Bab 50 Di Tengah Hujan dan Di Tengah Malam



Wanita menyukai berada di dalam pelukan lelaki, karena mereka merasa pelukan itu dapat melindungi mereka dari dunia yang kejam. Ada rasa damai di sana. Tapi lelaki pun senang memeluk wanita, karena itu akan membuat mereka merasa dirinya adalah yang paling gagah sedunia.

Kadang sebuah pelukan saja sungguh berarti amat dalam bagi para kekasih. Lebih berharga dari hadiah apapun.

Bwee Hua membiarkan dirinya jatuh lebih dalam. Kedalam pelukan yang sangat menghangatkan hatinya. Ia tahu, untuk menjatuhkan hati lelaki seperti Cio San,  bukanlah pekerjaan mudah. Karena sesungguhnya ia sendiri bisa ‘terjatuh’ kapan saja.

Cio San sendiri sudah benar-benar tidur. Jika ada istilah ‘tidur dengan perempuan’, maka yang dilakukan Cio San adalah benar-benar tidur!

Kalau ada perempuan meletakkan dirinya di dalam pelukanmu dan mengatakan ia rela memberikan apa saja yang kau minta, tentunya kau tidak akan meminta ia untuk terlelap bersamamu. Tapi Cio San benar-benar tidur. Sedikit mendengkur pula.

Kadang-kadang perempuan yang mendapati lelaki tidur terlelap saat sedang berduaan bersamanya, akan merasa dirinya tidak berharga sama sekali. Tapi Bwee Hua tahu, jika ia marah pada Cio San, maka seluruh rencananya akan sia-sia.

Di dunia ini hanya Cio San seorang, lelaki yang tidur mendengkur saat berduan dengannya!

Maka Bwee Hua pun memilih tidur terlelap.

Rupanya nyaman juga rasanya. Nafsu memang tidak harus kau salurkan. Kadang-kadang justru jauh terasa lebih indah dan ‘manis’ jika kau hanya bertatapan mata dengan kekasihmu, daripada melakukan ‘hal-hal’ penyaluran nafsu.

Bwee Hua yang sudah berpengalaman dengan jutaan lelaki, justru baru menemukan hal ini sekarang.

Malam semakin dingin, hujan pun semakin deras. Untunglah walaupun kuil tua ini sudah bobrok, setidaknya masih ada sedikit atap dan tembok yang melindungi. Api unggun pun sudah lumayan bisa menghangatkan mereka.

Dua orang ini tidur terlelap dengan nyaman.

Si nona punya kebiasaan. Jika tidur ia selalu tanpa busana. Oleh karena itu ia memang membuka sedikit bajunya. Walaupun tidak terbuka seluruhnya, orang masih bisa melihat betapa indah tubuh yang ia miliki. Sayangnya satu-satunya orang yang berada di sana hanya Cio San. Dan Cio San pun sudah mendengkur pula.

Wanita, ingin kecantikannya dilihat, dihargai, dikagumi, dan yang paling penting dihormati,. Jika kau bertemu wanita cantik, dan kau tidak menatapnya sama sekali, perasaan mereka akan seperti seniman yang karyanya tidak dihargai. Seperti pengkhotbah yang khotbahnya tidak didengarkan. Atau seperti raja yang perintahnya tidak dilaksanakan.

Sayangnya, lelaki yang ‘menghormati’ kecantikan wanita sungguh jarang. Jika mereka melihat wanita cantik, biasanya lelaki hanya akan tergiur. Cara terbaik memperlakukan wanita adalah dengan memberi rasa hormatmu, bukan menunjukan nafsumu. Niscaya dia akan menganggapmu sebagai lelaki terbaik.

Tapi ada juga sementara wanita, yang jika tidak kau perlihatkan ketertarikanmu, mereka akan semakin tertarik kepadamu.

Maka kau harus pintar-pintar memilih langkah apa yang harus kau jalani menghadapi seorang wanita. Karena kau tidak akan pernah tahu isi hatinya.

Walaupun Cio San tidak paham ini, untunglah secara kebetulan ia melakukannya. Bwee Hua sungguh menjadi penasaran ada lelaki yang bisa benar-benar mengacuhkannya dan benar-benar tidur mendengkur di hadapannya. Bagi Bwee Hua ini justru menjadi tantangan menarik baginya. Ia harus bisa menaklukkan Cio San. Apapun yang terjadi!

Toh akhirnya Bwee Hua memilih tidur juga. Memangnya dia bisa apa? Kecantikan wanita tak akan berarti apa-apa di hadapan satu macam lelaki. Lelaki yang sedang tidur.

