Bab 26 Perjalanan Ke Markas Ma Kaw


“Salam kenal juga Bun-Tianglo (penasehat Bun)” jawab Cio San sambil tersenyum

“Kau masih tersenyum? Setelah apa yang kuperbuat kepadamu?” tanya Bun Tek Thian heran.

“Memangnya selain tersenyum, apa yang bisa kulakukan?” Cio San masih tersenyum,

“Kau menyelamatkan aku dan menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka dalamku. Sebaliknya aku malah menotokmu. Apa kau tidak marah” Bun Tek Thian masih keheranan.

“Memangnya jika aku marah kau tak akan menotok ku?” masih sambil tersenyum.

“Memangnya kau tidak takut aku akan membunuhmu?” Bun Tek Thian masih tak habis pikir.

“Jika kau ingin membunuhku, tentunya kau tak akan menotokku” jawab Cio San masih tetap tersenyum.

Bun Tek Thian tak tahu lagi harus berkata apa. Ia kemudian berkata,

“Kau tahu alasanku menotokmu?”

Sambil mengangguk Cio San menjawab,

“Tentu saja. Nama dan latar belakangku ini sudah menjadi incaran orang Kang Ouw. Mungkin Bun-tianglo ingin sekedar tanya-tanya di mana gerangan kiranya kitab sakti yang ku bawa kabur?”

“Tepat.” Sahut Bun Tek Thian dengan senang. “Cerdas juga kau”

“Aku akan membawamu ke markas besar kami. Untuk ku hadapkan kepada kaucu (ketua) kami. Sejak beberapa tahun yang lalu ia telah memerintahkan kami semua untuk menyebar ke suluruh toing goan hanya untuk mencarimu. Tentunya kau paham, mengapa bukannya mengucapkan terima kasih, aku malah menotokmu”

Cio San tersenyum saja. Keadaan orang yang tertotok di titik Tok Hiat, memang membuat lumpuh seluruh tubuhnya. Kecuali bagian kepala. Cio San masih bisa menoleh, berbicara, mengunyah, dan lain-lain.

Bun Tek Thian kemudian memeriksa buntalan yang dibawa Cio San. Ia menemukan beberapa helai baju, banyak uang, peralatan masak sederhana, dan sebuah kitab!

“Kitab apa ini?”

Dengan semangat ia membuka dan mulai membacanya. Tapi tak sampai berapa lama semangatnya hilang. “Ini bukan kitab silat!”

Ternyata itu adalah kitab yang diberikan Khu Hujin kepada Cio San.

“Aku memang tidak punya kitab silat apapun. Semua tuduhan yang diarahkan kepadaku adalah fitnah.” Jelas Cio San.

“Terserah kaulah. Jelaskan saja nanti kepada Kaucu (ketua).

Bun Tek Thian lalu masuk kedalam hutan sebentar. Begitu keluar ia telah membawa sebuah kereta kecil. Kereta ini sejenis kereta barang. Ada tumpukan jerami yang kelihatan berat sekali diatas baknya. Lucunya kereta itu bukan ditarik kuda, melainkan seekor keledai.

“Punya Bun Tianglo?” tanya Cio San

Bun Tek Thian mengangguk.

“Kereta yang bagus. Keledainya juga lucu. Pertama kali melihat saja aku langsung jatuh hati” puji Cio San.

“Baguslah kalau kau suka. Karena perjalanan kita akan menggunakan kereta dan keledai ini selama 7 hari”

Habis berkata begitu Bun Tek Thian mengangkat tubuh Cio San dan buntalannya, lalu diletakkan diatas bak bersama tumpukan jerami. Bun Tek Thian sedikit heran karena tubuh Cio San yang bobotnya seperti orang kebanyakan. Pesilat kelas atas seperti Cio San searusnya memiliki tubuh yang sangat ringan.

Mereka kemudian berangkat. Jika sebelumnya Cio San menuju arah Selatan, sekarang perjalanan mereka menuju arah barat. Baru beberapa lama perjalanan, Cio San sudah tertidur. Mungkin merasa nyaman di atas tumpukan jerami, dan perjalanan kereta yang tenang di malam hari.

Bun Tek Thian geleng-geleng kepala. Melihat Cio San yang sudah mendengkur!

