Perjalanan yang dilakukan dengan santai dan tawa canda. Jika dilakukan selama bertahun-tahun tetap saja menyenangkan. Sudah 15 hari mereka lalui. Mengunjungi berbagai tempat-tempat yang indah. Di sebuah kota, Cio San membeli sebuah khim kecil. Tentu saja perjalanan kemudian menjadi ramai oleh nyanyian.
Kadang-kadang jika sedang berhenti di danau atau telaga yang indah, mereka menikmati pemandangan di sana sambil menikmati lagu-lagu Cio San. Suaranya merdu dan permainan khimnya mendayu-dayu. Tapi tak satupun yang tahu jika lagu-lagu itu adalah ciptaan Cio San sendiri.
Hari ke 20. Mereka berhenti di sebuah telaga indah di pinggiran kota Yang Lin. Saat itu telah memasuki musim gugur. Bunga Bwee yang berguguran di sepanjang danau, membuat daerah sekitar situ terlihat seperti lautan bunga. Cahaya mentari pagi membuat warna pantulan bunga-bunga itu meliputi seluruh danau. Air terlihat berwarna merah muda.
Melihat air sesegar itu, Cio San jadi ingin berenang. Cukat Tong yang memang jarang mandi memilih tidur-tiduran saja di pinggiran danau. Ang Lin Hua dan Sie Peng pun juga tidak berenang. Daerah itu terlalu terbuka bagi kaum perempuan. Mereka memilih pergi ke kota untuk membeli perlengkapan perempuan. Yan Tian Bu memilih pergi mencari rerumputan untuk kuda-kudanya.
Jadi Cio San berenang sendirian saja. Ia mencopot seluruh bajunya, dan berenang hanya menggunakan pakaian dalam. Air danau yang jernih dan segar membuat tubuhnya merasa sangat nyaman. Walaupun airnya dingin, Cio San tetap merasa hangat karena saat itu matahari bersinar dengan cerahnya.
Tak lama setelah ia berenang, telinganya mendengar sesuatu di daratan sana. Cio San tahu ada yang datang, tetapi ia pun tahu itu bukan langkah teman-temannya.
Lalu tak lama kemudian, muncul empat orang dari balik pepohonan. Empat orang wanita. Bahkan dari jauh pun kecantikan mereka sudah mencolok mata. Cio San penasaran apa yang akan mereka lakukan. Ia muncul dari air untuk ‘memberitahukan’ keberadaan dirinya.
Keempat nona itu pun melihatnya. Dari jauh Cio San bisa melihat mereka tersenyum. Cio San pun membalas tersenyum. Tapi senyumnya segera berubah ketika ke empat nona itu perlahan-lahan mencopot baju mereka satu persatu.
Gerakan melepas baju ini dilakukan dengan lambat-lambat sambil tersenyum pula padanya. Jika ada perempuan melakukan hal ini kepadamu, sebaiknya engkau lari. Karena sudah pasti ia akan menerkammu. Tapi Cio San tidak lari.
Ia hanya menatap saja.
Satu persatu helaian baju mereka jatuh di atas tanah. Mereka melakukannya dengan gembira, seperti sedang melakukan hal yang paling menyenangkan di muka bumi. Memang biasanya perempuan paling suka memakai pakaian bagus di hadapan lelaki. Tapi ada juga perempuan yang suka sekali melepas pakaian bagus itu di hadapan laki-laki. Rupanya ke empat nona ini termasuk golongan yang terakhir tadi.
Kini ke empat nona itu telah berjalan memasuki danau. Senyum mereka telah berubah menjadi tawa-tawa kecil saat kaki-kaki indah mereka menyentuh air yang lembut dan jernih itu. Tubuh mereka tanpa sehelai benang pun.
Dari tubuh mereka, tercium bau wangi dari jarak yang cukup jauh. Kulit mereka yang mulus dan putih, serasa membuat air yang mereka masuki terasa lebih lembut dan hangat. Tidak ada yang tidak indah dari tubuh mereka. Setiap jengkalnya sempurna. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, jika bisa dijual tentulah hanya kaisar yang mampu membelinya.
