EPISODE 2 BAB 16: MUSIM SEMI


Musim semi tiba. Salju mencair dengan cepat. Bumi yang beberapa saat lalu seolah-olah tertutup oleh selimut putih, kini berangsur-angsur berubah warna. Tanah mulai terlihat kecoklatan, pepohonan mulai terlihat menghijau.

Musim dingin telah lewat, kini musim semi yang hangat tlah datang.

Seperti juga kehidupan manusia, selalu berganti-ganti setiap waktu. Sedih dan bahagia bertukar tempat setiap saat. Walaupun terasa berat, justru hal inilah yang membuat umat manusia terus berkembang dan bergerak maju.

A San sedang duduk di bawah pohon willow ketika seseorang meneriakan namanya.

“A San! A San! Kita mendapat pekerjaan kali ini”

Tanpa menoleh pun A San sudah tahu bahwa itu adalah sahabat dekatnya, Sam Siu. A San memanggilnya Siu-ko (kakak Sio).

Ia bangkit dari duduknya dengan wajah berseri-seri, “Pekerjaan apa? Di mana?”

“Kita disuruh membangun kolam. Di rumah Yan-wangwe (hartawan)” jawab Sam Siu.

“Aha. Pantas wajahmu berseri-seri” tukas A San tersenyum.

“Haha. Iya. Akhirnya kesempatanku bertemu dengan Niu-Niu akan lebih sering” Sam Siu pun tersenyum.

“Kapan kita sudah mulai bekerja?” tanya A San.

“Besok sudah bisa” jawab Sam Siu. “Eh, bukankah besok adalah tepat 2 tahun kita bertemu?” tanya Sam Siu.

A San berpikir sebentar, “Ya benar. Mungkin ini hadiah dari Thian (langit) untuk persahabatan kita. Harus kita rayakan!” katanya senang.

“Ayo kita pulang ke rumah”

Rumah yang di maksud sebenarnya tidak cukup pantas untuk di bilang rumah. Walaupun bersih, tetap saja masih belum pantas di bilang rumah. Hanya berupa sebuah gubuk reot yang terletak di pinggiran sungai. Terbuat dari bambu dan kayu-kayu kering.

Kedua orang itu duduk di sebuah dipan di depan pintu.

“Walaupun kita tidak punya arak, bahkan secangkir teh pun tidak ada, perayaan ini harus dilangsungkan dengan meriah!” kata A San.

“Tentu saja! Hari ini kita minum air hangat saja. Haha” tawa Sam Siu.

Mereka tertawa-tawa dan menuangkan air hangat itu dari sebuah guci. Air itu diminum dengan bahagia dan penuh rasa syukur. Persahabatan memang harus dihargai. Dan harga yang paling mahal bagi sebuah persahabatan adalah ketulusan.

Musim dingin yang penuh penderitaan sudah lewat. Bagi sebagian orang, musim dingin adalah masa yang penuh kebahagiaan. Baju hangat, permainan salju, makanan-makanan yang jauh lebih nikmat disantap saat musim dingin, kenangan-kenangan romantis yang tak terlupakan. Tetapi bagi golongan yang tidak memiliki apa-apa, musim dingin adalah penderitaan yang paling berat. Hanya kaum miskinlah yang paling mengerti penderitaan semacam ini.

Sam Siu dan A San adalah dua pemuda miskin. Tentu saja mereka paham penderitaan ini.

Mereka menikmati air hangat itu seperti menikmati arak yang paling nikmat. Sore datang menjelang. Matahari perlahan meredup. Mereka masih duduk di depan itu bercerita dengan suka cita.

“Siu-ko (kakak Siu) , mengapa kau tidak memberanikan diri melamar Niu-Niu?” tanya A San.

“Kau ini tolol apa sudah mabuk air hangat? Haha. Mana berani aku melamar putri keluarga kaya seperti dia? Merindukannya saja aku tidak berani” tukas Sam Siu.

