Bab 51 Serigala



Bwee Hua Sian sudah menghilang dari hadapannya. Ia masih tetap tersenyum. Dalam hujan lebat seperti ini, hanya orang gila yang mau berada di luar. Suma Sun, Bwee Hua, dan Tujuh Pendekar Cantik Go Bi Pay. “Mereka mungkin semua sudah gila” pikir Cio San.

Ia lalu kembali ke dalam kuil dan tidur.

Malam semakin larut, hujan semakin lebat, dan siapa yang akan tahu jika ada musuh yang menanti? Tapi Cio San memilih pergi tidur. Seolah-olah tidak ada satu pun di dunia ini yang sanggup menghalanginya untuk tidur.

Saat pagi ia terbangun. Hujan sudah berhenti. Yang tertinggal hanya kesejukan embun pagi dan matahari pagi yang hangat. Tubuhnya terasa segar. Dengan sekali lompatan, ia sudah memetik beberapa buah-buahan yang berada di pepohonan.

Segar!

Hari ini dimulai dengan semangat dan kesegaran. Memang begitulah seharusnya seseorang memulai harinya. Apa yang terjadi di depan nanti, toh belum terjadi. Mengapa harus kau pikirkan dan takutkan?

Dan jika terjadi, ya harus kau hadapi. Memangnya kau bisa menghindarinya?

Ia berjanji untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya di kota Bu Tiau. Segera ia bergegas ke sana. Larinya sangat cepat. Gerakannya sangat ringan. Jika ada yang melihat tentu akan berdecak kagum melihat kehebatan Ginkangnya. Sayangnya, di kolong langit ini yang sanggup melihat gerakannya mungkin hanya beberapa orang saja.

Perjalanan yang cukup panjang. Ia hanya berhenti sebentar untuk istirahat, dan makan buah-buahan. Untuk mengisi kekuatannya. Cio San tidak pernah mau membuang-buang kekuatannya. Jika ia mengeluarkan kekuatannya, haruslah dilakukan dengan sabaik-baiknya, dengan tujuan sebaik-baiknya, dan dengan perhitungan sabaik-baiknya.

Karena itulah ia selalu ada dalam kondisi terbaik untuk bertempur.

Karena ia tidak pernah mau merepotkan diri memikirkan segala kesusahan yang akan terjadi nanti, maka itulah ia selalu mempersiapkan kondisi terbaik bagi tubuh, pikiran, dan jiwanya.

Apa yang akan terjadi, terjadilah!

Sampai memasuki tengah hari, ia telah memasuki gerbang kota Bu Tiauw. Kota ini merupakan salah satu kota paling ramai di Tionggoan. Kota ini sangat padat dan ramai sekali perdagangannya. Cio San tidak begitu suka dengan kota seperti ini. Tapi dia lumayan menikmati pemandangan yang dilihatnya,

Berbagai macam orang lalu lalang dengan segala urusannya. Jalanan juga di penuhi kereta dan orang berkuda. Suasana hiruk pikuk ini mengingatkan Cio San kepada pasar. Rasa-rasanya seperti seluruh kota ini adalah pasar.

Walaupun kota ini sangat ramai dan penuh kesibukkan, kota ini terlihat sangat bersih dan rapih. Jauh lebih bersih daripada kota-kota lain yang sudah dikunjunginya. Setelah bertanya-tanya sebentar, Cio San akhirnya menemukan tempat yang dicarinya. Penginapan terbaik. Ia telah berjanji untuk menemui sahabat-sahabatnya di sana.

Penginapan itu bernama “Penginapan Seribu Bunga”. Mengingat kata ‘bunga’, ia jadi teringat Bwee Hua Sian lagi. Membuatnya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Lelaki memang kadang melakukan hal seperti ini jika teringat beberapa orang perempuan yang dikenalnya.

Ia melangkahkan kaki memasuki penginapan itu. Ruang depan di penginapan itu memang berfungsi juga sebagai restoran. Saat itu telah memasuki waktu makan siang, sehingga terlihat ramai sekali. Begitu ia masuk, seorang pelayan menghampirinya.

“Tuan ingin menginap, atau memesan makanan?” tanyanya sopan.

“Saya mencari beberapa orang sahabat yang menginap di sini”

“Oh siapa nama-nama mereka tuan?”

