tanpa basa-basi, jujur dan terbuka. Cio San menghargai ini. Sekali pandang saja ia tahu, orang ini cocok dijadikan sahabat.
Perawakannya tinggi besar, bercambang lebat, rambutnya disanggul namun sedikit awut-awutan. Ketika bebeknya selesai masuk perutnya, hidangan lain yang dipesan Cio San sudah datang pula. Mereka berdua menghabiskan makanan ini dengan lahap tanpa bercakap-cakap.
Jika makanan enak berada di dalam mulut, apa pula gunanya berbicara? Orang lain yang memperhatikan tingkah kedua orang ini cuma bisa geleng-geleng kepala.
“San-toako (kakak San), aku tahu engkau bukan orang biasa. Tetapi musuhku sedang mengejarku. Aku terpaksa makan untuk mengisi tenaga. Jika nanti ia masuk kemari, ku mohon kau pergilah. Aku tidak ingin sahabat baruku terkena urusanku,” kata Tia Ciati.
“Memangnya ada orang yang berani mencari perkara denganmu?” tanya Cio San sambil tersenyum.
“Orang lain tidak berani. Tapi orang ini berani. Aku sudah bosan lari darinya, kuputuskan untuk melawannya di sini saja,” tukas Tia Ciati sambil gegares paha domba yang cukup besar.
Dalam hati Cio San cukup kaget. Musuh yang mampu membuat laki-laki gagah seperti ini melarikan diri, bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.
Tia Ciati menatap pintu dengan sedikit khawatir. Tapi mulutnya tidak berhenti makan dan menenggak arak. “Aih, enak sekali arak ini!” tapi begitu kata ‘ini’ selesai, wajahnya memucat. Rupanya bayangan musuhnya telah tiba di depan pintu. Mau tidak mau, Cio San menoleh ke pintu juga. Entah bagaimana musuh itu bisa masuk tanpa dihadang pelayan. Mungkin karena ada beberapa kursi yang sudah kosong.
Musuh itu sudah tiba!
Alangkah herannya Cio San ketika melihat yang masuk itu adalah seorang perempuan kurus langsing, dengan pakaian khas suku Miao. Wajahnya lumayan walaupun bukan wajah perempuan paling cantik nomer satu di dunia. Cio San berani memberi nilai 7 untuk wajah ini.
“Sekarang kau tak bisa lari lagi!” kata wanita itu. Suaranya melengking.
“Aku memang tidak kepingin lari,” jawab Tia Ciati tenang sambil melahap paha domba. Meskipun tenang, Cio San dapat melihat keringat sebesar butiran jagung di dahinya.
“Jadi kau setuju akan menikahiku?”
Hampir pecah tawa Cio San mendengar hal ini. Tetapi ia berpura-pura menenggak arak. Biarpun mangkoknya sudah kosong, ia masih berpura-pura menenggak, agar menutupi tawanya.
“Tidak kepingin lari, kan bukan berarti kepingin nikah,” jawab Tia Ciati pelan.
Braaaaak!! Si nona menggebrak meja.
“Jadi apa maumu???!!!” tanyanya dengan mata membelalak.
Cio San tak tahu apa yang harus ia lakukan. Rasanya yang paling baik dilakukan seseorang ketika sahabatnya dimarahi kekasihnya, adalah duduk diam dan tidak ikut campur.
“A...aku, hanya ingin kau memberiku kebebasan. Tidak perlu mengejar-ngejar sampai kemari....” kata Tia Ciati.
“Bicaran sembarangan!Kau sendiri yang berjanji akan menikahiku. Kini mau ingkar janji?” bentak si nona.
Orang-orang disekeliling menahan tawa. Rupanya laki-laki yang galak dan gagah berani ini takut kepada calon istrinya. Laki-laki yang galak memang cuma takluk kepada satu hal. Perempuan yang galak.
Perempuan yang galak ini sedang melototi mereka. Walaupun Cio San tidak ikut-ikutan masalah ini, sedikit banyak ia merasa dipelototi juga. Rasanya sungguh tidak enak. Cio San lalu berdiri dan berkata, “Nona, duduklah dulu. Biar saya ambilkan kursi yang kosong.”
