Bab 27 Pertarungan Hidup dan Mati


Kini Cio San dan Bun Tek Thian berada di salah satu ‘cabang’ rahasia Ma Kauw. Cio San tidak menyangka kalau Ma Kauw mempunyai cabang rahasia di sebuah kantor pemerintahan!

Memang ini hanya sebuah kota kecil. Walikotanya adalah anak buah Ma Kauw. Namanya Tong Sin Sat. Mereka sampai di kota kecil itu di sore hari, ketika kantor pemerintahan itu akan tutup. Setelah semua pegawai pulang semua, sang walikota masih tetap tinggal untuk ‘menyelesaikan’ beberapa pekerjaan. Hanya pengawal pribadinya yang menunggu di ruang depan dekat pintu. Pastinya mereka juga anak buah Ma Kauw.

Tong Sin Sat ini bertubuh tambun, dengan wajah kemerah-merahan. Seragamnya agak keliatan sempit. Raut mukanya cerah, dan selalu tersenyum. Mereka bertiga sedang menikmati arak dan beberapa makanan kecil. Bun Tek Thian tidak memberikannya tugas apa-apa. Hanya sekedar mampir dan mengisi bekal.

Bun Tek Thian juga tidak membicarakan hal-hal yang penting-penting. Hanya sekedar bertanya-tanya tentang keluarga, dan masalah pekerjaan sebagai walikota. Setelah lama diam dan menyimak saja, Cio San lalu berkata,

“Bun tianglo, bukannya aku berlaku tidak hormat, tapi aku sudah menahan urusan buang air selama hampir 4 hari. Kira-kira engkau ada rencana untuk mengijinkan aku untuk menyelesaikan ‘urusan’ ku ini?”

“Ah kupikir orang sesakti dan selihay engkau tidak butuh urusan macam begitu” sahut Bun Tek Thian yang disambut tawa oleh Tong Sing sat.

“Kau sendiri masih mempunyai urusan demikian, tidak?” tanya Cio San ke Bun Tek Thian

“Tentu saja, aku kan manusia normal” jawab Bun Tek Thian

“Nah, kau kan yang menotok dan menawanku. Tentunya kau lebih lihay dan sakti daripada aku. Harusnya sudah tidak mempunyai urusan demikian” kata Cio San sambil tersenyum.

Bun Tek thian dan Tong Sing Sat tertawa.

“Betul juga” kata Bun Tek Thian. Lanjutnya, “Aku sudah menggendong mu kesana kemari. Itu pun sudah ditambah menyuapimu. Masakan kau memintaku mengurusi urusan ‘pintu depan’ dan ‘pintu belakang’mu juga?”

“Bukankah setiap perkara harus ditangani dengan seksama? Jika aku membuang hajat secara sembarangan di markas cabang kalian, atau di atas keretamu, bukankah akan menambah berbagai urusan? Jika di jalan orang-orang mencium ada bau tak karuan di keretamu, bukankah akan membuat curiga?” kata Cio San

“Ah kau betul lagi”

Lama Bun Tek Thian berpikir, ia lalu berkata, “Kalau ku lepaskan totokanmu, maka dalam sekali gebrak saja maka kau bisa ‘menyelesaikan’ aku. Urusan demikian, aku tidak berani ambil resiko”

“Begini saja” lanjutnya,

“Ku berikan kau sebuah pil racun. Racun ini akan menghancurkan syarafmu dalam waktu satu jam. Jika dalam satu jam kau tidak minum penawarnya, maka kau akan mati menggenaskan. Bagaimana jika kau kuminumkan pil itu, lalu ku selesaikan urusan hajatmu. Setelah selesai, kau kembali lagi kepadaku, lalu ku totok. Setelah itu kuberikan obat penawar racunnya? Kau jangan coba-coba melumpuhkanku untuk mencari penawarnya. Karena dari ratusan pil yang ada, hanya aku dan Tong Sing Sat yang tahu mana yang racun dan mana yang penawar. Jika kau maka salah-salah kau meminum racun lain yang malah membuat keadaan lebih parah. Nah, bagaimana? Setuju?”

Tanpa pikir panjang Cio San menjawab “Setuju!”

Tong Sing Sat kagum juga melihat keberanian Cio San.

“Tidak perlu kagum, tuan walikota” kata Cio San sambil tersenyum

“Bagaimana kau tahu aku kagum? Apapula sebab aku harus kagum?” tanya si walikota sambil tersenyum juga.

“Kelopak matamu membuka. Matamu bersinar. Cuping hidungmu sedikit terangkat. Lehermu memanjang. Pundakmu menegak. Itu adalah ciri orang yang kagum akan sesuatu. Perubahan ini hanya sepersekian detik saja. Tapi aku bisa melihatnya dengan mudah. Mengenai alasan mengapa kau kagum, juga jelas sekali. Kau pasti kagum karena tanpa pikir panjang, aku bersedia meminum racun penghancur syaraf. Bukan begitu, tuan walikota?”