Walaupun suara dengkurannya sangat halus. Mendengkur tetaplah mendengkur.

“Ia sedang ditawan dalam keadaan tertotok. Bagaimana mungkin ada orang bisa tertidur pulas dalam keadaan sepert itu” pikirnya dalan hati.

Tapi Cio San tidur dengan nyenyak!

Memangnya, selain tidur nyenyak, apalagi yang bisa kau lakukan di saat seperti itu?



Cio San terbangun saat hari menjelang subuh. Sinar matahati mulai terlihat, dan jalanan di depan sudah mulai terang. Bun Tek Thian malah sudah mematikan obor yang menerangi perjalanan mereka semalam.

“Ahaa..kau sudah bangun? Bagus lah. Setelah ini kita berhenti untuk makan”

Cio San hanya mengangguk saja. Ia memperhatikan keadaan sekeliling. Rupanya mereka masih di hutan. Walaupun sudah tidak terlalu lebat seperti saat perjalanan semalam. Jalan yang diambil Bun Tek Thian rupanya bukan jalan umum yang biasa diambil orang.

Begitu melihat sebuah pohon yang rindang, Bun Tek Thian memutuskan untuk berhenti disitu. Ia menambatkan keledai dan keretanya di sebuah pohon yang tak jauh dari situ juga. Setelah itu ia merogoh-rogoh ke dalam tumpukan jeremi.

Ternyata di dalam tumpukan jeremi yang tinggi itu banyak terdapat perbekalan dan peralatan juga. Tianglo Ma Kauw lalu memasak. Sebuah bebek yang besar. Ketika dipanggang baunya membangkitkan selera. Tak berapa lama penggangan itu selesai dan Bun Tek Tian lalu menyuap Cio San.

Sambil tertawa Cio San berseloroh,

“Jika aku bercerita kepada orang-orang, pasti tidak ada satupun orang yang percaya bahwa aku makan disuap oleh seorang Ma Kaw Tianglo”

Bun Tek Thian ikut tertawa. Katanya, “Memangnya orang orang di seluruh dunia ini berfikir kami orang Ma Kauw bukan manusia? Tidak ada yang lebih membuatku sedih selain mendengarkan pendapat orang tentang aliran partai kami”.

“Selama ini gambaran orang tentang Ma Kauw memang adalah sebuah partai beragama sesat. Para anggota kami begitu ditakuti sampai-sampai tidak ada pihak manapun yang mau bergaul dengan kami. Bahkan mereka yang berasal dari golongan hitam pun tidak ada yang mau berhubungan dengan kami”

“Orang awam memandang partai kami sebagai partai yang kejam. Yang para anggotanya adalah golongan siaw jin (orang rendahan, hina, najis) yang harus dihindari. Semua ini adalah gara-gara kaisar Hongwu biadab itu”

Cio San sangat paham tentang kisah kaisar Hongwu. Bahkan keluarganya sendiri punya jasa besar pada kaisar itu. Nama asli kaisar Hongwu adalah Chu Yauncheng. Ia adalah seorang petani biasa. Saat itu tionggoan dikuasai oleh Dinasti Goan, yang merupakan bangsa Mongolia, dan bukan merupakan bangsa Han, (orang asli China). Oleh karena itu muncul banyak perlawanan dari bangsa Han untuk mengusir dan meruntuhkan dinasti Goan itu.

Chu Yuancheng bergabung dengan salah satu kelompok pemberontak yang ada saat itu. Dengan kecerdasan dan keberaniannya ia berhasil mencapai pangkat tinggi dalam kelompok itu. Pada saat itu seluruh bangsa Han bersatu. Tak terkecuali kaum persilatan yang tidak kurang andilnya dalam meruntuhkan dinasti Goan.

Pemberontakan itu dipimpin oleh cucu murid Thio Sam Hong yang namanya sudah terlupakan itu. Ketika pemberontakan berhasil, ia malah mengasingkan diri ke sebuah pulau terpencil bersama istrinya yang merupakan seorang putri Mongol.

Ia menyerahkan kedudukan ketua kepada Chu Yuancheng. Pada awalnya semua mendukung keputusan itu, karena Chu Yuancheng adalah pemuda yang sangat berbakat, cerdas, dan pemberani. Hasil kerja kerasnya pun terlihat di kalangan rakyat jelata.

