Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 098

“Harap taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Terutama sekali harap Mo-ong suka memaafkan karena sesungguhnya saya bukan bermaksud menentang, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong -taijin yang menjadi atasan saya. Begini, taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang amat penting sekali. Seorang koksu bukan saja harus pandai mengatur siasat dan menasihati atasannya, akan tetapi juga harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi daripada kepandaian orang-orang lain yang membantu taijin. Oleh karena itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang dia sudah cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu.”

Wajah Hek-i Mo-ong berobah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu.
“Hemm...., Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon koksu? Kalau begitu, majulah dan mari kita memperebutkan kedudukan itu!” berkata demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.

Thong Su juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum.
“Ah, satu di antara syarat menjadi koksu haruslah dapat menahan kesabaran hati, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang perajurit, seorang perwira, sama sekali tidak pandai bersiasat, kecuali siasat perang. Dalam hal perang, tentu saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, sedikitpun aku tidak akan menandingimu.”

Hek-i Mo-ong tersenyum
“Kalau engkau tidak ingin menjadi koksu, mengapa engkau mengusulkan agar aku diuji? Nah, kalau engkau hendak menguji, majulah!”

Kembali Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Jangan salah sangka, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali aku tidak percaya akan kepandaianmu. Akan tetapi, tanpa memperlihatkan kepandaian, kedudukan jabatan penting itu berarti kau peroleh terlalu mudah dan tidak mengesankan. Karena itu, engkau harus memperlihatkan kepandaianmu di depan gubernur.”

“Dengan cara bagaimana? Siapa yang akan mengujiku?” tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap takabur karena tokoh ini memang sudah biasa memandang rendah semua orang dan mengangkat diri sendiri di tempat tertinggi.

“Aku sendiri tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang pandai, yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, saudara Siwananda dan saudara Tailucin. Sebagai para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka berempat tidak keberatan untuk membantu taijin menguji kelihaian orang yang pantas menjadi calon koksu. Kelirukah pendapat hamba ini, taijin?”






Gubernur Yong tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.
“Sungguh bagus sekali usul itu! Memang sudah lama aku mendengar akan kelihaian cu-wi lo-sicu yang terhormat. Dan sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sendiri kehebatan para pembantu dan sekutuku. Tentu saja kalau cu-wi tidak berkeberatan.”

Hek-i Mo-ong segera menjawab,
“Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara yang gagah ini melakukan ujian terhadap diri saya.” Ucapan ini setengah merupakan tantangan kepada empat orang yang hadir itu!

Pek-bin Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang sepeti kebanyakan para tokoh kang-ouw selalu “haus” akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu untuk menguji kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang sudah disetujui oleh gubernur dia menjadi gembira sekali.

“Kalau hanya merupakan ujian kepandaian, apa salahnya? Pibu untuk menguji seseorang merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh merasa setuju sekali!”

Tokoh ini baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat, maka diam-diam diapun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-ji yang dikuasai Hek-i Mo-ong!

Tailucin mengerutkan alisnya. Dengan bahasanya yang kaku dan asing diapun berseru,
“Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian kepandaian berkelahi yang tidak akan mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseorang. Kalau sekali saya maju memperlihatkan kepandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu saya menang atau kalah. Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan demikian sebaliknya kalau saya kalah, saya cedera atau mati. Bukankah hal ini akan merugikan sekali bagi persekutuan kita?”

Siwananda hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan teman-temannya yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak mau mengambil tindakan sembrono. Dia tidak mau menyinggung hati seorang di antara mereka yang dianggap menjadi sekutunya, yang akan menguntungkan negaranya dalam pergerakan negaranya. Thai Hong Lama masih memutar tasbehnya ketika dia berkata,

“Omitohud....! Kekerasan tidak akan mengatasi persoalan! Masalah ujian kepandaian ini dapat saja dilakukan tanpa kekerasan, yaitu dengan jalan menguji ketangkasan yang menjadi inti dari ilmu kepandaian silat. Entah Hek-i Mo-ong setuju ataukah tidak dengan pendapat pinceng ini.”

“Ha-ha-ha! Thai Hong Lama memang pandai. Akan tetapi bagiku, diuji secara bagaimanapun juga aku tentu setuju saja, untuk memenuhi harapan Yong-taijin. Nah, katakanlah, bagaimana usulmu itu, Lama?”

“Menggunakan sepasang sumpit untuk menjepit makanan, merupakan hal yang amat mudah dan seorang anak kecil sekalipun akan mampu melakukannya. Akan tetapi, untuk melakukan hal itu, tenaga dalam tangan yang memegang sumpit haruslah seimbang dan tidak boleh terganggu, karena kalau terganggu, banyak bahayanya makanan yang dijepit sumpit akan terlepas. Kalau Mo-ong mempertahankan makanan yang dijepit di antara dua batang sumpitnya agar jangan sampai terlepas ketika menghadapi serangan sampai sepuluh jurus dari kami masing-masing, maka dapat dianggap dia menang. Akan tetapi, pinceng peringatkan kepada Mo-ong bahwa amatlah sukar mempertahankan makanan itu sampai sepuluh jurus serangan karena selain tenaganya harus dibagi, juga kalau dia terlalu mempertahankan makanan itu, tubuhnya terbuka dan dapat menjadi sasaran serangan. Kalau makanan itu terlepas, dia kalah, juga kalau sampai ada serangan yang menyentuh sasaran di tubuhnya, dia dapat dianggap kalah.”

Hek-i Mo-ong yang menghadapi syarat berat ini, tidak menjadi khawatir malah tertawa bergelak.