Tong Sing Sat tambah kagum lagi, ia berkata “Hebat benar kau. Dari mana kau belajar kemampuan seperti ini? Seperti sudah bisa menebak isi kepalaku”

Bun Tek Thian menjawab, “Cio San punya sebuah kitab tentang mempelajari wajah dan gerak tubuh. Aku sempat membacanya sekilas, tapi begiku tidak menarik dan tidak ada gunanya. Hanya membuat orang kagum. Apa gunanya? Cuma seperti pertunjukan sulap jalanan”

“Ah saya tertarik tianglo, di mana kitabnya?”

“Tuh di buntalan di sampingnya” jawan Bun Tek Thian.

Belum sempat Tong Sing Sat beranjak mengambil buntalan itu, Cio San sudah berkata,

“Kitab itu pemberian orang yang sangat kuhormati. Walaupun aku sudah hafal luar kepala segala isinya dalam 2 hari, aku tetap akan menjaganya. Jika kau berani menyentuh kitab itu, aku akan membunuhmu. Bun Tianglo sudah berjanji membuka totokannya jika aku mau minum pil penghancur syaraf. Begitu totokanku dibuka, aku langsung akan membunuhmu”

Bun Tek Thian dan Tong Sing Sat terdiam. Mereka tahu Cio San tidak sedang omong kosong. Maka mereka akhirnya tersenyum senyum saja saat Cio San melanjutkan,

“Karena itu maafkan segala kekurangajaranku. Bukankah lebih baik kita tidak saling mengganggu dan menjadi sahabat saja?”

“tentu saja…tentu saja” mereka tertawa-tawa dan minum arak. Sayangnya Cio San harus disuapi oleh Bun Tek Thian, jika tidak tentu ia akan ikut bersoja juga.

Selanjutnya, Bun Tek Thian memerintahkan untuk mengambil pil racunnya. Tong Sing Sat pergi sebentar lalu kembali dengan membawa sebuah kotak besar. Isi kotak besar itu adalah bermacam-macam pil berawarna-warni. Bun Tek Thian mengambil sebuah pil dengan hati-hati karena tak ingin Cio San melihat ia mengambil pil yang mana. Lalu dengan sigap ia memasukkannya ke dalam mulut Cio San.

Begitu Cio San menelannya, Bun Tek Thian langsung membuka totokannya.

“Terima kasih, boleh ku tahu dimana jamban nya tuan walikota?” tanya Cio San

“Mari kuantarkan” tukas Tong Sing Sat.

Mereka berdua pergi dan kembali setelah beberapa lama.

“Sudah lega, Cio San?” tanya Bun Tek Thian sambil tertawa.

“Bebas merdeka” kata Cio San sambil mengelus-elus perutnya.

Ia kembali duduk di tempat semula dan membiarkan Bun Tek Thian menotoknya. Setelah itu Bun Tek Thian memasukan pil penawar ke dalam mulut Cio San.

Mereka ngobrol di sana sampai hari mulai gelap, lalu melanjutkan perjalanan. Tentunya Bun Tek Thian mendapat tambahan bekal makanan dan uang.  Setelah keluar dari kota kecil itu, mereka memasuki desa dan hutan-hutan yang tidak terlalu lebat.

Di subuh hari, ketika memasuki hutan bamboo, Cio San yang terbaring di kereta dan ditimbun jerami tiba-tiba  berkata, “Di depan ada beberapa orang yang menghadang jalan”

“Darimana kau tahu? Wah telingamu hebat sekali” Bun Tek Thian memang sudah melihat ada beberapa orang di depan. Tapi jaraknya masih jauh sekali.

“Maaf aku harus menutuk syaraf suaramu” Bun Tek thian menjulurkan tangan dan menutuk sebuah titik di tenggorkan Cio San.

Begitu kereta mendekat, terlihat ada 8 orang yang berdiri di depan. Mereka memakai seragam tentara kerajaan.

“Berhenti!” seseorang yang kelihatan sebagai pimpinan pasukan kecil itu. Bun Tek Thian memberhentikan keledainya. Ia bertanya, “Ada apa tuan?”

“Biarkan kami memeriksa keretamu.” Kata si pimpinan.

“Saya hanya membawa jerami untuk di jual ke kandang-kandang kuda tuan. Tidak membawa apa-apa” kilah Bun Tek Thian.