Cio San tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Tentunya mungkin sahabat-sahabatnya tidak menggunakan nama asli ketik menginap.

“Oh, ada 4 orang. Salah satunya wanita berambut putih, dan seorang pria botak”

“Hmmmm…” si pelayan mengingat-ingat sebentar. Lalu berkata “Setahu ini selama beberapa hari ini tidak ada tamu yang berciri-ciri demikian”.

“Apakah selama ini penginapan ini selalu penuh?” tanya Cio San

“Selama beberapa hari ini kami justru memiliki banyak kamar kosong”

“Ahhh…baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak” kata Cio San sambil menjura. Ia lalu pergi.

Dugaannya ternyata benar. Sahabat-sahabatnya telah mengalami sesuatu hal.

Tapi kenapa ia tidak segera bertindak, jika ia sudah menduga demikian?

Ketika Bwee Hua Sian bilang bahwa ia seharusnya cepat-cepat menemui sahabatnya, ia sudah tahu bahwa sahabat-sahabatnya itu pasti sudah jatuh ke tangan Bwee Hua. Oleh sebab itu, ia tidak segera berangkat menyusul karena ia tahu percuma saja. Ia memilih tidur untuk memulihkan kekuatannya.

Ia kemudian pergi ke kota ini hanya untuk benar-benar memastikan bahwa mereka memang diculik. Ia yakin bahwa mereka diculik. Tidak mungkin si otak besar membunuh mereka. Karena mereka lebih berharga saat hidup daripada saat mati.

Otak besar pasti akan menggunakan mereka untuk mengancam dirinya.

Oleh sebab itu ia bersikap menunggu saja. Suatu saat, si otak besar pasti akan menghubunginya. Ia berjalan menyusuri kota. Jika sedang berpikir, ia memang suka sambil berjalan. Begitu selesai, wajahnya bersinar, dan matanya berkilat-kilat.
Ji Hau Leng!

Ya, Ji Hau Leng terlibat dengan semua ini.

Itulah kenapa Ji Hau Leng mencegatnya di jalan dan mengundangnya datang ke markas mereka. Mengajaknya untuk minum sampai mabuk. Agar ia tak dapat segera menyusul teman-temannya.

Rupanya partai terbesar dalam Kang Ouw terlibat semua ini. Itulah kenapa jumlah anggotanya bertambah berkali lipat dalam beberapa tahun belakangan ini. Mereka punya rencana besar yang akan mereka laksanakan dalam waktu dekat ini.

Cio San kemudian bergegas. Dalam keramaian ia mencari-cari orang. Entah siapa yang dicarinya. Tak lama kemudian ia menemukan orang yang dicarinya itu.

“Selamat siang” kata Cio San sambil menjura.

“Siang” kata orang itu menjawab sekenanya.

“Angin dari barat menyapa. Apakah saudara merasakan cahayanya?” kata Cio San

Orang itu kaget sebentar.

“Cahaya di depan mata. Masakah kami buta? Tapi entah siapa pembawa cahaya ini?” kata si orang itu.

“Raja tanpa mahkota, adalah kaisar di tengah cahaya”

Si orang terbelalak. Ia lalu menjatuhkan diri,

“Mohon maaf, hamba tidak mengenal kaucu! Hamba pantas mati..pantas mati!”

“Berdirilah, dengarkan perintah ketua” kata Cio San

Orang itu lalu berdiri.

“Siapa nama saudara? Apakah dari cabang Bu Tiauw?” tanya Cio San.

“Nama hamba Kou Sim. Hamba adalah wakil ketua cabang kota Bu Tiauw. Hamba siap menerima perintah”

“Baik. Saudara Kou Sim, aku memintamu untuk mengantarkan surat kepada Pangcu partai Kay Pang di markas besar mereka. Apa kau tahu di mana markasnya?”

“Tahu, kaucu”

“Baiklah”. Cio San lalu merobek sedikit kain bajunya yang menjuntai, lalu kemudian menuliskan sesuatu.

MENANTIKAN KEHADIRAN PANGCU DI GERBANG KOTA BU TIAUW BESOK SAAT TENGAH HARI
HORMAT KAMI

CIO SAN- MO KAUW KAUCU


“Jaga jangan sampai surat ini jatuh ke orang lain. Kau juga harus memastikan bahwa surat itu benar-benar sampai ke tangan Ji-pangcu. Bisa?”

