Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.
“Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”
Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan diapun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jerih, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
“Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?”
Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia lalu berkata,
“Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”
Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri.
“Ah, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”
“Tidak!” Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka.
“Justeru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biarpun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapapun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”
Wajah yang tadinya sudah berseri itu berobah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi.
“Ini.... ini.... kami tidak tahu....”
“Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!”
Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu!
“Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”
Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka diapun bangkit berdiri dan berkata lagi,
“Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!”
Pemuda itu lalu menggunakan gin-kangnya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin,
“Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”
Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya.
“She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”
Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.
Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, kini benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tak Hok Sim. Diapun lulus walaupun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan.
Hok Sim dikerumuni ternan-temannya dan kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biarpun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan diapun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil daripada “bualan” teman barunya itu!
Setelah selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu.
“Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merobah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”
Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya.
“Ah, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merobahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.”
“Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!”
Ciang Bun tersenyum. Bagaimanapun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian.
“Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”
“Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merobah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.”
“Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”
“Bagaimanapun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan susah payah. Biarpun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ah, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini juga agar dapat cepat sampai ke rumah.”
“Aku pergi bersamamu, twako. Akupun ingin melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.”
Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan merekapun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.
Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan. Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu.
Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan diapun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walaupun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.
“Tenanglah, twako.”
Dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang dan merekapun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi. Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar,
“Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”
“Akulah orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
“Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”
“Benar, akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.
“Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!”
Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.
“Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”
Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan diapun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jerih, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
“Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?”
Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia lalu berkata,
“Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”
Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri.
“Ah, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”
“Tidak!” Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka.
“Justeru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biarpun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapapun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”
Wajah yang tadinya sudah berseri itu berobah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi.
“Ini.... ini.... kami tidak tahu....”
“Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!”
Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu!
“Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”
Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka diapun bangkit berdiri dan berkata lagi,
“Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!”
Pemuda itu lalu menggunakan gin-kangnya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin,
“Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”
Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya.
“She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”
Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.
Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, kini benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tak Hok Sim. Diapun lulus walaupun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan.
Hok Sim dikerumuni ternan-temannya dan kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biarpun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan diapun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil daripada “bualan” teman barunya itu!
Setelah selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu.
“Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merobah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”
Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya.
“Ah, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merobahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.”
“Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!”
Ciang Bun tersenyum. Bagaimanapun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian.
“Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”
“Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merobah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.”
“Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”
“Bagaimanapun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan susah payah. Biarpun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ah, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini juga agar dapat cepat sampai ke rumah.”
“Aku pergi bersamamu, twako. Akupun ingin melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.”
Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan merekapun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.
Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan. Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu.
Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan diapun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walaupun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.
“Tenanglah, twako.”
Dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang dan merekapun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi. Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar,
“Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”
“Akulah orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
“Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”
“Benar, akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.
“Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!”
Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.
Daftar Isi
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 087"
Posting Komentar