Bab 53 Kejadian di Kay Pang

Pengemis Cun

“Ada yang bisa menjelaskan maksud semua ini?” tanya Cio San

“Sebelum pergi, mendiang Ji-pangcu telah menuliskan surat. Ini suratnya, pangcu”

Cio San membuka dan membacanya,

Aku Ji Hau Leng, ketua ke 28 Kay Pang menerbitkan surat perintah sekaligus wasiat kepada seluruh anggota Kay pang di mana pun berada.

Saat ini aku akan menjalani pertempuran hidup dan mati. Sebuah pertarungan karena masalah pribadi dan tidak ada hubungannya denga Kay Pang. Oleh sebab itu aku melarang setiap anggota Kay pang untuk turut campur dalam masalah pribadi ini.

Kesalahan masa lalu harus ditebus, harga diri harus diraih kembali. Jika aku pulang dalam keadaan hidup, maka semua akan tetap berjalan seperti biasa. Jika aku mati, maka jabatan ketua ke 29 aku serahkan kepada Cio San.

Jabatan ini dipegangnya sementara sampai seluruh Kay Pang berhasil memilih ketua terbaru berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh partai kita

Kepada seluruh anggota Kay pang aku mengucapkan hormat sebesar-besarnya atas cinta dan kesetiaan yang telah saudara-saudara semua berikan kepada partai kita yang tercinta. Kepada leluhur-leluhur, aku memohon maaf karena tidak mampu menjaga kehormatan. Kepada ketua yang baru, aku percaya bahwa engkau akan sanggup menjalani tugas yang berat ini. Aku meyakini kebersihan hatimu, kejujuranmu, serta tingginya ilmu mu.

Salam hormat selalu

Ji Hau Leng

Cio San meneteskan air mata saat membaca surat ini. Ia merasakan penderitaan Ji Hau Leng yang harus merusak kehormatan diri sendiri karena cintanya. Betapa dalam pedih yang harus dirasakan Ji Hau Leng saat ia diharuskan menjadi pengkhianat dan orang yang curang.

Entah berapa banyak perbuatan dosa yang terpaksa ia lakukan karena mendapat ancaman dari Bwee Hua Sian.

Entah berapa kali ia harus melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya


“Saudara semua sudah tahu isi surat ini?” tanya Cio San kepada hadirin yang ada di sana.

“Sudah. Mendiang pangcu memerintahkan kami untuk membuka surat ini, tepat ketika garis merah di langit hilang” kata salah seorang yang diikuti oleh anggukan hadirin yang lain.

“Lalu apa tanggapan kalian?”

“Perintah dan pesan terakhir mendiang Ji-pangcu harus dilaksanakan!!” mereka yang ada di sana semua setuju.

Melihat ini, betapa hati Cio San seperti tersayat-sayat. Kesetiaan semua anggota Kay Pang ini kepada pesan terakhir pangcu mereka, membuat Cio San paham betapa baiknya perlakuan Ji Hau Leng terhadap mereka.

Lalu ia berkata,

“Bagaimana jika perintah mendiang pangcu itu kutolak?”

Semua orang yang ada di sana heran,

“Maksud pangcu?”

“Aku tidak ingin menjadi pangcu Kay Pang”

Para hadirin yang berjumlah ratusan itu serentak lalu berdiri dan berkata,

“Mengapa?”

Menjadi pangcu dari Kay Pang adalah dambaan semua orang yang ada di dunia persilatan. Itu seperti menjadi kaisar tanpa mahkota.

“Karena aku tidak mau”

Semua orang yang ada di sana tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.

Seorang pengemis tua maju ke depan dan bertanya,

“Apakah karena perkumpulan kami ini begitu hina sehingga tuan menolak?”

“Harap saudara-saudara tidak salah mengerti. Cayhe sendiri adalah kaucu dari sebuah partai. Cayhe takut jika tidak mampu mengurus 2 partai sekaligus” kata Cio San.

“Ah partai apakah?”

“Mo Kauw”

Semua hadirin yang ada di sana berdecak kagum. Cio San lebih mudah daripada Ji Hau Leng. Sudah menjadi salah satu ketua partai besar.

“Aih..kalau begini malah akan semakin merepotkan” kata pengemis tua tadi. Di pundaknya tergantung sejenis tas yang berisi banyak kantong. Jumlah kantongnya ada 9. Dalam Kay Pang, pengemis berkantong Sembilan adalah golongan pengemis yang paling tinggi derajatnya.

Semua orang menggeleng-geleng.

“Ada apa?” tanya Cio San.

“Menurut peraturan partai kami, seorang ketua tidak boleh menyandang 2 jabatan.”

“Aha. Cocok kalau begitu.” Kata Cio Sambil tersenyum. “Cayhe memang tidak pantas jadi ketua”

“Tapi pesan terakhir mendiang Ji-pangcu harus tetap dilaksanakan” kata pengemis tua itu, yang disambut dengan anggukan setuju oleh semua yang hadir di situ.

“Lalu harus bagaimana?” tanya Cio San.

“Biarkan kami berunding dulu. Boleh?” tanya si pengemis tua. Rupanya dia memang adalah sosok yang paling dihormati di sana.

“Silahkan, totiang (tetua). Cayhe akan menunggu di luar” kata Cio San.

Ia lalu ke halaman depan dan duduk-duduk di sebuah pavilion kecil yang ada di pojok halaman. Hari telah gelap. Langit hitam dan bintik-bintik cahaya di langit. Cio San menatap langit sambil berbaring. Kedua telapak tangannya ia jadikan bantal bagi kepala.

“Ikut aku”

Terdengar sebuah suara. Jika bukan karena tidak percaya tahayul, Cio San pasti mengira itu suara setan. Ia menoleh ke sumber suara, di lihatnya Suma Sun sedang berdiri gagh di atas pagar yang tinggi.

“kau sudah menemukan mereka?” tanya Cio San

Suma Sun hanya mengangguk.

“Baiklah, tunggu sebentar. Aku pamitan dulu dengan anggota Kay Pang”

Cio San segera menuju balairung utama markas Kay Pang tempat mereka sedang berunding. Telinganya sempat mendengar kedatangan banyak orang di gerbang depan, tapi mengacuhkannya saja. Baginya urusan menyelamatkan sahabat-sahabatnya jauh lebih penting.

“Mohon maaf mengganggu rapat saudara-saudara sekalian. Bolehkah cayhe memohon ijin untuk pergi sebenatr menyelamatkan sahabat-sahabat cayhe. Karena cayhe takut, jika terlambat mereka akan celaka”

Belum sempat orang-orang yang ada di sana menjawab, terdengar suara dari belakang Cio San,

“Jangan biarkan penipu itu pergi!”

Cio San menoleh. Serombongan pengemis berjumlah puluhan orang telah muncul di situ. Berarti itu langkah-lagkah mereka yang tadi di dengar Cio San.

“Apa maksud saudara Han?” tanya salah seorang.

Orang yang dimaksud “saudara Han” tadi itu berkata,

“Orang inilah pembunuh Ji-pangcu!” katanya sambil menuding Cio San.

“Apa??!” semua orang yang ada di sana terbelalak.

“benarkah? Apa maksudmu Han-te (adik Han)” tanya pengemis tua yang tadi dipanggil ‘totiang’ oleh Cio San.

“Aku punya saksi Cun-ko (kakak Cun). Biar dia saja yang bercerita. Ayo Pan Lang, ceritakan semua yang terjadi tadi!”

Orang yang bernama Pan Lang itu maju ke depan. Ia menjura kepada semua orang lali mulai bercerita,

“Saat tengah hari, aku berencana untuk pergi ke markas sini. Tapi begitu sampai di gerbang aku melihat pangcu kita sedang bercakap-cakap dengan bangsat ini” katanya sambil menunjuk Cio San.

