Ji Hau Leng |
Cio San berjalan pelan-pelan saja. Kini hari sudah mulai sore. Matahari yang perlahan menuju barat, seperti mengiringi langkahnya. Langkah yang perlahan, namun tegap dan pasti. Ia melangkah seolah-olah tidak ada satu pun hal yang dapat memberhentikan langkah itu.
Guguran bunga kadang-kadang jatuh di kepalanya. “Bunga Bwee lagi”
Kenapa hari ini aku selalu berurusan dengan bunga Bwee?
Urusan hari ini memang besar. Tapi ia malah tambah bersemangat, karena di dalam kepalanya, ia mulai melihat titik cerah dalam urusan ini.
Ia melangkah sambil tersenyum. Sambil sesekali melompat tinggi memetik buah-buahan untuk dinikmatinya.
Hidup sebebas ini, hidup senyaman ini, hidup senikmat ini. Bahkan kaisar pun tidak pernah menikmatinya.
Kadang-kadang Cio San heran dengan orang-orang yang hidupnya mereka habiskan untuk mengejar harta dan kehormatan belaka. Apakah mereka yakin mereka akan hidup sampai esok hari? Jika hidup dihabiskan mengejar hal hal semu seperti itu, lalu kapan mereka menikmati hidupnya?
Bukankah umur harus dijalani dengan gembira?
Bagaimana kau bisa gembira jika urusan pekerjaan melingkupi kepalamu?
Orang yang menikmati hidupnya bukan orang yang pemalas. Orang yang menikmati hidupnya adalah orang yang bersyukur atas apa yang ia miliki. Dan memanfaatkan apa yang dimiliknya untuk dirinya dan orang lain.
Oleh karena itu Cio San menyerahkan dirinya untuk orang lain. Memang banyak urusan yang tak ingin dicampurinya, tetapi hatinya selalu mendorongnya untuk menegakkan kebenaran. Ia akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Dengan segenap kekuatannya. Tetapi IA AKAN MELAKUKANNYA DENGAN CARANYA SENDIRI.
Orang seperti ini akan selalu tersenyum dalam hidupnya. Karena baginya segala perjalanan hidup adalah kebahagiaan. Penderitaan dan kesusahan adalah jalan baginya untuk menikmati dan menghargai kebahagiaan. Walau kebahagiaan itu hanya berupa sinar matahari, hujan, atau sesendok nasi.
Inilah Cio San!
Pemuda yang belum dewasa benar, tapi telah menggetarkan dunia!
Kau tak perlu menjadi manusia paling tampan, kau tak perlu menjadi manusia paling cerdas, kau tak perlu menjadi manusia paling kaya untuk bisa menikmati indahnya dunia. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri!
Toh ketampanan akan hilang saat kau tua, kepintaran bisa hilang saat kau pikun, dan kekayaan bisa hilang lenyap dalam hitungan hari. Tapi jati dirimu, tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya darimu. Dirimu adalah dirimu. Diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Mengapa harus menangis dan menyesali kekurangan? Toh semua orang memiliki kekurangan. Tapi tidak seorang pun yang memiliki kelebihanmu, jati dirimu, dan harga dirimu.
Pemandangan dunia seindah ini, mengapa manusia tidak pernah menghargainya? Dunia seluas ini, mengapa takut tak punya tempat?
Cio San tersenyum. Karena kini di depannya ada orang yang tersenyum pula kepadanya.
“Bukankah tuan adalah Mo Kauw Kaucu Cio San yang terhormat?” kata orang di depannya sambil menjura.
Orang di depan Cio San ini sangat tampan. Hampir sama tampan dengan Beng Liong. Bajunya pun bersih dan wangi. Yang mengherankan adalah bajunya penuh tambalan. Tetapi tambalan-tambalan ini malah membuat pakaiannya terlihat unik dan menarik.
“Cayhe tidak berani menerima hormat dari Kay Pang Pangcu Ji Hau Leng yang terhormat” kata Cio San sambil menjura pula.