Jarak antara Cio San cukup dekat dari daratan, tapi sejak nona-nona ini membuka baju-baju mereka dan berjalan memasuki air dan mendekati dirinya, Cio San merasa waktu berjalan sangat lama sekali. Bahkan seolah-olah dunia berhenti berputar.
Jika ada orang bilang bahwa kau tak dapat menghentikan waktu, maka orang itu belum pernah bertemu dengan salah satu dari nona nona ini. Kau cukup melihat salah satunya, lalu kau akan merasa dunia seolah berputar ke belakang.
Bahkan seorang lelaki tua renta yang sudah sekarat pun mungkin akan hidup kembali sebagai remaja belasan tahun jika melihat kecantikannya.
“Hmmm, inikah Mo Kauw kaucu yang baru itu?” suara salah satu dari mereka, jika dibandingkan dengan suara penyanyi paling merdu pun, mungkin seperti membandingkan berlian dengan lumpur.
“Aku masih ragu, dia ini pria atau seorang bocah ingusan?” timpal salah seorang.
“Tentu saja dia seorang pria. Seorang bocah ingusan mana mungkin tetap senyum-senyum saja melihat kita?”
“Benar. Matanya sepertinya sudah terlatih menilai emas permata”
Mereka berbincang dengan santai padahal tubuh mereka telanjang bulat di hadapan seorang laki-laki yang tidak pernah mereka temui sebelumnya.
Kini mereka sudah berada dihadapan Cio San. Saking dekatnya Cio San bahkan mendengar detakan jantung, dan gerakan dada mereka saat menghela nafas. Cio San sendiri sebenarnya sudah menahan nafas dari tadi. Karena ia mereasa, jika nona-nona ini bernafas, nafasnya sendiri akan ikut tertarik bersama helaan nafas mereka.
“Salam kaucu”
Mereka berempat menjura. Jari-jari mereka demikian lentik. Jika ada orang yang mengaku bisa melukis jari-jari mereka, tentu saja orang itu adalah pembohong terbesar di muka bumi.
Itu baru jari jemari. Jadi mana mungkin ada orang yang bisa melukis wajah mereka?
Cio San balas menjura sambil tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Pada hakekatnya tidak ada seorang laki-laki pun yang bisa berkata-kata di hadapan perempuan-perempuan secantik mereka. Karena berkata-kata, berarti membuang waktu. Bukankah lebih baik waktu dihabiskan untuk memandang mereka saja?
“Cio San tayhiap, nama kebesaran tuan sudah kami dengar beberapa bulan belakangan ini. Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan tuan” kata salah seorang.
“Tidak berani…tidak berani…, walaupun cayhe (saya) belum tahu nama nona-nona sekalian, tapi kecantikan nona justru lebih dulu kukagumi”
“Memangnya, tuan pernah dengar di mana tentang kami?” tanya salah seorang.
“Aku mendengar tentang kalian dari bisikan bunga-bunga bwee yang gugur itu” kata Cio San sambil tersenyum.
“Hmm?” mereka semua mengangkat alis.
“Apakah nona-nona sekalian tidak tahu? Bunga-bunga itu berguguran karena malu. Mereka malu karena selama ini menganggap diri sebagai makhluk terindah. Jadi karena tahu nona-nona akan datang kesini, bunga-bunga ini lebih dulu menggugurkan diri mereka sendiri”
“Ah….” Ke empat nona mendesah. Jika kau mendengar desahan salah seorang saja, tentu kau akan menganggap dirimu sebagai orang yang paling mengerti tentang cinta.
“Tampan, pandai silat, dan pandai merayu wanita pula. Di dunia ini, kalau tidak segera kuterkam saat menemukan lelaki demikian, kalian boleh panggil aku cucu kura-kura” kata salah seorang.
“Memangnya cuma Lian-ci (kakak Lian) saja yang berminat?”
“Ah, Cing-mey juga suka padanya? Aku tidak suka rebutan. Tapi kali ini, aku akan membuat pengecualian”
“Kalian berdua berbicara saja, apakah tidak kalian lihat lelaki tampan di hadapan kalian malah sudah ingin menerkam kalian lebih dulu?”