“Karena tertarik, aku ‘menguping’ sedikit pembicaraan mereka. Dari yang kudengar, mendiang Ji-pangcu mengatakan bahwa si bangsat ini telah mencuri kitab sakti 18 Tapak Naga yang sempat ditemukan oleh Ji Pangcu setahun yang lalu itu”

“Apa??!!!” semua orang yang ada di sana kaget.

Lalu Pan Lang melanjutkan,

“Si bangsat ini menolak mengembalikan, oleh sebab itu ketua bertarung dengannya. Pertarungan sangat dahsyat sekali. Karena masing-masing mendiang Ji-pangcu dan si bangsat ini sama-sama menggunakan jurus 18 Tapak Naga!”

Semua orang tak henti melongo dan terkaget-kaget.

“Lalu si bangsat ini menyerah kalah. Karena ilmu mendiang Ji-pangcu lebih murni dan lebih dahsyat. Tapi saat Ji-pangcu lengah, si bangsat ini membokong dan membunuh pangcu kita!”

Semua orang marah dan menangis. Mereka bangkit dan memaki “Kurang ajar!” suasana di sana ramai dan kacau balau.

Lalu tetua yang tadi dipanggil sebagai “Cun-ko” berkata, “Tenang-tenang…urusan ini rumit dan banyak rahasia. Kita harus membahasnya dengan kepala dingin”

Mendengar kata-katanya, entah kenapa semua orang Kay Pang menurut. Tetapi beberapa angota daro rombongan yang tadi datang, masih berteriak-teriak “Bunuh si bangsat…bunuh si bangsat”

Si pengemis tua bernama Cun tadi menoleh kepada Cio San,

“benarkah apa yang diceritakan Pan Lang tadi?”

Bagaiamana Cio San bisa menjelaskan semua ini? Jika ia benar-benar jujur berkata bahwa Ji Hau Leng bunuh diri karena menyesal telah menjadi kaki tangan si otak besar, tentu tak ada yang percaya. Walaupun ada yang percaya pun, Cio San tidak akan menceritakan rahasia itu. Ia ingin menjaga kehormatan dan nama baik Ji Hau Leng.

Maka ia hanya menjawab,

“Benar, cayhe memang benar bertarung dengan mendiang Ji-pangcu”

“Kurang ajar! Bunuh si bangsat!” semua yang ada di sana pun serentak memasang kuda-kuda.

“Tahan! Tahan sebentar!” kata Pengemis Cun. Lanjutnya,

“Lalu apa maksud surat mendiang Ji-pangcu? Kita semua tahu surat itu adalah tulisan tangan beliau”

“Surat itu palsu!” sahut Han Siauw. Dia ini kepala rombongan yang tadi datang. “Aku punya surat asli”

Ia melemparkan sebuah kertas ke arah pengemis Cun. Ia lalu membacanya.

“Seorang pengacau telah merusak kehormatan Kay Pang, dan telah mencuri kitab sakti 18 Tapak Naga kebanggaan kita. Aku pergi untuk meminta pertanggung jawabannya. Jika aku gugur nanti, jabatan pangcu ku serahkan kepada Han Siauw

Tertanda

Ji Hau Leng”

Semua orang bertambah terbelalak lagi.

“Itu adalah surat yang asli. Seorang penyusup telah masuk ke kamar mendiang Ji-pangcu lalu menukarkan surat iini dengan surat palsu. Untunglah kami berhasil menangkap penyusup itu dan membunuhnya”

Pengemis Cun berkata, “Tapi surat yang tadi kami baca pun, surat asli. Ada cap dan tanda tangan Ji-pangcu sendiri. Apalagi kita semua mengenal tulisan tangan mendiang pangcu”

“Cun-ko” kata Han Siawu, “Coba engkau periksa surat yang ku bawa itu. Bukankah ada cap dan tanda tangan ketua? Bukankah tulisan tangannya pun sama persis?”

Semua orang memeriksa surat itu dan mengangguk-angguk. “Benar, surat ini pun asli!”

“Nah, sekarang mana yang kalian percaya? Orang asing ini atau aku? Surat bisa dipalsukan, tanda tangan dan gaya tulisan pun bisa dipalsukan. Tapi kebenaran tak akan bisa dipalsukan!” kata Han Siauw lantang.

“Bantai si bangsat! Bantai si bangsat!” semua orang yang berada di situ berteriak-teriak.

“Buat formasi Barisan Pemukul Anjing!” perintah Han Siauw. Semua orang kemudian bergerak dan membentuk lingkaran mengelilingi Cio San. Hanya Cio San dan Han Siauw yang berada dalam lingkaran itu. Barisan ini mengepung mereka berdua sambil mengetuk-ngetukan tongkat kayu mereka ke lantai. Menimbulkan suara bising yang menakutkan. Inilah Barisan Pemukul Anjing yang snagat tersohor itu!

Semua tetua dan orang yang tidak bergabung ke dalam Barisan Pemukul Anjing telah menepi ke luar lingkaran.

Cring!

Han Siauw mengeluarkan pedangnya. Pedang itu tersimpan di dalam tongkatnya.

“Kau menggunakan pedang?” terdengar suara lembut dan tenang

Tiada satu orang pun yang tahu bagaimana sosok berbaju putih dan berambut kemerahan itu telah muncul dan berada di dalam lingkaran itu!

“Suma-tayhiap, tolong jangan bunuh orang” kata Cio San

“Pedang hanya untuk membunuh” kata Suma Sun. Masih dengan lembut dan tenang.

Memintanya untuk tidak membunuh orang, adalah seperti meminta serigala menjadi domba.

“Ah jadi ini si dewa pedang rambut merah. Kau antek-antek si bangsat ini bukan? Coba ku lihat kehebatan ilmu pedangmu yang tersohor”

Han Siauw bergerak.

Suma Sun tidak bergerak.

Tapi Han Siauw telah terkapar dengan luka tusukan tepat di dahinya.

Tanpa darah.

Yang ada hanya kematian.

Melihat ini tiada satu pun orang yang mengeluarkan suara. Bahkan suara tongkat beradu dengan lantai pun sudah berhenti.

Tak ada yang tahu bagaimana Han Siauw mati. Tak ada yang tahu bagaimana Suma Sun bergerak.

Akhirnya Cio San berkata,

“Harap saudara-saudara jangan maju menyerang. Biarkan aku menyelesaikan fitnah dengan baik-baik. Aku bersumpah bukan yang membunuh Ji-pangcu. Rahasia ini harus kita bongkar. Aku hanya berharap saudara-saudara sekalian percaya kepadaku”

“Kami tidak takut mati!!!” mereka semua menyerang. Inilah barisan tongkat pemukul anjing yang dahsyat dan mematikan.

Hujan tongkat berdatangan bagai badai dan hujan. Mereka yang menyerang Suma Hun tentu saja langsung terkapar dengan luka tusukan di dahi mereka. Mereka yang menyerang Cio San semua terlempar kembali tanpa terluka sedikit pun. Thay Kek Kun telah menunjukkan kehebatannya sekali lagi.

“Tahan! Jangan menyerang!” tapi sergahan Cio san ini malah seperti membangkitkan semangat bertarung mereka.

Kembali puluhan orang terlempar kembali ke belakang oleh Cio San. Kini tak ada yang berani menyerang Suma Sun.

“Cun totiang (tetua Cun)! Harap tahan anak buahmu. Kau tahu pasti ada rahasia di balik ini semua. Percayalah padaku”

Cio San berkata begitu karena ia tahu, pengemis Cun adalah oeang yang cerdas dan yang paling didengarkan kata-katanya. Dan pandangan Cio San tidak pernah salah.

