Mereka berlari cepat.
Dalam perjalanannya Hong Sam Hwesio bercerita bahwa ketika dia akan berlari ke arah dermaga, ia dihadang oleh kelompok bertopeng. Ada sekitar sepuluh orang yang mengeroyoknya. Semua dengan ilmu aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
“Lalu di mana mereka sekarang, totiang?” tanya Beng Liong
“Mereka semua pinceng totok dan pinceng taruh di kuil Buddha di pinggir kota” jawab sang Hwesio (bhiksu).
Tak berapa lama mereka sampai di kuil yang di maksud. Masuk ke ruang belakang, di mana kamar Hong Sam Hwesio ‘menyandra’ pasukan bertopeng itu. Ternyata begitu kamar terbuka, terlihat tidak ada seorang pun di dalamnya!
Hong Sam Hwesio tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Beng Liong terlihat tidak bisa menahan amarah.
Cio San semakin kagum dengan pergerakan kelompok bertopeng ini. Pastilah ketika Hong Sam Hwesio menotok mereka dan meninggalkan mereka di kuil ini, ada orang yang datang melepaskan mereka. Cara kerja kelompok bertopeng yang penuh rahasia ini, sungguh membuat hatinya penasaran. Mereka seperti ada di mana-mana. Muncul di saat yang tidak pernah di duga. Dan selalu menebarkan kematian.
Hong Sam Hwesio keluar dan bertanya-tanya kepada para bhiksu yang ada di kuil. Kebanyakan dari mereka sudah tidur. Dan tidak mendengar ada keributan apa pun.
Akhirnya mereka bertiga duduk termenung di halaman kuil.
“Dari seluruh kejadian dalam dunia Kang Ouw yang pinceng perhatikan sepanjang hayat pinceng, urusan pembunuh bertopeng ini yang paling memusingkan dan paling berbahaya” kata sang Hwesio.
“Apakah totiang bisa meraba-raba kemana arah gerakan kelompok bertopeng ini?” tanya Beng Liong.
“Pinceng belum tahu. Tapi jika pinceng bisa mengira-ngira, mungkin ini ada hubungannya dengan pemilihan Bu Lim Beng Cu (Pemimpin Dunia Persilatan) tahun depan.” Kata sang Hwesio.
“Ahhhh” Beng Liong dan Cio San sama-sama menghela nafas.
Rupanya pembunuhan-pembunuhan ini mengarah ke sana. Masuk akal juga. Hampir seluruh Ketua partai persilatan besar telah mati dibunuh. Beruntung ada beberapa percobaan yang gagal. Tapi sejauh ini hampir seluruh pembunuhan ini telah berhasil.
“Memangnya, jika orang-orang ini bisa menguasai dunia Kang Ouw, apa yang mereka dapatkan?” tanya Cio San.
“Kau belum tahu? Siapapun yang menjadi Beng Cu nantinya, akan memiliki banyak kekuasaan. Yang paling utama adalah bahwa setiap Beng Cu yang terpilih, diberi tanggung jawab besar untuk menjaga kitab-kitab sakti peninggalan leluhur”
“Kitab sakti?” tanya Cio San
“Sejak jaman dahulu, banyak sekali terjadi perubatan kitab-kitab sakti persilatan. Leluhur-leluhur kita telah sanggup menciptakan ilmu-ilmu yang sangat dahsyat. Ketika terjadi pengusiran bangsa Mongol dulu, Beng Cu saat itu telah berhasil mengumpulkan semua kitab yang menjadi rebutan itu. Ada sekiat 10 Kitab Sakti yang pinceng sendiri tidak tahu judul-judulnya. Tapi yang pinceng tahu ilmu-ilmu dalam kitab itu sungguh dahsyat. Selama beberapa kali, yang terpilih sebagai Beng Cu adalah ketua partai kami. Hanya seorang Bu Lim Beng Cu yang berhak menyimpan kesepuluh Kitab Sakti itu, dan mempelajarinya. Isi kitab itu hanya boleh ia kuasai, tapi tak boleh diajarkan kepada orang lain”
Sang Hwesio melanjutkan lagi,
“Kau bisa bayangkan jika ilmu-ilmu jatuh ke tangan orang-orang jahat? Apa yang akan terjadi pada dunia ini? Selama berpuluh-puluh tahun, Siau Lim Pay telah mampu menghadapi ratusan kali percobaan pencurian kitab ini. Untunglah kami selalu berhasil mengatasinya”
Siau Lim Pay adalah partai terkemuka di dunia persilatan. Siapapun yang mencoba mencari gara-gara ke sana, kalau bukan pikun pastilah sudah merasa diri menjadi dewa!