Ia pun diangkat sebagai kaisar pertama dinasti Beng. Nama Beng itu sendiri diambil dari nama Beng Kauw. Beng Kauw adalah nama partai persilatan pimpinan cucu murid Thio Sam Hong itu. Dialah orang yang berhasil menyatukan Butongpay, Bengkauw, dan berpuluh-puluh partai persilatan lainnya sehingga kekuatan perlawanan rakyat sangat kuat saat itu.

Itulah mengapa Chu Yuancheng menggunakan nama Beng sebagai nama dinastinya. Sebagai bentuk penghormatan kepada partai yang pernah dimasukinya dulu itu. Saat menjadi menjabat, ia menerbitkan banyak peraturan yang membahagiakan bagi rakyat jelata. Kebijakannya tentang pertanian, perdagangan, dan pendidikan membuat rakyat merasakan kesejahteraan yang selama ini tidak pernah mereka rasakan.

Tapi sayangnya Chu Yuancheng berlaku kejam kepada pihak-pihak yang menentang kebijakannya. Sepuluh jendral kepercayaannya yang dulu membantunya pun ia singkirkan. Kakek Cio San adalah salah satu dari kesepuluh jendral yang semuanya beragama Islam itu.

Beberapa jendral ada yang dibunuh, ada yang diracun, dan ada yang difitnah. Untunglah kakek Cio San sudah mundur jauh sebelum Chu Yuancheng menjadi kaisar. Ia pensiun dan memilih kehidupan sebagai petani. Oleh karena itu Chu Yuancheng yang saat itu telah mengganti nama menjadi kaisar Hongwu tidak menganggapnya sebagai ancaman. Ia hanya mengincar jendral-jendral yang masih menjabat.

Dan memang tidak hanya jendral-jendral, tapi juga para sastrawan, pejabat, dan semua orang yang menentang kebijaksanaannya semua disingkirkan. Ada yang dibunuh, dipenjara, diasingkan, dan lain lain. Rakyat tionggoan saat itu hidup dalam kesejahteraan, tapi juga dalam ketakutan bahwa suatu saat kaisar Hongwu akan membinasakan mereka karena menentang kebijakannya.

Hal ini juga berlaku ke dalam dunia Kang Ouw. Karena takut puluhan ribu pesilat tangguh ini memberontak, ia akhirnya memecah belah mereka. Beng Kauw yang merupakan partainya sendiri ia nyatakan sebagai partai terlarang. Mereka difitnah sebagai partai sesat, dikejar-kejar pasukan negara,  anggota-anggotanya bercerai berai, sehingga akhirnya mereka mendirikan partai baru bernama Ma Kauw.

Partai lain pun, walaupun tidak terlalu diutak atik oleh kaisar Hongwu, tetap juga merasakan kerepotan yang sama. Banyak kejadian adu domba yang membuat antar partai berseteru dalam kalangan mereka sendiri. Hongwu berhasil menciptakan berbagai masalah yang membuat kaum bu lim sibuk dengan urusan mereka sendiri dan tidak lagi terlalu memperdulikan urusan negara.

Begitulah garis besar ceritanya. Sekarang, walaupun Hongwu telah meninggal dan telah digantikan, keadaan masih tetap sama. Orang Beng Kauw atau yang sekarang disebut Ma Kauw tetap dianggap sebagai biang kerok kerusuhan. Anggotanya tidak disukai. Bahkan rakyat jelata pun tidak menyukai anggota Ma Kauw.

“Waktu aku kecil,” kata Cio San “Aku juga sangat takut dengan orang Ma Kauw. Penampilan mereka seram-seram. Pakaiannya aneh aneh. Tidak mengenal aturan dan adat istiadat. Sembarangan dan seenaknya”

“Hahaha…jangan tertipu penampilan kami. Walaupun seram dan aneh, hati kami baik sekali” tukas Bun Tek Thian sambil tertawa.

“Iya, sungguh baik. Sampai-sampai orang yang menolong pun tetap ditotok sampai lumpuh” Cio San berkata begitu sambil tersenyum.

