Pedang tinggal sejengkal dari tubuhnya.
Blaaaaarrrrrrr!
Ombak dan gelombak pedang pun buyar. Kedelepan penyerang itu terlempar beberapa tombak ke belakang. Di hadapan mereka kini berdiri beberapa orang.
Salah satunya adalah orang yang menangkis serangan mereka tadi. Tubuhnya kurus, namun sangat jangkung. Usianya sudah tua. Bajunya merah. Matanya yang tajam menusuk jantung manusia. Jika ada orang yang bisa membunuh hanya dengan pandanganseperti itu, mungkin dialah orang satu-satunya.
“Hormat buat Kaucu! Semoga panjang usia!” Bun Tek Thian sujud menyembah.
Inilah dia Ma-kauw Kaucu (Ketua Ma Kauw)!
“Ang Soat!” seru kedelapan orang itu berbarengan menyebuat nama sang kaucu. Mereka lalu berbarengan menyerang sang Kaucu. Gerakan mereka kali ini sungguh sukar ditangkap mata dan dibayangkan. Begitu cepat, begitu lincah, begitu ganas. Masing-masing mengisi posisi yang menutupi gerak lawannya. Menghadapi serangan seperti ini, tidak ada satupun yang bisa kau perbuat selain mengharap dunia kiamat.
Tapi sang Kaucu bukan pesilat biasa. Namanya sudah masuk 3 besar orang paling sakti di dunia kangouw. Menghadapi serangan ini dia malah tidak menghindar. Tangannya menyampluk semua pedang yang ada, menangkap seluruhnya dalam satu genggaman!
Siapun di seluruh dunia yang pernah belajar silat, jika melihat gerakan silat seperti ini, tentulah pasti berhenti belajar silat. Karena seumur hidup belajar pun tidak akan bisa melakukan hal mustahil seperti demikian.
Begitu pedang tertangkap, kedelapan orang itu berusaha menarik sekuat tenaga. Tapi tenaga mereka justru terkuras habis. Melepas pegangan pedang juga tidak bisa. Serasa seluruh tubuh mereka lengket dengan gagang pedang!
“Ini…ini ilmu Menghisap Matahari” semua yang ada di sana terbelalak.
“Katakan siapa kalian? Dan apa tujuan kalian? Atau kuhisap terus tenaga murni kalian” kata sang kaucu. Ucapannya pelan dan penuh wibawa. Tapi matanya. Matanya jauh lebih menusuk daripada jurus pedang apapun.
Kedelapan orang ini tidak menjawab.
“Katakana tau kalian mati?”
Kedelapan orang ini tetap tidak menjawab
Tubuh mereka semakin menghitam dan mengeluarkan asap!
Sehingga kemudian kering. Bagai seonggok kayu bakar. Mereka semua mati hangus!
Begitu dahsyatnya ilmu Menghisap Matahari ini sampai semua orang yang berada di situ terperangah. Mereka yang ada di situ adalah anggota Ma Kauw juga, Mungkin pengiring sang Kaucu. Karena sudah pasti bukan pengawal. Karena orang seperti dia jika membutuhkan pengawal, maka akan merendahkan martabatnya sendiri.
“Kau baik-baik saja Tek thian?” tanyanya kepada Bun Tek Thian.
“Hamba baik-baik saja Kaucu. Terima kasih atas kedatangan dan pertolongan kaucu”
“Buntalan yang kau bawa apa masih baik-baik saja?”
“Hamba menjaganya dengan seluruh nyawa hamba, kaucu”
“Bagus, untuk jasamu ini akan dihargai sebaik-baiknya” sambil berkata begitu ia berjalan ke arah kereta. Menyingkirkan jerami dan memandang sang ‘buntalan’ .
“Inikah yang bernama Cio San?”
“Benar kaucu”
“Baiklah. Kutunggu kalian di markas besar. Jaga jangan sampai terjadi penghadangan lagi” Setelah berkata begitu ia pun pergi. Jalannya biasa dan melangkah dengan lambat. Tapi entah kenapa ia sudah kelihatan jauh sekali.