“Hahahahahaha”
Mereka tertawa lepas. Seolah-olah di dunia ini tidak pernah ada kesedihan. Tawanya saja sudah bikin jantung lelaki bergetar.
“Nona sekalian ada keperluan apa mencariku kesini?” tanya Cio San
“Kami hanya ingin berenang. Mengapa tuan besar kepala sekali mengira kami mencari tuan?”
“Jika nona sekalian tidak mencariku, mungkin lebih baik aku langsung saja mencari orang yang mengutus nona kesini” kata Cio San. Senyumnya tetap tersungging.
“Dari mana tuan tahu ada orang yang mengutus kami?”
“Jika ada wanita secantik salah satu dari kalian, ia tentunya akan menjadi ratu. Ia akan hidup demi kesenangannya sendiri. Tidak mungkin ia mau disatukan dalam kelompok seperti nona-nona ini. Makanya, jika kini ada empat orang wanita secantik nona mau bersama-sama, tentulah karena ada yang mempersatukan” jelas Cio San.
Ke empat wanita itu sedikit terhenyak. Rupanya kata-kata Cio San sedikit menyentuh perasaan terdalam mereka.
“Tuan rupanya sangat paham tentang perempuan, ya?”
“Laki-laki manapun yang mengaku paham tentang perempuan, kalau tidak dungu, tentulah sudah pikun” tukas Cio San sambil tertawa.
“Tuan benar, Pangcu kami mengutus kami untuk mengundang tuan secara langsung untuk mampir ke tempat peristirahatannya”
“Di mana?”
“Di balik bukit itu” katanya sambil menunjuk sebuah bukit.
“Baiklah, sampaikan padanya aku akan datang” kata Cio San sambil berbalik badan dan menceburkan dirinya ke air.
Tanpa menunggu lama, ke empat wanita itu pun menceburkan diri selulup ke dalam air. Begitu keluar, mereka bertanya kepada Cio San,
“Tuan tak ingin bersenang-senang dengan kami dulu?”
“Jika pangcu mu tahu, kalian menggoda tamunya, bukankah kalian akan dihukum?” kata Cio San santai.
“Ahhh!” keempat wanita itu membanting tangan ke air karena kecewa. Cipratannya deras sekali. Ilmu tenaga dalam mereka memang tidak bisa dibuat main-main.
Mereka lalu beranjak pergi meninggalkan Cio San. Salah satu dari mereka kemudian menoleh dan bertanya,
“Tuan tidak ingin tahu siapa pangcu kami?”
Cio San tersenyum,
“Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan wanita paling cantik di dunia”
Ke empat nona itu mengangguk-angguk. Mereka lalu keluar dari air dan memakai baju yang tadi mereka tanggalkan di pinggir danau. Baju itu langsung dipakai tanpa menunggu tubuh mereka kering lebih dulu. Sehingga baju itu ikutan basah dan lengket ke tubuh mereka. Menunjukkan lekuk-lekuk yang sangat indah.
Cio San hanya geleng-geleng kepala, batinnya “ Kadang-kadang wanita dengan baju yang lengkap, jauh lebih menarik ketimbang wanita tanpa baju”
Itulah sebabnya wanita menghabiskan banyak waktu dan uang untuk membeli pakaian yang mempercantik dirinya.
Cio San pun tidak lama kemudian keluar dari air. Ia mengeringkan tubuhnya dengan cara berjemur saja. Cukat Tong yang sejak tadi tidur saja kemudian bangun dan bertanya,
“kenapa kau tidak mengeringkan tubuhmu dengan tenaga dalam saja? Hanya perlu waktu beberapa detik tubuhmu kan kering sepenuhnya”
“Tenaga dalamku hanya untuk bertarung. Bukan untuk mengeringkan badan” ujar Cio San santai. Ia melanjutkan, “Kau sudah tahu ada 4 siluman rubah mengeroyokku, kenapa tidak datang membantu?”
“Justru karena aku tahu kau sedang dikeroyok siluman rubah, maka aku tak mau bangun” tukasnya
“Memangnya kenapa?”
“Aku takut jika mereka melihat pria setampan, sepintar, dan sesakti aku, mereka akan beramai-ramai menerkamku”
0 Response to "Bab 43 Sebuah Undangan"
Posting Komentar