Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 084

Tek Hoat memberi aba-aba dan sepasukan pemanah yang sudah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.

“Tahan! Jangan bunuh dia!”

Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee, wajahnya berobah pucat dan diapun cepat sekali membentak,

“Tahan semua senjata!”

Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah dan hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.

“Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?”

Tek Hoat bertanya dengan suara lantang dan dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya. Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut, hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seolah-olah tidak sedang dalam ancaman maut.

“Tidak mungkin....!” Tek Hoat berseru marah.

“Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”

Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikitpun dia tidak kelihatan gentar, matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.

Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Jangan ganggu anakku!”






“Aku tidak akan mengganggunya, selembar rambutnyapun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,” jawab Ceng Liong tenang.

Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang telah menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Kenapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?

“Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?”

“Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andaikata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apakah harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bukan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan.”

Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak perajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?

“Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!” katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.

Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga.

“Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apapun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”

“Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, engkau akan dikutuk!” Tek Hoat masih membantah.

“Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!”

Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat. Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi nyaring,

“Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!”

Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi.

“Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman.”

Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang,
“Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapapun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!”

Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu.

“Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.”

Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih,

“Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?”
Ceng Liong mengangguk.

“Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi.”

“Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?”

Ceng Liong mengangguk. Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang kepada Ceng Liong dengan alis berkerut lalu berkata agak ketus,

“Pergilah cepat!”

Ceng Liong lalu menghampiri gurunya, sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata,

“Mo-ong, mari kita pergi.”

Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja dan ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara ketawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!”

Dan kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorangpun berani menghalanginya, pertama karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya dan kedua kalinya karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.

Tek Hoat menggeleng kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya, dan muridnya itu lebih hebat lagi. Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutanpun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.

Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.

Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.

Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka itu, biarpun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keingginannya memperoleh sesuatu.

Pada lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri sendiri, bahwa mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampaklah dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanya merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi daripada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka harapkan akan dapat mendatangkan bahagia kepada mereka!

Batin yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, biarpun yang menyenangkan itu sudah disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biarpun kita tinggal di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas daripada segala keinginan memperoleh apapun juga.

Seorang pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu, kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir maupun batin.

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Daftar Isi

Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 084"

Posting Komentar