“Saudara-saudara, tahan serangan!” kata pengemis Cun

Serangan pun berhenti.

“terima kasih.” Kata Cio San kepada pengemis Cun.

“Saudara-saudara sekalian. Dengarkan perkataanku. Aku bukan pembunuh Ji-pangcu. Aku justru terfitnah. Kami berdua terfitnah. Memang kami bertarung tapi aku tidak membunuhnya. Kami juga bertarung bukan gara-gara 18 Tapak naga. Percayalah. Beri aku waktu 3 bulan untuk membersihkan namaku dan meluruskan fitnah ini” kata Cio San. Baru kali ini terlihat wibawanya.

Memangnya jika kau tidak memberinya waktu, kau bisa apa? Menyerangnya? Tentu kaulah yang mati. Oleh sebab itu para anggota Kay pang mengangguk-angguk saja. Mereka telah melihat kebaikan hati Cio san untuk tidak membunuh mereka.

“Baiklah kami beri kau waktu. Tiga bulan. Jika tidak, kami yang akan mengobrak-abrik Mo Kauw” kata salah seoran tetua.

“Cun-totiang” kata Cio San “Ikutlah dengan ku. Aku akan menjelaskan semuanya sambil jalan. Aku butuh bantuanmu”

Pengemis Cun mengangguk.

“Ayo pergi”

Mereka bertiga lalu menghilang dari sana.

Related Posts:

Catatan Penulis part I: Tentang 18 Tapak Naga

Kwee Cheng dengan pemeran berbeda-beda

Jurus 18 Tapak Naga adalah jurus fiktif yang diciptakan salah satu penulis novel silat favorit saya, Chin Yung (Jin Yong). Jurus ini pertama kali muncul di novel "Demi God and Semi Devil". Saat itu tokoh jagoannya yang bernama Xiao Feng mempelajari ilmu 28 Tapak Naga. Ilmu itu kemudian diringkasnya menjadi hanya 18 saja. Ilmu itu menjadi lebih efektif dan lebih dahsyat.

Xiao Feng adalah ketua perkumpulan Kay pang (pengemis) sehingga ilmu itu diturunkan kepada penggantinya secara turun temurun. Sampai kepada ketuanya yang ke 18 bernana Hung Qigung (Ang Cit Kong). Ang Cit Kong ini kemudian menurunkan jurus ini kepada muridnya Kwee Cheng.

Di tangan Kwee Cheng inilah, ilmu ini berkembang menjadi lebih dahsyat lagi. Kwee Cheng menggabungkan jurus ini dengan beberapa ilmu yang dimiliknya seperti ilmu 9 bulan (Jiu Yin Jen Cheng/ Kyu Im Cin Keng). Ilmu ini menjadi sangat legendaris, karena baru Kwee Cheng lah orang pertama yang benar-benar menggunakannya dengan sempurna. Kedahsyatan ilmu ini sangat terkenal sehingga dianggap sebagai ilmu tenaga luar yang paling sakti di dalam kalangan persilatan.

Setelah Kwee Cheng, ia meneruskan ilmu ini kepada beberapa orang muridnya. Selama 100 tahun kemudian ilmu ini menjadi kabur, karena tidak jelas siapa lagi yang meneruskan mempelajari ilmu ini. Ilmu ini kemudian muncul secara mengagetkan di novel Chin Yung berikutnya yang berjudul "Heaven Sword and Dragon Sabre" (To Liong To, sekarang lagi main di Indosiar setiap jam 6 sore senin sampai jumat).

Dalam novel saya ini, saya sengaja menyebutkan ilmu ini sebagai bentuk penghormatan saya kepada Chin Yung-tayhiap. Karya beliau telah memberikan hiburan dan pengetahuan kepada saya. Bahkan saya menulis novel ini juga sebagai penghormatan kepada beliau, dan kepada  idola saya yang lainnya, yaitu Khu Lung (Gu Long). Kedua penulis ini yang membuat saya benar-benar tertarik untuk menulis novel seperti ini.

Ok, cukup sudah selingannya. Selamat menikmati ya teman-teman,,semoha cukup menghibur.

Related Posts:

Bab 52 Pertempuran Di Gerbang Kota


Hari itu tiba.

Tepat tengah hari, Cio San sudah berada di gerbang kota. Ia hany perlu menanti sebentar. Ji Hau Leng pun sudah datang dengan menunggang kuda.

Dengan menunggang kuda, berarti ia menghemat tenaganya. Jika ia menghemat tenaganya berarti ia telah bersiap-siap untuk bertempur. Jika ia telah bersiap-siap untuk bertempur, berarti secara tidak langsung ia telah mengakui kesalahannya.

Pemahaman ini muncul di benak Cio San hanya dalam sekelebatan.

“Aku datang” kata Ji Hau Leng sambil tersenyum.

“Terima kasih” balas Cio San sambil menjura dan tersenyum pula.

“Kaucu ada petunjuk apa?” kata Ji Hau Leng sambil turun dari kudanya.

“Justru cayhe yang ingin minta petunjuk dari pangcu” jawab Cio San. Tangannya mememainkan ujung rambutnya.

“Tentang?”

“Tentang 4 sahabat cayhe yang menghilang”

“Mengapa kaucu bertanya kepadaku?”

“Cayhe tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi”

“Baiklah. Aku akan membantu kaucu mencari sahabat-sahabat kaucu yang menghilang itu” katanya.

“Kau berbohong”

“Eh?”

“Aku punya kemampuan membaca bahasa tubuh. Saat berkata begitu, ada sedikit tarikan bibir ke samping. Hampir seperti senyum tapi belum menjadi senyum. Itu menandakan kau meremehkan orang yang kau ajak bicara. Seperti senyum kemenangan karena melihatku percaya kepadamu”

Lamjutnya,

“Bahumu bergerak sedikit. Manusia adalah makhluk yang jujur sepenuhnya. Kata-kata bisa berbohong, tapi gerak tubuh manusia akan memberitahukan jika ia berbohong. Gerakan bahumu itu seperti gerakan orang mengatakan “tidak”. Gerakan bahu itu akan sering muncul, sebagai tanda bahwa tubuhmu sendiri tidak setuju dengan kata-katamu”

Ji Hau Leng hanya diam lama. Lalu berkata,

“Kaucu seperti cacing yang ada di dalam perutku yang mengerti isi pikiranku. Tapi kata-katamu tidak membuktikan apa-apa. Hanya untuk membuat kagum anak-anak”

“Apakah kau bisa membuktikan bahwa aku ada hubungannya dengan hilangnya sahabat-sahabatmu?” tanya Ji Hau Leng.

“Jika aku mau menyelediki tentu saja bisa. Tapi aku tak punya waktu.”

“Kau pikir dirimu pintar bukan? Sesungguhnya kau sama sekali tidak tahu apa-apa” tukas Ji Hau Leng.


“Aku memang tidak penah merasa pintar atau cerdas. Tapi aku pun bukan orang yang sudah pikun”

Ji Hau Leng mengepalkan tangannya. Suara gemeratak keluar dari jari-jarinya.

Cio San hanya berdiri dan memandangnya.

“Mengapa kau bersedih?” tanya Cio San. Ia melihat gurat-guratan kesedihan di wajah Ji Hau Leng.

“Tidak perlu banyak tanya. Lihat serangan”

Gerakannya bagai angin puyuh. Seperti ribuan kati batu karang yang dilemparkan. Bahkan jika ada orang berani menangkisnya, tentu tangannya akan hancur.

Cio San menerimu pukulan itu dengan gerakan Thay Kek Kun. Menghadapai keras dengan lembut. Jika gerakan Ji Hau Leng cepat dan berat, gerakan Cio San justru lambat dan lemas.

