Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 100

“Mo-ong, jagalah seranganku!”

Tiba-tiba Pek-bin Tok-ong berseru nyaring dan berbareng dengan bentakannya itu, tubuhnya sudah bergerak dan kedua lengannya menyambar ke arah lawan melalui atas meja yang menjadi penghalang di antara mereka. Kedua tangannya itu menyambar ke depan dengan jari terbuka, seperti sepuluh batang pisau yang amat kuat dan cepat menyambar ke arah pundak dan lengan kanan Mo-ong. Terdengar suara bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar dan terasa angin yang dingin sekali bertiup. Itulah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat itu.

Namun, Hek-i Mo-ong tidak merasa gentar dan cepat tangan kirinya melakukan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan siku untuk menangkis atau mematikan serangan pertama itu, sedangkan tangan kanan yang memegang sumpit juga bergerak untuk mengelak. Serangannya belum mencapai sasaran dan di tengah gerakan telah disambut oleh totokan jari tangan yang dia tahu amat ampuh itu, maka tentu saja Pek-bin Tok-ong terpaksa menarik kembali serangannya sehingga serangan pertama itu gagal.

Selanjutnya, dia menyerang lagi dengan Hun-kin Coh-kut-ciang dan lawannya menyambut dengan Tok-hwe-ji yang menggerakkan ilmu totokan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat ampuh itu. Hebatnya, ketika mengerahkan ilmu ini, bukan hanya jari-jari tangannya yang amat hebat, dapat menembus tulang, akan tetapi juga dari mulutnya keluar uap putih yang amat panas dan inilah yang membuat Pek-bin Tok-ong merasa kewalahan. Beberapa kali kedua lengan bertemu, bahkan jari-jari tangan mereka sempat bertemu, akan tetapi selalu pertemuan itu mengakibatkan lengan dan tangan Raja Racun Muka Putih itu terpental dan tubuhnya tergetar.

Setelah lewat lima jurus dia menyerang tanpa hasil, akibatnya malah muka dan lehernya penuh keringat dan mukanya yang putih itu menjadi kemerahan seperti terbakar. Itulah akibat dari serangan atau tangkisan Ilmu Tok-hwe-ji!

“Hebat.... engkau memang pantas menjadi calon koksu, Mo-ong!” kata kakek muka putih itu sambil menjura dan kembali ke tempat duduknya.

Melihat kemenangan Hek-i Mo-ong secara berturut-turut itu, Yong-taijin memuji dan merasa girang sekali. Mempunyai seorang pembantu atau koksu seperti Hek-i Mo-ong sungguh membesarkan hati, pikirnya. Akan tetapi di situ masih terdapat Siwananda yang menjadi seorang diantara sekutunya yang terpenting. Bukankah kakek berkulit kehitaman ini wakil dari Kerajaan Nepal yang amat diharapkan akan dapat memperkuat kedudukannya kalau tiba waktunya dia menyerang kota raja? Maka, Gubernur Yong lalu berkata sambil tersenyum,

“Sekarang tiba giliran saudara Wakil Koksu Nepal untuk menguji calon pembantu kami.”

Siwananda bangkit berdiri dengan sikap angkuh, menjura kepada sang gubernur dan berkata,






“Maaf, taijin. Sesungguhnya, kami sudah melihat kelihaian calon koksu yang menjadi pembantu taijin dan merasa kagum sekali. Karena tiga orang rekan kami tadi sudah mengujinya dan dia lulus dengan baik, biarlah sekarang kami menguji sampai di mana kekuatan batinnya, karena kekuatan badan saja bukan merupakan syarat mutlak untuk menjadi seorang koksu yang baik.”

Gubernur Yong sudah mendengar bahwa orang Nepal ini, di samping ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang ahli sihir, maka dia merasa gembira akan dapat menyaksikan pertandingan adu kekuatan sihir. Dia mengangguk gembira dan berkata,

“Silahkan, saudara Siwananda.”

Kakek Gurkha yang tinggi besar ini segera menghampiri meja kecil di mana Hek-i Mo-ong telah menantinya dan duduk berhadapan dengan Raja Iblis itu. Sejenak mereka hanya saling berpandang mata. Biarpun bagi orang lain mereka itu hanya saling pandang, namun sesungguhnya kedua orang ini sedang mengukur tenaga dan kekuatan batin mereka masing-masing melalui pandang mata itu!

