Bab 34 Sebuah Tugas Yang Berat



Mayatnya sudah mulai kaku dan dingin. Tapi darah di tenggorokannya masih hangat. Cio San memeriksa luka di leher itu. Sebuah tusukan pedang. Satu tusukan. Satu nyawa. Tidak banyak orang yang mampu membunuh Sih Hek Tiauw hanya dalam satu tusukan. Selain Ang Hoat Kiam Sian, Cio San tidak bisa membayangkan ada orang lain yang punya ilmu pedang sedahsyat itu.

Jendela di dekat kamar terbuka lebar. Pasti pembunuhnya melarikan diri dari situ. Cio San memeriksa jendela dan daerah sekitarnya. Tidak ada jejak yang tertinggal. Cio San mencoba mereka-reka apa yang dilakukan pembunuh itu setelah selesai melakukan perbuatannya. Lari keluar jendela adalah jalan yang paling masuk akal. Ia mencoba dengan seksama memperhatikan tanah yang dipijaknya. Hanya sebuah goresan kecil di tanah. Garis kecil yang tidak kelihatan, dan mungkin hanya dianggap sebagai garis biasa di atas tanah. Besarnya hanya seujung kuku. Tapi itu sudah cukup membuat Cio San curiga.

Dengan seksama ia menelusuri garis kecil itu.Ia menepukan lagi garis yang hampir sama beberapa tombak dari garis pertama. Dan menemukan yang berikutnya, dan berikutnya. Pahamlah Cio San bahwa itu adalah sebuah jejak kaki. Tapak kaki itu jarang-jarang. Jarak antara satu tapak dengan yang lain jaraknya hampir beberapa tombak. Berarti pemilik jejak kaki itu adalah orang yang ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi. Langkah antara kaki yang satu dengan yang lain begitu lebar jaraknya. Dengan cermat Cio San menghitung jarak kaki itu.

Orang-orang yang ada di rumah Sih Hek Tiaw sudah tidak perduli lagi dengan apa yang sedang dilakukan Cio San. Mereka kini sedang menangis bersedih menangisi tuan mereka. Cio San heran juga ketika melihat tidak ada satu orang pun anggota keluarga. Hanya pelayan saja. Ia kemudian paham bahwa Sih Hek Tiaw sepertinya tidak menikah dan berkeluarga.

Jejak kaki berakhir di tembok belakang. Dengan sekali loncat Cio San sudah berdiri di atas tembok belakang. Sebuah pasar!

Pasar yang sangat ramai. Ia kecewa dan segera kembali ke rumah utama.

Setelah meminta diri dari sana, Cio San mengantarkan Hong Sam Hwesio kembali ke kuil. Sampai semalaman ia berjaga di kamar sang Hwesio. Pembunuhan-pembunuhan yang telah terjadi membuat dia sudah tak mampu untuk tidur lagi. Sekali terlelap nyawanya atau nyawa orang lain bisa melayang.

Besok paginya dua orang hwesio yang gagah datang. Rupanya mereka dikirim untuk menjaga Hong Sam Hwesio. Legalah hati Cio San, ia bisa pergi meninggalkan Hong Sam Hwesio tanpa harus diliputi rasa khawatir.

Setelah minta diri dan mendapat sedikit wejangan dan nasihat, Cio San akhirnya pergi. Segala macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Mencoba mengaitkan seluruh peristiwa yang telah terjadi. Tubuhnya letih tapi pikirannya segar sekali. Sedikit banyak ia sudah mulai menemukan benang merah permasalahan ini. Pertemuannya dengan Beng Liong dan Hong Sam Hwesio mulai membuatnya mengerti. Ia pun tambah bersemangat.

Cio San memutuskan untuk pergi ke penginapan. Ia butuh istirahat untuk mengembalikan semua tenaganya. Ia butuh makan! Seorang ahli silat yang dipenuhi tenaga sakti mampu bertahan selama beberapa hari tanpa makan dan minum. Tapi bagi Cio San, tenaganya harus terisi penuh. Masalah yang ia hadapi bukanlah masalah sepele. Untuk itu pikiran dan tenaga harus berada dalam kondisi terbaik.