“Yah, setidaknya aku tidak membunuhmu kan? Bahkan aku memberi makan dengan menyuapimu. Seharusnya kau memanggilku sebagai kakekmu. Ayo beri hormat kepada kakekmu yang baik! Hahaha!”

“Salam hormat kakekku yang baik!”


Mereka tertawa-tawa.

Memang pada dasarnya sifat Cio San memang senang bergurau. Begitu juga sifat Bun Tek Thian. Maka cocoklah mereka berkelakar tentang apa saja.

“Eh kakek” Cio San kini memanggil Bun Tek Thian sebagai kakek, “Aku punya cerita lucu yang tidak kalah lucu dengan cerita kakek tadi”

“Haha, coba ceritakan cucu yang baik!”

“Begini, ada seorang Siauw Jin (manusia rendahan, hina) yang suka judi. Semua hartanya sudah ia pakai sebagai modal judi. Yang tersisa hanya seekor burung peliharannya saja. Burung itu sudah bulukan. Penyakitan. Seluruh bulunya sudah terkelupas seluruhnya. Karena sudah tidak ada lagi barang yang bisa dijual. Akhirnya dia memutuskan untuk menjual saja burung itu.

Saat di pasar burung, ia kebagian paling ujung karena bagian depan pasar sampai belakang sudah terisi penjual burung yang lain.

Tidak perlu menanti terlalu lama, datanglah seorang saudagar yang terkenal kaya dan royal. Ia punya kegemaran mengoleksi burung. Maka satu persatu burung diperhatikannya. Bahkan ia bertanya apa saja kelebihan burung-burung yang ada. Tapi nampaknya tidak ada satu pun yang menarik hatinya.

Ketika sampai diujung pasar, ia bertanya ke salah satu penjual burung yang berdiri tidak jauh dari Siauw Jin kita. Si saudagar bertanya,

“Berapa harga burung ini?”

“Tiga puluh tael emas, tidak lebih tidak kurang”  jawab si penjual

“Eh, kenapa mahal sekali? Apa kelebihannya” tanya si saudagar

“Burung ini jika bernyanyi, suaranya merdu sekali” sambil berkata begitu ia membuat burungnya bernyanyi. Dan memang suaranya indah sekali. Ada beberapa lagu kicauannya yang terdengar sangat indah. Seluruh orang yang ada di pasar mengagumi kicauannya.

Akhirnya si saudagar langsung membeli burung itu tanpa tawar menawar. Setelah puas, ia pulang. Ketika sampai di pintu keluar, ia melihat burung dagangan Siauw Jin kita. Karena merasa lucu ada orang menjual burung sejelek dan seburuk itu, si saudagar iseng-iseng bertanya,

“Eh, burung ini dijual juga?”

“Benar” jawab siauw jin kita mantap.

Sambil tertawa geli, si saudagar bertanya,” Memangnya mau kau jual berapa?”

“Seratus tael emas! Tidak kurang tidak lebih!” jawabnya mantap.

Si saudagar hampir pingsan karena kaget, “Mahal sekali, emang apa kelebihannya? Apakah suaranya merdu dan dia bisa menyanyi seperti burung yang baru saja ku beli ini?”

“Burung saya ini malah sama sekali tidak bisa menyanyi”

“lalu, kenapa harganya mahal sekali?” tanya si saudagar

“Walaupun burung saya ini tidak bisa menyanyi, TAPI SEMUA LAGU YANG DINYANYIKAN OLEH BURUNG YANG TUAN BELI TADI, ADALAH CIPTAAN BURUNG SAYA INI”

Hahahahahahhahaahahahahahahhaahhahahaahhahah!!!!

Suara tawa membahana. Belum pernah ada cerita yang ditawan bisa menceritakan cerita lucu kepada yang menawan. Tapi begitulah adanya. Kedua orang ini berjiwa bebas. Apa saja dilewati dengan tertawa.

Manusia jika sudah bisa tertawa saat sedang susah, mestinya boleh dibilang sebagai manusia yang bahagia.

“Eh cucu yang baik, perutku sakit. Lebih baik kita cepat berangkat agar cepat sampai pula. Maafkan kali ini aku harus menumpukmu dengan jerami. Banyak orang mencarimu. Jika mereka melihat kau sedang tidur-tiduran enak di gerobakku, maka aku akan repot. Selain itu aku pun harus menutup matamu. Supaya matamu tidak jelalatan. Maafkan perbuatan kakekmu ini ya cucu”

 “Tidak masalah!”

Begitulah. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Karena mulai memasuki daerah yang ramai, mereka sering berpapasan dengan banyak orang. Kini pemandangan hutan sudah berganti pemadangan sawah dan ladang.

Mereka juga melewati perkampungan. Rumah-rumah yang ada di perkampungan ini walaupun kecil dan bersahaja, tampik sangat rapi dan bersih. Cio San tak tahu mereka di mana sekarang. Tak berapa lama setelah memasuki sebuah desa, kereta berbelok ke sbuah gang kecil. Rupanya Bun Tek Thian menuju sebuah rumah.

Lebih tepatnya sebuah “perkampungan” rumah. Di tionggoan memang banyak tempat seperti ini. Biasanya pemiliknya adalah bangsawan atau seorang yang sangat kaya. Yang memiliki tanah yang luas. Diatas tanah itu berdirilah beberapa rumah yang masih merupakan rumahnya juga. Biasanya terdiri dari rumah utama yang besar, biasanya dihuni pemiliknya dan keluarga utama. Lalu beberapa rumah-rumah kecil yang dihuni keluarga jauh, pelayan, pegawai, dan lain-lain. Dalam dialek Hokkien disebut “Ceng”

Kini mereka telah masuk ke dalam ‘Ceng’ itu. Luas rapi dan bersih. Mereka disambut seseorang yang berkata,

“Ya langsung saja kau bawa jerami-jerami itu ke kandang kuda di belakang, A Ma”

Ternyata Bun Tek Thian di sini dikenal dengan nama A Ma.

“Baik” jawab Bun Tek Thian atau A Ma.

Tak berapa lama kereta keledai itu sudah sampai ke kandang kuda. Di sana juga ada banyak orang, salah satunya berkata,

“Itu tumpukan jerami mau langsung kau taruh di kandang atau mau kau taruh di gudang dulu?”

“Di gudang” jawab A Ma pendek.

“Baiklah, langsung saja”

Kereta masuk ke dalam gudang. Ada beberapa orang yang sedang bekerja di dalam. Mereka pun menyapa,

“Ah datang juga kau. Sudah lama tidak mengirim jerami. Kemana saja?”

“Hahaha. Istriku sedang sakit. Aku terpaksa merawatnya dulu”.

“Kalau istri sudah sakit-sakitan, harusnya kau mengganti istri baru”

Hahahahhaha! Terdengar suara tawa bergemuruh.

“Eh A Ma, langsung saja kau ambil bayarannya ke Sow cukong (tuan tanah Sow). Beliau sedang berada di taman belakang. Mengurus bunga-bunga peliharannya” kata salah seorang

“Baiklah. Terima kasih”. Kata A Ma. Ia turun dari keretanya, menambatkan keledainya, lalu pergi ke taman mencari Sow cukong.

Begitu A Ma keluar dari gudang itu, salah seorang dari pekerja gudang berkata,

“Mengapa tuan kita begitu menyukai A Ma ya? Setiap dia membawa jerami, pasti tuan kita menemuinya secara langsung. Padahal kalau ada urusan-urusan begitu, tak pernah tuan kita turun tangan sendiri”

Salah seorang menyahut,

“Setahuku, si tua A Ma itu adalah kenalan tuan kita sejak masih kecil. Makanya tuan menghormati dia”

“Oooh begitu rupanya”

Tak lama kemudian terdengar bunyi lonceng.

“Aha…sudah masuk waktu makan rupanya”

Para pekerja itu kemudian menghentikan pekerjaannya. Mungkin ke ruang makan. Beberapa ada yang masih menyelesaikan pekerjaannya.

Keadaan lumayan sunyi bagi Cio San. Tapi tak berapa lama ia mendengar bunyi langkah langkah kaki. Langkah yang sebenarnya ‘tidak’ berbunyi, karena pemilik-pemiliknya adalah pesilat kelas atas. Cio San mengenal salah satu pemilik langkah itu, mestinya adalah Bun Tek Thian. Siapa pemilik kaki satunya lagi? Pastinya adalah Sow Cukong.

