“Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?”
Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali. Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan oleh gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.
“Tan-siocia.... telah pergi....”
“Pergi? Eh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”
“Ya, akan tetapi ia sudah pergi....”
“Kenapa dan ke mana?”
“Entah.... aku tidak tahu....”
Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.
Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.
“Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.
Ciang Bun menggeleng kepala.
“Tidak apa-apa....”
“Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”
“Tidak apa-apa....”
Hening sejenak dan Ciang Bun tidak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.
“Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?”
Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?
“Belum....” katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah di sampingnya itu.
“Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih.”
Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?”
Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, akan tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tidak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.
“Hmmm, siapa suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan diapun turun dari batu dan bangkit berdiri.
Ci Loan melompat turun dan menghampirinya.
“Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap orang gadis akan berlumba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan akupun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan....”
Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan daripada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, diapun merasa penasaran dan bertanya.
“Kalau belum bertunangan bagaimana?”
Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol.
“Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”
“Keparat!”
Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi. Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan.
“Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”
Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apalagi sampai memakinya. Tadi ia mendapat laporan Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu, akan tetapi karena memang di lubuk hatinya ia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, ia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya ia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu iapun menjadi marah sekali.
“Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.
“Plakkk!”
Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!
“Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?”
Tiba-tiba muncullah Seng Nio dan agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia dihina oleh Ciang Bun tadi.
Melihat Ci Loan terpelanting, iapun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.
“Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?”
Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.
Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat daripada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan.
Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.
“Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.
Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!
“Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?”
Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.
“Mereka.... mereka di belakang....” jawabnya gugup.
“Tapi kenapa....?” Tiba-tiha dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. “Eh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”
“Kami.... main kejar-kejaran....”
Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.
“Eh....? Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat.
Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.
“Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.
“Dan dia.... dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.
“Eh, kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.
“Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka kini dia hendak membalas dendam.
“Ahh? Benarkah itu?” bentak Hok Sim.
“Benar, dia memang manusia berwatak rendah!”
Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi. Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan diapun mencabut pedangnya.
“Dengarkan dulu....” kata Ciang Bun akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya.
Dua orang gadis itupun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka diapun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.
Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali. Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan oleh gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.
“Tan-siocia.... telah pergi....”
“Pergi? Eh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”
“Ya, akan tetapi ia sudah pergi....”
“Kenapa dan ke mana?”
“Entah.... aku tidak tahu....”
Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.
Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.
“Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.
Ciang Bun menggeleng kepala.
“Tidak apa-apa....”
“Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”
“Tidak apa-apa....”
Hening sejenak dan Ciang Bun tidak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.
“Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?”
Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?
“Belum....” katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah di sampingnya itu.
“Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih.”
Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?”
Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, akan tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tidak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.
“Hmmm, siapa suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan diapun turun dari batu dan bangkit berdiri.
Ci Loan melompat turun dan menghampirinya.
“Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap orang gadis akan berlumba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan akupun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan....”
Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan daripada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, diapun merasa penasaran dan bertanya.
“Kalau belum bertunangan bagaimana?”
Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol.
“Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”
“Keparat!”
Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi. Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan.
“Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”
Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apalagi sampai memakinya. Tadi ia mendapat laporan Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu, akan tetapi karena memang di lubuk hatinya ia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, ia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya ia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu iapun menjadi marah sekali.
“Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.
“Plakkk!”
Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!
“Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?”
Tiba-tiba muncullah Seng Nio dan agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia dihina oleh Ciang Bun tadi.
Melihat Ci Loan terpelanting, iapun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.
“Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?”
Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.
Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat daripada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan.
Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.
“Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.
Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!
“Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?”
Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.
“Mereka.... mereka di belakang....” jawabnya gugup.
“Tapi kenapa....?” Tiba-tiha dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. “Eh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”
“Kami.... main kejar-kejaran....”
Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.
“Eh....? Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat.
Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.
“Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.
“Dan dia.... dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.
“Eh, kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.
“Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka kini dia hendak membalas dendam.
“Ahh? Benarkah itu?” bentak Hok Sim.
“Benar, dia memang manusia berwatak rendah!”
Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi. Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan diapun mencabut pedangnya.
“Dengarkan dulu....” kata Ciang Bun akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya.
Dua orang gadis itupun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka diapun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 094"
Posting Komentar