Cio San mampir sebentar di sebuah warung di teipan sungai. Warung ini berada di pinggiran kota. Sebuah warung kecil yang tidak begitu ramai. Pemiliknya seorang pasangan suami istri yang sudah tua. Dengan ramah mereka mempersilahkan Cio San masuk.

“Pesan teh, nasi, sayur-sayuran dan daging” kata Cio San sambil tersenyum

“Segera, loya (tuan)!” kata yang laki-laki.

Tak sampai menunggu berapa lama pesanan sudah datang. Warung memang hanya berisi 4 orang. Cio San, dan 3 tamu lainnya yang saat itu sudah berada duluan di sana. Cio San makan dengan lahap sekali. Sudah hampir 3 hari ia tidak makan.

“Itu dia, kan?” “Ya benar, itu dia”

Cio San mendengar ketiga tamu itu kasak-kusuk. Mereka sedang membicarakan dirinya. Dalam hati ia menyesalkan, mengapa tidak bisa sedetik saja hidupnya tenang.

“Kau yang bernama Cio San bukan?” kata salah seorang.

Cio San angkat kepala dan mengangguk.

Baru saja ia mengangguk, sebuah serangan telah mengincar batok kepalanya. Sebuah rantai hitam dengan ujung bola berduri. Dengan sedikit membengkokan kepalanya, bola rantai itu lewat di samping telinga kirinya. Lalu dengan sumpit di tangan kiri, ia memukul rantai itu. Rantai yang terpukul kemudian melingkar di sumpitnya. Cio San menunduk karena tahu bola berduri itu memutar di belakangnya.

Kejadian ini hanya sepersekian detik!

Kini rantai dan bolanya telah terikat penuh dan melingkar di sumpitnya. Si penyerang menarik sekuat tenaga, tapi rantainya tidak bergerak sama sekali. Sumpitnya pun tidak patah. Dengan segala upayanya ia menarik kembali rantainya, tapi semua usahanya sia-sia.

Seorang temannya yang sejak tadi diam saja, kini telah mengeluarkan golok dari punggungnya. Dengan sekali lompatan, ujung goloknya telah mengincar kepala Cio San pula. Menghadapi ini Cio San tenang saja. Ia mengangkat tangan kirinya yang memegang sumpit. Dengan menggunakan rantai yang ujungnya terikat di sumpit itu, ia menangkis serangan golok itu.

Begitu golok mengenai rantai, Cio San segera memutar tangan kirinya. Golok itu pun terikat di dalam rantai. Sama dengan penyerang pertama, si penyerang kedua itu pun berusaha menarik kembali goloknya. Tapi tetap sia-sia.

Orang ketiga, yang tadi juga duduk di sana. Hanya terpaku diam saja. Ia tidak menyangka serangan 2 orang sahabatnya itu dihadapi Cio San tanpa berdiri dan bergerak sama sekali. Bahkan tangan kanan Cio San kini sedang memegang mangkok teh. Ia minum dengan lahap.
“Kau tidak ingin ikut bergabung?” tanya Cio San santai.

Si orang ketiga itu berdiri. Lalu bersujud dengan penuh ketakutan.

“Salam hormat bagi ketua! Semoga ketua berumur panjang!”

Mimpi pun Cio San tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Kedua orang yang tadi menyerangnya pun kini melakukan hal yang sama. Bersujud berkali-kali dan menyebut hal yang sama.

“Sam-wi (kalian bertiga) bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa maksud semua ini” kata Cio San.

Ketiga orang ini lalu bangkit.

“Maaf kelancangan kami menyerang kaucu (ketua). Kami hanya ingin menguji apakah benar tuanlah orang yang dimaksud”  jelas salah orang yang tadi senjatanya bola rantai.

“Sejak kapan aku menjadi ketua kalian?” tanya Cio San

“Semalam berita sudah tersebar. Apa tuan tidak tahu?”

“Berita apa?”