Mereka tertidur beberapa lama. Sampai saat tengah malam, telinga Cio San ‘membangunkannya’. Bwee Hua pun tentu saja terbangun juga.

“Pakai bajumu kembali, nona” kata Cio San.

“Gelap. Bisa tolong kau pakaian?”

Ia berdiri. Bajunya awut-awutan. Rambutnya pun berantakan. Tetapi mengapa terlihat begitu cantik. Seolah-olah segala keindahan di bumi dikumpulkan lalu diletakkan kepadanya.

Mau tidak mau Cio San harus melakukannya. Dia tidak ingin orang yang datang nanti menganggapnya sedang melakukan hal-hal tidak pantas dengan nona ini. Dan nona ini pun tidak ada niat untuk merapikan bajunya.

Biasanya Cio San mampu bergerak secepat kilat. Tapi tidak saat memakaikan baju pada perempuan. Selain karena tidak ada seorang lelakipun yang sanggup memakaikan baju dengan cepat kepada wanita, juga karena dia tidak tahu cara memakaikannya.

Maka ketika ada 7 orang memasuki kuil itu juga, tentu saja ke 7 orang itu kaget melihat pemandangan di hadapan mereka.

Seorang lelaki dan seorang wanita setengah telanjang.

Siapapun yang berada di sana pasti akan berpikiran yang sama dengan ke 7 orang ini.

“Cih! Manusia rendahan!” terdengar seruan kaget mereka melihatnya. Segera mereka memalingkan wajah.

Ke 7 orang ini semuanya adalah wanita. Dari bajunya, Cio San tahu mereka dari partai Gobi pay. Ke 7 wanita ini sebenarnya ingin keluar lagi, tapi petir dan Guntur yang menyambar membuat mereka kaget. Apalagi hujan bertambah deras dan angin bertambah kencang pula.

Cio San berdiri dan memberi salam,

“Selamat malam chit-wi tayhiap (tujuh pendekar sekalian)” katanya sambil menjura.

“Cih!”

Bwee Hua tetap santai saja. Walaupun bajunya masih berantakan, setidaknya kini tubuhnya sudah tertutup. Katanya,

“Ada apa malam-malam begini 7 Pendekar Wanita Gobi mampir kesini? Ingin bergabung dengan kami juga? Mari silahkan”

“Kami tidak sudi!” walaupun bicara begitu, mereka tetap berada di tempatnya. Hanya wajah mereka saja yang dipalingkan.

“Nona sekalian sedang menghindari kejaran siapa?” tanya Cio San tiba-tiba.

Ketujuh orang ini heran. Bagaimana Cio San bisa tahu jika mereka sedang menghindari kejaran orang. Tapi sekali pandang Cio San pasti tahu.

“Di sini tidak aman. Orang yang mengejar nona tentu saja pasti akan segera sampai ke sini”

Semua nona itu kini bertambah pucat wajahnya.

Lalu ketika kilat menyambar, terlihat sebuah bayangan di luar sana. Bahkan Cio San pun tidak mendengar langkah kakinya.

Ia hanya berucapa dalam hati, sambil memejamkan mata, “Ang Hoat Kiam Sian”

Ya memang orang yang berada di depan sana adalah Si Dewa Pedang Rambut Merah!

Berdiri dengan tenang dalam lebatnya hujan. Langkahnya perlahan namun pasti.

“Keluar” katanya pelan. Tapi semua orang yang ada di dalam kuil itu mendengarkannya. Padahal hujan sedang lebat-lebatnya.

Cio San yang keluar.

“Selamat malam, Suma-tayhiap (pendekar Suma)”

“Kau? Pantas saja. Ku kira hanya ada delapan orang di dalam sana” kata Suma Sun, si dewa pedang rambut merah. Lalu lanjutnya,

“Kau ingin bertarung untuk mereka?”

“Kita semua sesama orang sendiri, mengapa harus bertarung?” jawab Cio San sambil tersenyum.
“Karena mereka memakai pedang”

Di dunia ini, mana ada alasan yang lebih tidak masuk akal selain alasan itu? Tentu saja ketujuh nona itu menolak untuk bertarung dengannya.

Cio San sampai bingung menjawabnya. Ia lalu berkata,

“Tidak bisa kah kau tunda? Aku sedang memerlukan bantuan mereka”

“Baiklah”

Ia dengan santai lalu berbalik dan berjalan pergi.

Cio San lalu berkata lagi,

“Aku pun memerlukan bantuanmu”

Langkah itu pun berhenti.

“Sekarang?” tanya Suma Sun

“Belum.”

“Kirimkan Cukat Tong kepadaku. Ia tahu di mana harus mencariku” kata Suma Sun. Ia lalu pergi. Di dalam lebatnya hujan, bayangannya menghilang. Dalam hujan selebat ini, entah kenapa malah terasa sepi dan sunyi.