Terdengar suaranya,

“Kenapa kalian masih bekerja? Ayo makan dulu saja. Biar nanti A Ma yang menurunkan jerami-jerami ini”

Suaranya sangat dalam dan berwibawa.

“Baik tuan” para pekerja yang masih tersisa segera bergegas pergi makan.

Begitu bayangan pekerja menghilang di balik pintu, pemilik suara itu lalu berkata,

“Ah, Tianglo lama tidak berkunjung kesini? Ada kabar atau urusan apa yang bisa teecu (murid) bantu?”

Suaranya sudah tidak berwibawa lagi, bahkan sekarang terkesan menjilat-jilat.

“Sow Tan Li, aku memerintahkan kau untuk segera mengirimkan kabar di seluruh cabang bagian barat dan juga markas pusat. Aku membawa “buntalan” penting. Setiap cabang harus bersiaga penuh. Jangan sampai bocor.Aku juga membutuhkan beberapa murid tingkat 2 atau 3 untuk membayangiku sepanjang perjalanan. Jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jauh. Mereka harus sebisa mungkin tidak terlihat”

“Baik tianglo. Ada perintah lainnya?”

“Tidak ada. “Buntalan” ini adalah masakan kesukaan ketua. Jika tidak sampai atau sampai dalam keadaan “dingin”, maka ketua akan marah sekali. Kita semua akan kena celaka”

“Teecu mengerti. Teecu akan turun tangan langsung menangani perintah tianglo”

“Bagus” kata Bun Tek Thian.

Cio San paham. “Buntalan” itu tentu dirinya. “Dingin” berarti sudah mati.

“Turunkan jerami-jerami ini, tapi sisakan sedikit untuk menutupi ‘buntalannya’’ perintah Bun Tek Thian.

“Baik tianglo”. Mulutnya bicara tapi tubuhnya sudah bergerak cepat menurunkan jerami jerami itu. Tangannya menyampluk, mengeluarkan sejenis pukulan. Anginnya saja sudah menerbangkan jerami-jerami itu. Hanya butuh 2 angin pukulan untuk memindahkan jerami-jerami itu.

Ia menyisakan beberapa tumpuk untuk menutupi tubuh Cio San.

“Siapakah pemuda ini, tianglo?” tanyanya

“Kau tidak perlu tahu. Kerjakan saja tugasmu”

“Maafkan teecu yang tidak sopan tianglo”

Begitu pekerjaannya selesai, Bun Tek Thian sudah bersiap untuk pergi. Sow cukong memberinya uang untuk perbekalan. Setelah memberi hormat, ia pun segera ke luar gudang lewat pintu lain. Sedangkan Bun Tek Thian melewati pintu yang sama saat dia masuk tadi.

Mereka pun keluar dari ‘ceng’ itu.

Setelah agak berapa lama dalam perjalanan, dan suasana sudah agak sepi, Bun Tek Thian berkata kepada Cio San,

“Kau jangan kaget. Hanya dengan cara beginilah Ma Kauw kami bisa bertahan. Harus ada beberapa orang yang menyusup menjadi orang biasa, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa. Jika tidak bekerja secara rahasia begini, mustahil kami bisa bertahan sampai sekarang”

Cio San paham, dan kagum. Betapa rapinya partai ini bekerja. Secara rahasia pula. Jika tidak mengalami sendiri, Cio San tak akan percaya bahwa anggota golongan Ma Kauw banyak yang merupakan saudagar dan orang-orang kaya.

Dan ini ia alami dalam beberapa hari perjalanannya. Bun Tek Thian singgah ke tempat-tempat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ke rumah makan, ke rumah bordil, ke rumah saudagar dan bangsawan-bangsawan. Semua memperlakukannya dengan cara yang sama. Jika sedang ramai akan menganggap Bun Tek Thian sebagai orang rendahan, tapi jika berduaan saja Bun Thian diperlakukan dengan sangat hormat. Bun Tek Thian mampir untuk sekedar meminta bekal atau kadang juga memberi perintah-perintah.

Hebat sekali Ma Kauw ini!





Related Posts:

0 Response to "Bab 26 Perjalanan Ke Markas Ma Kaw"

Posting Komentar