“Tuanlah Mo Kauw kaucu yang baru!”

Ia seperti mendengar petir di siang bolong.

“Bagaimana bisa?” tanyanya heran

“Tuan benar-benar tidak tahu?” tanya si bola rantai

“Apa kau pikir aku terlihat seperti orang yang tahu?” ia bertanya sambil tersenyum. Kekagetannya hilang. Ia sudah mulai paham.

“Apakah ini semua berasal dari Cukat Tong?” tanyanya.

“Benar kaucu. Semalam si Raja Maling Tanpa Tanding ke markas rahasia kami. Ia menyerahkan surat perintah yang ditulis dan di stempel kaucu yang lama” Saat ia mengatakan ‘kaucu yang lama’ matanya sudah berkaca-kaca. Betapa dalam cinta dan kesetiaan para anggota Mo Kauw ini pada ketuanya yang lama.

“Apa isi perintah beliau?”

“Beliau menyerahkan segala urusan Mo Kauw kepada tuan. Intinya, jika ada sesuatu terjadi kepada beliau, beliau menyerahkan urusan kempemimpinan Mo Kauw kepada tuan. Perintah lengkapnya ada di dalam surat beliau, hamba tidak hafal” jelas si bola rantai.

“Surat perintah itu berada di markas kalian bukan?” tanya Cio San.

“Benar tuan, berada di markas kita”

“Antarkan aku kesana”

“Siap!”

Mereka berangkat setelah tak lupa membayar.


Markas cabang Mo Kauw di kota ini berada di sebuah: Rumah Bordil!

Walaupun dulu sudah pernah datang ke markas/rumah bordil bersama Bun Tek Thian, mau tidak mau Cio San geleng-geleng kepala juga sekarang. Begitu menginjakkan kaki di depan pintu, bau wangi sudah tercium. Untungnya wangi yang digunakan adalah wangi yang lembut. Cio San serta merta langsung merasa nyaman. Pantas banyak orang yang suka pergi ke rumah bordil.

Itu baru baunya.

Hiburan bagi mata jauh lebih menyenangkan lagi. Begitu datang ia sudah disambut wanita-wanita cantik. Baju-baju mereka ketat dan tipis. Memperlihatkan lekuk-lekuknya yang indah. Cio San pengagum keindahan, dan ia pun bukan manusia munafik. Melihat pemandangan seperti ini, ia tersenyum-senyum saja.

“Hai tampan, selamat datang”

“Baru pertama kali ya?”

“Bagaiamana mungkin dia baru pertama kali, sepertinya wajahnya sudah sangat pengalaman”

Cio San tersenyum-senyum saja. Timbul pikiran iseng di kepalanya, ia berkata,

“Nona semua begini cantik, aku sampai bingung pilih yang mana”

Nona-nona itu tertawa berbarengan. Salah satu berkata,

“kenapa tidak pilih kami semua?”

Yang lain menimpali, “Memangnya dia kuat ‘mengatasi’ kita semua?”

Cio San tersenyum cuek, dan tetap berjalan mengikuti ketiga orang ‘anak buah’ barunya. Mereka sampai ke lantai atas. Lalu kemudian naik tangga lagi sampai tingkat empat. Bisnis begini ramai dan besar, tentunya untungnya banyak sekali, pikir Cio San.

Sampai ke tingkat 4, mereka terus masuk ke sebuah lorong kecil. Lorong itu tembus ke sebuah kamar kecil. Si bola rantai menekan sebuah tombol rahasia. Lemari kecil di kamar itu terbuka. Rupanya sebuah pintu rahasia.

Di balik pintu rahasia terdapat sebuah balairung. Sudah ada beberapa orang yang berada di dalam.

“Salam hormat kaucu. Semoga kaucu panjang umur!”

Mereka semua berdiri lalu sujud memberi hormat.

