Bab 40 Tamu dan Surat



Saat sore, pemandangan di Istana Ular juga tidak kalah indahnya. Cio San berada di taman belakang. Ia sedang menikmati arak sambil menikmati taman belakang Istana Ular yang sangat indah. Ada kolam kecil yang indah. Di dalamnya terdapat berbagai macam ikan hias. Melihat mereka berenang dan bermain sudah merupakan hiburan tersendiri bagi Cio San.

Di sekeliling kolam terdapat jalan setapak yang berisi batuan berwarna-warni yang indah. Di sekeliling jalan setapak itu pun diliputi rumput hias yang terpotong rapi. Di pojok taman, terdapat pavilliun kecil. Di sini terdapat meja kecil dan terdapat sebuah khim (kecapi) yang besar. Cio San pernah memainkan kecap yang besar saat di rumah Khu Hujin dulu. Kini ia duduk  memainkannya.

Entah karena memang bakat musik yang menurun dari ayahnya, Cio San memainkan khim dengan sangat indah. Ang Lin  Hua yang saat itu sedang berada di kamarnya, sayup sayup mendengar suara khim dan nyanyian Cio San. Sebuah lagu yang indah namun menyedihkan.\

Lagu yang menyedihkan memang sering sekali terasa jauh lebih menyenangkan daripada lagu yang menceritakan tentang kebahagiaan.

Orang yang sedang bahagia pun kadang ikut sedih ketika mendengar lagu yang sedih. Sedangkan orang yang sedih jarag ada yang ikut berbahagia karena mendengar lagu tentang kebahagiaan.

Apakah itu berarti orang yang sedih hatinya jauh lebih banyak daripada orang yang berbahagia?

Entahlah.

Tapi seberapa banyak orang yang bahagia yang pernah kau temui? Kebanyakan orang pasti merasa hidupnya menyedihkan dan membosankan. Walaupun ia orang yang paling kaya sekalipun. Karena jika kau menganggap kebahagiaan terdapat pada harta yang banyak, maka hidupmu hanya akan habis mengejar harta. Lalu kapan kau akan menikmati hartamu?

Uang memang perlu. Tapi bukan uang bukanlah kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah ketika engkau mampu menerima dirimu apa adanya. Menjadi dirimu sendiri. Hidup dengan caramu sendiri.

Bagaimana mungkin kau hidup dengan caramu sendiri jika kau terus diperbudak keinginan?

Dentingan dawai khim merasuk ke jiwa. Orang yang jiwanya mabuk bukan karena minum atau makan sesuatu yang memabukkan, tentulah mabuknya adalah mabuk yang paling indah. Mabuk seperti ini selalu lebih menyenangkan.

Ang Lin Hua begitu mendengar musik seindah itu, justru tidak berani keluar kamarnya. Memang kata orang, sesuatu yang indah itu harus dinikmati sedikit demi sedikit. Ia lebih memilih menikmati suara yang sayup-sayup itu.

Desir angin sore hari, dentingan dawai, dan nyanyian yang merdu. Jika kau tidak bisa menikmati ketiga hal ini, mungkin sudah tidak ada hal lagi di dunia ini yang bisa membuatmu bahagia.

Daun daun jatuh dari pucuk-pucuk dahan. Mungkin karena musim gugur telah tiba. Tapi juga mungkin karena pepohonan pun ikut bersedih mendengarkan lagu seindah dan sesedih ini. Karena memang, perpisahan dua orang kekasih, jauh lebih menyedihkan daripada kisah tentang kematian.

Daun sekering ini, masa kah bisa sekering hati manusia yang kesepian?

Kolam seluas ini, masa kah bisa menampung air mata kekasih yang terluka?

Bebatuan sekeras ini, walaupun tuli, mungkin akan ikut menangis juga mendengar kisah-kisah sedih tentang kehidupan manusia.

Maka siapakah hatinya yang tak akan tersentuh mendengar nyanyian sesedih ini?

Tak terasa air mata Ang Lin Hua pun ikut menetes.

Jika pendengar saja menangis, bukankah yang bercerita akan jauh lebih banyak air matanya?

Cio San tahu air mata sedang menetes deras di pipinya. Tapi ia menikmatinya. Ia menikmati setiap tetesan air matanya. Baginya setiap tetes adalah tegur sapa dari kekasih yang dirindukannya.

Bagaimana kabarmu, Mey Lan?

Apakah engkau di sana merindukanku juga?

Apakah engkau di sana selalu setia menanti kepulanganku?

Apakah engkau akan selalu menatap pintu depan rumahmu, seperti aku juga menatap garis kaki langit?

Perpisahan ini baru sekejap. Tapi yang sekejap itu justru yang paling menyakitkan.

Lelaki sekuat apapun, jika berpisah dengan kekasihnya, pasti akan lemah juga hatinya.

Karena tegar bukan berarti tanpa air mata. Tegar berarti menghadapi apapun walaupun kau harus tersakiti, terluka, dan bersedih karenanya.

ANg Lin Hua kini mengerti mengapa ia tidak ingin keluar dari kamarnya. Ia tahu Cio San sedang bersedih. Oleh karena itu ia tak ingin kehadirannya akan mengganggu Cio San. Karena kadang-kadang, menangis itu justru jauh lebih membahagiakan daripada tertawa.

Tak terasa lagu sudah berhenti.

Tak terasa yang tertinggal hanyalah kesunyian belaka.

Sinar merah matahari sore. Daun daun berguguran. Angin berhembus. Desahan ranting-ranting pohon berbisik merdu.

Apa yang lebih indah daripada itu semua?

Tapi herannya, orang-orang yang mengaku bahagia, justru tidak bisa menemukan keindahannya. Justru orang-orang yang bersedih hatilah yang bisa menikmati keindahannya.

Ang Lin Hua menyalakan lilin dan obor penerang. Di dalam istana memang sudah mulai gelap. Ia lalu beranjak ke taman belakang. Paviliiun tempat Cio San berada ternyata sudah terang. Cio San duduk di sana.

Saat melihat Ang Lin Hua datang membawa obor, Cio San tersenyum. Tapi Ang Lin Hua bisa melihat bekas-bekas kesenduan di sana. Ia membalas senyum Ang Lin Hua, dan mengangguk pelan. Lalu ia menerangi beberapa obor yang ada di sekeliling taman pula.

Sekejap suasana taman belakang menjadi sangat indah.

“Mari duduk di sini, siocia” kata Cio San

“Tunggu hamba ambilkan arak, kaucu” tukas ANg Lin Hua

Tak berapa lama ia kembali dengan sebuah guci arak dan dua buah cangkir.

Ia duduk di hadapan Cio San lalu menuangkan arak ke dalam cangkir dengan lembut. Bau harumnya menebar kehangatan di pavilliun itu. Cio San langsung tahu arak apa itu.

“Arak Lin Sam? istimewa!”

“Siocia (nona), memang pintar memilih arak” katanya

Arak itu ada seninya. Bukan hanya kau harus kuat meminumnya. Bukan saja kau harus tahu ciri-cirinya. Bukan saja kau harus tahu khasiatnya. Bukan saja harus kau tahu cara meminumnya. Tapi kau pun harus tahu memilihnya di saat yang tepat.