Jika ‘rindu’ saja sudah merupakan penderitaan yang berat, apalagi ‘tidak berani merinduinya’? Jika jatuh cinta saja kadang terasa menyakitkan, bagaimana pula dengan ‘tidak berani berkata cinta’?

Jika cintamu sedalam lautan, setinggi gunung tertinggi sekalipun, namun kau hanya mampu memendamnya, menyimpannya rapat-rapat, dan mengubur seluruh perasaanmu terhadapnya, membiarkan perasaanmu membusuk dan mati dengan sendirinya, memangnya hidup seberat apa pula yang tak sanggup kau jalani?

A San tidak berani memikirkannya. Hidup mereka berdua sendiri sudah sangat berat. Makan hanya mengandalkan hasil tangkapan sungai di pinggir gubuk mereka ini. Jika ingin makan nasi, tangkapan ikan itu mereka tukarkan dengan beras. Untuk membeli pakaian atau perabotan rumah pun mereka masih belum mampu. Jika dengan keadaan seperti ini Sam Siu menebalkan muka dan pergi meminang Yan Niu Niu, putri seorang hartawan terkaya di kota itu, maka kemungkinannya hanya dua. Keluarga itu akan tertawa sampai mampus, atau sebaliknya, menangis sampai mampus. Dua-duanya tentu tidak enak.

A San lupa bahwa masih ada kemungkinan-kemungkinan berikutnya, seperti kemungkinan bahwa bisa saja keluarga Yan menggorok leher Sam Siu karena dianggap mempermalukan mereka, dan masih banyak kemungkinan yang lain pula. Tapi tentu saja A San tidak mau berpikir.

“Setidaknya, bertemu dengannya sudah merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku. Suatu kemewahan dan anugrah terindah jika bisa memandang wajahnya yang suci” ujar Sam Siu sambil menatap ke atas langit.

Pertemuan. Bagi sebagian orang, pertemuan adalah hal terindah. Bagi sebagian yang lain, pertemuan hanyalah kebosanan demi kebosanan.

A San hanya bisa mengangguk-angguk. Ia tidak mau berpikir tentang cinta. Lebih tepatnya, ia tidak berani berpikir tentang cinta. Penderitaan manusia sudah terlalu banyak akibat cinta.

Esok harinya pagi pagi sekali kedua orang ini sudah berada di depan gerbang Yan-ceng (perkampungan keluarga Yan). Sebuah ceng yang sungguh luas sekali. Begitu sampai di depan pintu pagarnya, mereka sudah ditegur pengawal,

“Berhenti! Apa keperluanmu?” bentaknya galak.

“Saya Sam Siu dan ini A San. Kami mendapat kerja untuk membuat kolam” jelas Sam Siu.

“Oh? Sepagi ini kalian datang?” tanyanya masih galak.

“Memang kami disuruh datang pagi-pagi sekali” jawab Sam Siu.

“Barang apa saja yang kalian bawa?”

“Kami hanya membawa cangkul, dan guci untuk minum” 

Penjaga gerbang itu memperhatikan dengan seksama, lalu berkata, “Baiklah, kalian boleh masuk. A Tung akan mengantarkan kalian”

Ia lalu meneriakkan nama A Tung, tak lama kemudian A Tung muncul.

“Antarkan mereka ke bagian utara, mereka akan membuat kolam di sebelah kamar Niu-siocia” kata si penjaga.

Mendengar kalimat ini, sudah pasti yang paling bersinar-sinar wajahnya adalah Sam Siu. Melihat ini A San menahan tawanya. Sebisa mungkin mereka berdua membuat wajah yang wajar.

Berjalan melintasi Yan-ceng (perkampungan keluarga Yan) ini bagaikan melintasi istana raja. Bangunan-bangunannya sangat indah, terutama bangunan utama. Luas dan sangat asri pula. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka pun memberi senyum yang ramah.