Cio San tidak tahu harus menjawab apa, dia lalu berkata

“Terima kasih, berdirilah tuan-tuan”

Mereka berdiri. “Silahkan duduk, kaucu” kata mereka mempersilahkan

“Kalian sudah tahu kejadian di dermaga?” tanya Cio San sambil duduk di sebuah kursi

“Sudah kaucu. Si Raja Maling Tanpa Tanding yang memberitahukan kami” kata salah seorang. Ia menjawab dengan raut wajah yang bercampur aduk. Marah, sedih, dendam.

“Ah hampir lupa, nama cayhe Cio San. Mohon perkenalkan nama-nama saudara semua”

Mereka semua memperkenalkan nama. Rupanya mereka semua bersaudara. Ada 7 orang. Wajah mereka tidak ada yang mirip.

“Ketika semalam Cukat Tong datang dan menceritakan apa yang terjadi, kami kaget sekali. Bagaikan tidak percaya atas apa yang terjadi. Awalnya kami mendengar bahwa sebuah kapal berisi anggota Mo Kauw terbakar. Tapi kami tidak percaya, karena jika kaucu akan datang ke kota ini, kami pasti diberitahu sebelumnya.”

“Baru ketika Cukat Tong datang dan menjelaskan semuanya, kami baru percaya. Kami semua lalu berangkat ke dermaga. Setelah kami periksa ternyata memang benar itu kapal kaucu. Jenazah-jenazah telah dikubarkan oleh petugas dermaga. Kamu lalu membongkar makam, lalu kami pindahkan jenazah-jenazahnya.”

“Sekarang di mana jenazah-jenazah itu? Apakah bisa kalian kenali?” tanya Cio San

“Semua sudah kami kirimkan ke Istana Ular. Itu tempat semua kaucu dimakamkan. Memang ada beberapa jenazah yang bisa kami kenali. Mayat lainnya sudah tidak bisa lagi” Ia berbicara sambil meneteskan air mata dan mengepalkan tangan.

“kalian mengenali mayat kaucu?” tanya Cio San lagi.

“Awalnya susah tuan, tetapi untunglah berdasarkan ciri-cirinya, kami bisa mengenali jasad beliau. Dari cincin lambang ketua. Lalu kalung, dan beberapa gelang. Selain itu dari gigi geligi beliau. Ada beberapa beliau emas yang beliau pakai. Kami semua yakin betul itu jasad beliau.” Jawab salah seorang. Ia melanjutkan,

“kami tidak tahu harus marah atau senang kepada Cukat Tong. Ia berani sekali mencuri barang kaucu. Tapi justru karena dia lah, Mo Kauw terselamatkan. Ia berhasil menyelamatkan kotak yang sangat penting. Ini kotaknya, kaucu. Silhkan kaucu buka dan lihat isinya”

Sebuah kotak kayu sederhana. Cio San membukanya.

Seketika itu juga puluhan jarum yang sangat tipis menyerang matanya!
Tapi Cio San lebih cepat. Ia sudah siap sejak tadi. Ia hanya memiringkan kepalanya, puluhan jarum itu lewat di belakangnya. Mengenai ketiga orang yang tadi mengantarnya. Mereka semua tewas berkelojotan di rantai.

Ketujuh orang yang duduk di depannya serempak menyerangnya. Tujuh senjata, tujuh titik mematikan. Tapi serangan ahli silat kelas menengah seperti ini, apa bisa melukainya. Sekali hentak dengan tangan kirinya yang mengeluarkan suara berderik, ketujuh senjata itu ia tangkap dan rampas.

Tujuh orang itu melongo!

Mana mungkin orang menangkap pedang, golok, clurit, dan tombak kecil hanya dengan tangan kosong?

Dengan sebuah gerakan tangan kanan, Cio San sudah menotok ketujuh orang itu. Kesiagaannya sudah memuncak, dia tidak ingin tertipu lagi kali ini. Oleh karena itu Cio san sudah tahu ketika ada puluhan jarum beracun yang menyerang ketujuh orang itu.

Kaki kanannya menghentak ke lantai, seketika itu meja di depannya melayang ke atas. Tangan kanannya lalu ‘menyentil’ meja itu. Puluhan jarum tadi langsung tertancap seluruhnya di atas meja!