Tapi walaupun Cio San sanggup menepis lengan itu, ia tak dapat menangkapnya. Ji Hau Leng ternyata sama cepatnya dengan Cio San!

“Serangan hebat!” puji Cio San.

Ji Hau Leng diam saja. Ia memusatkan pikiran pada serangan-serangannya sendiri. Kuda-kudanya rendah. Semakin rendah kuda-kuda berarti semakin dahsyat juga tenaga yang ia kumpulkan. Cio San belum pernah bertemu dengan lawan seperti ini. Yang menggunakan tenaga keras namun memiliki kecepatan sangat mengagumkan. Dulu pernah ia menghadapi seorang Hwesio di atas bukit tempat rumah peristirahatan Bwee Hua. Tapi kecepatannya tak sampai separuh kecepatan Ji Hau Leng.

Saat melawan Hwesio itu, Cio sengaja melambatkan gerakannya, karena ia ingin mempelajari gerakan jurus ‘Cakar Macan” milik Siau Lim Pay. Tapi kini saat menghadapi Ji Hau Leng, Cio San sudah tidak bisa ‘bermain-main’ lagi.

Jurus kedua Ji Hau Leng datang!

Kali ini pukulan yang dilancarkan dengan bertubi-tubi sehingga terlihat seperti Ji Hau Leng melakukan 20 pukulan sekaligus!

Kecepatannya sungguh sukar dibayangkan. Cio San menerima ke 20 serangan itu dengan 20 tangkisan yang sama cepatnya. Masing-masing kepalan Ji Hau Leng seperti hilang di telan telapak Cio San.

Saat ke 20 kepalan itu menghilang, entah bagaimana Ji Hau Leng telah berada di atas kepala Cio San. Dari atas, ia melancarkan dua pukulan sekaligus dengan tangan kedua tangannya. Cio San menangkis pukulan dahsyat itu dengan telapaknya lagi.

Tapi kedahsyatan pukulan itu sedemikian dahsyatnya sampai-sampai kaki Cio San amblas ke dalam tanah hingga sampai lututnya!

Cio San memang sengaja menyalurkan kekuatan pukulan Ji Hau Leng itu ke tanah, agar tangannya tidak hancur menerima pukulan itu.

Ji Hau Leng sudah bersalto dan kini telah berada di belakang Cio San. Melihat kaki Cio San yang terperangkap dalam tanah, ia yakin Cio San tak akan mampu menghindar lagi dari serangannya. Karena jika ingin menghindar Cio San harus menggunakan kakinya untuk bergerak. Ia mungkin bisa menghancurkan tanah yang memerangkap kakinya, tapi itu akan membuatnya kalah langkah sepersekian detik. Hitungan sepersekian detik saja akan mengakibatkan kesalahan yang fatal!

Dua buah pukulan dilancarkan Ji Hau Leng mengarah ke bagian belakang kepala dan tulung punggung Cio San. Dua buah serangan yang sangat mematikan, sangat dahsyat, dan sukar dilukiskan kata-kata. Tak seorang pun yang sanggup menghindar dari serangan seperti ini.

Dengan sebuah gerakan aneh, tiba-tiba bagian atas tubuh Cio San telah memutar 90 derajat ke belakang. Kelenturan tubuh seperti ini ia dapatkan karena telah berlatih silat dengan Ular Sakti di dalam gua. Ji Hau Leng hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Karena kekagetan itu, gerakan Ji Hau Leng menjadi sedikit melambat. Kesempatan itu tak disia-siakan Cio San. Ia menangkap kedua kepalan Ji Hau Leng lalu melemparkannya ke atas.

Saat tubuh Ji Hau Leng berada di atas, segera tubuh Cio San pun melenting ke atas. Dari tangannya keluar 20 pukulan pula yang mengincar semua tempat-tempat berbahaya di tubuh Ji Hau Leng.

Saat Ji Hau Leng terlempar ke atas, dengan sebuah gerakan aneh ia pun sudah mampu membalikkan tubuh menghadapi serangan Cio San. Keduapuluh telapak Cio San pun disambutnya dengan dua puluh tangkisan pula. Malah sambil menangkis itu kakinya ikut menyerang juga secara berubi-tubi.

Cio San yang kedua tangannya sibuk menyerang Ji Hau Leng, sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menghalau puluhan tendangan itu.

Maka diterima saja puluhan tendangan dengan dadanya.

Tidak ada tanah di mana ia bisa menyalurkan tenaga serangan lawan, seperti yang saat dilakukannya tadi.

Maka Cio San terlempar beberap tombak ke belakang!

Untunglah tenaga sakti dari jamur-jamuran aneh yang pernah dimakannya mampu melindunginya dari luka dalam yang parah. Tapi mau tidak mau, sedikit darah merembes keluar dari mulutnya.

Ilmu, kemampuan, dan kecepatan mereka berdua mungkin hampir sama. Tetapi Ji Hau Leng punya pengalaman bertarung lebih banyak!

Begitu Ji Hau Leng menginjakkan tanah, tubuhnya segera melenting lagi. Kali ini serangannya lebih dahsyat. Bahkan terlihat angin dari tangannya berubah seperti seekor naga.

Lalu dari mulutnya terdengar suara,

“Naga Menggerung Menyesal!”

Cio San tercekat melihat gerakan ini!

Ini adalah jurus pertama dari ilmu silat yang paling ditakuti di dunia persilatan!

18 Tapak Naga!

Cio San tak sempat berpikir lagi. Dengan satu gerakan sederhana ia menerima pukulan itu dengan kedua telapaknya.  Saking dahsyatnya gerakan itu sampai-sampai tubuh Cio San terlempar ke belakang belasan tombak. Ia memang sengaja tidak mau menyalurkan tenaga itu ke tanah, dan benar-benar menerima kekuatan pukulan Ji Hau Leng.

Ia terlempar tapi tidak terluka. Ini membuat Ji Hau Leng kaget. Biasanya orang yang berani menerima pukulan itu akan langsung hancur organ dalamnya dan mati menggenaskan.

Tapi Cio San bangkit dan malah tersenyum!

“Mengapa kau tersenyum?”

“Pukulanmu hebat. Sayang belum sempurna” kata Cio San

“Apa?” Dengan kemarahan yang meluap-luap Ji Hau Leng menyerang lagi, kali ini jurusnya datang lebih dahsyat lagi. Gerakan yang maha hebat ini dibarengi dengan teriakan,

“Naga Terbang di Langit!”

Ji Hau Leng seperti benar-benar terbang. Jaraknya dengan Cio San yang belasan tombak itu seperti tiada artinya, karena tahu-tahu pukulan Ji Hau Leng telah melayang ke arah Cio San.

Kali ini Cio San menerimanya dengan Thay Kek Kun. Gerakan yang sama sederhananya dengan gerakan Ji Hau Leng. Ilmu-ilmu silat yang maha sakti, biasanya sederhana. Karena tiada lagi hiasan-hiasan keindahan gerakan. Yang tertinggal hanya serangan mematikan.

Gerakan Cio San ini walaupun sederhana, namun tidak ada seorang pun murid Bu Tong atau pesilat lain yang sanggup melakukannya. Karena gerakan itu adalah gerakan yang digunakan menahan serangan 18 Tapak Naga. Pesilat mana di muka bumi ini yang sanggup menangkis 18 Tapak Naga sambil berdiri tegak?

Tapi Cio San bisa.

Karena ia telah paham rahasia penyaluran kekuatan jurus dahsyat itu. Saat pertama kali ia menerimanya, ia sengaja tidak menyalurkannya ke tanah adalah karena alasan ini. Ia ingin mengerti bagaimana orang bisa mengeluarkan tenaga sebesar dan sedahsyat itu.

Begitu tahu rahasianya maka dengan ‘mudah’ Cio San kini menghadapinya. Inti jurus 18 Tapak Naga ini menggunakan tenaga keras, yang berpusat pada pengerahan tenaga luar. Cio San sebenarnya memiliki kekuarangan dalam hal tenaga keras, dan juga penggunaan tenaga luar. Jenis ini adalah jenis tenaga yang dilatih dengan tempaan fisik sangat berat. Jika orang berlatih sampai kepada puncaknya, maka kedahsyatannya bisa jauh lebih tinggi daripada menggunakan tenaga dalam.

Sejak kecil Cio San tak pernah menghadapi tempaan fisik seperti ini. Tubuhnya lemah. Oleh karena itu Cio San lebih memusatkan latihannya kepada tenaga dalam yang mengacu kepada tenaga lembut. Kebetulan Butong Pay adalah perguruan silat yang menggunakan tenaga lembut.

Satu-satunya saat di mana ia menempa fisiknya adalah ketika ia hidup di dalam gua selama 3 tahun. Kehidupan yang berat itu, ditambah lagi dengan khasiat jamur sakti, membuat tenaga luarnya mencapai tahap yang berlipat-lipat. Tapi tentu saja masih di bawah Ji Hau Leng yang sejak kecil memang sudah melatihnya.

Ji Hau Leng kini mengeluarkan lagi kuda-kuda rendahnya. Cio San menmghadapinya dengan berdiri tegak sambil melipat tangan kirinya ke belakang. Tangan kanannya memain-mainkan rambutnya. Posisi seperti ini adalah posisi bertarung yang paling disukainya.

Kini kepalan Ji Hau Leng seperti mengeluarkan cahaya. Penyaluran tenaga yang dahsyat memang bisa membuat tubuh seseorang terlihat lebih bercahaya dan bersinar. Tubuhnya kini melenting lagi menuju Cio San.

Tapi sebelum tubuhnya mendekat, serta merta ia berhenti dan mengeluarkan pukulan jarak jauh. Inilah jurus ketiga dari 18 Tapak Naga “Naga Bertempur Di Alam Liar”. Teriakannya membahana bagaikan naga yang mengamuk. Pukulan jarak jauh ini berupa angin kencang yang mampu merobohkan karang. Anginnya adalah angin panas pula yang mampu melepuhkan kulit.

Cio San menyambut serangan jarak jauh ini dengan tenang. Datangnya angin sungguh lebih cepat daripada gerakan Ji Hau Leng sendiri. Cio San mengangkat tangan kirinya, suara ular derik terdengar dari jemarinya. Dengan satu hentakan ia maju menyambut angin dahsyat itu.

Blarrrrrrr!

Suara gemuruh terdengar saat tangannya beradu dengan angin dahsyat itu. Saking hebatnya sampai bagian lengan kiri baju Cio San koyak moyak. Tangannya tergetar hebat. Tapi getaran itu tidak melukainya malahan membuat suara getaran derik terdengar lebih jelas.

Di sini lah kehebatan Cio San. Ia menggabungkan jurus ular deriknya yang menggunakan kekuatan luar, dengan Thay Kek Kun yang berdasarkan tenaga dalam lembut. Di dunia ini, mungkin hanya Cio San lah satu-satunya orang yang berhasil menggabungkan tenaga itu secara bersamaan.

Jurus Ular derik adalah untuk menahan dahsyatnya tenaga, sedangkan Thay Kek Kun bertujuan untuk mengolah tenaga itu agar tidak melukai tubuhnya.

Kini dengan tangan kanannya, ia mengeluarkan sebuah jurus. Jurus yang sama dengan yang tadi dikeluarkan Ji Hau Leng!

“Naga Bertempur Di Alam Liar!” hanya itu suara yang keluar dari mulut Ji Hau Leng.

Angin dahsyat itu bahkan lebih dahsyat dari serangan Ji Hau Leng, karena Cio San menyalurkan tenaga pukulan Ji Hau Leng yang tadi diterimanya dari Ji Hau Leng untuk digunakan menghadapi pangcu Kay Pang itu sendiri. Itu juga ditambah dengan tenaga Cio San sendiri. Tenaga sakti jamur di dalam gua, di tambah tenaga sakti hasil latihan Thay Kek Kun.

Tak dapat dibayangkan betapa kagetnya Ji Hau Leng saat jurus itu mengenai tubuhnya. Selama ini ia hanya berlatih jurus-jurus itu secara rahasia. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menggunakannya dengan kekuatan yang jauh lebih dahsyat?

Ia terlempar bertombak-tombak. Mulutnya memuntahkan darah segar. Tapi Cio San tidak memberi ampun. Tubuhnya melayang tinggi lalu meluncur dengan cepat sambil berputar seperti gasing. Ini adalah jurus maut yang diciptakannya saat melihat Cukat Tong memberi makan burung-burung peliharaannya. Kali ini ia menggunakan kakinya untuk menyerang.

Ji Hau Leng tak dapat melakukan apa-apa lagi. Semangatnya sudah sirna. Keinginan untuk bertempur sudah tak ada lagi. Ia menghadapi serangan ganas Cio San ini dengan tatapan kosong. Tak ada kuda-kuda. Tangannya terkulai lemas ke samping.

Duaaaarrrrrrrrr!!!!

Tanah disebelah Ji Hau Leng hancur berantakan. Lubangnya sangat dalam seperti habis ditabrak batu meteor. Di saat-saat terakhir, Cio San mengalihkan serangannya. Ia tidak mungkin membunuh lawan yang sudah tidak berdaya.

“kenapa kau tidak melawan?”

Ji Hau Leng tidak menjawab. Hanya tatapan kosong yang ada di wajahnya.

Jiwanya terguncang.

Cio San heran karena ia tahu pukulannya tadi tidak mungkin membunuh Ji Hau Leng, karena itu disambungnya lagi dengan serangan jurus gasing tadi. Tak tahunya Ji Hau Leng malah tak melawan sama sekali.

Dalam batinnya, Ji Hau Leng benar-benar terguncang. Jurus 18 Tapak Naga adalah jurus rahasia Kay pang, bagaimana orang luar sanggup menggunakannya? Apalagi orang itu malah ‘menyempurnakannya’ dengan cara menggabungkannya dengan beberapa ilmu lain sekaligus?

Bagi orang yang belajar silat berdasarkan kitab-kitab, maka ilmu silatnya hanya akan sebatas apa yang dijelaskan oleh kitab-kitab itu. Jarang sekali timbuk pemahaman yang luas dan mendalam selain apa yang tertulis di dalam kitab itu. Oleh karena itu, ilmu Ji Hau Leng menjadi terbatas. Memang kekuatannya dahsyat. Bahkan sungguh snagat dahsyat. Tapi sangat sempit dan terbatas.

Cio San yang pemahamannya sangat luas, cukup sekali saja melihat jurus orang lain atau mempelajari penyaluran kekuatannya, maka ia sudah mampu menggunakan jurus itu. Itu karena ia mencoba menyelami dasar ilmu itu. Apalagi ditambah dengan pemahamannya terhadap Thay kek Kun.

Inti kehebatan Cio San adalah ia mampu mengerti dasar dari Thay Kek Kun. Sehingga dengan mudah ia menggunakan ilmu itu dengan bebas. Tanpa aturan, dan tanpa dibatasi oleh jurus-jurus. Sehingga ia bebas mencampurkan ilmu itu dengan ilmu apa saja. Bebas menggunakan ilmu itu dengan jurus-jurus dari ilmu lain.

Justru disinilah letak kehebatan Thay Kek Kun.

Ilmu ini menitikberatkan kepada penyaluran tenaga yang alami. Semua jurus silat penyaluran tenaganya serta gerakan-gerakan jurusnya pasti tak akan bertentangan dengan alam. Oleh karena itu, seseorang yang paham dengan Thay Kek Kun, seharusnya bisa memahami jurus-jurus yang lain.

Sayangnya kebanyakan murid Butongpay memandang Thay Kek Kun sebagai jurus-jurus dan ilmu silat  baku yang diciptakan Thio San Hong. Mereka tidak memandang ilmu itu sebagai pijakan dasar berpikir dalam ilmu silat. Itu sebabnya ilmu silat mereka tidak berkembang.

Itu jugalah yang terjadi pada ahli-ahli silat kebanyakan yang ada di kalangan persilatan. Mereka memiliki ilmu-ilmu yang sakti sebagai hasil dari latihan bertahun-tahun. Tapi dasar pemahaman pijakan berfikir mereka sendiri sama sekali tidak ada. Mereka terpaku oleh jurus dan jurus. Tak berani mengotak-atik ilmu mereka sendiri.

Kebanyakan karena menganggap ilmu mereka yang paling hebat.

Kebanyakan juga karena merasa ilmu mereka sudah sempurna.

Tapi yang paling banyak adalah karena mereka sendiri juga tak paham mengapa dan bagaimana ilmu-ilmu itu diciptakan.

Jika mereka mampu menyadari bahwa di dalam kekosongan, sebuah ilmu silat akan mampu berubah menjadi jurus apa saja. Menjadi berbagai macam bentuk, dan berbagai macam perubahan, maka sungguh mereka akan mampu menjadi pesilat yang tak terkalahkan.

Sayangnya hanya Cio San yang mampu.

Untungnya hanya Cio San yang mampu.

Ji Hau Leng hanya menatap Cio San,

“bagaiaman kau bisa menggunakan 18 Tapak Naga?”

“Aku melihatmu menggunakannya tadi?”

“Kau sekali lihat langsung bisa?”

“Tidak. Aku harus menerima pukulan-pukulanmu dulu baru aku paham cara kerjanya.”

“Kau bilang ilmuku belum sempurna” kata Ji Hau Leng

“Memang. Itu karena kau menitik beratkan 18 Tapak naga pada kekuatan luar yang sangat dahsyat. Padahal jika digabungkan dengan tenaga dalam yang lembut, justru akan menghasilkan kekuatan yang lebih dahsyat” jelas Cio San.

“Aku.,.aku pernah mendengar bahwa leluhur Kwee Cheng telah mampu menggabungkannya dengan ilmu lain yang lebih lembut. Ta…tapi aku tak tahu bagaimana caranya”

“Itu karena kau terlalu banyak berpikir. Seharusnya kau biarkan saja ilmu itu mengalir dengan alami. Pada akhirnya kau akan menemukan caranya”

“Tapi aku sudah terlambat bukan? Kau tak akan memberiku waktu bukan?”

“Jika kau mengatakan dimana sahabat-sahabatku, aku akan mengampunimu” Pada awalnya ia ingin membunuh Ji Hau Leng. Tapi melihat keadaannya yang demikian, luluh juga hati Cio San.

“Aku sungguh tak tahu di mana mereka berada” jawab Ji Hau Leng.

“Siapa yang memerintahkanmu untuk menjemputku dan mengalihkan perhatianku?” tanya Cio San

“Bwee Hua Sian”

“Kenapa kau patuh kepadanya? Bukankah kau adalah pemimpin partai terbesar di kolong langit ini?”

“Ia menawan orang yang paling kusayangi”

Cinta!

Semua ini karena cinta.

Orang melakukan apapun demi cinta.

Apakah benar orang melakukannya demi cinta?

Bukankah  orang melakukan apapun adalah demi dirinya sendiri? Ia takut kehilangan, ia takut ditinggalkan. Ia takut kesepian. Ia takut tak ada yang mencintainya lagi. Ia takut hatinya bersedih.

Jadi sesungguhnya orang melakukan apapun bukan karena cinta. Melainkan untuk dirinya sendiri.

“Tolong kau selamatkan dia” kata Ji Hau Leng.

“Kau jangan…” ucapan Cio San terhenti.

Tubuh Ji Hau Leng telah jatuh dan roboh. Ia telah mengambil nyawanya sendiri.

Di dunia ini siapakah yang berani menanggung malu sebesar ini? Menjadi pendekar yang dikagumi, membawahi puluhan ribu anggota partai terbesar di Bu Lim, tetapi melakukan hal-hal rendah demi cinta?

Tapi Cio San tak pernah menganggap hal itu rendah. Orang yang mati demi cinta adalah orang yang berbahagia. Apapun kata orang. Serendah apapun hinaan orang. Cinta harus diperjuangkan dan jika engkau mati di tengah jalan, engkau tetap orang yang beruntung. Karena setidaknya di dalam hatimu masih ada sedikit kesetiaan dan kasih sayang.

Cio San mengangkat tubuh Ji Hau Leng dengan penuh hormat. Pendekar ini telah mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Maka Cio San bertekad membawa tubuh Ji Hau Leng kembali ke markasnya.

Sampai menjelang malam, baru Cio San sampai di markas itu. Kedatangannya membawa kekagetan dan tangisan membahana.

Seluruh pengemis yang ada di sana menangis dan berebut mencium jasad ketua mereka. Setelah itu mereka mengurus jasad itu dengan baik.

Cio San heran mengapa ia tidak ditanyai macam-macam. Kematian orang besar seperti ini tentunya menimbulkan kehebohan. Apalagi dia adalah pangcu partai terbesar. Cio San sedikit kecewa mengapa tidak ada seorang pun anggota Kay pang yang menanyakan banyak hal kepadanya.

Ketika ia meminta diri untuk pulang, semua orang lalu berlutut di hadapannya.

“Salam hormat kepada Pangcu!”

Cio San tak bisa berkata apa-apa lagi.

Related Posts:

Bab 51 Serigala



Bwee Hua Sian sudah menghilang dari hadapannya. Ia masih tetap tersenyum. Dalam hujan lebat seperti ini, hanya orang gila yang mau berada di luar. Suma Sun, Bwee Hua, dan Tujuh Pendekar Cantik Go Bi Pay. “Mereka mungkin semua sudah gila” pikir Cio San.

Ia lalu kembali ke dalam kuil dan tidur.

Malam semakin larut, hujan semakin lebat, dan siapa yang akan tahu jika ada musuh yang menanti? Tapi Cio San memilih pergi tidur. Seolah-olah tidak ada satu pun di dunia ini yang sanggup menghalanginya untuk tidur.

Saat pagi ia terbangun. Hujan sudah berhenti. Yang tertinggal hanya kesejukan embun pagi dan matahari pagi yang hangat. Tubuhnya terasa segar. Dengan sekali lompatan, ia sudah memetik beberapa buah-buahan yang berada di pepohonan.

Segar!

Hari ini dimulai dengan semangat dan kesegaran. Memang begitulah seharusnya seseorang memulai harinya. Apa yang terjadi di depan nanti, toh belum terjadi. Mengapa harus kau pikirkan dan takutkan?

Dan jika terjadi, ya harus kau hadapi. Memangnya kau bisa menghindarinya?

Ia berjanji untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya di kota Bu Tiau. Segera ia bergegas ke sana. Larinya sangat cepat. Gerakannya sangat ringan. Jika ada yang melihat tentu akan berdecak kagum melihat kehebatan Ginkangnya. Sayangnya, di kolong langit ini yang sanggup melihat gerakannya mungkin hanya beberapa orang saja.

Perjalanan yang cukup panjang. Ia hanya berhenti sebentar untuk istirahat, dan makan buah-buahan. Untuk mengisi kekuatannya. Cio San tidak pernah mau membuang-buang kekuatannya. Jika ia mengeluarkan kekuatannya, haruslah dilakukan dengan sabaik-baiknya, dengan tujuan sebaik-baiknya, dan dengan perhitungan sabaik-baiknya.

Karena itulah ia selalu ada dalam kondisi terbaik untuk bertempur.

Karena ia tidak pernah mau merepotkan diri memikirkan segala kesusahan yang akan terjadi nanti, maka itulah ia selalu mempersiapkan kondisi terbaik bagi tubuh, pikiran, dan jiwanya.

Apa yang akan terjadi, terjadilah!

Sampai memasuki tengah hari, ia telah memasuki gerbang kota Bu Tiauw. Kota ini merupakan salah satu kota paling ramai di Tionggoan. Kota ini sangat padat dan ramai sekali perdagangannya. Cio San tidak begitu suka dengan kota seperti ini. Tapi dia lumayan menikmati pemandangan yang dilihatnya,

Berbagai macam orang lalu lalang dengan segala urusannya. Jalanan juga di penuhi kereta dan orang berkuda. Suasana hiruk pikuk ini mengingatkan Cio San kepada pasar. Rasa-rasanya seperti seluruh kota ini adalah pasar.

Walaupun kota ini sangat ramai dan penuh kesibukkan, kota ini terlihat sangat bersih dan rapih. Jauh lebih bersih daripada kota-kota lain yang sudah dikunjunginya. Setelah bertanya-tanya sebentar, Cio San akhirnya menemukan tempat yang dicarinya. Penginapan terbaik. Ia telah berjanji untuk menemui sahabat-sahabatnya di sana.

Penginapan itu bernama “Penginapan Seribu Bunga”. Mengingat kata ‘bunga’, ia jadi teringat Bwee Hua Sian lagi. Membuatnya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Lelaki memang kadang melakukan hal seperti ini jika teringat beberapa orang perempuan yang dikenalnya.

Ia melangkahkan kaki memasuki penginapan itu. Ruang depan di penginapan itu memang berfungsi juga sebagai restoran. Saat itu telah memasuki waktu makan siang, sehingga terlihat ramai sekali. Begitu ia masuk, seorang pelayan menghampirinya.

“Tuan ingin menginap, atau memesan makanan?” tanyanya sopan.

“Saya mencari beberapa orang sahabat yang menginap di sini”

“Oh siapa nama-nama mereka tuan?”

Cio San tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Tentunya mungkin sahabat-sahabatnya tidak menggunakan nama asli ketik menginap.

“Oh, ada 4 orang. Salah satunya wanita berambut putih, dan seorang pria botak”

“Hmmmm…” si pelayan mengingat-ingat sebentar. Lalu berkata “Setahu ini selama beberapa hari ini tidak ada tamu yang berciri-ciri demikian”.

“Apakah selama ini penginapan ini selalu penuh?” tanya Cio San

“Selama beberapa hari ini kami justru memiliki banyak kamar kosong”

“Ahhh…baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak” kata Cio San sambil menjura. Ia lalu pergi.

Dugaannya ternyata benar. Sahabat-sahabatnya telah mengalami sesuatu hal.

Tapi kenapa ia tidak segera bertindak, jika ia sudah menduga demikian?

Ketika Bwee Hua Sian bilang bahwa ia seharusnya cepat-cepat menemui sahabatnya, ia sudah tahu bahwa sahabat-sahabatnya itu pasti sudah jatuh ke tangan Bwee Hua. Oleh sebab itu, ia tidak segera berangkat menyusul karena ia tahu percuma saja. Ia memilih tidur untuk memulihkan kekuatannya.

Ia kemudian pergi ke kota ini hanya untuk benar-benar memastikan bahwa mereka memang diculik. Ia yakin bahwa mereka diculik. Tidak mungkin si otak besar membunuh mereka. Karena mereka lebih berharga saat hidup daripada saat mati.

Otak besar pasti akan menggunakan mereka untuk mengancam dirinya.

Oleh sebab itu ia bersikap menunggu saja. Suatu saat, si otak besar pasti akan menghubunginya. Ia berjalan menyusuri kota. Jika sedang berpikir, ia memang suka sambil berjalan. Begitu selesai, wajahnya bersinar, dan matanya berkilat-kilat.
Ji Hau Leng!

Ya, Ji Hau Leng terlibat dengan semua ini.

Itulah kenapa Ji Hau Leng mencegatnya di jalan dan mengundangnya datang ke markas mereka. Mengajaknya untuk minum sampai mabuk. Agar ia tak dapat segera menyusul teman-temannya.

Rupanya partai terbesar dalam Kang Ouw terlibat semua ini. Itulah kenapa jumlah anggotanya bertambah berkali lipat dalam beberapa tahun belakangan ini. Mereka punya rencana besar yang akan mereka laksanakan dalam waktu dekat ini.

Cio San kemudian bergegas. Dalam keramaian ia mencari-cari orang. Entah siapa yang dicarinya. Tak lama kemudian ia menemukan orang yang dicarinya itu.

“Selamat siang” kata Cio San sambil menjura.

“Siang” kata orang itu menjawab sekenanya.

“Angin dari barat menyapa. Apakah saudara merasakan cahayanya?” kata Cio San

Orang itu kaget sebentar.

“Cahaya di depan mata. Masakah kami buta? Tapi entah siapa pembawa cahaya ini?” kata si orang itu.

“Raja tanpa mahkota, adalah kaisar di tengah cahaya”

Si orang terbelalak. Ia lalu menjatuhkan diri,

“Mohon maaf, hamba tidak mengenal kaucu! Hamba pantas mati..pantas mati!”

“Berdirilah, dengarkan perintah ketua” kata Cio San

Orang itu lalu berdiri.

“Siapa nama saudara? Apakah dari cabang Bu Tiauw?” tanya Cio San.

“Nama hamba Kou Sim. Hamba adalah wakil ketua cabang kota Bu Tiauw. Hamba siap menerima perintah”

“Baik. Saudara Kou Sim, aku memintamu untuk mengantarkan surat kepada Pangcu partai Kay Pang di markas besar mereka. Apa kau tahu di mana markasnya?”

“Tahu, kaucu”

“Baiklah”. Cio San lalu merobek sedikit kain bajunya yang menjuntai, lalu kemudian menuliskan sesuatu.

MENANTIKAN KEHADIRAN PANGCU DI GERBANG KOTA BU TIAUW BESOK SAAT TENGAH HARI
HORMAT KAMI

CIO SAN- MO KAUW KAUCU


“Jaga jangan sampai surat ini jatuh ke orang lain. Kau juga harus memastikan bahwa surat itu benar-benar sampai ke tangan Ji-pangcu. Bisa?”

“Hamba akan menjaga surat ini dengan nyawa hamba, kaucu”

“Baiklah. Jasamu akan kuingat. Segera berangkat sekarang juga”

“Hamba pergi. Mohon doa dan perlindungan kaucu”

Cio San hanya mengangguk dan tersenyum.

Mereka bedua pun saling berpisah. Cio San memilih pergi ke sebuah rumah bordil. Mencari sebuah rumah bordil terbaik jauh lebih gampang daripada bernafas. Maka Cio San kini sudah sampai di pintunya.

Ia sudah di sambut dengan senyuman beberapa orang gadis yang amat cantik.