Selalu ada arak yang berbeda untuk dinikmati di saat yang berbeda pula.

Seni seperti ini, kalau bukan seorang peminum arak, tentu tak akan paham.

Teguk demi teguk telah tertenggak. Yang ada hanya kehangatan. Mereka walau duduk saling berhadapan, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kita kedatangan tamu” kata Cio San memecah kesunyian.

Dalam sekejap mata ia sudah menghilang dari hadapan Ang Lin Hua. Si nona akhirnya menyusul juga. Begitu sampai di depan pintu depan, terdengar suara dari gerbang,

“Salam kepada kaucu, semoga panjang umur”

Ang Lin Hua menarik sebuah tuas yang berada di dekat pintu depan tempat ia berdiri.

Blunggg

Terdengar suara gerbang depan terbuka. Pintu gerbang itu terbuat dari besi besar yang tinggiya beberapa kaki. Gerbang yang sangat kokoh karena memang tempat itu dulunya adalah benteng pertahanan.

Puluhan orang lalu masuk. Pakaian dan dandanan mereka pun aneh-aneh. Sekali pandang saja Cio San tahu jika mereka adalah anggota Mo Kauw.

Begitu tiba di hadapan Cio San, segera orang-orang itu berlutut dan kembali mengucap kalimat yang sama,

“Salam hormat kepada Kaucu, semoga panjang umur. Juga salam kepada Seng Koh (perawan suci)”

“Berdirilah” jawab Cio San. Dalam hati dia kagum juga dengan nama panggilan Ang Lin Hua. Perawan suci! Dia ingin tersenyum.

Tapi Cio San saat ini bukanlah Cio San yang senyumnya jenaka, dan berkelakukan seenaknya. Cio San yang ini adalah seorang Mo Kau Kaucu.

“Apa yang membawa saudara-saudara sekalian ke sini?” tanyanya

“Kami mendengar bahwa kaucu yang lama telah meninggal, dan tuan telah diangkat sebagai kaucu yang baru” jawab salah seorang.

“Itu benar. Aku akan bercerita, mohon saudara-saudara sekalian mendengarkan”

Cio San pun bercerita. Sebuah cerita yang sama dengan yang ia ceritakan kepada Ang Lin Hua. Puluhan orang-orang yang mendengarkan itu tertunduk. Mereka semua meneteskan air mata. Salah satu dari mereka bertanya,

“Bolehkah kami melihat kuburan kaucu yang lama?”

“Saat ini aku belum mencari jasad beliau, dan jasad saudara-saudara yang lain. Dalam beberapa hari ini mudah-mudahan aku bisa menemukannya”

“Apakah ada kemungkinan jasad-jasad itu masih disimpan para pengkhianat dari rumah bordil?” tanya salah seorang.

“Mungkin saja. Tapi beri aku waktu, aku akan menemukannya”

“Biar saya saja kaucu” salah seorang maju dan mengajukan diri.

Orangnya sudah cukup tua dan rambutnya sudah hampir putih seluruhnya. Cio San seperti pernah bertemu dengannya. Samar-samar ia mengingat-ingat.

“Nama hamba Hing Liok Tay, hamba adalah ketua cabang daerah Hubei. Nona Hua telah mengenal hamba”

Cio San menoleh ke Ang Lin Hua,

“Ah, jika Hing-susiok (paman) yang menanganinya, kiranya kita semua boleh berlega hati” sahut Ang Lin Hua.

“Saat ini, jika diperintahkan, hamba langsung berangkat sekarang juga” kata Hing Liok Tay

“Susiok boleh berangkat besok pagi. Sekarang ini marilah semua saudara masuk dan menikmati arak” kata Cio San

Terdengar suara mereka semua bersorak.

Karena tidak ada pelayan, orang-orang ini yang melayani diri mereka sendiri. Untunglah dari rombongan ini terdapat beberapa orang wanita. Para wanita ini menyiapkan makanan, minuman, dan tentu saja arak yang keras.

Jika ramai-ramai, arak yang paling keras itu yang paling cocok!

Cio San berkisah tentang banyak hal. Ia mengakrabkan diri dengan ‘anak buah’ barunya itu. Ang Lin Hua sudah menunjukkan surat pengangkatan Cio San, oleh sebab itu orang-orang ini menjadi lebih yakin lagi.

Walaupun suasana sedang dirundung duka karena kehilangan kaucu yang lama, tak ayal mereka kagum juga dengan Cio San. Ang Lin Hua yang menceritakan semuanya. Bagaimana Cio San mengalahkan ilmu Menghisap Matahari, dan juga mencoba menyembuhkannya.

Dunia hal yang paling dihormati dalam dunia Kang Ouw memang adalah ilmu silat dan ilmu ketabiban. Cio San memiliki kedua-duanya dalam tingkatannya yang sangat tinggi.

Setelah makan malam dan acara minum arak selesai, Cio San berkata,

“Dengarkan titah kaucu!”

Semua orang, termasuk Ang Lin Hua langsung berlutut, Cio San berdiri dengan gagah

“Karena banyaknya kejadian yang menghebohkan di dalam dunia Kang Ouw, sehingga kita tidak bisa membedakan mana kawan, lawan, dan pengkhianat, maka aku memerintahkan kalian untuk segera kembali ke posisi masing-masing esok hari. Hanya beberapa orang yang ku minta tinggal di sini untuk mengurus segala keperluan di Istana Ular.”

Cio San memang ketika tadi saat mengobrol dengan orang-orang ini telah mencoba menyelami sifat mereka satu persatu. Dengan pengetahuan yang dibacanya dari kitab yang diberikan Khu Hujin, ia sedikit banyak sudah bisa menyelami sifat manusia, dan apa-apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka.

Ia lalu menyebutkan nama-nama,

“Hing Liok Tay, Sie Peng, Hok Jin, Goan Say Tan, Yan Tian Bu, Lim Tin, dan Cua Cin Sin harap tinggal. Saudara-saudara yang lain silahkan pulang besok. Saya akan memberikan tugas khusus kepada saudara-saudara yang paling besok” 

“Kami dengar dan kami laksanakan!” teriak seluruh anggota yang ada.

“Silahkan semua beristirahat. Bagi yang ingin bercengkerama dulu silahkan saja. Bagi yang ingin tidur, silahkan pilih kamarnya masing-masing. Perintah selesai. Silahkan bubar” Kata Cio San. Terdengar gagah dan berwibawa. Seperti ia telah menjadi kaucu selama bertahun-tahun.

Ia sendiri tidak segera pergi tidur melainkan kembali duduk di pavilliun taman belakang. Ia duduk sambil memperhatikan anggota-anggota yang lain. Ada yang meneruskan makan. Ada yang berbincang-bincang dengan sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ada yang diam saja. Ada juga yang sedang mempertontonkan silat. Mungkin sedang memperlihatkan jurus baru kepada sahabat-sahabatanya.


Cio San memberi perintah memanggil Hing Liok Tay. Segera Hing Liok Tay pun datang menemuinya.

“Salam kaucu” katanya sambil menjura.

Cio Sang mengangguk dan tersenyum, “Silahkan duduk susiok” katanya.

“Tidak berani..tidak berani…Kaucu harap jangan memanggil hamba susiok (paman)”

“Aku memanggilmu dengan panggilan yang aku suka, susiok” jawab Cio San tersenyum.

“Ahhh…kaucu sungguh seseorang yang rendah hati” kata Hing Liok Tay

“Kaucu, ada petunjuk apa?” tanya Hing Liok Tay

“Kita pernah bertemu, tapi susiok memang pasti tidak tahu"

“Benarkah, kaucu?” tanya Hing Liok Tay

“Kau bukankah dulu pernah menjadi petani tua, dan memberi sepatu kepada seorang pemuda?”

“Sejujurnya, hamba banyak memberikan sepatu kepada banyak orang" jawab Hing Liok Tay.


Cio San paham, rupanya orang ini memang sudah sering punya tugas jadi mata-mata Mo Kauw

“Aku dulu adalah seorang pemuda berwajah pucat yang datang kepadamu tanpa sepatu.”

“Apakah di pinggiran hutan bambu di tepi air terjun Huey? ada desa kecil bernama Tau Lam di kaki gunung Butongsan. Hamba bertugas bertahun-tahun disana.”


"Yah, kejadian itu baru beberapa bulan yang lalu. Mungkin belum sampai sekitar setahunan"

“Hamba saat itu mendapat perintah dari kaucu yang lama untuk menetap di sana. Beberapa orang anggota memang mendapat perintah untuk menetap dibeberapa daerah sekitar kaki gunung Butong san”

“Oh, kalian diperintahkan kaucu yang lama untuk mecari kabar tentang pemuda bernama Cio San, bukan?”

“Benar kaucu”


"Aku lah pemuda pucat yang dulu kau berikan sepatu itu, susiok" kata Cio San tersenyum


"Ahhhh,mohon maaf kaucu..mohon maaf" kata Hing Liok Tay sambil bersujud berkali-kali


"Sudahlah, apa yang harus dimaafkan" tukas Cio San sambil tersenyum. Lanjutnya, "Aku hanya ingin bertanya"


"Silahkan, kaucu"


"Setelah kau memberiku sepatu yang berisi penanda jejak, dan kemudian aku tiba di kota Liu Ya, dua orang yang menguntitku adalah anak buahmu?” tanya Cio San

“Benar, kaucu”

“Lalu kenapa mereka mati?”

“Yang membunuh mereka adalah ketua Mo kauw cabang Liu Ya, kaucu. Mereka berdua terpakasa harus dibunuh agar jangan sampai membocorkan rahasia bahwa Mo Kauw tertarik untuk mencari tahu rahasia anda, kaucu”

“Oh, aku mengerti sekarang. Di mana ketua cabang kota Liu Ya?”

“Dia belum datang. Mungkin sedang dalam perjalanan”

“Kalian mengerti tentang pergantian kaucu ini, apakah dari Cukat Tong?”

“Benar tuan. Ia mengirimkan surat ke beberapa cabang kita, mengatakan bahwa tuan berada di Istana Ular”

“Baiklah. Ada lagi yang ingin susiok sampaikan?”

“Tidak ada lagi, kaucu” kata Hing Lion Tay menggeleng

“Mari kau duduklah di sini susiok, ada hal yang ingin kuminta kepadamu”

Hing Liok Tay duduk di hadapan Cio San.

“Biasanya, bagaimana cara partai kita saling mengirim kabar?” tanya Cio San

“Kita biasanya menggunakan merpati. Dalam beberapa saat saja, kabar sudah langsung sampai ke semua cabang. Tergantung jauhnya jarak antar kota” jawab Hing Liok Tay.

“Begitu…Baiklah aku akan menuliskan surat kepada seluruh anggota kita. Bisakah susiok mengirimkannya kepada beberapa cabang? Ada beberapa hal yang harus ku sampaikan kepada beberapa ketua cabang”

“Siap laksanakan, kaucu”

Cio San lalu mendiktekan isi suratnya. Intinya meminta agar setiap cabang menggunakan daya upaya untuk menyelidiki tentang para pembunuh bertopeng, berhati-hati terhadap racun baru yang sangat dahsyat, serta sebisa mungkin tidak bentrok dengan partai lain, baik yang besar maupun yang kecil.

Begitu selesai didikte, Hing Liok Tay lalu menyalinnya menjadi beberapa surat, kemudian mengirimkannya. Cio San lalu memintanya untuk istirahat karena besok pagi-pagi sekali ia Hing Liok Tay harus segera pergi melaksanakan tugas menyelediki keberadaan jenazah kaucu lama dan anggota-anggota yang lain.

Cio San kini sendirian lagi. Ia ingin memainkan khim tapi merasa akan mengganggu anggota-anggota lain yang sedang beristirahat. Karena belum mengantuk Cio San berencana untuk duduk-duduk di situ sampai larut malam sambil minum arak.

Sampai larut malam baru ia tertidur dengan pulas di pavillliun itu. Padahal ia tahu, ada beberapa pasang mata yang sedang memperhatikannya di dalam kegelapan.
Saat bangun, hari belum begitu pagi. Bau masakan dari dapur sudah menari-nari di hidungnya. Saat bangkit, ternyata sudah ada seguci teh panas, serta sepiring kue-kue.

“Enak juga, jadi kaucu. Segala sesuatunya sudah dilayani orang lain. Pantas saja banyak orang ingin menjadi pemimpin” pikir Cio San.

Cio San menikmati secangkir teh, dan mencomot satu kue. Setelah itu dia bangkit dan pergi ke dapur. Ternyata Sie Peng, Lim Tin, dan Cua Cin Sin sudah berada di sana. Mereka memasak banyak sekali makanan untuk puluhan anggota yang ada di sana.

“Hey, kalian sudah bangun? Sini kubantu memasak” kata Cio San

“Ah kaucu, mana kami berani?” mereka semua mencegah Cio San jangan sampai turun tangan. Tapi apa daya Cio San sudah menggunakan kata-kata andalannya “Ini perintah!”. Sambil tersenyum ia lantas saja menumbuk bumbu. Ketiga anggota wanita Mo Kauw itu tak bisa berkata apa-apa lagi.

Ketika matahari sudah mulai naik, dan tanah terlihat sudah terang, masakan yang disiapkan mereka berempat sudah matang. Kesemuanya makanan enak. Rupanya semalam ada beberapa anggota yang pergi berburu ke hutan belakang dan berhasil menangkap beberapa rusa, ayam hutan, dan ular. Hasil tangkapan itu diolah Cio San dengan sangat mantap. Sampai-sampai ketiga anggota wanita itu terheran-heran. Mereka saja tidak mampu masak seenak dan selezat itu.

Seluruh anggota lalu makan dengan lahap. Seumur hidup mereka mungkin belum pernah makanan selezat itu. Ketika tahu bahwa hidangan itu adalah hasil masakan Cio San mereka semua bergetar tak ada yang berani bersuara,

“Ma…matipun,,,mana berani kami makan?” kata salah seorang.

“Maafkan….kami..kaucu..kami.kami” mereka semua salah tingkah.

Cio San hanya tersenyum, ia berkata “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang paling memperhatikan anak buahnya. Aku justru merasa bangga bisa menyiapkan makanan untuk saudara semua”

Begitu mereka mendengar hal ini, mereka lalu berlutut dan bersujud,

“Kaucu sunggu baik dan adil! Kami rela menyerahkan nyawa bagi kaucu dan Mo Kauw!” teriak mereka keras.

“Sudahlah, kalian berdiri lah. Kita belum lagi menikmati araknya” kata Cio San.

Tak lama setelah mereka minum-minum, terdengar suara dari gerbang besi depan,

“Cukat Tong datang menghadap Mo Kauw kaucu!”

“Raja maling sudah datang. Hmmm..ternyata lebih cepat dari perkiraan semula” batin Cio San. Dalam hati ia kagum juga. Langkah Cukat Tong tidak terdengar sama sekali olehnya. Padahal dalam jarak segini, ia biasanya bisa mendengar jika ada orang lain di gerbang depan.

Cio San sendiri yang menyambut Cukat Tong di pintu depan.

“Salam kepada kaucu. Hamba Cukat Tong membawa berita dan mengantarkan surat” kata Cukat Tong.

 “Salam Cukat-tayhiap (pendekar besar Cukat)” kata Cio San sambil senyum dan menjura.

Kedua orang ini bersikap penuh adat tentunya karena banyak orang di situ. Kalau tidak mereka mungkin sudah saling peluk dan bercanda.

“Mari ke belakang, kita berbicara di sana saja” Cio San lalu mengajak Cukat Tong ke pavilliun belakang.

Semua mata memandang Cukat Tong. Tidak menyangka kalau si Raja Maling Tanpa Tanding ternyata penampilannya sama seperti mereka. Kotor dan awut-awutan.

Begitu mereka berdua sampai di pavilliun belakang.

“Ini racunnya sudah kubawa” ia mengeluarkan sebuah botol kecil. Isinya sebuah cairan seperti air biasa. Bening dan tak berbau.

“Aku juga membawa surat dari Beng Liong untukmu. Aku bertemunya di jalan” ia mengeluarkan sepucuk surat. Cio San lalu membacanya.

Salam Hormat,

Begitu mendengar kabar dari Cukat Tong bahwa San-te telah menjadi Mo Kauw Kaucu, aku sangat bahagia. Thian (langit) memang sangat adil dan mengerti perjalanan hidup manusia. Tapi kebahagiaan ini serasa tawar saat kubayangkan engkau akan banyak menanggung banyak urusan.

Saat ini pun aku terpaksa meminta bantuanmu. Pergerakan tentara Mongol di perbatasan membuat tentara kerajaan sangat terdesak di sana. Baru-baru ini kaisar mengumumkan permintaan bantuan kepada seluruh kaum Kang Ouw untuk turun tangan membantu kerajaan.

Hal ini, ditambah lagi dengan urusan Pembunuh Bertopeng membuat kaum Kang Ouw juga semakin terdesak. Karena itulah pertemuan pemilihan Bu Lim Beng Cu dimajukan dari tahun depan, menjadi 3 bulan lagi. Pertemuan akan di adakan di puncak gunung Thay San.

Aku harap San-te bersama Mo Kauw yang kau pimpin bisa turut turun tangan dalam kedua urusan ini. Sekali lagi aku mohon maaf karena harus merepotkan dirimu. Semoga kita bisa bertemu di puncak Thay San 3 bulan lagi, tanggal 15.

Saudaramu,

Beng Liong.

Cio San melipat kembali suratnya. Ia berpikir lama sekali. Cukat Tong diam saja, karena ia tahu Cio San sedang memikirkan urusan yang sangat penting.

Cio San lalu tersenyum lebar,
“Ada kau di sini, jika tidak kucekoki arak sampai mampus, jangan bilang namaku Cio San”

Related Posts:

Bab 39 Hari Pertama Di Istana Ular



Pagi telah tiba hanya dalam beberapa kedipan mata. Cio San dan Cukat Tong tidur pun hanya beberapa jam saja. Tapi badan mereka telah segar saat mereka bangun. Suara hewan-hewan yang ada di dalam hutan membuat pagi itu terasa indah. Seperti tidak ada kematian yang semalam meliputi istana ini.

Bau wangi teh dan makanan memenuhi balairung istana kecil ini. Cio San bangkit dan menuju ke sumber wangi ini. Sebuah dapur ternyata berada di bagian belakang istana yang indah ini. Ang Lin Hua rupanya sedang menyiapkan sarapan.

Melihat kedatangan Cio San, ia mengangguk dan memberi salam. Cio San membalas salamnya, lalu bertanya,

“Siocia (nona) sedang masak apa?”

“Hanya makanan kecil untuk sarapan, kaucu. Hanya ini yang tersisa dari kemarin. Hamba bermaksud berburu dulu baru kemudian memasak untuk makan siang” jawabnya.

“Tidak perlu repot-repot siocia. Biar nanti kami saja yang berburu dan memasak” kata Cio San. Tangannya sudah menjawil sebuah kue yang ada di situ. “Enak juga”

“Kalau semua-semuanya kaucu yang mengerjakan, lalu apa guna hamba menjadi anggota.” Kata Ang Lin Hua sedikit tersenyum.

“Aku sudah terbiasa mengerjakan segala hal sendirian. Mana mungkin menyuruh orang lain mengerjakan keperluanku. Siocia pun sebaiknya jangan terlalu capek dulu. Luka yang kemarin kan belum pulih seluruhnya”

Mulutnya berbicara, tapi juga sambil mengunyah.

“Hamba bisa paham, mengapa ayah memilih tuan sebagai pengganti beliau” ujar Ang Lin Hua

Cio San tidak menjawab. Ia sibuk memilih-milih kue.

“Dalam sekali pandang, orang bisa tahu kalau tuan adalah orang yang baik” kata Ang Lin Hua

“Justru seharusnya kau waspada jika ada orang yang kelihatan baik.” Jawab Cio San santai sambil mulutnya tetap mengunyah. Dia paling suka makan enak. Dan kue ini enaknya bukan main.

“Ini kau yang masak, atau orang lain?” tanyanya kepada Ang Lin Hua

“Kita punya koki di sini. Tapi dia sudah meninggal saat serangan kemarin. Hamba cuma memanaskan saja” jawab Ang Lin Hua.

Cio San manggut-manggut.

“Mari kubantu kau membawa semua ini ke depan. Cukat Tong mungkin sudah kelaparan” kata Cio San. Tangannya sudah menata guci teh dan piringan kue.

Ang Lin Hua ingin mencegahnya, tapi apa daya Cio San sudah melakukan semuanya.

Akhirnya Ang Lin Hua hanya membawa beberapa piring yang tersisa dengan kedua tangannya. Begitu mereka sampai ke ruang balairung, Cukat Tong sudah bangun juga. Ia sedang bersandar di kursinya. Semalam mereka berdua memang tertidur di kursi.

Melihat Cio San dan Ang Lin Hua datang, Cukat Tong tersenyum dan berkata,

“Wah, baru sehari di sini, aku sudah jadi kaisar. Punya dayang yang cantik dan seorang taykham (orang kebiri yang jadi pegawai di istana) yang tampan. Hahahaha”

Cio San ikut tertawa. Ang Lin Hua yang wajahnya tidak senang.

Cio San mengerti dan berkata kepadanya, “Jangan tersinggung nona, beginilah cara kami bercanda.”

Ang Lin Hua mengangguk tapi tidak berkata apa-apa. Cukat Tong tersenyum saja.

“Eh, teh Lin-Cha? Enak sekali ini” kata Cukat Tong

“Silahkan paduka kaisar, hanya ini yang bisa hamba sajikan kepada paduka”  jengek Cio San.

Ang Lin Hua akhirnya tidak bisa menahan diri, ia lalu berkata,

“Tuan, anda adalah Mo Kauw kaucu”

Cio San segera tersadar. Si nona ini marah bukan karena Cukat Tong menyebutnya ‘dayang’. Tetapi marah karena Cio San melayani Cukat Tong. Seorang kaucu dari Mo Kauw haruslah punya wibawa!

Ia tersenyum lalu berkata dengan lembut,

“Aku mengerti siocia. Maafkan aku”

Ang Lin Hua hanya mengangguk, lalu berbalik ke dapur.

“Aku suka perempuan yang terus terang” kata Cukat Tong. Ia sudah menuangkan teh nya. Lalu lanjutnya,

“Selama ini mereka bisanya diam membisu, berharap laki-laki mengerti isi hati mereka. Setan dan dewa saja tidak bisa mengerti isi hati manusia, kenapa mereka berharap laki-laki bisa mengerti?”

“Oh, jadi si Raja Maling ini sudah mulai beneran jatuh cinta rupanya” tukas Cio San tersenyum.

“Eh, yang berbau cuka ini teh nya atau kata-katamu ya? Sungguh sukar dibedakan” kata Cukat Tong sambil tertawa. Ia melanjutkan, “Kau tidak tertarik padanya?”

“Aku sudah punya seorang kekasih” jawab Cio San

“Di mana dia sekarang?”

“Di kota Liu Ya”

“Kau pergi bertualang meninggalkannya?”

“Iya.” Cio San menjawab sambil minum tehnya.

“Dan dia bilang, dia akan menunggu sampai engkau pulang?” tanya Cukat Tong

“Benar”

“Kau siap-siaplah kecewa” kata Cukat Tong.

“Kenapa bisa begitu?”

“Di dunia ini mana ada perempuan yang setia? Ditinggal pergi kekasihnya sebentar saja, tak lama kemudian mereka sudah punya kekasih baru. Perempuan itu tidak tahan kesepian. Mereka akan setia selama mereka belum menemukan lelaki yang lebih baik. Tapi jika sudah menemukan, maka mereka akan melupakanmu begitu saja”

Cio San malah terbahak-bahak. “Ini pengalaman pribadimu?”

Cukat Tong agak sedikit tercekat, tapi ia berkata “Ini pengalaman pribadi hampir semua lelaki di dunia. Kau pun sebentar lagi akan mengalaminya”
Cio San tidak berkata apa-apa. Malah terdengar suara Ang Lin Hua

“Tuan Raja Maling salah. Perempuan justru jauh lebih setia daripada lelaki”

“Nah, sudah mulai ramai nih” kata Cio San

“Sudah berapa wanita yang tuan temui? Apakah tuan sudah mengencani mereka satu-satu?” tanya Ang Lin Hua. Kata-katanya lembut saja. Tapi Cukat Tong tidak bisa menjawab.

“Wanita yang mati bunuh diri karena dikhianati lelaki, sudah tak terhitung jumlahnya di dunia. Wanita yang tidak menikah sampai seumur hidup karena menanti kekasihnya pun juga sudah tak bisa dihitung.”

“Mari duduk siocia” Cio San berdiri dan menarik kursi di sebelahnya.

Ang Lin Hua lalu duduk. Ia menuangkan teh ke cangkirnya. Gerakannya halus dan lembut.

Melihat Cukat Tong yang diam saja sambil senyum-senyum sendiri, Cio San ikut senyum-senyum juga.

Kaum lelaki di mana-mana memang sama saja. Mereka selalu menjelek-jelekan perempuan. Tapi jika ada perempuan cantik duduk di hadapan mereka, segera umpatan jelek itu menghilang entah kemana.

Cukat Tong malah mengalihkan pembicaraan, katanya kepada Cio San,

“Rencanamu yang semalam, kapan kau laksanakan?”

“Segera sesudah nona ini puas memarahimu” jawab Cio San enteng.

Mereka berdua malah tertawa.

Ang Lin Hua malah tambah jengkel,

“Jika pernah ada wanita yang menyakiti tuan, bukankah harusnya tuan berkaca kepada diri sendiri? Apa penyebab ia mengkhianatimu? Seringkali wanita memutuskan hubungan karena merasa kekasihnya itu memang tidak pantas bagi dirinya”

“Auw,” hanya itu yang keluar dari mulut Cio San. Ia sudah tidak bisa menahan tawanya.

Cukat Tong kelabakan. Ia malah memerahi Cio San,

“Oh, jadi hanya segitu saja persahabatan kita?” wajahnya terlihat marah, tapi bibirnya mengulum senyum.

“Aku bisa menolongmu dari ancaman pedang. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kemarahan wanita. Urusan ini kau sendiri yang memulainya, kenapa menyalahkan aku?” tukas Cio San.

Melihat Cio San berada di pihaknya, Ang Lin Hua kini tersenyum, segera ia melanjutkan,

“Perempuan itu makhluk yang sederhana tuan. Saking sederhananya, para lelaki menganggap kami makhluk yang tidak mudah di mengerti”

Cukat Tong manggut-manggut.

Memang lebih baik kau hanya manggut-manggut saja, jika ada perempuan yang sedang memarahimu.

Setelah Cukat Tong ‘menyerah’, segera kemarahan ANg Lin Hua pun surut. Ia bertanya kepada Cio San,

“Kaucu berencana hendak melakukan apa?”

“Aku ingin berkeliling melihat keadaan sekitar sini. Bisa siocia temani? Ada bebarapa hal yan ingin kutanyakan sambil jalan”

“Bisa, kaucu”

Begitu selesai sarapan, mereka lalu bersiap-siap pergi. Cio San lalu berkata kepada Cukat Tong,

“Kamu masih ada dua janji kepadaku bukan?”

“Aku masih ingat”

“Bisakah ku tagih janjimu yang pertama?” tanya Cio San

“Sekarang?”

“Kalau tidak sekarang, aku takut dunia tambah kacau balau” tukas Cio San sambil tersenyum.

“Kau memintaku mencuri apa?”

“Tolong bawakan racun hebat itu kepadaku”

“Maksudmu, racun yang digunakan si otak besar itu?”

“Iya”

“Baiklah, Aku berangkat”

Cukat Tong berangkat dengan santai dan ringan. Mencuri racun sakti itu adalah sebuah pekerjaan yang sangat sulit dan berbahaya. Di mana ia harus mencurinya” kemana ia harus mencarinya? Tapi ia pergi dengan ringan, seolah-olah urusan mencuri racun itu adalah semudah pergi ke jamban.

Cukat Tong tidak bertanya untuk apa Cio San memintanya untuk mencuri racun itu.

Cio San juga tidak mengucapkan kata-kata untuk memberi Cukat Tong semangat.