Dua orang ini belum sekalipun bertemu dalam hidup mereka masing-masing. Tapi sudah saling mengenal. Kalau bukan karena nama mereka sendiri sudah menggetarkan dunia, hal ini tak akan mungkin terjadi.
“Ah, pandangan kaucu tajam sekali. Tidak berani…tidak berani…” kata Ji Hau Leng
“Ah, justru cayhe yang tidak berani. Adalah suatu kehormatan bertemu dengan pangcu di sini” kata Cio San
“Hmm, sejak dahulu cayhe memang sudah ingin bertemu dengan pangcu, cuma rasa-rasanya kalau tidak bertemu dan mengundang sendiri, sepertinya kurang menghargai”
“Haha. Cayhe tidak berani bermimpi mendapatkan kehormatan seperti itu.” Tukas Cio San sambil menjura.
“Cayhe memang sengaja datang sendiri menjemput Kaucu. Kiranya kaucu sudi mampir ke tempat kami para pengemis jalanan” kata Ji Hau Leng
“Ah, undangan seperti ini di dunia ini mana ada orang berani menolaknya? Sebuah kehormatan besar, pangcu”
“Mari silahkan”
Mereka berjalan dengan santai. Tak perlu menunjukkan ginkang. Tak lama mereka telah sampai di markas utama Kay Pang. Sebuah rumah besar di pinggiran kota. Rumah ini lumayan besar dan megah. Tapi saat masuk, Cio San kagum juga rumah ini tidak ada isinya sama sekali. Cuma kursi dan meja yang terbuat dari bambu.
Rumah ini sendiri dari luar terlihat bersih. Tapi banyaknya pengemis yang tinggal dan berlalu lalang di sana membuat rumah ini terlihat sedikit suram. Saat mereka berdua tiba, semua orang memberi hormat dan salam. Cio San membalas dengan ramah pula.
“Harap Cio-kaucu tidak kecewa dengan isi rumah kami. Memang hanya ini yang kami miliki.” Kata Ji Hau Leng.
“Justru melihat keadaan rumah seperti ini, cayhe jadi kagum. Betapa sederhana dan bebasnya seorang pangcu dari partai terbesar di Bu Lim”
“Haha. Partai besar hanya nama kosong. Cuma berisi pengemis-pengemis kotor seperti kami, apa pula yang bisa dibanggakan?” kata Ji Hau Leng sambil tertawa.
“Nama kosong atau bukan, tetap saja tak seorang pun di dunia ini yang berani mencari gara-gara dengan Kay Pang.” Ujar Cio San yang langsung ditimpali dengan senyum oleh Ji Hau Leng.
Tak lama setelah mereka duduk, datang seorang pengemis kecil membawakan arak. Mencium harumnya saja, Cio San sudah hampir mabuk.
“Mari kaucu, silahkan” ia berkata begitu setelah menuangkan arak ke cangkir Cio San dan cangkirnya sendiri.
Mereka bersulang, dengan mengangkat cangkir. Dalam adat Tionggoan, tamu tak boleh mengangkat cangkir lebih tinggi daripada tuan rumah. Kecuali tamu itu pembesar, atau lebih tua umurnya, atau dituakan. Cio San merasa dirinya tidak termasuk ketiga golongan itu, maka ia mengangkat cangkirnya lebih rendah.
Melihat ini Ji Hau Leng kagum dengan kerendah-hatian Cio San. Ia pun menurunkan cangkirnya agar sama rendah dengan Cio San.
“Arak hebat!” kata Cio San.
Tuan rumah biasanya senang jika dipuji 3 hal oleh tamunya, isi rumahnya, anak-anaknya, dan suguhan makanannya.
Tentu saja itu arak hebat. Jika bukan arak hebat, masa Ji Hau Leng berani menyuguhkannya kepada Cio San?
Kebiasaan minum Mo Kauw Kaucu yang baru ini rupanya sudah terdengar ke mana mana. Baru sekarang Cio San paham rupanya partai-partai besar semuanya sudah menaruh perhatian kepadanya.