“Silahkan masuk tuan….silahkan menikmati hidangan”

Cio San balas tersenyum. Jika ada wanita yang tidak kau kenal tersenyum kepadamu, kau harus balas tersenyum pula. Kalau tidak kau yang akan dianggapnya gila. Tetapi jika kau tersenyum duluan kepada wanita yang tidak kau kenal, maka ia yang akan menganggapmu gila.

Begitu masuk, suasanya rumah bordil ini memang seperti rumah bordil lainnya. Puluhan wanita cantik dengan dandanan penuh gincu sedang melayani banyak lelaki. Biasanya melayani minum atau makan hidangan. Jika kau memutuskan untuk menggunakan ‘layanan’ yang ‘lebih’, maka kau akan meneruskannya ke dalam bilik-bilik yang sudah tersedia.

Seorang gadis mendatanginya,

“Tuan mari silahkan duduk, meja di sana masih kosong. Mari kutemani” ia berkata begitu sambil menggenggam tangan Cio San dan menariknya ke meja kosong.

Perempuan kalau sudah punya kemauan, maka gayanya menarik tanganmu akan seperti ini. Seperti iblis yang menarikmu ke neraka.

“Tuan ingin minum arak apakah? Kami punya semua arak terbaik yang ada di dunia”

Heran. Dia begitu ramah terhadap pemuda yang berpakaian sederhana dan penampilan biasa seperti Cio San. Walaupun Cio San memang sangat tampan, tapi gaya berpakaiannya ini sedikit awut-awutan dan tidak mentereng.

Yang tidak perlau kau herankan adalah, wanita-wanita ini sudah punya banyak pengalaman tentang lelaki. Jika kau ada dalam kerumunan ratusan orang pun, dalam sekali pandang ia bisa membedakan orang yang bertulang kere, atau yang kaya raya.

Karena orang-orang terkadang salah menilai. Mereka menilai orang kaya atau miskin dari baju yang mereka pakai. Padahal orang kaya yang berpakaian mentereng sangat sedikit ketimbang orang kaya yang berpakaian sederhana. Entahlah kenapa mereka berpakaian sederhana. Mungkin takut jika banyak pengemis akan datang meminta-minta kepada mereka.

Dan orang-orang miskin pun kadang menghabiskan banyak uang hanya untuk membeli baju mentereng. Mungkin supaya mereka bisa merasa lebih dihargai orang.

Tetapi nona-nona yang ada di tempat seperti ini, tidak mungkin salah. Mata mereka adalah mata elang. Bahkan jika kau sembunyi di balik pintu pun, ia akan tahu jika ada orang kaya bersembunyi di balik pintu.

Tanpa diminta, pelayan sudah satang membawa arak yang wangi. Si nona menuangkannnya ke dalam cawan. Lalu memberikannya kepada Cio San dengan penuh mesra. Tanpa arak pun Cio San bisa mabuk melihat betapa mesranya nona itu kepadanya.

“Siapa nama nona?” tanya Cio San sopan

“Ah, aku sampai lupa memperkenalkan nama. Kadang-kadang jika bertemu pria tampan, aku memang suka bingung tak tahu harus melakukan apa”

“Hahaha” mereka berdua tertawa

“Eh, namaku Cin Cin. Tuan yang gagah siapakah namanya?”

“Namaku Cio San”

“Ah nama yang bagus sekali tuan” ia tersenyum sambil menatap mata Cio San.

Kadang-kadang Cio San memang suka bingung menghadapi wanita yang langsung menatap matanya. Takut kalau-kalau sinar mata wanita malah akan menyihirnya atau membuatnya sedikit mabuk. Di dunia ini memang yang paling indah sekaligus juga menakutkan adalah mata wanita.

Jika kau berani menatapnya, maka bersiap-siaplah kau terjatuh ke dalam dunia mimpi.

Mereka menghabiskan seguci arak. Cio San mengeluarkan satu tael emas. Begitu melihat uang satu tael itu, mata si nona terbelalak.

“Cin-siocia (nona Cin), aku ingin bertanya. Apakah kau pernah melihat sahabatku kesini? Ciri-cirinya rambutnya sedikit merah. Bajunya putih semua. Dan selalu menenteng pedang”

“Ah maksud tuan Suma-tayhiap? Tentu saja. Sejak semalam ia sudah menginap di sini”

“Antarkan aku menemuinya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya”

“Baik. Mari sini, tuan” katanya sambil menggandeng tangan Cio San.

Mereka menuju ke sebuah bilik. Si nona mengetuknya,

“Suma tayhiap, aku datang mengantarkan sahabat tuan”

Dari dalam terdengar suara,

“Masuklah Cio San” suaranya pelan dan tenang. Tapi terdengar jelas sampai ke luar pintu.

Cio San membuka pintu dan melangkah masuk. Tidak ada suara dari langkah-langkah ini. Rupanya dengan car ini Suma Sun tahu bahwa yang datang bersama Cin Cin adalah Cio San Hanya Suma Sun sendirian yang ada di sana. Ia tidak mempersilahkan Cio San duduk, tapi Cio San sudah duduk.

“Terima kasih nona Cin Cin. Tolong tinggalkan kami sendirian. Selesai ini, kau akan kupanggil kembali” kata Cio San sambil menyelipkan uang satu tael.

Ada uang, si nona pun menurut. Nona mana saja akan menurut.

“Bantuan apa yang kau minta dari ku?” tanya Suma Sun. Begitu dingin.

“Kau yakin dengan pedangmu?”

“Tidak” jawab Suma Sun. Lanjutanya,

“Tapi aku yakin dengan diriku”

“Baiklah. Kau yakin menang melawan siapapun?” tanya Cio San lagi.

“Jika mereka punya nama”

“Baiklah. Aku percaya kepadamu, karena itu aku datang. Aku belum bisa memberitahukan siapa namanya. Tapi orang-orang yang kita akan hadapi sungguh banyak”

“Siapa lagi yang kau ajak?”

“Beng Liong” kata Cio San.

“Itu sudah cukup” kata Suma Sun.

“Aku terpaksa memintamu berangkat sekarang” kata Cio San

“Kemana?” tanya Suma Sun.

“Tolong kau cari Cukat Tong dan beberapa orang anak buahku”

“Itu saja?”

“Itu saja”

“Dan setelah itu hutangku lunas?”
“Kau tidak pernah berhutang kepadaku” jelas Cio San.

Sum Sun hanya mengangguk. Lalu ia berdiri dan menenteng pedangnya.

Ia keluar ruangan itu dengan tenang. Langkahnya halus bagaikan anak perempuan yang sedang dipingit. Ia tidak bertanya kemana harus pergi. Kemana harus mencari. Sikapnya seperti Cukat Tong yang saat itu dimintai tolong oleh Cio San untuk mencari contoh racun.

Sejak kecil ia sudah hidup di alam bebas sendirian. Mencari makan dan bertahan hidup sendirian. Hidup di dalam alam yang ganas. Berburu telah dilakukannya sejak kecil. Apalagi hanya mencari jejak manusia.

Serigala.

Melihat Suma Sun, Cio San teringat dengan serigala.

Begitu Suma Sun keluar, Cin Cin masuk.

“Tuan butuh apa? Bisa ku bantu?”

“Kemarilah”

Nona itu datang dan duduk di pangkuan Cio San.

“Katakan pada tuanmu untuk segera menghubungiku, dan tanyakan apa maunya”

Belum sempat nona itu berkata apapun, Cio San sudah menendangnya keluar jendela.  Kebetulan jendela itu memang terbuka, dan tendangan Cio San bukan tendangan mematikan. Si Nona itu tidak terluka sedikit pun.

“Kenapa perempuan senang sekali berfikir kalau semua lelaki di dunia ini sudah pikun seluruhnya?” tanya Cio San dalam hati sambil geleng-geleng kepala.

Related Posts: