Bab 40 Tamu dan Surat



Saat sore, pemandangan di Istana Ular juga tidak kalah indahnya. Cio San berada di taman belakang. Ia sedang menikmati arak sambil menikmati taman belakang Istana Ular yang sangat indah. Ada kolam kecil yang indah. Di dalamnya terdapat berbagai macam ikan hias. Melihat mereka berenang dan bermain sudah merupakan hiburan tersendiri bagi Cio San.

Di sekeliling kolam terdapat jalan setapak yang berisi batuan berwarna-warni yang indah. Di sekeliling jalan setapak itu pun diliputi rumput hias yang terpotong rapi. Di pojok taman, terdapat pavilliun kecil. Di sini terdapat meja kecil dan terdapat sebuah khim (kecapi) yang besar. Cio San pernah memainkan kecap yang besar saat di rumah Khu Hujin dulu. Kini ia duduk  memainkannya.

Entah karena memang bakat musik yang menurun dari ayahnya, Cio San memainkan khim dengan sangat indah. Ang Lin  Hua yang saat itu sedang berada di kamarnya, sayup sayup mendengar suara khim dan nyanyian Cio San. Sebuah lagu yang indah namun menyedihkan.\

Lagu yang menyedihkan memang sering sekali terasa jauh lebih menyenangkan daripada lagu yang menceritakan tentang kebahagiaan.

Orang yang sedang bahagia pun kadang ikut sedih ketika mendengar lagu yang sedih. Sedangkan orang yang sedih jarag ada yang ikut berbahagia karena mendengar lagu tentang kebahagiaan.

Apakah itu berarti orang yang sedih hatinya jauh lebih banyak daripada orang yang berbahagia?

Entahlah.

Tapi seberapa banyak orang yang bahagia yang pernah kau temui? Kebanyakan orang pasti merasa hidupnya menyedihkan dan membosankan. Walaupun ia orang yang paling kaya sekalipun. Karena jika kau menganggap kebahagiaan terdapat pada harta yang banyak, maka hidupmu hanya akan habis mengejar harta. Lalu kapan kau akan menikmati hartamu?

Uang memang perlu. Tapi bukan uang bukanlah kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah ketika engkau mampu menerima dirimu apa adanya. Menjadi dirimu sendiri. Hidup dengan caramu sendiri.

Bagaimana mungkin kau hidup dengan caramu sendiri jika kau terus diperbudak keinginan?

Dentingan dawai khim merasuk ke jiwa. Orang yang jiwanya mabuk bukan karena minum atau makan sesuatu yang memabukkan, tentulah mabuknya adalah mabuk yang paling indah. Mabuk seperti ini selalu lebih menyenangkan.

Ang Lin Hua begitu mendengar musik seindah itu, justru tidak berani keluar kamarnya. Memang kata orang, sesuatu yang indah itu harus dinikmati sedikit demi sedikit. Ia lebih memilih menikmati suara yang sayup-sayup itu.

Desir angin sore hari, dentingan dawai, dan nyanyian yang merdu. Jika kau tidak bisa menikmati ketiga hal ini, mungkin sudah tidak ada hal lagi di dunia ini yang bisa membuatmu bahagia.

Daun daun jatuh dari pucuk-pucuk dahan. Mungkin karena musim gugur telah tiba. Tapi juga mungkin karena pepohonan pun ikut bersedih mendengarkan lagu seindah dan sesedih ini. Karena memang, perpisahan dua orang kekasih, jauh lebih menyedihkan daripada kisah tentang kematian.

Daun sekering ini, masa kah bisa sekering hati manusia yang kesepian?

Kolam seluas ini, masa kah bisa menampung air mata kekasih yang terluka?

Bebatuan sekeras ini, walaupun tuli, mungkin akan ikut menangis juga mendengar kisah-kisah sedih tentang kehidupan manusia.

Maka siapakah hatinya yang tak akan tersentuh mendengar nyanyian sesedih ini?

Tak terasa air mata Ang Lin Hua pun ikut menetes.

Jika pendengar saja menangis, bukankah yang bercerita akan jauh lebih banyak air matanya?

Cio San tahu air mata sedang menetes deras di pipinya. Tapi ia menikmatinya. Ia menikmati setiap tetesan air matanya. Baginya setiap tetes adalah tegur sapa dari kekasih yang dirindukannya.