A San memandang wajah sahabatnya. Ia tahu apa yang Sam Siu rasakan. Bagaimana mungkin seorang lelaki kere seperti dirinya akan mampu memiliki Niu-Niu? Seperti ada jarak ‘ratusan tahun’ yang memisahkan mereka. Begitu jauh. Begitu berbeda. Namun kenapa, begitu dekat di dalam hati?

Tak terasa air mata mengambang di pelupuk mata A Man. Ia memang orang yang mudah terharu. Ia juga paham betul, bagaimana menyaktikannya cinta itu. Apakah karena itu kebencian di muka bumi ini begitu banyak? Karena cinta itu menyakitkan, umat manusia lebih cenderung memilih kebencian.

Ia menyentuh punggung sahabatnya itu, mencoba untuk memberi sedikit sokongan kekuatan kepada jiwanya. Sam Siu menatapnya sambil tersenyum. Seyuman pahit yang terasa manis sekali. Tatapan mata Sam Siu seperti berkata, “Aku laki-laki, tentu saja aku akan kuat menjalaninya”

Mereka terus berjalan hingga sampai di tempat yang dituju.

“Ya di sini. Itu tanda-tanda batas untuk kolam sudah ada. Kalian tinggal mengikutinya saja” jelas A Tung. “Aku pergi dulu, jika ada apa-apa cari aku saja”

“Baik, terima kasih kakak” kata Sam Siu sambil tersenyum.

“Mari kita mulai bekerja” katanya terhadap A San.

Kedua orang itu mulai mencangkul dengan semangat. Pekerjaan, bagi mereka adalah suatu anugrah. Dengan hasil itu setidaknya hidup mereka akan sedikit lebih baik ke depannya. Mungkin bisa untuk membeli baju yang pantas, atau makan yang lebih enak. Mungkin juga bisa ditabung sedikit untuk keperluan-keperluan yang akan datang.

Sudah beberapa jam mereka menggali. Lubang sudah sangat besar. Sebenarnya Sam Siu tidak ingin menyelesaikan pekerjaan ini terlalu cepat, agar kesempatan bertemu dengan Niu-Niu bisa lebih lama. Tapi ia berpikir, jika pekerjaan cepat dan memuaskan, maka keluarga Yan akan memanggilnya lagi. Dengan begitu ia masih bisa bertemu dengan Niu-Niu.

Tapi sudah sekian lama mereka bekerja, tanda-tanda bayangan nona yang ditunggu-tunggu masih belum muncul juga. Beberapa pelayan datang membawakan minum dan makanan. Sam Siu berharap Niu-Niu yang datang mengantarkan makanan, tapi itu tentu saja tidak mungkin. Nona besar tentu saja tidak mau melakukan pekerjaan pelayan.

Saat tengah hari, mereka beristirahat. Duduk di bawah pohon plum, mereka beristirahat sambil menikmati santap siang. Santapan siang ini tentu saja sungguh mewah bagi mereka. Pada saat sedang nikmat-nikmatnya makan, terdengar suara yang merdu sekali,

“Eh rupanya Siu-ko yang mengerjakan kolam”

Kedua pemuda itu menoleh.

Pemilik suara semerdu itu memang sangat cantik. Wajahnya cerah, putih kemerah-merahan. Matanya lebar dan bercahaya terang.

Dengan kikuk Sam Siu menyapa pula, “Yan-siocia (nona Yan), apa kabar?”

“Kabar baik. Siu-ko baik pula kah?” katanya sambil tersenyum.

Pantas saja Sam Siu jatuh hati pada nona ini, pikir A San. Wajahnya sungguh tak kalah dengan nona-nona besar di kotaraja.

Sam Siu mengangguk-angguk, “Tentu saja baik, siocia”

“Baiklah. Teruskan makannya ya, aku pergi dulu ada urusan di toko ayah” kata Yan Niu-Niu dengan halus.