“Bagus! Bagus! Usulmu itu baik dan cerdik sekali, Lama! Nah, aku sudah siap! Siapa yang bendak menguji lebih dulu? Ataukah kalian berempat hendak maju berbarengan?” tantangnya dan tangan kanannya yang memegang sepasang sumpit itu telah menjepit sepotong daging dari dalam panci masakan.

“Ah, tidak adil kalau maju berbareng. Seyogianya satu demi satu.”

Tiba-tiba Thong-ciangkun berkata dan memang perwira ini cerdik sekali. Selain ingin menguji kemampuan Hek-i Mo-ong, juga ia tidak ingin membuat Raja Iblis itu tidak senang kepadanya karena usulnya tentang ujian tadi, maka kini dia cepat mencela kalau empat orang penguji itu maju semua.

“Dan pula, karena yang boleh menyerang hanya pihak penguji sedangkan Mo-ong sendiri hanya mempertahankan dan tidak boleh membalas, maka terlalu berat bagi yang mempertahankan kalau sampai sepuluh jurus. Lima juruspun sudah cukup baik kalau dia mampu mempertahankan diri.”

Gubernur Yong sudah memiliki kepercayaan mutlak kepada pembantunya ini, maka biarpun dia tidak paham tentang ilmu silat, dia tahu bahwa tentu Thong-ciangkun mempunyai alasan kuat dengan pendapat-pendapatnya itu. Maka diapun mengangguk dan berkata,

“Benar sekali seperti yang dikatakan oleh Thong-ciangkun. Harap maju satu demi satu dan menggunakan lima jurus saja!”

Karena meja di mana mereka duduk itu penuh hidangan, maka Thong-ciangkun lalu mengatur sebuah meja kecil dengan dua bangku berhadapan, terhalang meja. Di atas meja itu hanya ditaruh semangkok masakan dan dua pasang sumpit. Kini Hek-i Mo-ong sambil tersenyum-senyum memandang rendah, duduk di atas sebuah bangku dan memegang sepasang sumpit. Orang-orang lain masih duduk di tempat masing-masing dan memandang dengan penuh perhatian.

Tailucin sudah bangkit dari tempat duduknya dan kini raksasa ini duduk di atas bangku, berhadapan dengan Hek-i Mo-ong terhalang meja. Hek-i Mo-ong lalu menggunakan sumpitnya, menjumput sepotong daging, kemudian mengacungkan daging itu ke depan sambil berkata kepada Tailucin,

“Nah, saudara Tailucin, engkau coba rampas daging ini kalau mampu. Pergunakan sepasang sumpitmu itu!”

Akan tetapi Tailucin hanya memandang ke arah sepasang sumpit yang menggeletak di depannya tanpa menyentuhnya, lalu menggeleng kepala.

“Biarpun banyak bangsaku sudah ikut-ikut makan dengan sumpit, akan tetapi aku sendiri lebih suka makan dengan menggunakan tangan. Oleh karena itu, bagaimana kalau aku mencoba merampas daging itu dari sumpitmu menggunakan tangan saja, Mo-ong?”

Tentu saja kalau lawan menggunakan tangan, keadaan ini amat tidak menguntungkan bagi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena tokoh ini memang angkuh dan memandang rendah lawan, diapun mengangguk.

“Boleh saja, akan tetapi, makan dengan tangan tanpa mencuci tangan lebih dulu, amatlah tidak sehat!” Ucapan ini sama saja dengan mengejek lawan yang memiliki kebiasaan makan tanpa sumpit!

“Mo-ong, jaga seranganku!”

Raksasa Mongol itu membentak tanpa memperdulikan ejekan orang dan tangan kanannya yang besar dan lebar itu terbuka jari-jarinya menyambar ke arah daging di ujung sumpit dengan cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin keras.

“Wuuuutttt....!”

Raksasa itu tercengang karena sumpit yang disambarnya itu tiba-tiba saja lenyap dan sambarannya hanya mengenai angin kosong belaka. Tak disangkanya bahwa lawan dapat bergerak sedemikian cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran dan dengan bentakan nyaring, kini kedua tangannya menyambar dari kanan kiri!

“Ha-ha-ha, agaknya Tailucin biasa makan dengan kedua tangan!”

Hek-i Mo-ong tertawa dan seperti tadi, dia cepat menggerakkan tangan kanannya, mengelak dari sambaran kedua tangan dari kanan kiri itu.

“Plakk!”

Kedua telapak tangan besar itu bertemu seperti bertepuk dan untuk kedua kalinya serangan itu gagal. Wajah raksasa itu menjadi merah karena kembali terdengar Hek-i Mo-ong mentertawakannya.

Karena tadi dia mendengar bahwa usaha merampas daging itu boleh dilakukan dengan menyerang maka kini dia menggunakan lengannya yang panjang dan kuat itu untuk menonjok ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sambaran ke arah ujung sumpit. Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-i Mo-ong mengelak dari pukulan itu tanpa menarik tubuhnya dan juga tangan yang memegang sumpit itu mengelak tepat pada saat tangan kiri lawan menyambar dari kiri.

Melihat usahanya gagal lagi, si Raksasa Mongol sudah melanjutkan serangannya, kini mencengkeram dengan tangan kanan ke arah pundak Hek-i Mo-ong dan tangan kirinya menghantam ke arah lengan kanan yang memegang sumpit. Hebat serangan yang keempat kalinya ini dan amat berbahaya bagi Hek-i Mo-ong. Kalau dia hanya mengelak dari cengkeraman itu, tentu lengannya akan diancam bahaya pukulan yang seperti palu godam datangnya itu.

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 098"

Posting Komentar