Cio San lalu melesat ke arah dari tadi jarum disambit. Si penyerang sudah melarikan diri lewat jendela. Ia lompat ke bawah. Ilmu meringakan tubuhnya hebat juga. Tapi jika dibandingkan dengan Cio San tentu saja terlalu jauh. Kini Cio San malah sudah ada di hadapannya.

Si Nahkoda!

Ia adalah nahkoda kapal Mo Kauw yang kemarin terbakar.

Belum sempat si nahkoda mengeluarkan suara, Cio San sudah menotoknya. Siang itu jalanan sedang ramai. Melihat pertunjukan itu orang-orang malah tertarik.

Tapi yang berkumpul memang bukan cuma orang-orang biasa yang sedang lewat saja. Karena tahu-tahu muncul 5 orang bertopeng. Entah sejak kapan mereka berada di situ.

“Ah, datang juga. Salam kenal, Ngo-wi (tuan berlima)” kata Cio San sambil tersenyum menjura.

Kelima orang itu tidak membalas. Hanya mencabut senjatanya masing-masing. Orang-orang yang tadi berkerumun, kini malah menjauh. Mereka tahu ini pertarungan hidup mati. Tak seorang pun yang berani mendekat.

Secara tidak sengaja, pandangan mata Cio San menangkap seseorang di atas atap seberang rumah bordil. Dialah Cukat Tong!

Dia duduk sambil tersenyum-senyum saja. Cio San membalas senyumannya. Memang di saat seperti ini, bukan hal yang pantas untuk tersenyum. Tapi Cio San memang punya kebiasaan tersenyum. Bahkan tersenyum di saat-saat yang tidak cocok.

Lima pedang telah muncul. Bersinar terang terkan cahaya matahari.

Cio San paham mereka bukan lawan yang mudah. Mereka inilah para pembunuh bertopeng yang sudah menggetarkan dunia kang ouw.

Pertarungan seperti ini, adalah pertarungan kelas tinggi. Segala hal kecil sangat berpengaruh dalam hal ini. Kondisi Cio San yang sudah hampi 3 hari tidak tidur, jelas adalah suatu kelemahan. Sebelum bertarung ia sudah kalah satu langkah.

Ia pun kalah jumlah. Untuk hal ini Cio San sudah kalah dua langkah.

Ia pun tidak paham ilmu silat kelima orang ini. Dalam pertarungan, mengerti keadaan lawan amatlah sangat penting. Kelebihan mereka, kekurangan mereka. Sehingga dalam pertarungan, seseorang bisa lebih siap menghadapi berbagai hal. Untuk hal ini, Cio San sudah kalah tiga langkah.

Tapi ia tetap tersenyum. Tangan kanannya memain-mainkan rambut panjangnya yang lewat di bawah telinganya. Tangan kirinya terlipat ke belakang. Ini adalah posisi bhe-si (kuda-kuda) yang paling disukai Cio San, jika memang posisi itu bisa dibilang kuda-kuda.

Lima pedang menusuk. Lebih tepatnya ‘menghempas’. Karena angin serangannya saja bisa mendorong orang. Cio San berkelebat mengikuti angin tusukan ini. Satu langkah hentakan ke belakang. Tapi pedang terus mengejarnya. Kelima pedang itu membentuk sebuah tusukan tunggal ke arah tenggerokan.

Cio San sudah waspada, ia tahu tusukan tunggal itu bisa berubah menjadi ratusan macam perubahan. Benar saja, serangan itu lalu terpecah menjadi puluhan bayangan pedang. Satu pedang sudah melakukan tujuh serangan!.

Total semua serangan itu mengarah ke 35 titik di tubuhnya!

Jika orang sanggup melihat serangan ini, tentunya mereka akan mengakui keindahannya. Sinar pedang itu indah, membentuk cahaya-cahaya yang menyeliputi tubuh Cio San. Tapi memang jika orang-orang benar-benar bisa melihat, tentunya mereka akan bergidik ngeri melihat dahsyat dan kejamnya serangan itu.

Cio San mengelak ketigapuluhlima serangan itu dengan meloncat ke atas. Itu hanya bisa dilakukan jika seseorang mempunyai kecepatan yang jauh lebih cepat dari ketigapuluhlima serangan itu. Tentu saja Cio San lebih cepat. Ia hanya lebih cepat sedikit. Tapi yang ‘sedikit’ itu seringkali menyelamatkan nyawa.

Ketika melayang, kepalanya berada dibawah. Cio San mengembangkan tangannya unutk menangkis lagi hujan pedang yang sudah mengejarnya. Tangan kirinya mengeluarkan suara derik. Ia menangkap satu pedang dengan dua jarinya. Padang yang terbuat dari bisa baja khusus yang ditempa berbulan-bulan itu patah, bagai ranting kering.

Keempat pedang lainnya ia sambut dengan tangan kanan yang melakukan gerakan lembut. Ini adalah gerakan khas thay kek kun. Sebuah jurus yang menggunakan tenaga ‘lembut’ untuk menghalau yang keras. Tenaga itu memanfaatkan dorongan serangan musuh untuk dikembalikan kepada musuh itu sendiri.

Bisa dibayangkan ketika 4 tenaga pedang yang dahsyat itu dikembalikan kepada penyerangnya sendiri. Gabungan kekuatan itu menghantam mereka sendiri!

Alangkah kagetnya mereka ketika melihat ujung pedang mereka malah mengarah ke tenggorokan mereka sendiri.

Satu-satu cara menghentikannya adalah membuang pedang dan menghindar. Itulah yang mereka lakukan.

Walaupun wajah mereka tertutup topeng, rasa takut dan heran bisa di lihat jelas dari wajah mereka.

“Jangan pernah berani untuk angkat pedang kalian”

Terdengar suara dari belakang Cio San. Suara itu dingin dan tenang. Saking tenangnya terasa seperti beku. Tanpa menoleh Cio San tahu suara siapa itu.

Ang Hoat Kiam Sian!

“Pedang diciptakan bukan untuk mengeroyok orang” Ia berjalan sambil berbicara.

Entah kenapa saat orang ini berbicara, dunia terasa berhenti. Tidak ada seorang pun di dalam keramaian itu yang bergerak. Bahkan burung-burung yang melayang di angkasa pun mungkin akan diam mematung jika orang ini berbicara.

“Orang yang kehilangan pedang dari tangannya, tidak pantas untuk memegang pedang selamanya”

Ia melanjutkan,

“Jika ada salah satu dari kalian yang kutemukan memegang pedang lagi, kalian akan kubunuh”

Kata-katanya sangat tenang. Tidak ada amarah. Tidak ada geram. Tidak ada sedih. Tidak ada kebanggaan. Tidak ada rasa senang. Tidak ada apapun.

Tak disangka kelima orang itu lalu mengangkat tangan memukul kepala mereka masing-masing. Tapi sebelum tangan mereka terkena kepala, sinar dari tangan kiri Cio San sudah melayang menotok tubuh mereka. Potongan pedang yang tadi ia patahkan, sudah berubah menjadi kepingan-kepingan sinar itu.

Herannya tubuh mereka tidak tertotok, dan tangan mereka tetap sampai ke tujuan. Mereka roboh dengan kepala pecah!

Cio San hanya geleng-geleng kepala.

“Hahahaa…aku baru tahu kalau kau tidak bisa menyambitkan senjata!” terdengar tawa Cukat Tong dari atas atap.

“Belum pernah latihan, bagaimana bisa mahir?” jawab Cio San

Cio San ternyata tidak mahir melemparkan senjata.

Kepandaian memang hanya bisa didapatkan dari latihan serius dan berulang-ulang. Selama ini Cio San memang tidak pernah melatih kemampuan melemparnya. Ia pun tertawa-tawa saja.

Ang Hoat Kiam Sian berkata,

“Kita bertemu lagi tuan. Kepandaian yang hebat. Mau kah kau bertarung denganku?”

Tangannya sudah memegang ujung pedang.

Tapi kemudian ia berkata,

“Aku berterima kasih tuan sudah membersihkan namaku dari fitnah”

Seketika Cio San paham,

“Kau kah yang mengundangnya kesini?” tanyanya kepada Cukat Tong.

“Benar” ia sudah melayang turun.

“Kau tau alamat rumahnya?” tanya Cio San heran.

“Di dunia ini aku tahu alamat semua orang. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mencuri barang mereka?”


Cio San tertawa, ia menoleh ke nahkoda ya tadi di totoknya. Si nahkoda sudah mati. Ia mati berdiri oleh sebuah jarum beracun yang sangat tipis. Cio Sang menghela nafas. Tentunya ketujuh orang yang tadi ditotoknya sudah mati semua juga.



Mereka kini duduk bersama di bawah sebuah pohon. Menikmati arak dan buah-buahan. Mendengar Cukat Tong bercerita.

“Segera sesudah aku bertemu denganmu, aku mengirimkan surat kepada Ang Hoat Kiam Sian menceritakan apa yang telah terjadi. Aku lalu penasaran apa isi kotak Mo Kauw Kaucu. Karena kotak itu diberi perangkap sejata rahasia yang ganas. Setelah berhasil memecahkan rahasia senjata itu, kotak akhirnya berhasil ku buka. Isinya adalah sebuah surat perintah yang berisi bahwa kau telah diangkat sebagai kaucu baru. Karena merasa surat itu penting, aku membawa kotak itu ke markas Mo Kauw terdekat.”

“Mereka menerimaku dengan baik, karena aku kenal beberapa orang disana. Kuceritakan semua yang terjadi. Herannya mereka tidak begitu kaget. Aku lantas curiga. Untunglah, ketika aku pulang, dan lewat depan salah satu kamar rumah bordil, aku melihat si keparat nahkoda itu. Kamarnya tidak sengaja terbuka sedikit, saat ada perempuan keluar dari dalam. Dari sedikit celah itu aku bisa melihatnya sedang bersenang-senang”


“Akhirnya aku paham kalau dia itu pengkhianatnya. Makanya tak berapa lama aku kembali lagi ke rumah bordil. Kali ini secara rahasia. Hehe. Aku mendengar rencana mereka untuk menjebakmu. Seluruh markas rumah bordil itu telah jatuh dalam kekuasaan kelompok bertopeng. Makanya, secara rahasia, aku mencuri lagi surat perintah Mo Kauw kaucu. Aku takut jika mereka menghancurkannya”

“Oh begitu” kata Cio San, “Lalu ketika kau sudah tahu mereka akan menjebakku, kenapa kau tidak memberi tahu aku?”

“Kalau kau sampai terjebak oleh para keroco-keroco itum berarti kau tak pantas jadi ketua Mo kauw. Dan kau tak pantas pula jadi ‘musuhku’. Hehehe” jawab Cukat Tong sambil tertawa. “Aku terbukti benar, bukan?”

Cio San hanya manggut-manggut sambil tersenyum.

Ang Hoat Kiam Sian hanya diam saja dari tadi. Tidak bersuara sedikitpun. Ia hanya bersandar di pohon besar itu. Cio San ingin bertanya sesuatu kepadanya, tapi ia mengurungkan niatnya.

“Masih ada lagi satu surat yang ditulis khusus untukmu” kata Cukat Tong kepada Cio San

“Tolong simpankan. Aku mengantuk. Aku mau tidur!” seru Cio San. Ia berbaring dan menutup mata.

Cukat tong hanya tersenyum dan memandangnya lama, lalu berkata, “Terima kasih”

Cio San hanya terseyum pula.

Ia tahu alasan Cukat tong berterima kasih. Jika Cio San berani tidur dengan pulas, berarti ia menganggap Cukat tong sebagai sahabat yang akan melindunginya saat musuh tiba.

Memang di antara sahabat, ada banyak hal yang tidak perlu kau katakan.

Related Posts:

0 Response to "Bab 34 Sebuah Tugas Yang Berat"

Posting Komentar