Terjadilah adu kekuatan mujijat melalui sinar mata mereka dan diam-diam Siwananda terkejut. Diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong pandai ilmu sihir, akan tetapi dia tidak mengira bahwa kekuatan yang terkandung dalam sinar mata itu demikian kuatnya! Dia tidak tahu bahwa kekuatan ilmu sihir memang menjadi berlipat ganda dengan kuatnya tenaga sin-kang yang dimiliki Hek-i Mo-ong. Biarpun mereka yang hadir itu hanya menduga-duga bahwa kedua orang itu saling mengukur tenaga batin, namun mereka mulai merasakan getaran aneh yang memenuhi ruangan itu, yang membuat mereka merasa tegang dan juga seram.

“Hek-i Mo-ong, yang kau pegang dengan sumpit itu seekor burung hidup!”

Tiba-tiba terdengar suara Wakil Koksu Nepal itu. Semua orang memandang ke arah potongan daging yang dijepit sumpit di tangan Hek-i Mo-ong dan terbelalaklah mereka ketika melihat bahwa daging itu kini benar-benar telah menjadi seekor burung kecil yang menggelepar-geleparkan sayapnya berusaha untuk lolos dari jepitan sepasang sumpit. Kalau burung itu sampai lolos, maka berarti Hek-i Mo-ong kalah karena bukankah ujian itu untuk merampas daging dari jepitan sumpitnya? Dan agaknya tidak akan mudah menahan terbangnya burung itu dengan jepitan sumpit saja.

“Biarpun burung hidup, kalau sayapnya gundul, mana bisa terbang?” tiba-tiba terdengar suara Hek-i Mo-ong, sama berwibawanya dengan suara Siwananda tadi.

Dan burung yang tadinya menggeleparkan sayapnya itu tiba-tiba saja kehilangan kekuatannya dan sayap itu benar-benar telah kehilangan bulunya, menjadi gundul dan hanya dapat digerak-gerakkan naik turun dengan lemah saja!

“Hek-i Mo-ong, sepasang sumpitmu itu adalah sepasang ular!”

Dan semua orang terbelalak kaget dan heran karena begitu Siwananda mengeluarkan teriakan ini, sepasang sumpit di tangan Raja Iblis itu benar-benar berobah menjadi dua ekor ular, sedangkan burung tadi telah berobah pula menjadi sepotong daging!

“Sepasang ular yang membantuku menjaga agar daging jangan terlepas!”

Hek-i Mo-ong menyambung, dan dua ekor ular itu kini “menari–nari” berlenggak-lenggok, akan tetapi daging itu mereka gigit dengan kuat-kuat sehingga tidak mungkin terlepas lagi.

Siwananda tertawa dan bangkit sambil menjura.
“Hek-i Mo-ong memang hebat dan kami mengucapkan selamat kepada Yong-taijin yang telah memperoleh seorang calon koksu yang amat pandai!” Kakek Gurkha ini lalu memberi hormat kepada Gubernur Yong.

Pembesar ini merasa girang sekali, memandang kepada Hek-i Mo-ong yang kini mengantar sepotong daging dengan sepasang sumpitnya yang telah kembali berbentuk sumpit biasa itu ke mulut, lalu makan dengan lahapnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Ceng Liong merasa bangga dan girang. Dia menghampiri gurunya dan berkata,
“Mo-ong, aku mengucapkan selamat atas pengangkatanmu sebagai koksu!”

Dan dengan hati setulusnya anak ini mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat!

“Ha-ha-ha, terima kasih, Ceng Liong. Akan tetapi aku belum menjadi koksu, hanya baru calon saja. Mudah-mudahan semua usaha kita bersama ini berhasil sehingga aku benar-benar menjadi koksu dan engkau menjadi seorang pemuda bangsawan, murid koksu. Ha-ha-ha!”

Tailucin, Thai Hong Lama, dan Pek-hin Tok-ong juga mengucapkan selamat atas kemenangan dan keberhasilan Hek-i Mo-ong menempuh ujian itu, dan Thai Hong Lama yang tadi merasa betapa suara sulingnya dikacaukan oleh anak itu sehingga memudahkan Hek-i Mo-ong memperoleh kemenangan atas dirinya, menambahkan,

“Omitohud.... Mo-ong, muridmu ini benar-benar hebat dan kelak dia akan lebih hebat dan lebih jahat daripada gurunya!”

Dikatakan jahat bagi seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong sama saja dengan menerima pujian! Maka diapun tertawa bergelak. Akan tetapi Ceng Liong memandang pendeta Lama itu dengan mata mendelik, lalu terdengar dia berkata lantang.