Pesta seramai apapun, jika ada Suma Sun, pastilah akan terasa sunyi seperti kuburan.

Ketika Cio San berbalik ke kuil, ia malah sudah dihadang ketujuh nona itu,

“Siapa kau sampai-sampai merasa harus membantu kami?”

Cio San sudah sangat mengerti betapa tinggi hatinya kaum kang ouw.

“dan apa kau pikir kami akan membantumu?” tukas salah satu dari mereka.

Melihat ini, malah Bwee Hua yang marah. Dengan sekali gerakan tentu saja ia bisa membunuh ketujuh nona ini. Tapi Bwee Hua tidak suka mengotori tangannya dengan darah orang-orang yang tidak pantas. Maka ia hanya berkata,

“Jika kau tahu siapa dia, tentu kau akan berlutut minta ampun”

Heran. Ia berkata tentang Cio San. Tapi kata-kata itu terasa bagai membicarakan dirinya sendiri.

Cio San malah menjura kepada nona-nona itu,

“Apakah Bu-Ciangbunjin (ketua Bu) baik-baik saja kabarnya?” tanyanya

Melihat Cio San bertanya dengan santun tentang ketua mereka, perlahan-lahan hati mereka mencair juga.

“Suhu baik-baik saja”

Lalu salah satu dari mereka berkata,

“Ayo kita pergi”

Mereka pun pergi. Tanpa salam dan hormat. Begitu saja.

Kadang-kadang perempuan cantik memang seperti punya ‘hak’ untuk berbuat seenaknya. Jika mereka salah, orang mudah memaafkan pula. Jadi cantik memang punya banyak keuntungan.

Baru saja mereka melangkah keluar kuil, tahu-tahu Bwee Hua sudah berada di hadapan mereka.

“Kalian baru boleh pergi jika sudah meninggalkan hidung kalian” katanya.

Cring!

Suara tujuh pedang keluar dari sarungnya.

Jurus Pedang Pelangi milik Gobi pay sangat terkenal. Bahkan nama besar jurus ini sudah menyamai nama besar “Tarian Pedang” milih Butong Pay. Jika jurus ini dilakukan oleh 7 pendekar utama Gobipay, tentunya kedahsyatannya tak mungkin terbayangkan.

Kelebatan pedang itu benar-benar seperti pelangi. Pelangi yang mengantarkan nyawa kepada Giam Lo Ong (dewa kematian).

Tapi sinar pelangi itu tiba-tiba berhenti. Hilang tak membekas. Ketujuh pedang itu sudah terjepit di anatara jari-jari kedua tangan Cio San.

“Nona, kalian semua bukan tandingannya. Pergilah”

Ia menangkap pedang itu tentu saja bukan melindungi Bwee Hua. Ia melakukannya untuk melindungi ketujuh nona itu.

Di kolong langit ini, mungkin bahkan ketua mereka sendiri, tidak mampu menangkap Jurus Pedang Pelangi dalam satu jurus saja. Dengan tangan kosong pula. Jika ada orang mampu melakukannya, maka apapun yang orang itu katakan, harus kau dengarkan.

Ketujuh nona itu diam membisu. Lalu jatuh terduduk.

“Ah….ada pendekar besar di hadapan kami. Sungguh sempit pandangan kami tidak mampu mengenal gunung Thay San”

“Pergilah” kata Cio San. Ia melepaskan pedang-pedang itu dari jarinya.

Nona-nona itu bersoja. “Harap ampuni kami…harap ampuni kami..tayhiap”
Mereka pun berlari pergi dari situ penuh rasa malu.

“Ah mengapa nama besar selalu sebagian besarnya berisi nama kosong? Tujuh Pendekar Cantik Gobipay. Menyandang nama “pendekar” pun tidak pantas. Menyandang kata “cantik” pun tidak pantas” kata Bwee Hua sambil tersenyum.

Jika yang mengatakan ini adalah orang paling cantik di dunia, tentunya kau harus setuju.

Bwee Hua menatap Cio San dalam-dalam. Lelaki ini sungguh mengagumkan hatinya. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.

Malah Cio San yang berkata,

“Nona, bukankah kau tadi berkata, apapun yang aku minta malam ini, akan kau berikan?”

“Benar”

“Bolehkah ku minta satu hal dari mu?”

“Apapun itu” kata Bwee Hua tersenyum. Senyumnya bukan senyuman yang nakal dan penuh nafsu. Senyumannya adalah senyuman bunga-bunga kepada dunia. Indah, tulus, mekar, mewangi dan berseri. Penuh kepolosan dan kedalaman hati.