“Tidak perlu! Kau siapanya?” galak betul pertanyaannya.
Tentu saja Cio San tidak bisa menjawab. Dikatakan baru saja kenal, mereka sudah menyantap hidangan bersama-sama seperti orang kelaparan, duduk berdampingan pula. Dikatakan kenal pun, mereka baru saja bertemu beberapa menit yang lalu.
“Eh...aku..aku..”
“Kau yang membantunya melarikan diri kesini?”
“Eh bukaaaan...bukaaaan,” Tia Ciati buru-buru memotong. “Aku baru saja kenal. Ia menawarkan untuk duduk di sebelahnya karena meja yang lain penuh.”
Si nona memandang ke sekeliling. Meja banyak yang kosong. Entah karena memang pengunjung yang lain sudah selesai makan, atau karena Tia Ciati sedang sial.
“Bohong besar! Meja kosong segitu banyaknya!”
Tia Ciati memandang ke sekeliling dan terpaksa tertenduk lemas.
“Kau! Siapa namamu?” pertanyaannya sungguh tidak sopan.
“Namaku A San”
“Kau sahabatnya?”
“Benar”
Apa salahnya mengakui seseorang sebagai sahabat? Seburuk apapun sifatnya,ia pasti juga punya kebaikan.
“Sejak kapan kau mengenalnya?”
“Baru beberapa saat yang lalu,” Cio San menjawab seperti seorang pencuri yang tertangkap basah.
“Baru saja kenal, kalian sudah duduk berdampingan, makan dengan mesra pula. Kau begini licin dandannya. Tampan pula. Ah jangan...jangan....., kalian...kalian...saling mencinta?”
Cio San cuma melongo. Cara nona ini mengambil kesimpulan memang lumayan cerdas. Kalau saja bukan dia yang dituduh seperti itu, tentu ia akan tertawa.
Sayangnya tidak ada seorang laki-laki pun yang bisa tertawa jika dirinya sendiri yang dituduh mencintai sesama jenis.
“Omongan ngawur!” Tia Ciati akhirnya angkat bicara. “Kau boleh mempermalukan aku, tetapi tidak boleh mempermalukan sahabatku!”
Nah! Kata-kata ini sungguh merdu di telinga Cio San. Sejak awal, pandangannya terhadap Tia Ciati memang tidak salah. Laki-laki berdiri gagah seolah-olah ingin melindungi Cio San dari semprotan amarah kekasihnya.
“Kau berani membentakku?!”
“Tentu saja berani. Kenapa tidak berani?!” matanya melotot.
“Aku adalah tuan putrimu! Ayahku adalah Siauw-ong (raja kecil)!”
“Dan, lelaki ini adalah sahabatku!” suara bentakan Tia Ciati jauh lebih menggelegar dan membahana.
Semua orang yang mendengar ini terhenyak. Untuk ukuran tuan putri, nona ini derajatnya sangat terhormat. Jika kemana-mana, para tuan putri seperti ini harus diiringi dayang-dayang dan pengawal. Tetapi nona ini datang sendirian.
Yang lebih mengherankan, si lelaki tegap ini berani membentaknya. Jika dipikir-pikir, walaupun lelaki ini sudah dijodohkan dengan si tuan putri, tetap saja sekarang derajadnya masih di bawah si putri. Entah mungkin anak pejabat atau panglima.
Persahabatan.
Bukankah persahabatan sungguh berat nilainya?
Tia Ciati tahu nilainya. Tentu saja Cio San juga tahu nilainya.
Telingan Cio San yang tajam, mendengar keributan yang datang dari jauh. Belasan kuda datang menghampiri. “Nona, pengawal-pengawal anda sudah datang.”
Si nona bingung sebentar, ia menoleh dan tidak ada siapa-siapa di pintu. Para pengunjung masing-masing duduk di mejanya ingin mengetahui akhir dari tontonan menarik ini.
“Dasar tukang bohong. Mereka tidak tahu aku pergi,”
“Tunggu saja, sebentar lagi mereka muncul”
Karena penasaran si nona menatap terus ke arah pintu. Ia baru yakin ketika terdengar suara kuda dari jauh. Dengan memasang wajah sebal, dan mempelototi Cio San, ia berkata, “Aku akan membuat perhitungan denganmu.” Dalam sekelebat nona itu melayang dan menghilang dari jendela.