Bagaimana kabarmu, Mey Lan?

Apakah engkau di sana merindukanku juga?

Apakah engkau di sana selalu setia menanti kepulanganku?

Apakah engkau akan selalu menatap pintu depan rumahmu, seperti aku juga menatap garis kaki langit?

Perpisahan ini baru sekejap. Tapi yang sekejap itu justru yang paling menyakitkan.

Lelaki sekuat apapun, jika berpisah dengan kekasihnya, pasti akan lemah juga hatinya.

Karena tegar bukan berarti tanpa air mata. Tegar berarti menghadapi apapun walaupun kau harus tersakiti, terluka, dan bersedih karenanya.

ANg Lin Hua kini mengerti mengapa ia tidak ingin keluar dari kamarnya. Ia tahu Cio San sedang bersedih. Oleh karena itu ia tak ingin kehadirannya akan mengganggu Cio San. Karena kadang-kadang, menangis itu justru jauh lebih membahagiakan daripada tertawa.

Tak terasa lagu sudah berhenti.

Tak terasa yang tertinggal hanyalah kesunyian belaka.

Sinar merah matahari sore. Daun daun berguguran. Angin berhembus. Desahan ranting-ranting pohon berbisik merdu.

Apa yang lebih indah daripada itu semua?

Tapi herannya, orang-orang yang mengaku bahagia, justru tidak bisa menemukan keindahannya. Justru orang-orang yang bersedih hatilah yang bisa menikmati keindahannya.

Ang Lin Hua menyalakan lilin dan obor penerang. Di dalam istana memang sudah mulai gelap. Ia lalu beranjak ke taman belakang. Paviliiun tempat Cio San berada ternyata sudah terang. Cio San duduk di sana.

Saat melihat Ang Lin Hua datang membawa obor, Cio San tersenyum. Tapi Ang Lin Hua bisa melihat bekas-bekas kesenduan di sana. Ia membalas senyum Ang Lin Hua, dan mengangguk pelan. Lalu ia menerangi beberapa obor yang ada di sekeliling taman pula.

Sekejap suasana taman belakang menjadi sangat indah.

“Mari duduk di sini, siocia” kata Cio San

“Tunggu hamba ambilkan arak, kaucu” tukas ANg Lin Hua

Tak berapa lama ia kembali dengan sebuah guci arak dan dua buah cangkir.

Ia duduk di hadapan Cio San lalu menuangkan arak ke dalam cangkir dengan lembut. Bau harumnya menebar kehangatan di pavilliun itu. Cio San langsung tahu arak apa itu.

“Arak Lin Sam? istimewa!”

“Siocia (nona), memang pintar memilih arak” katanya

Arak itu ada seninya. Bukan hanya kau harus kuat meminumnya. Bukan saja kau harus tahu ciri-cirinya. Bukan saja kau harus tahu khasiatnya. Bukan saja harus kau tahu cara meminumnya. Tapi kau pun harus tahu memilihnya di saat yang tepat.

Selalu ada arak yang berbeda untuk dinikmati di saat yang berbeda pula.

Seni seperti ini, kalau bukan seorang peminum arak, tentu tak akan paham.

Teguk demi teguk telah tertenggak. Yang ada hanya kehangatan. Mereka walau duduk saling berhadapan, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kita kedatangan tamu” kata Cio San memecah kesunyian.

Dalam sekejap mata ia sudah menghilang dari hadapan Ang Lin Hua. Si nona akhirnya menyusul juga. Begitu sampai di depan pintu depan, terdengar suara dari gerbang,

“Salam kepada kaucu, semoga panjang umur”

Ang Lin Hua menarik sebuah tuas yang berada di dekat pintu depan tempat ia berdiri.

Blunggg

Terdengar suara gerbang depan terbuka. Pintu gerbang itu terbuat dari besi besar yang tinggiya beberapa kaki. Gerbang yang sangat kokoh karena memang tempat itu dulunya adalah benteng pertahanan.

Puluhan orang lalu masuk. Pakaian dan dandanan mereka pun aneh-aneh. Sekali pandang saja Cio San tahu jika mereka adalah anggota Mo Kauw.

Begitu tiba di hadapan Cio San, segera orang-orang itu berlutut dan kembali mengucap kalimat yang sama,

“Salam hormat kepada Kaucu, semoga panjang umur. Juga salam kepada Seng Koh (perawan suci)”

“Berdirilah” jawab Cio San. Dalam hati dia kagum juga dengan nama panggilan Ang Lin Hua. Perawan suci! Dia ingin tersenyum.

Tapi Cio San saat ini bukanlah Cio San yang senyumnya jenaka, dan berkelakukan seenaknya. Cio San yang ini adalah seorang Mo Kau Kaucu.

“Apa yang membawa saudara-saudara sekalian ke sini?” tanyanya

“Kami mendengar bahwa kaucu yang lama telah meninggal, dan tuan telah diangkat sebagai kaucu yang baru” jawab salah seorang.

“Itu benar. Aku akan bercerita, mohon saudara-saudara sekalian mendengarkan”

Cio San pun bercerita. Sebuah cerita yang sama dengan yang ia ceritakan kepada Ang Lin Hua. Puluhan orang-orang yang mendengarkan itu tertunduk. Mereka semua meneteskan air mata. Salah satu dari mereka bertanya,

“Bolehkah kami melihat kuburan kaucu yang lama?”

“Saat ini aku belum mencari jasad beliau, dan jasad saudara-saudara yang lain. Dalam beberapa hari ini mudah-mudahan aku bisa menemukannya”

“Apakah ada kemungkinan jasad-jasad itu masih disimpan para pengkhianat dari rumah bordil?” tanya salah seorang.

“Mungkin saja. Tapi beri aku waktu, aku akan menemukannya”

“Biar saya saja kaucu” salah seorang maju dan mengajukan diri.

Orangnya sudah cukup tua dan rambutnya sudah hampir putih seluruhnya. Cio San seperti pernah bertemu dengannya. Samar-samar ia mengingat-ingat.

“Nama hamba Hing Liok Tay, hamba adalah ketua cabang daerah Hubei. Nona Hua telah mengenal hamba”

Cio San menoleh ke Ang Lin Hua,

“Ah, jika Hing-susiok (paman) yang menanganinya, kiranya kita semua boleh berlega hati” sahut Ang Lin Hua.

“Saat ini, jika diperintahkan, hamba langsung berangkat sekarang juga” kata Hing Liok Tay

“Susiok boleh berangkat besok pagi. Sekarang ini marilah semua saudara masuk dan menikmati arak” kata Cio San

Terdengar suara mereka semua bersorak.

Karena tidak ada pelayan, orang-orang ini yang melayani diri mereka sendiri. Untunglah dari rombongan ini terdapat beberapa orang wanita. Para wanita ini menyiapkan makanan, minuman, dan tentu saja arak yang keras.

Jika ramai-ramai, arak yang paling keras itu yang paling cocok!

Cio San berkisah tentang banyak hal. Ia mengakrabkan diri dengan ‘anak buah’ barunya itu. Ang Lin Hua sudah menunjukkan surat pengangkatan Cio San, oleh sebab itu orang-orang ini menjadi lebih yakin lagi.

Walaupun suasana sedang dirundung duka karena kehilangan kaucu yang lama, tak ayal mereka kagum juga dengan Cio San. Ang Lin Hua yang menceritakan semuanya. Bagaimana Cio San mengalahkan ilmu Menghisap Matahari, dan juga mencoba menyembuhkannya.

Dunia hal yang paling dihormati dalam dunia Kang Ouw memang adalah ilmu silat dan ilmu ketabiban. Cio San memiliki kedua-duanya dalam tingkatannya yang sangat tinggi.

Setelah makan malam dan acara minum arak selesai, Cio San berkata,

“Dengarkan titah kaucu!”

Semua orang, termasuk Ang Lin Hua langsung berlutut, Cio San berdiri dengan gagah

“Karena banyaknya kejadian yang menghebohkan di dalam dunia Kang Ouw, sehingga kita tidak bisa membedakan mana kawan, lawan, dan pengkhianat, maka aku memerintahkan kalian untuk segera kembali ke posisi masing-masing esok hari. Hanya beberapa orang yang ku minta tinggal di sini untuk mengurus segala keperluan di Istana Ular.”

Cio San memang ketika tadi saat mengobrol dengan orang-orang ini telah mencoba menyelami sifat mereka satu persatu. Dengan pengetahuan yang dibacanya dari kitab yang diberikan Khu Hujin, ia sedikit banyak sudah bisa menyelami sifat manusia, dan apa-apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka.

Ia lalu menyebutkan nama-nama,

“Hing Liok Tay, Sie Peng, Hok Jin, Goan Say Tan, Yan Tian Bu, Lim Tin, dan Cua Cin Sin harap tinggal. Saudara-saudara yang lain silahkan pulang besok. Saya akan memberikan tugas khusus kepada saudara-saudara yang paling besok” 

“Kami dengar dan kami laksanakan!” teriak seluruh anggota yang ada.

“Silahkan semua beristirahat. Bagi yang ingin bercengkerama dulu silahkan saja. Bagi yang ingin tidur, silahkan pilih kamarnya masing-masing. Perintah selesai. Silahkan bubar” Kata Cio San. Terdengar gagah dan berwibawa. Seperti ia telah menjadi kaucu selama bertahun-tahun.

Ia sendiri tidak segera pergi tidur melainkan kembali duduk di pavilliun taman belakang. Ia duduk sambil memperhatikan anggota-anggota yang lain. Ada yang meneruskan makan. Ada yang berbincang-bincang dengan sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ada yang diam saja. Ada juga yang sedang mempertontonkan silat. Mungkin sedang memperlihatkan jurus baru kepada sahabat-sahabatanya.


Cio San memberi perintah memanggil Hing Liok Tay. Segera Hing Liok Tay pun datang menemuinya.

“Salam kaucu” katanya sambil menjura.

Cio Sang mengangguk dan tersenyum, “Silahkan duduk susiok” katanya.

“Tidak berani..tidak berani…Kaucu harap jangan memanggil hamba susiok (paman)”

“Aku memanggilmu dengan panggilan yang aku suka, susiok” jawab Cio San tersenyum.

“Ahhh…kaucu sungguh seseorang yang rendah hati” kata Hing Liok Tay

“Kaucu, ada petunjuk apa?” tanya Hing Liok Tay

“Kita pernah bertemu, tapi susiok memang pasti tidak tahu"

“Benarkah, kaucu?” tanya Hing Liok Tay

“Kau bukankah dulu pernah menjadi petani tua, dan memberi sepatu kepada seorang pemuda?”

“Sejujurnya, hamba banyak memberikan sepatu kepada banyak orang" jawab Hing Liok Tay.


Cio San paham, rupanya orang ini memang sudah sering punya tugas jadi mata-mata Mo Kauw

“Aku dulu adalah seorang pemuda berwajah pucat yang datang kepadamu tanpa sepatu.”

“Apakah di pinggiran hutan bambu di tepi air terjun Huey? ada desa kecil bernama Tau Lam di kaki gunung Butongsan. Hamba bertugas bertahun-tahun disana.”


"Yah, kejadian itu baru beberapa bulan yang lalu. Mungkin belum sampai sekitar setahunan"

“Hamba saat itu mendapat perintah dari kaucu yang lama untuk menetap di sana. Beberapa orang anggota memang mendapat perintah untuk menetap dibeberapa daerah sekitar kaki gunung Butong san”

“Oh, kalian diperintahkan kaucu yang lama untuk mecari kabar tentang pemuda bernama Cio San, bukan?”

“Benar kaucu”


"Aku lah pemuda pucat yang dulu kau berikan sepatu itu, susiok" kata Cio San tersenyum


"Ahhhh,mohon maaf kaucu..mohon maaf" kata Hing Liok Tay sambil bersujud berkali-kali


"Sudahlah, apa yang harus dimaafkan" tukas Cio San sambil tersenyum. Lanjutnya, "Aku hanya ingin bertanya"


"Silahkan, kaucu"


"Setelah kau memberiku sepatu yang berisi penanda jejak, dan kemudian aku tiba di kota Liu Ya, dua orang yang menguntitku adalah anak buahmu?” tanya Cio San

“Benar, kaucu”

“Lalu kenapa mereka mati?”

“Yang membunuh mereka adalah ketua Mo kauw cabang Liu Ya, kaucu. Mereka berdua terpakasa harus dibunuh agar jangan sampai membocorkan rahasia bahwa Mo Kauw tertarik untuk mencari tahu rahasia anda, kaucu”

“Oh, aku mengerti sekarang. Di mana ketua cabang kota Liu Ya?”

“Dia belum datang. Mungkin sedang dalam perjalanan”

“Kalian mengerti tentang pergantian kaucu ini, apakah dari Cukat Tong?”

“Benar tuan. Ia mengirimkan surat ke beberapa cabang kita, mengatakan bahwa tuan berada di Istana Ular”

“Baiklah. Ada lagi yang ingin susiok sampaikan?”

“Tidak ada lagi, kaucu” kata Hing Lion Tay menggeleng

“Mari kau duduklah di sini susiok, ada hal yang ingin kuminta kepadamu”

Hing Liok Tay duduk di hadapan Cio San.

“Biasanya, bagaimana cara partai kita saling mengirim kabar?” tanya Cio San

“Kita biasanya menggunakan merpati. Dalam beberapa saat saja, kabar sudah langsung sampai ke semua cabang. Tergantung jauhnya jarak antar kota” jawab Hing Liok Tay.

“Begitu…Baiklah aku akan menuliskan surat kepada seluruh anggota kita. Bisakah susiok mengirimkannya kepada beberapa cabang? Ada beberapa hal yang harus ku sampaikan kepada beberapa ketua cabang”

“Siap laksanakan, kaucu”

Cio San lalu mendiktekan isi suratnya. Intinya meminta agar setiap cabang menggunakan daya upaya untuk menyelidiki tentang para pembunuh bertopeng, berhati-hati terhadap racun baru yang sangat dahsyat, serta sebisa mungkin tidak bentrok dengan partai lain, baik yang besar maupun yang kecil.

Begitu selesai didikte, Hing Liok Tay lalu menyalinnya menjadi beberapa surat, kemudian mengirimkannya. Cio San lalu memintanya untuk istirahat karena besok pagi-pagi sekali ia Hing Liok Tay harus segera pergi melaksanakan tugas menyelediki keberadaan jenazah kaucu lama dan anggota-anggota yang lain.

Cio San kini sendirian lagi. Ia ingin memainkan khim tapi merasa akan mengganggu anggota-anggota lain yang sedang beristirahat. Karena belum mengantuk Cio San berencana untuk duduk-duduk di situ sampai larut malam sambil minum arak.

Sampai larut malam baru ia tertidur dengan pulas di pavillliun itu. Padahal ia tahu, ada beberapa pasang mata yang sedang memperhatikannya di dalam kegelapan.
Saat bangun, hari belum begitu pagi. Bau masakan dari dapur sudah menari-nari di hidungnya. Saat bangkit, ternyata sudah ada seguci teh panas, serta sepiring kue-kue.

“Enak juga, jadi kaucu. Segala sesuatunya sudah dilayani orang lain. Pantas saja banyak orang ingin menjadi pemimpin” pikir Cio San.

Cio San menikmati secangkir teh, dan mencomot satu kue. Setelah itu dia bangkit dan pergi ke dapur. Ternyata Sie Peng, Lim Tin, dan Cua Cin Sin sudah berada di sana. Mereka memasak banyak sekali makanan untuk puluhan anggota yang ada di sana.

“Hey, kalian sudah bangun? Sini kubantu memasak” kata Cio San

“Ah kaucu, mana kami berani?” mereka semua mencegah Cio San jangan sampai turun tangan. Tapi apa daya Cio San sudah menggunakan kata-kata andalannya “Ini perintah!”. Sambil tersenyum ia lantas saja menumbuk bumbu. Ketiga anggota wanita Mo Kauw itu tak bisa berkata apa-apa lagi.

Ketika matahari sudah mulai naik, dan tanah terlihat sudah terang, masakan yang disiapkan mereka berempat sudah matang. Kesemuanya makanan enak. Rupanya semalam ada beberapa anggota yang pergi berburu ke hutan belakang dan berhasil menangkap beberapa rusa, ayam hutan, dan ular. Hasil tangkapan itu diolah Cio San dengan sangat mantap. Sampai-sampai ketiga anggota wanita itu terheran-heran. Mereka saja tidak mampu masak seenak dan selezat itu.

Seluruh anggota lalu makan dengan lahap. Seumur hidup mereka mungkin belum pernah makanan selezat itu. Ketika tahu bahwa hidangan itu adalah hasil masakan Cio San mereka semua bergetar tak ada yang berani bersuara,

“Ma…matipun,,,mana berani kami makan?” kata salah seorang.

“Maafkan….kami..kaucu..kami.kami” mereka semua salah tingkah.

Cio San hanya tersenyum, ia berkata “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang paling memperhatikan anak buahnya. Aku justru merasa bangga bisa menyiapkan makanan untuk saudara semua”

Begitu mereka mendengar hal ini, mereka lalu berlutut dan bersujud,

“Kaucu sunggu baik dan adil! Kami rela menyerahkan nyawa bagi kaucu dan Mo Kauw!” teriak mereka keras.

“Sudahlah, kalian berdiri lah. Kita belum lagi menikmati araknya” kata Cio San.

Tak lama setelah mereka minum-minum, terdengar suara dari gerbang besi depan,

“Cukat Tong datang menghadap Mo Kauw kaucu!”

“Raja maling sudah datang. Hmmm..ternyata lebih cepat dari perkiraan semula” batin Cio San. Dalam hati ia kagum juga. Langkah Cukat Tong tidak terdengar sama sekali olehnya. Padahal dalam jarak segini, ia biasanya bisa mendengar jika ada orang lain di gerbang depan.

Cio San sendiri yang menyambut Cukat Tong di pintu depan.

“Salam kepada kaucu. Hamba Cukat Tong membawa berita dan mengantarkan surat” kata Cukat Tong.

 “Salam Cukat-tayhiap (pendekar besar Cukat)” kata Cio San sambil senyum dan menjura.

Kedua orang ini bersikap penuh adat tentunya karena banyak orang di situ. Kalau tidak mereka mungkin sudah saling peluk dan bercanda.

“Mari ke belakang, kita berbicara di sana saja” Cio San lalu mengajak Cukat Tong ke pavilliun belakang.

Semua mata memandang Cukat Tong. Tidak menyangka kalau si Raja Maling Tanpa Tanding ternyata penampilannya sama seperti mereka. Kotor dan awut-awutan.

Begitu mereka berdua sampai di pavilliun belakang.

“Ini racunnya sudah kubawa” ia mengeluarkan sebuah botol kecil. Isinya sebuah cairan seperti air biasa. Bening dan tak berbau.

“Aku juga membawa surat dari Beng Liong untukmu. Aku bertemunya di jalan” ia mengeluarkan sepucuk surat. Cio San lalu membacanya.

Salam Hormat,

Begitu mendengar kabar dari Cukat Tong bahwa San-te telah menjadi Mo Kauw Kaucu, aku sangat bahagia. Thian (langit) memang sangat adil dan mengerti perjalanan hidup manusia. Tapi kebahagiaan ini serasa tawar saat kubayangkan engkau akan banyak menanggung banyak urusan.

Saat ini pun aku terpaksa meminta bantuanmu. Pergerakan tentara Mongol di perbatasan membuat tentara kerajaan sangat terdesak di sana. Baru-baru ini kaisar mengumumkan permintaan bantuan kepada seluruh kaum Kang Ouw untuk turun tangan membantu kerajaan.

Hal ini, ditambah lagi dengan urusan Pembunuh Bertopeng membuat kaum Kang Ouw juga semakin terdesak. Karena itulah pertemuan pemilihan Bu Lim Beng Cu dimajukan dari tahun depan, menjadi 3 bulan lagi. Pertemuan akan di adakan di puncak gunung Thay San.

Aku harap San-te bersama Mo Kauw yang kau pimpin bisa turut turun tangan dalam kedua urusan ini. Sekali lagi aku mohon maaf karena harus merepotkan dirimu. Semoga kita bisa bertemu di puncak Thay San 3 bulan lagi, tanggal 15.

Saudaramu,

Beng Liong.

Cio San melipat kembali suratnya. Ia berpikir lama sekali. Cukat Tong diam saja, karena ia tahu Cio San sedang memikirkan urusan yang sangat penting.

Cio San lalu tersenyum lebar,
“Ada kau di sini, jika tidak kucekoki arak sampai mampus, jangan bilang namaku Cio San”

Related Posts:

0 Response to "Bab 40 Tamu dan Surat"

Posting Komentar