“Jika cayhe bertanya apa nama arak ini kepada Cio-pangcu, tentunya adalah suatu kekurangajaran. Tapi cayhe sendiri memang tidak terlalu paham arak. Arak apa saja cayhe minum sampai habis. Hahahahah”
“Arak bukankah harus diminum, pangcu? Membahas arak hanya akan membuat mulut kita berbusa. Hahaha”
“Ah benar-benar, untuk kebodohan ini, cayhe pantas dihukum 3 cangkir arak” ia berkata begitu sambil benar-benar melakukannya. Minum tiga cangkir.
“Kalau tuan rumah saja menghukum dirinya dengan 3 cangkir, masa tamu hanya boleh memandang dan minum seteguk?” Cio San sendiri lalu minum 4 cangkir.
“Hahaha, cayhe yang bodoh ini malah tidak menawarkan. Kesalahan ini harusnya dihukum setidaknya 5 cangkir.”
Mereka melakukannya terus menerus. Para peminum memang selalu mencari alasan untuk minum lebih banyak. Bahkan jika harus tanpa alasan pun, pasti akan mereka lakukan. Sudah tak terhitung berapa kali pengemis lain mengantarkan berguci-guci arak. Tetap saja habis dan mereka tertawa dengan riang, sambil bercanda.
“Memang untuk urusan minum, cayhe mengaku kalah” kata Ji Hau Leng sambil menjura. Wajahnya sudah memerah. Sepertinya ia memang sudah mulai mabuk.
“Cayhe angkat tangan saja sudah tidak bisa, bagaimana bisa dibilang menang? Hahaha”
Akhirnya kedua orang itu tidur saja di atas meja. Hari telah larut malam. Bintang-bintang bersinar dengan cerah.
Cio San dengan malas bangkit dari mejanya. Ia ingin pergi ke ‘belakang’. Banyak ‘air’ yang masuk, banyak juga yang harus dikeluarkan. Ia bertanya kepada salah seorang penjaga yang ada di situ. Penjaga itu kemudian mengantarkannya ke ‘belakang’.
Setelah urusannya selesai, penjaga itu masih menungguinya. Sambil berjalan kembali, Cio San sekedar berbasa-basi,
“Wah, banyak sekali ya anggota Kay Pang. Kira-kira ada berapa ribu?”
“Jumlah pastinya hamba tidak paham tuan, tapi ada puluhan ribu. Beberapa tahun ini jumlahnya bertambah berkali-kali lipat”
“Oh? Bagus sekali. Partai lain pertambahan anggotanya pasti tidak sebanyak Kay Pang tentunya” kata Cio San
“Iya, Kay Pang memang partai besar. Nama besarnya sudah dikagumi” kata pengemis itu.
Entah dia tidak paham sopan santun, atau dia tidak mengerti dengan siapa ia bicara. Tetapi memuji-muji partai sendiri di hadapan ketua partai lain, adalah hal yang keterlaluan. Tapi Cio San santai saja, ia memang tidak pernah memandang hal-hal seperti ini berlebihan. Ia bertanya lagi,
“Memang selain nama besar, kira-kira apa yang menyebabkan orang banyak sekali bergabung dengan Kay Pang anda?”
“Tentu saja karena mereka kagum dengan pangcu kami, Ji-tayhiap. Selain masih muda, kesaktian dan kebijaksanaan beliau hampir tiada bandingannya” jelas si pengemis
“Oh tentu saja. Cayhe sendiri tertarik masuk Kay Pang kalau seumpama sebelumnya cayhe tidak bergabung dengan partai sekarang” kata Cio San
“Memangnya partai tuan sekarang apa?” tanya si pengemis
“Partai cayhe adalah Mo Kauw” jawab Cio San sambil tersenyum.
“Oh” hanya itu yang keluar dari mulut si pengemis. Selama ini Kay Pang dan Mo Kauw memang saling menghormati, dan tidak pernah mencampuri urusan masing-masing.
Ketika memasuki ruangan tempat ia tadi minum-minum, Cio San melihat si pangcu masih tidur tertelungkup di atas meja. Telinga Cio San kemudian mendengarkan sesuatu di luar. Rupanya si pangcu juga mendengarnya, ia langsung terbangun dan bersikap siaga.