“Lama, jangan sembarangan saja bicara! Aku bukan seorang penjahat dan tidak akan menjadi seorang penjahat biarpun aku mempelajari ilmu dari Hek-i Mo-ong!”

Tentu saja semua orang menjadi heran mendengar ucapan anak itu, akan tetapi Hek-i Mo-ong tertawa semakin keras karena dia melihat betapa lucunya keadaan yang ditimbulkan oleh sikap muridnya yang aneh ini. Semakin aneh watak muridnya, semakin sukalah hati Hek-i Mo-ong, karena bagi kaum sesat, yang diutamakan adalah keanehan dan sifat yang lain daripada orang lain, dan menerjang semua hukum-hukum yang telah ada tanpa memperdulikan tata susila atau kesopanan pula.

Gubernur Yong yang diam-diam tidak suka dengan watak orang-orang ini akan tetapi terpaksa bersikap ramah terhadap mereka karena memang dia amat membutuhkan bantuan mereka, lalu mengajak mereka untuk mulai berunding yang sesungguhnya merupakan acara inti dari pertemuan itu.

Sebagai seorang yang mengharapkan kedudukan koksu dan pembantu utama gubernur yang hendak memberontak itu, Hek-i Mo-ong mendengarkan dengan penuh perhatian. Juga Ceng Liong, walaupun belum dapat menangkap seluruh maksud dari percakapan itu, mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia mendapatkan perasaan bahwa apa yang didengarnya itu amat penting baginya.

Dengan panjang lebar dan jelas, Gubernur Yong menceritakan rencana mereka bersama. Kerajaan Nepal akan mengirim pasukan yang kuat dan besar untuk menyerang Tibet. Serbuan ini diharapkan dapat berhasil dalam waktu yang tidak terlalu lama dan mengandalkan bantuan dari dalam yang akan digerakkan dan diatur oleh Thai Hong Lama.

“Jangan khawatir, untuk keperluan itu pinceng telah memiliki banyak kawan sehaluan dan sewaktu-waktu tentu kami akan dapat membantu. Pendeknya, dengan bantuan kami, bala tentara Nepal tentu tidak akan suka untuk menduduki Tibet.”

Demikian Thai Hong Lama mengutarakan isi hatinya. Menurut perjanjian mereka, setelah Tibet jatuh ke tangan Kerajaan Nepal, Thai Hong Lama yang akan diangkat sebagai penguasa Tibet, tentu saja sebagai negara taklukan dari Nepal. Dan untuk keperluan menyerbu Tibet, Gubernur Yong akan membantu, yaitu dengan mencegah datangnya bala bantuan berupa bala tentara Kerajaan Ceng. Dengan demikian, tentu Tibet akan mudah direbut dan bantuan Gubernur Yong ini amatlah penting karena kalau sampai bala tentara Ceng membantu Tibet, tentu akan sukarlah daerah itu direbut oleh pasukan Nepal. Apalagi kalau bala tentara Kerajaan Ceng itu dipimpin oleh panglima-panglima pandai seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah membuat tentara Nepal kocar-kacir beberapa tahun yang lalu (baca KISAH SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ).

Kemudian, setelah mereka berhasil merebut Tibet, barulah mereka akan mengadakan pasukan gabungan antara bala tentara Nepal, Tibet dan pasukan-pasukan yang berjaga di barat dan telah dikuasai oleh Thong-ciangkun sebagai pembantu Gubernur Yong dan melakukan penyerbuan ke timur untuk menentang Kerajaan Ceng.

“Akan tetapi, kita harus bertindak hati-hati sekali, tidak perlu tergesa-gesa dan menanti saat yang baik. Kita harus ingat bahwa kerajaan memiliki banyak panglima yang pandai dan pasukan yang kuat,” kata sang gubernur.

“Ha-ha-ha, harap taijin tenangkan hati dan tidak perlu khawatir tentang orang-orang pandai itu. Dengan bantuan para rekan yang kini hadir, saya sanggup untuk menentang dan membasmi para jagoan kerajaan itu. Dengan bantuan teman-teman, bahkan para penghuni Pulau Es pun tidak dapat melawan kami!”

Akan tetapi, ketika bicara sampai di situ, Hek-i Mo-ong merasa betapa ada sepasang mata yang mendelik kepadanya. Dia menoleh dan terkejut melihat bahwa orang yang melotot kepadanya itu adalah muridnya. Dia sadar dan tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi ucapannya yang terakhir itu telah membuat para tokoh di situ menjadi terbelalak.

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 100"

Posting Komentar