“Maukah kau menghentikan semua perbuatanmu?”

“Aku akan melakukannya jika kau pun berjanji melakukan satu hal untukku” kata Bwee Hua tersenyum.

“Apa?”

“Jadilah kekasihku.”

Cio San terdiam. Kadang-kadang memang satu-satunya keadaan di mana ada wanita tercantik di dunia memintamu menjadi kekasih, adalah saat engkau bermimpi.

Lalu ia menjawab,

“Aku sudah punya kekasih”

“Tinggalkan dia”

“Seseorang yang meninggalkan kekasihnya demi engkau, suatu saat pasti akan meninggalkan engkau demi orang lain pula” kata Cio San.

Si nona terdiam.

“Belum pernah ada seorang pun yang menolakku” katanya

“Selalu ada saat pertama, untuk setiap hal di dunia ini” tukas Cio San.

“Kau tahu, semakin kau menolakku, semakin aku berusaha untuk mendapatkanmu. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak pernah TIDAK kudapatkan”

“Berusahalah lebih keras” kata Cio San sambil tersenyum dan memainkan ujung rambutnya.

”Jika kekasihmu mati, bukankah tiada seorang pun yang akan menghalangiku untuk mendapatkanmu?”

“Jika kau sentuh ujung rambutnya saja, sampai ke ujung dunia pun akan ku cari kau”

“Perempuan mana yang tidak suka kau cari?” Bwee Hua berkata, senyumnya tak pernah hilang.

“Saat itu terjadi, kau akan berharap aku tidak pernah mencarimu”

“Aku justru ingin kau mencariku, lalu kau berlutut memintaku untuk mencintaimu”

“Umurmu sudah 60 tahun. Sebentar lagi akan mati, mengapa masih susah-susah mencari kekasih?”

Wanita secantik apapun, jika kau ingatkan ia pada umurnya, tentu akan menerkammu. Tapi Bwee Hua tidak.

Ia malah bangga. Dengan umurnya yang setua itu, ia masih tampak seperti anak gadis yang masih perawan.

Maka ia hanya tertawa,

“Apakah kau yakin kata-kata Beng Liong tentang umurku memang benar?”

“Dari mana kau tahu jika Beng Liong yang menceritakannya kepadaku?” tanya Cio San.

“Manusia punya telinga. Kenapa pohon dan rerumputan tidak boleh punya telinga juga?”

Cio San hanya tertawa.

“Jika Beng Liong yang berkata, aku pasti percaya. Beng Liong adalah Beng Liong. Kata-katanya adalah emas”

“Kalau itu, aku pun setuju” tukas Bwee Hua.

“kau sudah pernah bertemu dengannya?” tanya Cio San

“Selama beberapa tahun ini dia selalu merecoki urusanku” jawabnya pendek. Lanjutnya, “Orang yang menyebalkan”

“Kau tidak tertarik kepadanya?”

“Orang yang sok suci dan sok bersih, tidak pantas menjadi kekasihku”

“Lalu siapa yang pantas?”

“Kau”

“Hanya aku?”

“Hanya kau”

“Sayang kau bukan golongan wanita yang ku sukai”

“Memangnya aku golongan wanita macam apa?”

“Golongan wanita yang terlalu yakin bahwa setiap laki-laki akan jatuh hati kepada mereka karena kecantikan mereka”

“Memangnya ada lelaki di dunia ini yang tidak terpikat kecantikanku?”

“Ada. Aku”

“Kau pasti akan terpikat. Mungkin tidak sekarang. Mungkin bisa besok, seminggu lagi, sebulan lagi, setahun lagi. Tapi ku yakin kau akan terpikat”

“Mengapa kau begitu yakin?”

“Karena aku tak pernah gagal memikat lelaki”

“Kan sudah kubilang selalu ada saat pertama untuk setiap hal”

“Bukankah itu semakin membuktikan bahwa selalu akan ada saat dimana kau terpikat padaku?”

“Apakah kau yakin saat itu akan tiba? Bisa saja sebelum saat itu tiba, kau sudah mati”

Si nona terdiam. Memang satu-satunya ‘orang’ yang tidak akan terpikat oleh kecantikannya adalah malaikat maut.

Lama sekali mereka saling berpandangan.

“Aku mau pergi” kata si nona.

“Pergilah”

“Kau seharusnya secepatnya menemui sahabat-sahabatmu.” Sambil berkata begitu ia sudah menghilang dari hadapan Cio San.

Apakah nona ini mengancam?

Related Posts:

0 Response to "Bab 50 Di Tengah Hujan dan Di Tengah Malam"

Posting Komentar