Cio San sangat mengagumi ketajaman telinga dan kesiagaan sang pangcu muda ini.
“Itu bukan anak buah pangcu?” tanya Cio San
“Bukan.” Jawab Ji Hau Leng. Ia lalu memberi perintah, “ A Tou, siagakan saudara-saudara yang lain”
Tak berapa lama terdengar teriakan dari luar gerbang,
“Cayhe Tio-Ciangkun (jenderal besar), meminta ijin bertemu dengan Ji-pangcu”
Untuk sekelas Pangcu dari Kaypang, memang harus jenderal sendiri yang menemui.
“Bukakan gerbang” perintah Ji Hau Leng
Gerbang dibuka. Tampak ratusan prajurit ada yang berjalan kaki, ada yang naik kuda.
“Mohon ijin untuk masuk” kata orang yang bernama Tio-Ciangkun itu. Tubuhnya tinggi besar dan bercambang lebat. Pakaian perangnya membuatnya tampak sangat gagah.
“Silahkan, Ciangkun” kata Ji Hau Leng.
“Dengarkan titah kaisar” suara Ciangkun menggelegar sambil memperlihatkan segel kerajaan. Begitu mendengar itu, semua orang langsung berlutut. Tio-ciangkun mengelurkan sebuah surat perintah, dan membacakannya dengan suara lantang.
“Aku kaisar Yong Lu,
Memohon bantuan kepada Kay Pang pangcu untuk turut terlibat langsung dengan pasukan kerajaan menghadapi serangan pasukan Mongol di perbatasan barat. Bantuan tenaga dan pikiran dari Ji-tayhiap akan dihitung sebagai jasa besar terhadap negara. Dan akan dihargai sebesar-besarnya.”
Sebuah surat perintah yang singkat dan tanpa basa basi.
“Titah kaisar, selesai”. Semua orang berdiri.
“Ji Hau Leng terima titah kaisar!” kata Ji Hau Leng. Ia lalu berdiri dan berkata,
“Selamat datang ciangkun, mari silahkan masuk ke dalam” kata Ji Hau Leng sambil menjura.
Sang jendral dan beberapa pengawalnya masuk ke dalam ruangan. Cio San sendiri sudah berbaur dengan para pengemis. Dia tidak ingin keberadaannya membuat Ji Hau Leng bingung harus menjamu siapa.
“Maaf cayhe datang malam-malam buta seperti ini mengganggu ketentraman pangcu. Tapi situasi di garis perbatasan sudah mulai genting. Pasukan kita sudah mulai kewalahan, oleh sebab itu kaisar memerintahkan pengiriman pasukan dalam jumlah besar. Bantuan orang-orang Kang Ouw sangat dibutuhkan negara” kata Tio Coangkun. Ia bicara pelan saja, tapi suaranya menggelegar.
“Mulai kapan tenaga kami dibutuhkan?” tanya Ji Hau Leng.
“Secepatnya. Cayhe dengar ada pertemuan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay San beberapa bulan lagi. Mungkin pangcu bisa mengirimkan beberapa anggota Kay Pang untuk bergabung dengan pasukan kami dulu. Setelah urusan di Thay San seklesai, pangcu kemudian bisa bergabung”
“Hmmm, baiklah. Mari ciangkun dan saudara sekalian, silahkan nikmati suguhan kami yang tidak seberapa”
Ada arak, dan makanan yang cukup mewah. Mereka berbincang mengenai peperangan sampai fajar menjelang. Pasukan Tio Ciangkun sudah berkemah di luar. Memang halaman di depan gerbang markas Kay Pang sangat luas.
Tio Ciangkun dan pengawalnya lalu beristirahat di kamar yang disediakan Ji Hau Leng khusus untuk tamu-tamu istimewa. Cio San sendiri sudah lebih dahulu tidur. Berkumpul bersama pengemis-pengemis yang kumuh di lantai bagian belakang markas. Ji Hau Leng awalnya ingin membangunkan, tetapi melihat Cio San yang tertidur pula bahkan sambil mendengkur pula, ia tidak tega dan malah tersenyum.