Masing-masing dari mereka telah paham atas kemampuan mereka. Mereka berpisah seperti perpisahan biasa. Padahal masing-masing sadar bahwa itu adalah pekerjaan yang sangat sukar di muka bumi ini.

Cukat Tong senang karena Cio San mempercayainya dalam pekerjaan ini.

Cio San pun senang ia memiliki sahabat yang bisa diandalkan.

Masing-masing saling mengerti.

Maka meeka berpisah dengan ringan. Seolah-olah yakin bahwa pekerjaan ini akan diselesaikan dengan mudah dan Cukat Tong akan pulang dengan selamat.

“Aku akan kembali dalam 3 hari” kata Cukat Tong. Orangnya sendiri telah menghilang, kata-katanya masih terdengar.

Melihat sikap kedua orang sahabat ini, mau tidak mau Ang Lin Hua bertanya,

“Sudah berapa lama kaucu mengenal si Raja Maling?”

“Baru 2 atau 3 hari” jawab Cio San enteng.

“Baru dua-tiga hari tapi tuan berdua sudah seakrab itu?”

“Begitulah”

“Dan tuan yakin ia akan kembali dalam 3 hari?”

“Jika ia bilang akan kembali siang ini pun, aku tetap percaya” jawab Cio San enteng.

“Memang para lelaki beda dengan kami kaum perempuan” kata Ang Lin Hua.

“Dimana perbedaannya?”

“Kami tidak pernah percaya orang lain, bahkan sahabat kami sendiri. Kami hanya percaya kepada diri kami sendiri”

“Oooo” Cio San manggut-manggut. Urusan perempuan, memang hanya perempuan yang mengerti.

Memang bagi kaum lelaki, sahabatnya itu adalah harta terbaiknya. Sedangkan perempuan, diri mereka sendirilah harta terbaiknya. Mungkin kecantikannya, mungkin kepintarannya, mungkin kepandaiannya, mungkin pula kekayaannya.

Mereka berdua berjalan menyusuri jembatan kecil di bagian belakang istana. Walaupun tidak begitu besar, istana itu indah sekali. Seluruh bangunannya dilindungi oleh tembok batu yang tebal dan tinggi. Pemandangan di dalamnya sangat indah. Di pagi yang cerah saat burung berkicau dan hewan hutan berkeliaran dengan ramainya, suasana di istana itu sungguh indah.

“Aku masih heran, kenapa istana ini disebut istana ular” tanya Cio San

“Dulu, istana ini dibangun oleh kaisar Hongwu. Sebagai tempat pertahanannya untuk daerah sungai. Makanya ada sebuah dermaga besar di depan. Dinamai istana ular karena dulu sebelum istana ini dibangun, banyak ular di daerah ini. Tapi kaisar memanggil seorang ahli racun dari barat untuk mengusir semua ular-ular itu, sebelum membangun istana ini”

“Ooo, jadi istana ini dulunya milik kerajaan. Lalu kenapa sekarang jadi milik Mo Kauw?”

“Setelah bangsa Goan (mongol) berhasil di usir, istana ini lantas ditinggalkan, dan tak ada yang mengurusi. Akhirnya banyak ular yang kembali ke sini. Karena itu, jarang ada orang yang mau datang ke sini. Seorang ahli racun dari Mo Kauw berhasil mempelajari rahasia untuk mengusir ular, dia lalu tinggal di sini”

Cio San manggut-manggut.

Mereka kini telah berada di luar istana. Hutan di luar istana sangat lebat dan rapat. Cahaya matahari hanya bisa menembus sedikit saja. Cio San banyak memetik dedaunan. Rupanya kebiasaan mengumpulkan bahan masak dan obat tidak pernah hilang dalam dirinya. Di mana saja ia menemukan tumbuhan yang menarik hatinya, pasti dikumpulkannya.

Sambil keliling-keliling mereka bercakap-cakap. Cio San bertanya tentang banyak hal, terutama yang berkaitan dengan Mo Kauw. Cio San merasa kagum juga dengan partai ini. Banyak hal dalam partai ini yang baru diketahuinya. Seperti jumlah cabang rahasia yang tersebar, bahkan juga ia baru tahu kalau di istana kaisar terdapat banyak anggota Mo Kauw.

Cio San juga bertanya tentang peraturan-peraturan partai. Ia masih sangat buta dalam hal ini. Ang Lin Hua menjelaskan secara ringkas dan jelas. Setelah mereka selesai berkeliling, Cio San sudah paham hampir sebagian besar tentang Mo Kauw.

Kedua orang ini lalu kembali ke istana ular. Cio San lalu mengeluarkan dedaunan dan akar-akaran yang tadi ia kumpulkan. Ia lalu bertanya,

“Di mana tempat obat-obatan?”

Ang Lin Hua lalu mengantarnya ke sebuah ruangan. Ruangan yang tertata rapi dan bersih. Di dalamnya terdapat banyak rak yang berisi bahan obat. Persis seperti ruangan di markas rahasia Mo Kauw dalam perut gunung dahulu.

Cio San memperhatikan semua dan mencari-cari bahan yang ia butuhkan. Ang Lin Hua tidak tahu apa yang akan dilakukan Cio San. Tapi dia juga tidak bertanya apa-apa.

Begitu selesai, Cio San tersenyum.

“Bahan-bahannya kini lengkap”

“Kaucu membutuhkan bahan-bahan ini untuk apa?” tanya Ang Lin Hua

“Untuk menyembuhkanmu, siocia” jawab Cio San enteng

Kening Ang Lin Hua berkerut.

“Jangan khawatir, sedikit banyak aku sudah paham penyakitmu. Masih bisa disembuhkan”

Di dunia ini hanya Thio Sam Hong yang bisa menyembuhkan penyakit Ang Lin Hua, jika Cio San mengaku-ngaku bisa menyembuhkan pula, bukankah hal itu terasa berlebihan? Itu sama saja Cio San mengaku dirinya setara dengan Thio Sam Hong.

“Siocia, mungkin tidak yakin jika aku bisa menyembuhkan. Percayalah, aku sudah paham dengan apa yang terjadi padamu”

“Penyakitmu itu hanya berupa penyakit kulit biasa. Kekuatan tenaga ilmu Menghisap Matahari membuat kulit mengeras, dan kehilangan kekenyalannya. Ini disebabkan karena organ-organ wanita berbeda dengan wanita. Kekuatan Ilmu Menghisap Matahari ini hanya mampu dikuasai oleh lelaki. Jika kau bisa mengatur jalannya tenaga itu di dalam tubuhmu sendiri, organ-organ dalam tubuh akan berfungsi baik. Penyakitmu akan hilang” jelas Cio San

“Tapi bagaimana caranya? Kepandaian mengatur jalan tenaga hanya dimiliki oleh murid-murid Butongpay. Hanya Thay Kek Kun yang bisa sejajar dengan ilmu Menghisap Matahari. Ilmu hamba ini sudah mencapai tahap 9, dua tingkat di bawah mendiang ayah” kata Ang Lin Hua

“Jangan khawatir, aku bisa Thay Kek Kun sedikit-sedikit” kata Cio San sambil senyum.