Ia baru mau turun dari keledainya ketika sabetan pedang sudah diarahkan ke kepalanya. Kaget sekali Bun Tek Thian melihat serangan ini. Tapi ia bukan pesilat sembarangan. Ia sedikit saja menggerakkan kepala, sabetan pedang itu sudah lewat diatas kepalanya. Sabetan pedang itu bukan sabetan pedang biasa yang dilancarkan oleh seorang tentara biasa pula. Tentara rendahan tak mungkin memiliki ilmu setinggi itu.

Bun Tek Thian melepaskan pukulan ke arah salah seorang, tapi teman-temannya yang lain sudah sigap menghalangi pukulan itu dengan sabetan pedang yang tak kalah dahsyat dengan sabetan yang tadi.

“ilmu pedang Kun Lun pay? “ Bun Tek Thian berkata dalam hati

Satu sebetan lain mengincar kerongkongan.

“Ini jurusnya Hoa San pay” ia masih membatin lagi

Belum sempat berpikir, sebuah serangan mengincar ulu hatinya,

“Kalau yang ini adalah ilmu Tian shan pay” pikirnya

“Apa kalian partai-partai lurus sudah bersatu padu ingin menghancurkan kami?” sambil marah ia mengelurkan 8 pukulan sekaligus. Hawa panas yang dahsyat keluar dari kedua telapak tangannya. Tapi semua pukulan itu bisa dihindari oleh ke 8 lawannya.

“Itu langkah menggapai awan milik Butongpay!” Bun Tek Thian berseru kaget.

Para penyerangnya menyerangnya dengan berbagai macam juru dari berbagai macam aliran. Bun Tek Thian tetap melayaninya dengan tenang. Tapi ia tidak habis pikir bagaimana mungkin ke 8 penyerangnya ini menguasai hampir segala macam jurus dari berbai aliran.

Pertempuran baru beberapa menit, tapi pohon-pohon dan tetumbuhan di sekitar situ sudah porak poranda. Bisa dibayangkan betapa dahsyat serangan pedang, dan juga pukulan yang mereka semua lancarkan.

“Mengapa murid-murid yang kuminta mendampingiku belum juga tiba?” tanya Bun Tek thian dalam hati.

Seperti yang telah kita ketahui, Bun Tek thian memang telah memerintahkan beberapa murid untuk mengawal dirinya secara tersembunyi. Mereka memang selalu mengawalnya sejak ia memerintahkan hal itu kepada Sow cukong. Entah mengapa sekarang malah tidak kelihatan batang hidung seorang pun.

Bun Tek Thian terdesak setelah puluhan jurus. Dibandingkan dengan Butongpay Ngo Kiam, ke 8 orang ini ilmunya lebih tinggi, serangannya lebih dahsyat, jurus-jurus mereka pun berasal dari berbagai macam aliran!

Ia terdesak. Walaupun tombak goloknya kini sudah berada di tangannya, menghadapi ke 8 penyerang ini tetap bukanlah hal yang gampang. Teramat sulit malah. Hujan pedang mereka jauh lebih rapat daripada hujan pedang yang pernah dia alami sepanjang hidupnya!

Tenaganya terkuras habis, karena serangan yang ia hadapi bukan saja serangan yang cepat dan ganas, melainkan juga berisi tenaga dalam yang tinggi. Setiap kali tombak goloknya beradu dengan pedang, setiap kali itu juga ia merasa getaran yang hebat. Tapi dengan gagah ia berusaha untuk terus melindungi keretanya. Jangan sampai ada seorang pun yang berhasil menembus kibasan angin puyuh tombak goloknya.

Cio San masih berbaring di dalam tumpukan jerami. Dari suara pertarungan yang dia dengar, tahulah ia bahwa Bun Tek Thian sudah terdesak. Langkah-langkahnya sudah mulai berat. Memang sejak memasuki jurus ke 108, gerakannya sudah mulai melambat. Tapi Bun Tek thian masih dengan gagah mempertahankan posisinya untuk menjaga kereta.

Delapan buah pedang mengincar kepalanya. Bun Thek Thian mengangkat tongkat goloknya untuk menangkis. Tahu tahu sebuah tendangan telah menghantam tulang rusuknya. Ia sebenarnya sudah tahu serangan ini akan datang. Tapi gerakannya sudah kalah cepat. Dalam hati ia bergidik, berapa jauh ilmu silatnya tertinggal oleh orang-orang ini.

Menghadapi dua orang seperti ini ia masih bisa. Tapi delapan sekaligus? Bun Tek Thian telah siap menghadapi ajalnya. Karena tendangan di tulung rusuk itu menghempaskannya ke belakang. Ia jatuh terjungkal. Kedelapan pedang sudah mengincar seluruh tubuhnya!

Ia membuka mata lebar-lebar menghadapi kematiannya.


Related Posts:

0 Response to "Bab 27 Pertarungan Hidup dan Mati"

Posting Komentar