“Ilmu kaucu sudah semakin hebat saja!” beberapa orang yang berada di situ menggeleng-geleng kepala.
Sampailah rombongan itu di sebuah markas rahasia Ma Kauw. Ternyata berada di dalam sebuah perut gunung. Memasukinya pun harus melewati jalan rahasia. Sebuah air terjun yang sangat deras. Orang biasa yang mencoba menembus air terjun sebesar ini pastilah kulit-kulitnya besat dan tulang-tulangnya remuk.
Setelah beristirahat sebentar, berkumpul lah mereka di balairung utama. Semua telah memakai baju khusus. Berwarna kuning cerah. Hanya sang kaucu yang memakai baju warna merah. Ia duduk di atas singgasannya. Semua perabotan di ruangan itu terbuat dari batu pualam sejenis marmer yang indah sekali. Berwarna putih mengkilat. Sehingga membuat ruangan balairung semakin bercahaya.
Cio San diletakkan di hadapan sang kaucu. Duduk berlutut. Totokan di tubuhnya belum dibuka. Tapi kini ia sudah bisa bicara.
Yang hadir di dalam balairung itu adalah beberapa puluh murid utama, sepuluh pengurus utama, Tiangloo (penasehat) kiri dan kanan, serta sang Ma Kauw kaucu sendiri. Total ada sekitar 100 orang lebih. Tentu saja mereka tidak saja cuma duduk melainkan menikmati arak, dan beberapa hidangan mewah. Setiap ada acara berkumpul begini, memang selalu ada arak dan hidangan mewah di markas Ma kauw.
Cio San diletakkan di hadapan sang kaucu. Duduk berlutut. Totokan di tubuhnya belum dibuka. Tapi kini ia sudah bisa bicara.
“Apa betul kau yang bernama Cio San? Murid yang kabur dari Butongpay” tanya sang kaucu
“Benar kaucu, cayhe (saya) lah adanya”
“Apakah kau yang membawa lari cin keng (kitab sakti) yang berada dalam kuburan Kam Ki Hsiang?”
“Demi Tuhan, dan atas nama leluhur-leluhur saya, saya tidak pernah mengambil atau mencuri kita apapun. Saya pun tidak membunuh guru saya” jawab Cio San jujur.
Lama sang Kaucu menatap Cio san. Lalu ia berkata, “ Aku pecaya padamu!”
“Apakah tuan kaucu ingin bertanya kepada saya tentang Kam Ki Hsiang?” tanya Cio San tiba-tiba.
“Darimana kau tau?” matanya membesar.
“Saya kebetulan memiliki sedikit kemampuan membaca isi pikiran orang” kata Cio San sambil tersenyum.
“Aku tidak suka orang yang suka pamer, darimana kau tahu aku ingin tahu tentang Kam Ki Hsiang?” tanyanya tegas.
“Dengan ilmu sehebat kaucu, tentunya tidak mungkin kaucu ikut-ikut rebutan mencari kitab sakti segala. Di dunia ini, siapalah yang dapat menandingi ilmu kaucu. Jadi aku menduga tentunya ada hal lain yang ingin engkau cari”
“Ketika tersiar kabar bahwa kuburan Kam Ki Hsiang ternyata kosong, pasti banyak orang yang menyangka ia masih hidup. Dan karena banyak orang yang punya dendam dengan dirinya, tentulah urusan dan dendam waktu lampau dengan sendirinya muncul kembali. Ketika kaucu menyebut nama Kam Ki Hsiang, saya tidak melihat kemerahan dan dendam di wajah kaucu. Saya justru melihat ada kesedihan. Jadi saya menduga, urusan kaucu kepada Kam Ki Hsiang bukanlah urusan dendam. Melainkan ada kenangan lain yang tersimpan”
Tatapan mata Ma Kaucu berbinar, “Baru sekali ini aku bertemu orang secerdas engkau, Cio San!”