Ang Lin Hua hanya bisa terbelalak. “Sedikit-sedikit?”

Tapi entah kenapa ia malah percaya. Pengalaman bertarung dengan Cio San semalam, setidaknya membuat ia harus percaya.

“Pantas saja hamba kalah dalam pertarungan semalam”

Cio San tersenyum.

“Penyakit siocia bisa disembuhkan, jika siocia mempelajari Thay Kek Kun. Aku akan mengajarimu”

Sinar di mata Ang Lin Hua memudar. Rupanya ia kecewa,

“Hamba tak ingin mempelajarinya”

“Kenapa?” tanya Cio San

“Itu bukan ilmu Mo Kauw”

Cio San geleng-geleng kepala.

“Jika aku sebagai kaucu yang baru, menciptakan ilmu yang baru pula, apa kau akan mempelajarinya” tanya Cio San

“Tentu hamba akan mempelajarinya”

“Baiklah, bersiap-siaplah. Aku akan mengajarimu sebuah ilmu baru”

Segala ilmu silat pada dasarnya bersumber dari satu. Yaitu hasil ciptaan biksu Tat Mo saat ia menyebarkan agama Buddha di Tionggoan ribuan tahun yang lalu. Saat itu untuk melindunginya dari gangguan ia menciptakan ilmu bela diri. Ilmu itu kemudian diajarkan kepada murid-muridnya.

Dalam perkembangannya, ilmu itu kemudian menyebar ke segala golongan. Golongan itu kemudian mengembangkannya sesuai pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri. Perkembangan itulah yang membuat ilmu silat mulai berbeda satu sama lain. Tetapi pada dasarnya semua ilmu itu bersumber kepada ciptaan Tat Mo itu.

Cio San dalam pengelanaannya, secara tidak sengaja telah mencapai inti dasar ilmu silat itu. Itulah kenapa saat ia bersilat di atas gunung, Kam Ki Hsiang mengira Cio San sedang bersilat menggunakan jurus-jurus milik Kam Ki Hsiang.

Karena pada intinya, seluruh ilmu silat itu sama!

Thay Kek Kun sebenarnya sama saja dengan Ilmu Menghisap Matahari. Hanya penggunaan dan pengembangannya yang berbeda. Jika pengembangannya dihapus, maka inti yang tertinggal dari kedua ilmu itu pasti sama persis.

Mereka berdua lalu ke balairung. “Siocia, coba lihat gerakan ini lalu hafalkan”

Cio San bergerak. Tubuhnya seperti orang menari. Gerakan Thay Kek Kun memang seperti orang menari. Ang Lin Hua memperhatikan, baginya jurus itu buan jurus baru. Melainkan Thay kek Kun. Tapi saat di gerakan kedua, gerakan Cio San sudah berubah, kali ini adalah gerakan beberapa jurus ilmu Menghisap Matahari.

Pada dasarnya Cio San tidak menggabungkan kedua ilmu itu, ia hanya bersilat menggerakan tubuhnya. Matanya tertutup, merasakan desahan angin dari jendela. Menghirup udara segara dari hutan yang lebat. Suara gemericik air di kolam belakang pun dinikmatinya.

Tubuhnya bergerak, hentakan tenaga terasa berat namun lembut. Cio San seperti kembali ke Butongsan, saat ia bersilat secara sembarangan. Hanya mengikuti kemana ‘gerakan’ itu membawanya.

Tapi bagi Ang Lin Hua, gerakan Cio San adalah gerakan silat maha dahsyat penggabungan dari berbagai macam ilmu silat yang pernah dilihatnya. Ada gerakan Thay Kek Kun, ada pernafasan Gobi Pay, ada hentakan tenaga Cakar Macan-nya Siau Lim Pay, ada hisapan tenaga Menghisap Matahari.

Semua itu seperti menjadi satu dalam gerakan Cio San. Si nona memperhatikan dengan seksama. Untunglah bakatnya dalam ilmu silat sangat tinggi, sedikit banyak ia sudah hafal gerakan-gerakan Cio San tadi.

Setelah selesai, tubuh Cio San seperti lebih bercahaya. Entah itu memang  seperti itu, atau hanya dalam pikiran Ang Lin Hua saja.

Cio San sendiri merasa tubuhnya sangat sadar dan dipenuhi kekuatan yang dahsyat.

“Siocia sudah hafal seluruh gerakannya?” tanyanya

“Hampir seluruhnya” jawab Ang Lin Hua

“Bagus. Tolong hafalkan, karena aku sendiri sudah lupa seluruhnya”

Ang Lin Hua heran. Tapi Cio San memang tidak berbohong. Gerakan silat yang tadi ia lakukan sungguh tidak dipikirkan atau dikarang sebelumnya.

Ia hanya bergerak!

Ia mengosongkan segala pikirannya dari pengetahuan, pemahaman, dan jurus-jurus silat. Hasilnya adalah sebuah ilmu silat yang maha dahsyat.

Sudah sering kita lihat penyair yang menemukan ide puisi yang indah, tapi tidak lama setelah itu ia lupa akan syair-sayir puisinya sendiri. Itu pemain musik yang menggubah lagu, tapi setelah itu dia lupa akan lagunya.

Kenapa pesilat tangguh tidak bisa seperti itu?

Cio San bisa.

Ia hanya membiarkan tubuhnya dibuai oleh gerakan-gerakan indah. Seperti penyair yang tenggelam dalam kata-kata indahnya. Seperti pemain musik yang terbenam dalam musiknya yang merdu.

“Siocia, lakukanlah gerakan-gerakan tadi”

Si nona pun menurut. Gerakannya pun indah, padahal baru sekali melihat. Walaupun tidak selancar dan semengalir Cio San, gerakan-gerakan si nona boleh dibilang gerakan silat kelas tinggi.

“Atur pernafasan. Jangan sampai tenaga yang terkumpul di bawah perut sampai bocor. Salurkan tenaga keras di kaki, salurkan tenaga lembut ke tangan”

Cio San memberi petunjuk, si nona melakukannya sambil bersilat.

Mereka berdua melakukan hal ini sampai berjam-jam lamanya. Si nona semakin lama merasa tubuhnya semakin segar. Orang jika bersilat terlalu lama, tenaganya akan habis. Tapi si nona merasa justru sebaliknya.

Setelah sekian lama, Cio San akhirnya berkata, “Cukup!”

“Bagus sekali siocia, kau memang sangat berbakat”

Si nona tersenyum senang.

“Apa yang kau rasakan sekarang?” tanya Cio San\

“Hamba..hamba merasa tubuh hamba jauh lebih segar. Tenaga liar yang selama ini berputar-putar di daerah perut sedikit banyak sudah bisa hamba kendalikan”

“Bagus, berarti kau melakukannya dengan benar. Mulai hari ini, setiap pagi kau harus melatihnya”

“Baik, kaucu”

Mereka beristirahat. Tak lama lagi masuk waktu makan siang, Cio San hendak pergi berburu.

“Kaucu, hamba mohon, tolong biarkan hamba melayani kaucu, selama ini hamba belum melakukan apa-apa untuk kaucu” ujar Ang Lin Hua

“Baiklah, jika kau memaksa. Engkau tidak bisa memasak bukan?”