Saat Cio San bangun, rupanya telah memasuki tengah hari. Tidurnya pulas sekali. Ia melihat pasukan kerajaan sudah membongkar kemah dan siap-siap pergi. Ia bangkit dan melihat-lihat keramaian. Saat itu secara tak sengaja Tio Ciangkun melihatnya.
“Siapakah saudara ini? Semalam cayhe melihatnya, tapi rupanya sudah pergi tidur duluan.” Katanya sambil tertawa. Dalam hati Cio San kagum juga dengan ketajaman pandangan si jendral. Dari pakaiannya, tentu saja si jendral tahu ia bukan anggota Kay Pang.
“Ah, perkenalkan Ciangkun. Ini sahabat cayhe, namanya Cio San. Dia sedikit pemalu. Makanya saat ada ramai-ramai, ia memilih pergi duluan” kata Ji Hau Leng. Ia tidak memperkenalkan Cio San sebagai pimpinan Mo Kauw, karena itu tahu partai Mo Kauw punya hubungan yang kurang mesra dengan kerajaan.
Cio San menjura.
“She (marga) Cio? Apa ada hubungan dengan jenderal besar Cio Hong Lim?”
Cio San kaget juga nama kakeknya disebut, ia lalu berkata,
“Kebetulan beliau adalah kongkong (kakek) hamba” katanya sambil tersenyum. Ia menggunakan sebutan hamba untuk menempatkan posisi dirinya lebih rendah. Padahal sejak tadi Ji Hau Leng menggunakan sebutan cayhe untuk dirinya sendiri saat berbicara dengan Tio-ciangkun. Jika orang menyebut dirinya sendiri cayhe, maka ia menganggap dirinya setara dengan orang yang ia ajak omong.
Ji Hau Leng bisa melihat betapa Cio San merendahkan diri sendiri.
“Ah, cayhe berhadapan dengan keluarga pahlawan rupanya. Mohon maaf tidak mengenal” kata si jendral sambil menjura.
“Tidak berani…tidak berani…yang pahlawan adalah kakek hamba. Hamba cuma sekedar keturunan yang tidak bisa menjaga nama keluarga” kata Cio San tersenyum.
“Ah Cio-enghiong jangan terlalu sungkan. Tidak sembarang orang yang pantas dianggap sahabat oleh Ji-pangcu. Kalau Ji-pangcu sudah anggap sahabat, berarti orang itu pasti orang terhormat dan dari kalangan baik-baik. Betul tidak, pangcu?” ujarnya sambil tertawa menggelegar.
Bertemu orang ini di medan perang, akan membuatmu lari terbirit-birit atau terkencing-kencing. Cio San bisa paham mengapa orang ini bisa menjadi jendral. Kecerdasan, keberanian, dan keterus terangannya membuat ia menjadi jendral yang disegani.
Setelah berbasa-basi sebentar, Tio-ciangkun lalu minta diri. Pasukannya sendiri sudah siap berangkat sejak tadi. Mereka pun pergi melanjutkan perjalanan ke barat.
“Orang yang hebat, bukan?” tanya Ji Hau Leng.
“Tentu saja” tukas Cio San sambil tersenyum. Lanjutnya, “Sepertinya cayhe pun harus meminta diri pula. Ada beberapa urusan yang harus cayhe selesaikan. Terima kasih banyak atas jamuan Ji-pangcu”
“Ah, mengapa terburu-buru kaucu? Baiklah-baiklah. Cayhe tidak berani menahan Kaucu lebih lama”
Mereka berdua saling menjura dan memberi hormat. Cio San lalu meminta diri. Berjalan santai dan apa adanya. Ji Hau Leng menatap punggunya sambil geleng-geleng kepala,
“Orang sehebat ini namun memiliki kerandahan hati. Amat jarang ada orang seperti dia”
0 Response to "Bab 48 Pertemuan Pertama"
Posting Komentar