“Tapi jika aku ingin mengetahui tentang Kam Ki Hsiang, kenapa aku tidak langsung saja ke Butongpay untuk bertanya? Atau mengirimkan mata-mata kesana?”
“Itu karena engkau tahu Kam Ki Hsiang tidak meninggal” jawab Cio San
Sekali lagi mata Ma Kaucu berbinar, “Dugaanmu sungguh tepat”
“Jika kaucu tahu beliau tidak meninggal, kaucu pun tahu bahwa beliau telah berganti nama menjadi A Liang. Maka begitu mendengar kabar aku kabur dengan Liang-lopek, tentunya kaucu menjadi sangat penasaran” tukas Cio San, ia melanjutkan, “Di dunia ini, orang yang tahu tentang keadaan Liang-lopek sebenarnya hanya dua, yaitu kaucu dan Thay suhu (guru besar) Thio Sam Hong. Maka saya menduga hubungan kaucu dengan Liang-lopek sungguh amatlah dekat. Kalau bukan saudara kandung, pastilah sahabat dekat”
Perubahan wajah sang kaucu sungguh terlihat jelas. Tapi tak seorang pun yang tahu apa arti perubahan itu, ada jejak kenangan, ada kekaguman, ada rasa heran, semua bercampur aduk.
“Orang secerdas engkau, tidak hanya menimbulkan kekaguman, tapi juga menimbulkan rasa takut” kata sang Kaucu, lalu melanjutkan
“Lalu bagaimana kabar Kam Ki Hsiang sekarang?”
“Kam-suhu telah meninggal. Maukah kaucu mendengarkan cerita sebenarnya?”
“Tentu saja”
Cio San lalu menceritakan semuanya.
Setelah mendengar penuturan Cio San, sang Kaucu termenung. “Kini rasanya aku yang giliran menceritakan semuanya kepadamu dan kepada kalian semua”
Ia lalu berkisah. Sang kaucu ini sudah bersahabat dengan Kam Ki Hsiang sejak kecil. Kesukaan mereka terhadap ilmu silat membuat mereka semakin dekat. Suatu saat mereka memutuskan untuk berkelana sendiri sendiri.
Kam Ki Hsiang secara tidak sengaja menemukan sebuah gua yang berisi Cin Keng (kitab sakti). Sedangkan kaucu yang bernama Ang Soat itu bergabung dengan Beng Kauw. Karena saat itu Beng Kauw merupakan partai silat terbesar dan termasyhur.
Setelah Kam Ki Hsiang berhasil menguasai semua ilmu yang ada di cin keng itu, ia menantang semua ahli silat yang ada. Ketika akan menantang ketua Beng Kauw, Ang Soat lah yang meminta agar Kam Ki Hsiang mengurungkan niatnya. Kam Ki Hsiang kemudian setuju, dan malah berniat menantang Thio Sam Hong.
Kabar yang terdengar berikutnya adalah Kam Ki Hsiang kalah dan mati di butongsan. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Ang Hoat pun tidak mengihlaskan kematian sahabatnya itu. Lalu 10 tahun kemudian, secara tidak sengaja Ang Hoat bertemu dengan Kam Ki Hsiang yang sudah berganti nama menjadi A Liang. Pada awalnya A Liang tidak mau mengaku bahwa dirinya adalah Kam Ki Hsiang. Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja ketika A Liang turun ke Butongsan untuk membeli beberapa bahan makanan. Saat itu Ang Soat memang juga tidak sengaja punya sebuah urusan di sana.
Lalu setelah dipaksa-paksa, akhirnya Kam Ki Hsiang mengaku juga. Ia meminta Ang Soat merahasiakan keadaannya, karena jika orang Kang Ouw mengetahui keadaannya itu bisa menimbulkan kehebohan dan membuka dendam yang sudah terkubur. Kam Ki Hsiang juga meminta Ang Soat tidak menceritakannya kepada kekasihnya, Khu Ting Ai, atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Khu Hujin.