“Dari mana kaucu tau?” tanya Ang Lin Hua

“Caramu menggunakan alat-alat dapur terlihat kaku. Kiranya kau lebih pantas menggunakan pedang daripada pisau dapur. Baiklah, kau pergi berbaru, aku yang memasak”

Ang Lin Hua mengangguk dan tersenyum. Ia pun berkelebat dari situ.

Cio San hanya geleng-geleng kepala, “Dunia memang sudah terbalik. Jaman sekarang, perempuan pergi bekerja, laki-laki yang memasak di rumah”.

Sambil menunggu Ang Lin Hua kembali, Cio San menyiapkan peralayan dan bumbu-bumbu. Tak lupa ia juga menyiapkan ramuan obat untuk Ang Lin Hua.

Tak lama kemudian si nona sudah kembali membawa 3 buah kelinci besar-besar. Saat kembali, ia melihat Cio San sedang menanak nasi.

“Kaucu rupanya pintar memasak” katanya

“Ah, aku pernah bekerja di sebuah retoran” kata Cio San ringan.

Ang Lin Hua cuma tersenyum. Sepanjang sejarah, baru kali ini seorang kaucu dari partai Mo Kauw adalah mantan koki.

Cio San segera mengolah ketiga daging kelinci itu. Beberapa lama kemudian sudah tercium bau panggangan yang enak. Ang Lin Hua membantu menyiapkan piring-piring dan peralatan makan lain.

“Apakah istana ini punya penyimpanan arak?” tanya Cio San

Ang Lin Hua tersenyum,

“Di dunia ini, mungkin tempat yang paling banyak menyimpan arak adalah tempat ini” Ia segera pergia. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa dua buah guci.

Saat menghirup baunya, Cio San langsung terpana, “Arak Cui Ju”

Arak ini dibuat dari beras yang direndam lama. Warnanya seperti susu. Rasanya manis dan gurih. Ini adalah minuman khas dalam Istana Kaisar.

“Ada arak apa saja yang ada di sini?” tanyanya tertarik

“Apa saja yang tuan cari, semua ada di dalam ruang penyimpanan bawah tanah” jawab Ang Lin Hua

“Wuah,” hanya kata itu saja yang keluar dari mulut Cio San.

Orang jika terlalu senang memang susah berkata-kata. Dan apa yang lebih menyenangkan bagi peminum selain mendengarkan bahwa ada sebuah ruangan yang menyimpan segala macam arak?

Entah sejak kapan dia jadi peminum.

Kedua orang ini lalu menikmati makan siangnya. Kelinci panggang yang bagian perutnya dikeluarkan dan di isi rempah-rempah, butiran jagung rebus, serta potongan daging asap yang sebelumnya tersedia di dapur.

Begitu menyantapnya, mata Ang Lin Hua bercahaya.

“Seumur hidup hamba belum pernah menyantap makanan senikmat ini. Apa nama masakan ini tuan?”

“Tidak ada nama, aku baru saja menciptakannya” jawab Cio san.

Ang Lin Hua hanya bisa geleng-geleng kepala. Rupanya ia sudah tertular kebiasaan Cukat tong yang sering geleng-geleng kepala jika berada di dekat Cio San.

Selesai makan, Cio San menuangkan arak ke cangkir si nona. Mereka lalu bersulang.

“Ahhh, arak seenak ini, diminum ratusan cangkir juga tak akan membuat mabuk” kata Cio San.



Minum arak adalah bagian dari budaya orang Tionggoan. Ada tata krama dan sopan santun. Budaya ini telah dianggap sebagai bagian dari kekayaan budaya Tionggoan yang beragam dan menakjubkan. Perempuan yang minum arak pun bukan dianggap sebagai sesuatu yang melanggar kesopanan.

Arak, bagi orang Tionggoan mengambarkan kebahagiaan.

Tapi bukankah bagi banyak orang, arak benar-benar melambangkan kebahagiaan? Orang yang bersedih hatinya, biasanya lari kepada arak, adalah karena hal ini. Ia ingin merasakan sedikit kebahagiaan di dalam kesedihannya.

Menikmati arak pun harus ada aturannya. Harus dalam sekali tenggak. Karena itu melambangkan keberanian. Tapi, walalupun jika tak berarti apa-apa, bukankah cara terbaik untuk minum arak adalah dengan sekali tenggak.

Cuma orang yang benar-benar menghargai arak, yang paham hal ini.

Dua guci arak telah mereka habiskan. Kedua orang ini duduk terdiam. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya.

“Siocia, jika penyakit siocia telah sembuh, apakah siocia akan terus menetap disini?” tanya Cio San

“Entahlah kaucu, hamba belum memikirkan sejauh itu. Memang selama ini hamba menyembunyikan diri di sini karena malu dengan keadaan hamba”

Perempuan cantik yang menjadi tua. Di dunia ini, apakah yang lebih menyedihkan dari hal ini?
Cio San sangat mengerti. Laki-laki banyak yang masih gagah saat ia tua. Bahkan ada yang bertambah kegagahannya. Itulah kenapa di dunia ini, masih banyak perempuan muda yang suka terhadap laki-laki yang sudah tua.

Tapi perempuan tua? Kalau bukan karena banyak uang, mungkin tidak ada seorang laki-laki pun yang mau.

Itulah sebabnya kenapa perempuan begitu mencintai uang. Mereka merasa uang bisa menggantikan kecantikan mereka yang nanti pudar.

“Siocia, setelah ini kau minumlah ramuan yang sudah ku siapkan. Ramuan ini untuk membantu menghaluskan kembali kulitmu” kata Cio San

“Terima kasih banyak kaucu, budi kaucu memang tak sanggap hamba balas. Memang ayahanda tidak salah memilih kaucu sebagai penggantinya” ujar Ang Lin Hua.

Cio San hanya menggumam,

“Urusan sebesar ini, kenapa pula harus aku yang menyelesaikan”

“Karena memang hanya kaucu yang pantas, dan sanggup menyelesaikannya”

Cio San merenung.

Memang ada sedikit orang yang membenci masalah, tapi entah kenapa masalah selalu menghampiri mereka. Kalau tidak diselesaikan, masakah hanya ditangisi dan disesali saja?

Sesungguhnya masalah datang adalah untuk mendidik seseorang. Agar ia menjadi lebih tegar, lebih rajin, lebih pintar, dan lebih dewasa. Jika kau hanya hidup enak, bagaimana mungkin kau menghadapi hidup yang tiba-tiba berubah menjadi susah? Bukankah hidup selalu berubah? Hari ini kau bahagia, besok mungkin kau menangis sedih.

Jika engkau tidak menghadapi sendiri, apakah kau pikir orang lain akan menghadapinya untukmu?

Cio San menghela nafas. Perjalanannya masih sangat panjang. Sedikit banyak ia telah menangkap inti sari permasalahannya. Ia pun telah tahu siapa otak dibalik semua ini. Tapi masih butuh waktu panjang untuk membuktikannya. Masih butuh perjalanan yang jauh untuk mengungkapkannya.

Tapi ia segera tersenyum.

Menghadapi hidup dengan tersenyum, memang adalah perbuatan laki-laki sejati.

Related Posts: