Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 083

Tentu saja para pemberontak yang sudah berkumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur dan nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu telah dikepung oleh pasukan kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek Hoat!

Melalui seorang penantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat memerintahkan para pemberontak untuk menyerahkan diri tanpa melawan.

“Ram Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Tempat ini telah terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!”

Tentu saja mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung.
“Ah, tentu ada yang membocorkan rahasia kita,” kata Phang-sinshe. “Tentu ada pengkhianat di antara kita!”

“Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!” bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap tajam wajah Phang-sinshe.

“Siapa? Siapa pangkhianatnya?” tanya semua orang yang berada di situ.

“Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?” kata Brahmani. “Hanya dia seorang yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?”

“Jangan menuduh sembarangan!” bentak Phang-sinshe. “Apa buktinya bahwa muridku yang berkhianat?”

“Buktinya memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang mengkhianati kita!” bentak Brahmani marah.

“Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!”

Kini Phang-sinshe berobah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiripun mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.






“Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri,” kata Panglima Ram Rohan. “Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan untuk membikin kacau dari dalam.”

Karena keadaan sudah mendesak, mereka semua tidak berbantahan lagi dan merekapun memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti.

Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan pernerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak.

Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti inipun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jerih. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah. Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk.

Tidak ada seorangpun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali perajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya.

Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada perajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan.

Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya dan terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!

“Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?” bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!”

Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka yang diwarisi oleh Tek Hoat.

“Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!” sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan Tek Hoat menyerang dengan pedangnya.

Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.

“Cring! Cring! Tranggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong momeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali. Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih menang sedikit, akan tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu, maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat diapun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berobah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing.

Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani.

Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.

Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping. Kakek itu terkejut sekali, tidak pernah mengira bahwa puteri itu dapat bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang seperti terbang saja itu!

Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka diapun hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.

“Tranggg....!”

Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu gin-kangnya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biarpun sang puteri itu memiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sin-kang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidaklah terlalu membahayakan baginya.

Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang.

Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung. Kakek itupun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka diapun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka diapun mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.

Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Kalau orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.

Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itupun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walaupun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah. Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia menjadi penasaran dan marah.

“Haiiiiiitttt!”

Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat.

Terdengar jeritan mengerikan dan dua orang perwira Bhutan roboh tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur. Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas!

Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam diapun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.

Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu membentak,
“Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?”

Tiba-tiba kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!”

“Siapkan anak panah!”

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Daftar Isi

Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 083"

Posting Komentar