Maka ketika mendengar A Liang kabur dengan Cio San, Ang Soat yang telah menjadi kaucu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari mereka. Seluruh anak buahnya disebar ke seluruh penjuru Tionggoan hanya untuk mencari keberadaan A Liang. Bahkan hingga beberapa tahun telah lewat, semua anggota Ma Kauw masih diwajibkan mencari A Liang dan Cio San ini.
Begitulah ceritanya hingga Cio San bisa dilumpuhkan Bun Tek Thian dan dibawa sampai ke markas Ma Kauw di dalam perut gunung ini.
Baru selesai sang kaucu bercerita, tiba-tiba terdengar teriakan. Banyak orang muntah darah, dan jatuh bergelimpangan. Pikiran Cio San segera bergerak cepat, ia berteriak “Racun!”
Raut wajah sang Kaucu berubah, ia segera mengarahkan tenaga dalam untuk menghalau racun. Wajahnya bahkan bertambah pucat, ia terbatuk-batuk.
“Jangan mengerahkan tenaga dalam!” teriak Cio San . “racunnya mungkin akan semakin menghebat jika kalian mengerahkan tenaga dalam”
Semua orang yang ada disitu terpana. Apa yang harus dilakukan jika tidak menggunakan tenaga dalam? Semua yang ada di sana jatuh terduduk di lantai. Murid-murid yang ilmunya lebih rendah semua berkelojotan. Yang ilmunya tinggi masih berusaha bertahan.
“Hahahahahahahahha, akhirnya kalian mampus semua!”
Terdengar suara terbahak-bahak.
“Kau!” semua orang disitu tak menyangka siapa orangnya.
Cio San menoleh, ternyata ia adalah salah satu tianglo dari Ma Kauw Tianglo yang ada. Yang ini adalah Tianglo kanan, sedangkan Bun Tek Thian adalah tianglo kiri.
“Po Che King! Apa maksudmu? Tak kusangka” sang Kaucu berteriak marah.
“Aku sudah menunggu saat-saat kita berkumpul bersama seperti ini. Awalnya aku menunggu bulan depan saat perayaan ulang tahunmu. Tapi sekarang malah kesempatan itu tiba lebih cepat. Kalian semua telah terkena racun baru. Aku mendapatnya dari Keh-losiansing (tabib tua Keh). Ini racun dahsyat terbaru. Tidak ada bau, tidak ada rasa. Tidak akan membuat orang curiga. Racun ini menyerang syarafmu. Melumpuhkan tenagamu. Bahkan jika kau mengerahkan tenaga dalammu, ia akan bekerja semakin baik. Hahahahahah! Sudah merasakan kedahsyatannya kaucu yang mulia?” kata orang yang bernama Po Che King itu.
“Jadi Keh losiansing juga menjadi antekmu” kata Bun Tek Thian.
“Ya bisa dibilang begitu” kata Po Che King sambil tertawa. Ia lalu menuding sang Kaucu, “Aku benar-benar ingin membunuhmu dengan pedangku sendiri. Biarlah yang lain mati keracunan, kau harus mati dipenggal!” sambil begitu ia berjalan dengan santai, tangannya sudah mencabut pedang dari sarungnya.
“Apa salahku padamu? Bukankah aku selalu memperlakukanmu dengan baik?” tanya sang Kaucu
“Ya, kau memang memperlakukanku dengan baik. Terlalu baik malah. Tapi kau menjadi ketua terlalu lama. Sudah saatnya gantian. Aku sudah menghamba terlalu lama, kini saatnya menjadi ‘raja’. Hahahahahahaha”
Kaucu tak bisa bergerak sedikitpun. Tubuhnya bagai lumpu. Bahkan di bibirnya telah ada tetesan darah.
“Racun itu membuyarkan tenaga dalam dan tenaga sakti. Hasil latihanmu bertahun-tahun akan punah seluruhnya. Tapi kau harus mati dengan pedang. Itu sebuah kehormatan. Seorang raja memang seharusnya mati karena pedang”
Ia telah berada di hadapan kaucu. Pedangnya sudah terangkat. Sabetan sudah dilakukan. Pedang sudah meluncur ke tenggorokan sang Kaucu.