“Hamba akan menjaga surat ini dengan nyawa hamba, kaucu”

“Baiklah. Jasamu akan kuingat. Segera berangkat sekarang juga”

“Hamba pergi. Mohon doa dan perlindungan kaucu”

Cio San hanya mengangguk dan tersenyum.

Mereka bedua pun saling berpisah. Cio San memilih pergi ke sebuah rumah bordil. Mencari sebuah rumah bordil terbaik jauh lebih gampang daripada bernafas. Maka Cio San kini sudah sampai di pintunya.

Ia sudah di sambut dengan senyuman beberapa orang gadis yang amat cantik.

“Silahkan masuk tuan….silahkan menikmati hidangan”

Cio San balas tersenyum. Jika ada wanita yang tidak kau kenal tersenyum kepadamu, kau harus balas tersenyum pula. Kalau tidak kau yang akan dianggapnya gila. Tetapi jika kau tersenyum duluan kepada wanita yang tidak kau kenal, maka ia yang akan menganggapmu gila.

Begitu masuk, suasanya rumah bordil ini memang seperti rumah bordil lainnya. Puluhan wanita cantik dengan dandanan penuh gincu sedang melayani banyak lelaki. Biasanya melayani minum atau makan hidangan. Jika kau memutuskan untuk menggunakan ‘layanan’ yang ‘lebih’, maka kau akan meneruskannya ke dalam bilik-bilik yang sudah tersedia.

Seorang gadis mendatanginya,

“Tuan mari silahkan duduk, meja di sana masih kosong. Mari kutemani” ia berkata begitu sambil menggenggam tangan Cio San dan menariknya ke meja kosong.

Perempuan kalau sudah punya kemauan, maka gayanya menarik tanganmu akan seperti ini. Seperti iblis yang menarikmu ke neraka.

“Tuan ingin minum arak apakah? Kami punya semua arak terbaik yang ada di dunia”

Heran. Dia begitu ramah terhadap pemuda yang berpakaian sederhana dan penampilan biasa seperti Cio San. Walaupun Cio San memang sangat tampan, tapi gaya berpakaiannya ini sedikit awut-awutan dan tidak mentereng.

Yang tidak perlau kau herankan adalah, wanita-wanita ini sudah punya banyak pengalaman tentang lelaki. Jika kau ada dalam kerumunan ratusan orang pun, dalam sekali pandang ia bisa membedakan orang yang bertulang kere, atau yang kaya raya.

Karena orang-orang terkadang salah menilai. Mereka menilai orang kaya atau miskin dari baju yang mereka pakai. Padahal orang kaya yang berpakaian mentereng sangat sedikit ketimbang orang kaya yang berpakaian sederhana. Entahlah kenapa mereka berpakaian sederhana. Mungkin takut jika banyak pengemis akan datang meminta-minta kepada mereka.

Dan orang-orang miskin pun kadang menghabiskan banyak uang hanya untuk membeli baju mentereng. Mungkin supaya mereka bisa merasa lebih dihargai orang.

Tetapi nona-nona yang ada di tempat seperti ini, tidak mungkin salah. Mata mereka adalah mata elang. Bahkan jika kau sembunyi di balik pintu pun, ia akan tahu jika ada orang kaya bersembunyi di balik pintu.

Tanpa diminta, pelayan sudah satang membawa arak yang wangi. Si nona menuangkannnya ke dalam cawan. Lalu memberikannya kepada Cio San dengan penuh mesra. Tanpa arak pun Cio San bisa mabuk melihat betapa mesranya nona itu kepadanya.

“Siapa nama nona?” tanya Cio San sopan

“Ah, aku sampai lupa memperkenalkan nama. Kadang-kadang jika bertemu pria tampan, aku memang suka bingung tak tahu harus melakukan apa”

“Hahaha” mereka berdua tertawa

“Eh, namaku Cin Cin. Tuan yang gagah siapakah namanya?”

“Namaku Cio San”

“Ah nama yang bagus sekali tuan” ia tersenyum sambil menatap mata Cio San.

Kadang-kadang Cio San memang suka bingung menghadapi wanita yang langsung menatap matanya. Takut kalau-kalau sinar mata wanita malah akan menyihirnya atau membuatnya sedikit mabuk. Di dunia ini memang yang paling indah sekaligus juga menakutkan adalah mata wanita.