Tia Ciati pun berdiri dan menepuk pundah Cio San, “San-toako, sepertinya aku juga harus pergi. Sampai bertemu lagi. Terima kasih atas suguhannya.” Ia pun menghilang melalui jendela.
Tinggalah Cio San yang kini duduk menenggak arak. Semua mata memandang ke arah pintu. Menanti siapa lagi yang akan datang. Kejutan apa lagi yang akan terjadi.
Derap kuda itu berhenti tepat di halaman kedai. Ada belasan orang yang datang. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki berpakaian khas suku Miao juga. Lagaknya cukup gagah, sepertinya seorang serdadu. Anak buahnya segera memasuki kedai dan mulai berkeliling mencari orang. Para pengunjung tetap duduk diam dan tenang. Rupanya mereka sudah terbiasa dengan hal seperi ini.
“Selamat sore, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Maaf mengganggu. Kami ingin bertanya, apakah tuan-tuan melihat seorang gadis yang cantik, yang berpakaian suku Miao, masuk ke tempat ini?”
Semua mata pengunjung tertuju pada Cio San.
Si kepala pasukan juga bukan orang yang bodoh. Ia segera paham arti pandangan orang-orang ini. “Tuan, apakah tuan...”
“Ia sudah pergi lewat jendela” potong Cio San.
Si kepala pasukan meneliti Cio San dengan tajam, lalu berkata, “Tuan siapakah nona kami?”
“Aku sahabatnya”
“Hmmm....” ia berpikir sebentar, kemudian berkata, “Mau kah tuan ikut dengan kami? Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan.”
“Tidak”
Singkat, padat, dan jelas.
“Maafkan jika kami harus memaksa,” kata si kepala pasukan. Ia hendak berteriak memberi perintah kepada pasukannya, ketika Cio San kemudian memotong,
“Jika aku berkata kepada tuan putrimu, kau mengkasari sahabatnya, kira-kira hukuman apa yang akan ia berikan kepadamu?”
“Aih....” rupanya perkataan itu menusuk dengan tepat. Tapi ia bisa menguasai diri lalu bertanya dengan tenang, “Maafkan jika kami kasar, tuan. Kami hanya mengkhawatirkan keadaan tuan putri. Tapi jika boleh tahu, dari mana tuan mengenal tuan putri kami?”
“Tuan putrimu kan bukan baru sekali ini berkelana. Tidak mengherankan jika ia banyak menjalin persahabatan.”
Sekali lagi ucapan Cio San mengena pula. Dengan pikirannya ia sudah bisa mengetahui apa yang sedang terjadi. Si tuan puteri ini adalah jenis puteri yang susah diatur dan banyak perkara. Dilihat dari gelagatnya, tentu si tuan puteri ini sedang melarikan diri dan berkelana di dunia yang bebas.
“Baiklah jika begitu. Bolehkah saya mengetahui nama tuan yang terhormat?” tanya si kepala pasukan.
“Namaku A San.”
“Tanpa she (marga)?”
“She ku tidak penting”
“Baik. Kami mohon diri dulu. Jika tuan bertemu dengan tuan putri, harap sampaikan pesan bahwa siau-ong (raja kecil) marah besar tuan putri kabur lagi. Dimohon tuan putri segera pulang.”
“Baiklah. Akan ku sampaikan.”
“Terima kasih banyak, San-enghiong (ksatria San),” si kepala pasukan menjura lalu mohon diri. Cio San balas menjura pula. Lalu duduk kembali menikmati arak dan makanannya. Pasukan berkuda itu sudah menghilang dari sana.
“Urusan perempuan yang keras kepala memang amat banyak,” katanya pelan.
“Benar!”
Ternyata si nona putri yang dicari-cari itu sudah berada di situ. Sejak tadi ia tidak kabur melainkan bersembunyi di atas genteng. Tentu saja Cio San tahu hal ini. Itulah sebabnya ia mengucapkan kata-kata tadi. Rupanya kata-kata itu memang ditujukan kepada si tuan putri.
Si nona duduk di hadapannya. Mengambil pula daging domba, tanpa minta ijin. Sepertinya si nona dengan Tia Ciati memang mempunyai sifat yang mirip. Sama-sama tanpa tedeng aling dan bebas tidak terikat aturan.
“Kenapa kau lari?” tanya Cio San.
“Aku dipaksa menikah!”
“Ooooh? Kau sendiri tidak suka dipaksa menikah. Kenapa kau memaksa orang lain menikah denganmu?”
“Karena ia sudah berjanji kepadaku!”
“Janji itu mungkin dilakukannya saat mabuk, atau tidak sadarkan diri,” kata Cio San.
“Eh enak saja bicara! Aku ingat betul ia sadar sesadar-sadarnya. Aku pun ingat betul tanggal berapa ia mengatakan hal itu!”
“Oh? Kapan itu?”
Si nona menerawang sambil tersenyu sendiri, “Tanggal 20 bulan 6, tepat 20 tahun yang lalu!”
Cio San hampir memuntahkan arak yang sudah melewati tenggorokannya. “Itu kalian umur berapa? 5 tahun?!”
“Aku berumur 5 tahun. Ia berusia 7 tahun saat itu,”
Sebenarnya Cio San ingin menuturinya tentang berbagai hal, tapi ia tahu nona ini tidak bisa dinasehati. Ada dua macam manusia yang tidak bisa dinasehati, manusia yang sedang jatuh cinta, dan manusia yang sudah mati.
Akhirnya ia hanya bisa bertanya, “Jadi kau benar-benar mencintainya?”
“Mengapa pertanyaanmu sebodoh ini? Tentu saja aku mencintainya!”
Cio San tertawa. Orang yang memakinya bodoh seumur hidupnya memang baru perempuan ini. Tetapi ia tidak tersinggung malahan tertawa.
“Jika kau mencintainya, buatlah agar ia yang mengejarmu. Jangan kau yang mengejar dia.”
“Melihat tampangku saja, ia lari terbirit-birit. Bagaimana mungkin ia akan berbalik mengejarku?”
“Semua ada cara dan siasat. Jika kau tahu caranya, kau akan bisa menaklukannya.”
“Oh, jadi kau tahu caranya?”
“Tidak”
Braaaaaak! Suara tangan sang nona menghentak meja.
“Tetapi aku mengenal seseorang yang mengetahui caranya,” jelas Cio San sambil tersenyum.
“Siapa?”
“Aku akan memberitahukan kepadamu saat seluruh urusanku selesai. Sambil menunggu, kau harus berjanji untuk tidak mengejar-ngejar dirinya.”
Si nona memikirkan matang-matang perkataan itu. Membutuhkan waktu cukup lama baginya untuk kemudian berkata, “Baiklah! Entah kenapa, aku percaya kepadamu.”
Nona ini bukan orang pertama yang mengatakan hal ini, pun ia bukan orang yang terakhir.
“Nah sekarang pergilah. Saat urusanku selesai, aku akan mencarimu.”
Tuan putri ini memandangnya dalam-dalam. Lalu pergi tanpa suara. Cio San memandangnya pergi.
Jika seseorang sudah jatuh cinta dengan begitu tak berdaya, tiada hal yang dapat ia lakukan selain mempercayai apapun yang orang katakan kepadanya.
Si nona pergi menghilang, bersama mentari sore yang tenggelam di ufuk barat.
Suasana Lai Lai sudah mulai sepi. Cio San masih menikmati araknya. Lalu terdengar suara Tia Ciati, “Kau berhasil mengusirnya, San-toako! Aku harus berterima kasih kepadamu!”
Cio San memandangnya sambil tersenyum, lalu katanya, “Duduklah!”
Tia Ciati duduk dengan santai lalu menuangkan arak. Tetapi wajahnya segera berubah ketika melihat wajah Cio San yang sangat sungguh-sungguh. “Ada apa?” tanya Tia Ciati.
“Jika kalian ingin meminta sesuatu dariku, cukup datang saja dan katakan sejujurnya. Tidak perlu mengarang-ngarang cerita segala!”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 28 URUSAN YANG TERLALU BANYAK"
Posting Komentar