Cio San dan Beng Liong akhirnya bisa melihat akar permasalahan ini. Sebuah kelompok yang sangat rahasia, yang ilmunya sukar dicari tandingannya, bergerak membunuh lawan-lawan mereka, agar saat nanti pemilihan Beng Cu, mereka bisa menang mudah tanpa saingan.
Untuk itulah mereka menggunakan segala cara. Pengeroyokan, meracuni, bahkan memfitnah.
Bukan main geramnya Cio San memikirkan ini. Hatinya semakin bersedih mengingat hancurnya Mo Kauw. Kematian yang tragis dan menyedihkan. Mereka semua dibunuh tanpa mampu melawan karena racun telah memunahkan ilmu silat mereka.
Tak terasa air matanya menetes lagi. Melihat ini Beng Liong bertanya,
“Ada apa San-te?”
Cio San tidak bisa menjawab. Ia tidak mampu memutuskan untuk menceritakan nasib anggota Mo Kauw dalam kapal itu, atau merahasiakannya saja. Ia hanya menggeleng pelan. Air mata memang kadang-kadang bisa dijadikan alasan seseorang untuk tidak berbicara.
Lama mereka termenung. Cio San lalu bertanya,
“Lalu apakah itu alasan Totiang turun gunung? Untuk memecahkan permasalahan besar ini?”
“Salah satunya. Sebenarnya kami telah mengirimkan murid terbaik kami. Tapi ia tidak melapor sejak seminggu yang lalu. Padahal tidak pernah ia berbuat demikian. Kalau bukan telah terjadi sesuatu, tidak mungkin ia tidak melapor”
Cio San terdiam lagi. Ia masih belum bisa memutuskan untuk bercerita. Setelah berfikir lama, akhirnya ia memilih untuk bercerita.
Mendengar peracunan di markas Mo Kauw, 3 mayat di sungai, fitnah atas Ang Hoat Kiam Sian, pembunuhan seluruh anggota beserta ketua Mo Kauw, serta fitnah atas Beng Liong, membuat kedua orang yang mendengar ini terpaku.
“Demi Tuhan, kalau tidak mendengar sendiri aku merasa seperti membaca cerita dongeng.” Kata Beng Liong.
Musuh membunuh untuk menyingkirkan saingan. Memfitnah untuk menyingkarkan mereka yang dianggap mengganggu pergerakan mereka.
Musuh yang bergerak dalam bayangan. Yang selalu mengintai, dan bergerak saat mereka lengah. Musuh yang tidak bisa mereka duga siapa. Musuh yang ilmu silat dan racunnya sangat berbahaya. Siapapun, sesakti apa dia, pasti akan merinding dan bergidik mendengar ini semua.
Banjir darah. Pembunuhan. Dan fitnah yang kejam.
Cio San meremas jarinya. Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak tahu harus mulai dari mana.
Penulis yang paling brutal pun tidak mungkin bisa memikirkan cerita seperti ini.
Hong San Hwesio buka suara,
“Kalian berdua, segeralah bergerak. Beng Liong kau segera kembalilah ke Butongpay. Ceritakan semua kisah ini kepada Lau-Ciangbunjin. Minta beliau untuk turun tangan memikirkan langkah-langkah yang harus di ambil. Sedangkan engkau Cio San, selidikilah lebih dalam tentang kejadian pembakaran kapal Mo Kauw”
“Baik. Totiang” jawab mereka berdua.
Setelah menjawab itu, kedua enghiong muda ini saling berpandangan. Tatapan mata dua sahabat yang bertemu kembali setelah sejak lama berpisah. Masing-masing mengagumi kelihayan satu sama lain.
“Sampai bertemu lagi, San-te”
“Sampai bertemu lagi, Liong-ko”
Masing masing saling menjura. Lalu berkelebat menghilang.
Hong Sam Hwesio hanya geleng-geleng kepala.
“Dua orang yang mengagumkan”
Cio San kini sudah kembali ke dermaga. Ia kini turut membantu pengangkatan bangkai kapal dari dasar sungai. Walaupun saat itu sudah dini hari, para petugas dermaga masih bekerja. Dengan alat seadanya mereka menyelam dan menarik bangkai kapal itu. Selain itu mereka juga berusaha mengeluarkan mayat-mayat yang ada di dalam bangkai kapal itu.