Jika kau berani menatapnya, maka bersiap-siaplah kau terjatuh ke dalam dunia mimpi.

Mereka menghabiskan seguci arak. Cio San mengeluarkan satu tael emas. Begitu melihat uang satu tael itu, mata si nona terbelalak.

“Cin-siocia (nona Cin), aku ingin bertanya. Apakah kau pernah melihat sahabatku kesini? Ciri-cirinya rambutnya sedikit merah. Bajunya putih semua. Dan selalu menenteng pedang”

“Ah maksud tuan Suma-tayhiap? Tentu saja. Sejak semalam ia sudah menginap di sini”

“Antarkan aku menemuinya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya”

“Baik. Mari sini, tuan” katanya sambil menggandeng tangan Cio San.

Mereka menuju ke sebuah bilik. Si nona mengetuknya,

“Suma tayhiap, aku datang mengantarkan sahabat tuan”

Dari dalam terdengar suara,

“Masuklah Cio San” suaranya pelan dan tenang. Tapi terdengar jelas sampai ke luar pintu.

Cio San membuka pintu dan melangkah masuk. Tidak ada suara dari langkah-langkah ini. Rupanya dengan car ini Suma Sun tahu bahwa yang datang bersama Cin Cin adalah Cio San Hanya Suma Sun sendirian yang ada di sana. Ia tidak mempersilahkan Cio San duduk, tapi Cio San sudah duduk.

“Terima kasih nona Cin Cin. Tolong tinggalkan kami sendirian. Selesai ini, kau akan kupanggil kembali” kata Cio San sambil menyelipkan uang satu tael.

Ada uang, si nona pun menurut. Nona mana saja akan menurut.

“Bantuan apa yang kau minta dari ku?” tanya Suma Sun. Begitu dingin.

“Kau yakin dengan pedangmu?”

“Tidak” jawab Suma Sun. Lanjutanya,

“Tapi aku yakin dengan diriku”

“Baiklah. Kau yakin menang melawan siapapun?” tanya Cio San lagi.

“Jika mereka punya nama”

“Baiklah. Aku percaya kepadamu, karena itu aku datang. Aku belum bisa memberitahukan siapa namanya. Tapi orang-orang yang kita akan hadapi sungguh banyak”

“Siapa lagi yang kau ajak?”

“Beng Liong” kata Cio San.

“Itu sudah cukup” kata Suma Sun.

“Aku terpaksa memintamu berangkat sekarang” kata Cio San

“Kemana?” tanya Suma Sun.

“Tolong kau cari Cukat Tong dan beberapa orang anak buahku”

“Itu saja?”

“Itu saja”

“Dan setelah itu hutangku lunas?”
“Kau tidak pernah berhutang kepadaku” jelas Cio San.

Sum Sun hanya mengangguk. Lalu ia berdiri dan menenteng pedangnya.

Ia keluar ruangan itu dengan tenang. Langkahnya halus bagaikan anak perempuan yang sedang dipingit. Ia tidak bertanya kemana harus pergi. Kemana harus mencari. Sikapnya seperti Cukat Tong yang saat itu dimintai tolong oleh Cio San untuk mencari contoh racun.

Sejak kecil ia sudah hidup di alam bebas sendirian. Mencari makan dan bertahan hidup sendirian. Hidup di dalam alam yang ganas. Berburu telah dilakukannya sejak kecil. Apalagi hanya mencari jejak manusia.

Serigala.

Melihat Suma Sun, Cio San teringat dengan serigala.

Begitu Suma Sun keluar, Cin Cin masuk.

“Tuan butuh apa? Bisa ku bantu?”

“Kemarilah”

Nona itu datang dan duduk di pangkuan Cio San.

“Katakan pada tuanmu untuk segera menghubungiku, dan tanyakan apa maunya”

Belum sempat nona itu berkata apapun, Cio San sudah menendangnya keluar jendela.  Kebetulan jendela itu memang terbuka, dan tendangan Cio San bukan tendangan mematikan. Si Nona itu tidak terluka sedikit pun.

“Kenapa perempuan senang sekali berfikir kalau semua lelaki di dunia ini sudah pikun seluruhnya?” tanya Cio San dalam hati sambil geleng-geleng kepala.

Related Posts:

0 Response to "Bab 51 Serigala"

Posting Komentar