Tapi berhenti di tengah jalan!
Po Che King mengerahkan seluruh tenaganya pun tak akan bisa menggerakkan pedang itu.
Cio San telah berdiri di sana!
Dengan gagah memegang pedang itu. Senyum masih tersungging di bibirnya.
“Kau?’
Kata ‘kau’ hanyalah sebuah kata yang pendek. Tapi ketika belum selesai diucapkan, orang yang mengucapkan sudah terpelanting beberapa tombak menghantam dinding batu.
Siapa lagi yang menghajarnya kalau bukan Cio San?
“Aku paling benci dengan pengkhianat”
Cio San lalu menotok beberapa titik darah kaucu.
“Totokan ini untuk membantumu menghalau racun, kaucu. Tenang saja” kata Cio San.
Ketika ia berbalik untuk melihat keadaan Po Che King, Cio San kaget juga. Po Che King sudah mati dengan mulut berbusa.
Dengan cepat ia ‘terbang’ ke mayat Po Che King dan memeriksanya.
“Racun!” ia terpana.
Tapi Cio San tidak bisa berpikir lebih lama karena ia harus menotok seluruh orang yang ada di sana. Beberapa orang memang tidak sanggup ia selamatkan. Tetapi ada sekitar 50 orang yang masih hidup. Cio san menotok mereka semua.
“Harap tenang dan jangan dulu bergerak atau bersuara. Pusatkan konsentrasi. Jaga aliran darah agar bergerak normal. Jangan sekali-kali mengarahkan tenaga dalam. Atur pikiran agar tetap tenang. Agar jantung dan organ tubuh lainnya bergerak sempurna”
“Kaucu, dimana letak ruangan obat-obatan?” Cio San bertanya.
“Keluar lah lewat pintu di belakangmu. Jalan terus, sampai kau menemukan pintu berwana hijau”
Ketika kata “hijau” selesai diucap, Cio San sudah berada di depan pintu itu!
Dengan cermat ia membuka rak obat-obatan yang berada di dalam ruangan itu. Ada banyak bahan yang ia ambil. Di ruangan obat pun terdapat alat untuk meraciknya, sehingga Cio San meracik obatnya disana.
Setelah selesai, ia segera kembali ke balairung untuk memberikannya kepada semua orang. Tak berapa lama semua orang sudah merasa baikan.
Kata pertama yang mereka ucapkan adalah “Terima kasih”
Lalu yang kedua adalah “Bukankah kau tertotok?”
“Sejak awal memang tidak tertotok” jawab Cio San santai
Bun Tek Thian membelalakkan mata, “Aku yakin sekali telah menotokmu!”
“Dulu waktu di puncak gunung Butongsan, aku sempat mempelajari jalan darah dari sebuah kitab kuno. Lalu ketika berada di dalam goa bersama sebuah ular, aku belajar tentang aliran darah dan fungsi-fungsi tubuhnya. Sejak menggabungkan pengetahuan itu, aku berlatih untuk memindahkan jalan darah” Cio San tersenyum
“Jadi kau bisa ilmu memindahkan jalan darah? Hebat! Aku saja tidak bisa.” Kata sang Kaucu.
“Lalu kenapa kau bergaya lumpuh seperti orang ditotok?” tanya Bun Tek Thian penasaran.
“Hanya ingin tahu saja apa yang ingin kau lakukan kepadaku. Akhir-akhir ini aku tidak tahu harus melakukan apa. Jadi jika ada orang melakukan apa-apa terhadapku, maka lebih baik menurut saja!”
Terbelalak mata Bun Tek Thian. Matanya lebih terbelalak lagi ketika Cio San melanjutkan,
“Apa lagi jika kemana-mana ada orang yang menggendongku dan menyuapiku makan!”
0 Response to "Bab 28 Di Markas Rahasia Ma Kauw"
Posting Komentar