Cio San bekerja membantu sampai terang tanah. Jumlah semua mayat yang berhasil diangkat adalah 43. Berarti ada mayat lain yang hilang terbawa arus sungai. Walaupun ia berusaha tegar, mau tidak mau air matanya menetes juga. Kebersamaan dan ketulusan yang ia rasakan bersama para anggota Mo Kauw ini sangat membekas di hatinya, meskipun berkumpul hanya beberapa saat saja.
Ketika matahari sudah benar-benar muncul, banyak orang yang sudah berkumpul dan melihat keramaian di dermaga. Melihat sejumlah mayat yang hangus terbakar seperti itu, banyak orang yang tidak tahan dan muntah-muntah.
Cio San beristirahat sejenak di bawah sinar matahari. Baju dan celananya yang sudah basah kuyup tetap dipakainya agar kering. Tak berapa lama ada orang yang datang dan duduk di sebelah Cio San. Ia mengangguk kepadanya, dan dibalas Cio San dengan anggukan pula.
Orang ini kepalanya botak. Banyak kudis di kepalanya. Bajunya kotor dan bau. Tapi wajahnya bercahaya, dan sinat matanya tajam. Sekali pandang Cio San sudah tahu orang yang duduk di sebelahnya ini bukan orang sembarangan.
“Nama cayhe (saya) Cukat Tong” katanya sambil menjura.
Cio San kaget sebentar. “Nama cayhe Cio San” Ia balas menjura sambil tersenyum.
“Cayhe sudah tahu siapa ciokhee (tuan)” kata Cukat Tong tersenyum.
“Apakah cayhe sedang berhadapan dengan si Raja Malang Tanpa Tanding?” tanya Cio San, senyumnya pun tidak berubah.
“Ah…tidak berani….tidak berani…”
Orang-orang di dunia persilatan mana yang belum pernah mendengar nama Cukat Tong? Orang ini sudah menjadi tokoh legendaris. Ia tidak pernah terlibat pertarungan, tidak pernah membunuh, tidak pernah berpihak, dan tidak pernah mau turut campur urusan kang Ouw. Tapi ilmu dan kehebatannya dalam mencuri, tiada seorang pun di kolong langit yang menandingi.
Korban yang dicurinya tidak tanggung-tanggung adalah tokoh-tokoh utama dunia persilatan. Ia tidak suka berkelahi sehingga mungkin mencuri adalah caranya menantang orang. Anehnya setelah mencuri barang, tak berapa lama kemudian barang yang dicurinya di kembalikan lagi ke pemiliknya. Ia mencuri hanya untuk membuktikan bahwa ia mampu mencuri!
Semua korban-korbannya adalah orang-orang ternama. Karena itulah, banyak orang yang bangga bisa menjadi korban pencurian Cukat Tong. Ia pernah mencuri pedang pusaka yang disimpan di kamar pribadi kaisar. Ia pernah mencuri tongkat pemukul anjing milik Kaypang, dan ratusan benda berharga lain, yang tak seorang pun sanggup membayangkan.
Kini ia duduk tersenyum di sebelah Cio San!
“Rahasia apa yang ingin ciokhee sampaikan kepada cayhe?” tanya Cio San
“Kau tahu aku ingin menyampaikan sebuah rahasia?” tanyanya terbelalak. Sampai lupa menggunakan bahasa yang sopan. Orang seperti dia memang mana bisa sopan lama-lama?
“Urusan dengan ciokhee bukankah cuma dua? Mengambil dan mengembalikan barang. Cayhe tidak punya barang yang bisa ciokhee ambil sekarang. Berarti tinggal urusan mengembalikan barang. Sejauh ini cayhe hanya punya sebuah buntalan kotor yang tertinggal di atas kapal. Buntalan itu bukan sesuatu yang berharga. Dan cayhe pun bukan orang ternama yang bisa dianggap pantas untuk jadi korban ciokhee. Jadi kalau bukan urusan rahasia yang amat penting mengenai kejadian semalam, memangnya ciokhee hendak mengajak cayhe minum arak?” jelas Cio San. Senyumnya itu pun tak pernah hilang meskipun hatinya sedang bersedih.
“Bukan main! Kau memang mengagumkan Cio San. Orang seperti kau, jika tidak ku jadikan musuh besar, maka hidupku sungguh membosankan! Maukah kau jadi musuh besarku?” tanyanya
“Musuh besar berarti Ciokhee menganggap cayhe setara dengan ciokhee, ah…untuk itu cayhe mengaku kalah saja. Tapi kalau sekedar tanding minum arak, atau lari lari kecil, cayhe mungkin bisa menemani ciokhee” tukas Cio San
“Hahaha..bagus! cukup jujur! Tapi dalam hal ini, dugaanmu yang tadi hampir semuanya salah” kata Cukat Tong.
“Coba ciokhee jelaskan”
“Pertama, kata siapa buntalanmu itu tidak berharga? Jika kau menang minum arak denganku, pasti kukembalikan. Kedua, kata siapa juga kau tidak pantas jadi korbanku? Buktinya buntalanmu juga sudah berada di tanganku. Apa kau pikir, jika aku menganggapmu tidak pantas, aku mau duduk-duduk disini bersama mu?”
Ia melanjutkan,
“Aku telah menyaksikan sendiri sepak terjangmu sejak kejadian peracunan di markas Mo Kauw dulu. Saat itu aku ingin mencuri kitab Menghisap Matahari milik Mo Kauw Kaucu. Aku menyamar jadi salah satu anggotanya. Tidak sulit menyamar jadi orang bau dan jelek. Tidak ada satu orang pun yang mau memperhatikan. Hahahaa”
“Saat aku jadi korban racun, kau lah yang menolongku. Untuk itu aku berhutang nyawa kepadamu. Lalu saat kita semua berada di atas kapal, aku juga yang memberi bantal berkutu kepadamu. Kau memakainya dengan nyaman. Maka kupikir kau orang yang benar-benar tulus, dan bukan orang yang sok suci. Untuk itu, kau ku anggap pantas jadi korbanku. Hehehe”
\
Cio San hanya bisa manggut-manggut tertawa.
“Di malam saat kapal kita beristirahat sebentar, aku menemukan saat yang tepat. Kau duduk-duduk di luar. Aku masuk ke bilikmu dan mengambil buntalanmu. Lalu saat kaucu pergi ke kakus, aku pun mengambil kotak yang biasa ia bawa-bawa. Setelah itu aku pun menghilang dari atas kapal. Siapa sangka begitu aku turun ke darat dan mau keluar dermaga, ternyata puluhan orang bertopeng sudah naik kesana dan melakukan kekejaman itu”
Ada bayangan kengerian yang tak bisa dijelaskan di wajah Cukat Tong. Tak terasa matanya pun berkaca-kaca,
“Pembantaian yang aku lihat semalam, adalah perbuatan yang paling pengecut yang pernah ku saksikan di dalam hidupku. Aku mau turun tangan membantu pun percuma. Ilmu mereka sangat dahsyat dan tinggi. Lagipula, aku sudah bersumpah dalam hidupku tidak akan berkelahi atau turut campur urusan kang ouw”
“Aku percaya hanya kau yang bisa meluruskan dan menyelesaikan masalah pembunuhan ini. Dengan kecerdasan dan ilmumu, ditambah lagi dengan sifat isengmu yang suka ikut campur urusan orang, kupikir kau pasti bisa. Untuk itulah aku datang kepadamu untuk menceritakan sebuah rahasia kepadamu.”
“Aku mengenal setidaknya 3 orang dari para pembunuh bertopeng itu. Dan aku hampir-hampir tidak percaya jika mereka pelakunya. Tapi aku hafal suara orang. Ilmu mereka pun, walau mereka sembunyikan, bisa ku kenali. Ketiga orang ini adalah Lamkiong Gin ketua Kim Hong pay, Sih Hek Tiaw si rajawali hitam yang menyerangmu semalam, dan Sip Lim Han, raja pedang dari pantai timur”
Cio San membelalakan mata. Ketua Kim Hong Pay? Matipun ia tidak bisa percaya. Kim Hong Pay adalah sebuah partai putih yang sangat terhormat. Perbuatan mereka selalu gagah dan lurus. Dan si raja pedang dari pantai timur? Orang itu walau sudah berusia setengah abad, kegagahan dan kesaktiannya sudah jadi bahan pembicaraan orang. Bagaimana mungkin?
“Kau pasti tidak percaya padaku bukan? Aku sendiri tidak percaya pada diriku sendiri saat menyaksikannya. Tapi terserah kau mau percaya atau tidak. Aku hanya bercerita apa adanya”
Habis berkata begitu ia berdiri dan menjura, “Aku harus pergi. Barang-barang yang kuambil di atas kapal akan kukembalikan kepadamu. Aku sama sekali belum melihat apa isinya. Selamat tinggal dan sampai bertemu kembali”
Cio San balas menjura. Cukat Tong pergi. Berjalan dengan santai.
Cio San memutuskan untuk melaporkan hal ini kepada Hong Sam Hwesio. Segera ia berlari keluar dermaga. Ia bingung untuk pergi ke penginapan semalam, ataukah ke kuil. Akhirnya Cio San memilih pergi ke kuil, karena posisinya lebih dekat ke dermaga.
Sampai di kuil, ternyata Hong Sam Hwesio memang masih ada di sana. Beliau sedang berdoa. Setelah menunggu beliau selesai berdoa, Cio San lalu menemuinya dan bercerita kejadian tadi. Hong Sam Hwesio sangat kaget, tapi beliau berkata, “Baiklah, kita ke rumah Sih Hek Tiauw, pinceng tahu rumahnya. Tunggulah sebentar ku ambil tongkat ku dulu di bilik belakang”
Hong Sam Hwesio lalu pergi. Tak berapa lama, Cio San mendengar suara ribut-ribut. Segera ia melesat ke belakang. Begitu sampai, betapa kagetnya ia ketika melihat Hong Sam Hwesio sudah jatuh berlutut. Mulutnya mengeluarkan darah.
“Cepat kejar, ia lari lewat jendela!” kata Hong Sam Hwesio terbata-bata.
Secepat kilat Cio San melompat keluar jendela. Tidak ada siapa-siapa yang terlihat.
“Ada penyerang yang bersembunyi di lemari pinceng. Saat piceng buka ia menyerang. Ah sungguh hebat sekali ilmunya” kata Hong Sam Hwesio.
“Totiang tidak apa-apa?” tanya Cio San.
“Aku tidak apa-apa, memang luka dalam tapi tidak parah. Tenaga dalamku masih mampu melindungi organ bagian dalam.”
Hong Sam Hwesio bangkit dan membereskan meja dan perabot lain yang berantakan. Alat-alat tulis, pot bunga, beberapa peralatan ibadah, serta sebuah sangkar burung yang terbuka. Semua berserakan di lantai.
“Aih sekarang burung kecil ku pun kabur. Para pencoleng ini benar-benar mencari gara-gara” kata Hong Sam Hwesio.
Saat dia terluka, ia tidak marah. Tapi saat burung peliharannya hilang, ia malah geram. Mau tidak mau Cio San sedikit terseyum juga. Orang-orang Kang Ouw memang sedikit aneh.
“Ayolah kita segera ke rumah Sih Hek Tiaw” kata Hong Sam Hwesio.
Mareka pun buru-buru kesana. Tapi karena lukanya, pergerakan Hong Sam Hwesio sedikit banyak berkurang kecepatannya. Ingin Cio San mengendongnya, tapi ia tahu itu hanya akan merendahkan sang Hwesio.
Tak berapa lama, mereka pun sampai di rumah Sih Hek Tiaw. Besar dan megah. Rupanya selain pintar berkelahi, si rajawali hitam ini juga pintar dagang.
“Oh Hong Sam totiang, silahkan masuk” Rupanya orang di rumah itu sudah mengenal sang Hwesio.
‘Apa tuan besar ada?” tanya Hong Sam Hwesio dengan sopan.
“Ah beliau sedang beristirahat di kamar. Sejak semalam beliau belum tidur. Tunggu saya panggilkan, totiang” jawab si pelayan
“Baik. Terima kasih sekali” sang Hwesio mengangguk sopan.
Tak berapa lama terdengar teriakan,
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….!!!!!, tolong! Tolong! Tuan besar mati, tuan besar mati!”
Segera Cio San dan Hong Sam Hwesio berlari ke kamar.
Nampak tubuh Sih Hek Tiauw terbaring kaku. Darah segar masih mengalir dari kerongkongannya.
Seseorang telah menggorok lehernya!
Cio San mengepalkan tangannya.
Benar-benar musuh yang tak terlihat!
0 Response to "Bab 33 Musuh Yang Tak Terlihat"
Posting Komentar