“Silahkan nona. Hati-hati di jalan”

Si nona mengangguk sambil tersenyum manis.

Nona cantik itu telah pergi. Sam Siu masih berada di situ. Tapi jiwanya telah melayang mengikuti langkah halus nona itu. Ia masih diam terpaku di tempatnya.

A San memandangnya sambil tersenyum, katanya “Jika Siu-ko terus berdiri seperti ini, kemungkinan besar orang-orang mengira mereka salah pesan patung”

Sam Siu tersadar lalu berkata, “Aih, cantik sekali nona itu. Ini pertama kalinya lagi kita bertemu setelah pertemuan pertama”

“Oh, semenjak Siu-ko menolongnya memperbaiki roda kereta yang patah dulu itu?”

“Iya. Saat itu aku kebetulan lewat dan melihat kereta yang terperosok masuk parit. Untung segera bisa kuperbaiki keretanya. Untung pula nona itu sangat berbaik hati dan mau berkenalan denganku”

“Kejadian itu sudah lama lewat, tapi nona itu masih ingat kepadamu” tukas A San.

“Yaaa. Hal ini saja sudah membuat hatiku sangat senang” ujar Sam Siu gembira.

Mereka duduk dan makan dengan suka cita. Hari itu terasa lebih cerah dan membahagiakan dibanding hari-hari yang lain.

Bukankah sebuah senyuman saja sudah cukup untuk membahagiakan hati orang lain?

Musim semi.

Anginnya sejuk. Sinar mataharinya teduh. Inilah saat ketika bunga-bunga perlahan-lahan mulai tumbuh dan bermekaran. Musim semi adalah saat ketika harapan kembali tumbuh. Saat ketika penderitaan musim dingin telah lewat.
A San selalu suka dengan musim semi.

Musim dingin selalu menyakitkan hatinya. Dua kali sudah ia melewatkan musim dingin di kota kecil itu. Ia baru 2 tahun di sana. Tapi ia sangat mencintai kota itu. Kota kecil yang aman dan damai. Kota ini menjadi tujuan wisata bagi para pelancong di bagian utara Tionggoan.

Ia sudah tidak mau lagi mengingat masa lalunya. Ia ingin menjadi manusia baru. Karena itulah ia memilih tinggal di kota kecil ini. Walaupun kecil, kota ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai macam suku Tionggoan. Suku Han (orang tionghoa asli), Uyghur, Hui, kazak, Tajik, dan Mongol. Mereka hidup dengan damai di kota yang bernama Tihwa ini.

“Mari kita bekerja lagi!” kata Sam Siu dengan bersemangat.

Tak terasa sudah hampir seminggu mereka bekerja. Membuat kolam yang luas dan indah bukanlah pekerjaan yang gampang. Tetapi Sam Siu dan A San bekerja dengan rajin sehingga hasilnya pun sangat baik sekali.




Di hari ke 6, saat mereka sedang beristirahat makan, seorang centeng keluarga Yan menghampiri mereka, “Kalian bisa merawat kuda?”

Sam Siu mengangguk.

Tentu saja bisa. Jika keluarga Yan yang bertanya apa yang bisa Sam Siu lakukan, maka Sam Siu akan menjawab apapun bisa ia lakukan.

Ini nampaknya sudah menjadi rumus.

Dalam hati A San tertawa.

“Baiklah. Pengurus kandang kuda kami mengundurkan diri. Ia dan anaknya entah mendapat warisan dari mana sehingga mampu membeli sawah. Jika kolam ini selesai, maka kalian mendapat pekerjaan tetap mengurus kandang kuda”

Begitulah.

Dari pekerjaan membuat kolam, mereka kini menjadi pengurus kuda. Sam Siu sangat senang sekali dapat bekerja secara tetap di sana. Mereka bahkan diberi ruangan kecil di sebelah kandang kuda-kuda itu.

Kini mereka berdua duduk menatap langit-langit kamar. Walaupun bukan kamar yang mewah, setidaknya masih layak ditinggali manusia. Jauh lebih baik ketimbang gubuk reot mereka sebelumnya.

“Eh, A San, bukankah hidup itu sungguh nikmat?”

Mendapat pertanyaan seperti ini, A San sukar menjawab.

Karena walaupun hatinya tidak bahagia, perasaannya juga tidak sedih. Ia sendiri khawatir hatinya sudah mati. Sudah 3 tahun peristiwa itu terjadi. Sudah 3 tahun ia mencoba melupakannya. Mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sehingga ia akhirnya menetap di kota kecil ini selama 2 tahun.
Herannya, wajah orang yang ingin dilupakannya itu justru semakin terbayang dari hari ke hari.

Meskipun rasa sakit itu hilang, meskipun hidupnya kini terasa tenang, sebuah kenangan tak akan pernah hilang di dalam jiwa manusia.

Manusia yang menjadi kenangan manis, sebenarnya adalah manusia yang beruntung. Setidaknya mereka masih terus berharga walaupun tidak lagi berada di dalam kehidupan orang lain.

“Kau sudah tidur?”

“Belum” jawab A San.

“Lalu kenapa tidak kau jawab pertanyaanku?”

“Aku justru sedang memikirkan pertanyaan Siu-ko (kakak Siu)” jawab A San.

“Pertanyaan seperti ini kan tidak perlu dipikir” tukas Sam Siu.

“Justru setiap pertanyaan memang harus dipikir”

Sam Siu diam sejenak, lalu katanya, “Kau benar”

Ia pun melamun memandang langit-langit.

Tempat tidur mereka cuma berupa sebuah depan lebar. Kasurnya cuma berupa kain yang berisi jerami. Tidurnya pun berhimpitan. Tetapi Sam Siu sungguh bahagia.

Kebahagiaan itu memang sebenarnya selalu sederhana.

A San tersenyum.

“Kurasa memang hidup kita selamanya harus dinikmati. Apa yang ada di depan mata ya dilihat, apa yang di depan mulut ya diendus, apa yang di depan mulut ya dimakan. Perbuatan ini rasanya tidak begitu sulit!”

“Nah!”

“Apalagi jika kau bisa bertemu dengan pujaan hatimu”

“Nah!”

“Setiap hari pula!”

Sebenarnya Sam Siu ingin menjawab “Nah” lagi, cuma saja perkataan A San tadi sedikit mengusik hatinya.

“Sudah 3 hari ini aku tidak melihatnya” kata Sam Siu.

“Dulu, ketika kau belum bekerja di sini, berapa kali kau bertemu dengannya, Siu-ko (kakak Siu)?” tanya A San.

“Tidak pernah”

“Nah! Jika sekarang tidak bertemu 3 hari saja kan bukan perkara yang besar” kata A San sambil tertawa.

“Kau tahu, selama 2 bulan kita bekerja di sini, aku selalu melihatnya setiap hari. Entah itu cuma lewat, atau saat ia ingin menggunakan kuda, atau saat apa saja lah. Walaupun cuma sebentar, setidaknya aku masih bertemu” jelas Sam Siu.

“Kau kan toh belum menikah dengannya, belum hidup sekamar dengannya pula. Jika ia tidak muncul satu dua hari kan tidak masalah” ujar A San.

“Satu dua hari memang tidak masalah. Tapi 3 hari sudah menjadi masalah” kata Sam Siu.

A San sebenarnya ingin tertawa. Tapi ia tidak mampu. Ia paham, Cinta dapat membuat orang sengsara saat tidak bertemu selama 3 hari. Tetapi cinta juga dapat membuat orang bertahan untuk tetap kuat menanti saat pertemuan setelah berpisah bertahun-tahun.

“Coba hari ini kau bertanya-tanya, Siu-ko. Siapa tahu mungkin ia pergi keluar kota, atau sedang sibuk dengan kegiatannya”

“Aku tahu ia tidak pergi keluar kota, dan aku tahu pula ia hanya berdiam di kamar” kata Sam Siu.

“Eh, apakah dia sakit? Bagaimana kau bisa tahu?”

“Setiap hari aku pura-pura melewati kamarnya”

“Jadi sekarang kau sudah berubah menjadi tukang intai dan tukang intip, Siu-ko?” tanya A San sambil tertawa.

Orang yang jatuh cinta memang selalu seperti ini.

Sam Siu tertawa karena perbuatannya ketahuan,

“Setidaknya aku hanya ingin tahu kabarnya saja. Segala perbuatan tidak senonoh tidak pernah kulakukan” jelasnya sungguh-sungguh.

“Aku percaya”

Nona yang setiap hari terlihat di rumah, lincah dan manja, kini mengurung diri 3 hari di dalam kamarnya.

Nona ini mungkin sedang jatuh cinta. Mungkin juga sedang ngambek dan minta kawin. Urusan perbuatan perempuan memang A San sama sekali tidak ahli.

Tapi keadaan ini membuat dirinya tertarik.

Sudah 3 tahun lebih hidupnya tenang. Ia ingin sesuatu yang menarik yang membuatnya bersemangat kembali. Meskipun hanya urusan perempuan yang tidak mau keluar kamar selama 3 hari.

Jika ini menyangkut perasaan sahabatnya, tentu saja ia perduli. Sejak dahulu ia memang sudah seperti itu.

Rembulan di musim semi.

Musim dingin yang panjang sudah lewat. Musim semi telah datang. Musim panas yang menghangatkan pun akan tiba.

Kegembiraan dan kehangatan.

Persahabatan dan persaudaraan.

Yang berlalu sudah berlalu, yang akan datang belum lagi datang. Jika tidak menikmati hari ini, memangnya apa yang bisa manusia lakukan?


A San dan Sam Siu pun tidur sambil tersenyum. Orang-orang seperti mereka, yang hidup dalam keterbatasan, justru kadang-kadang lebih tahu caranya menikmati hidup.



Related Posts:

PROLOG PEMBUKAAN BAGIAN KEDUA


Kao Ceng Lun terbangun. Suara orang mengetuk pintunya. Mengapa pelayan rumah membangunkannya sepagi ini? Beberapa hari ini ia menjalankan tugas kerajaan, menyelidiki beberapa perkara. Mumpung kebetulan melewati kota kelahirannya, ia mampir sebentar untuk mengunjungi rumah ayahnya.

Sebenarnya ia merasa terganggu sekali dibangunkan sepagi ini, tetapi jiwa pendekarnya mengatakan bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

“Ada apa?” katanya sambil membuka pintu kamar.

Yang terkejut sebenarnya adalah Kao Ceng Lun, karena dilihatnya wajah pelayan rumah sudah pucat pasi bagaikan mayat.

“Tuan be...tuan..be..sar.....”

“Ada apa? Tuan besar kenapa?” tanpa menunggu jawaban dari pelayan rumah, Kao Ceng Lun segera bergegas ke kamar ayahnya. Pintu kamar sudah terbuka, dan ada beberapa pelayan yang berdiri di depan pintu dengan wajah pucat pasi, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Wajah Kao Ceng Lun pun berubah seperti ini saat ia melihat apa yang terjadi di dalam kamar.

Ayahnya terbaring di atas tempat tidur dengan berlumuran darah. Lehernya terputus.

Di sebelahnya terdapat jubah merah.


Merahnya jauh lebih merah daripada darah segar.



Related Posts:

CATATAN KECIL UNTUK NOVEL KEDUA


Terima kasih teman-teman sudah mengikuti sampai sejauh ini. Walaupun update nya sedikit tertunda-tunda karena saya disibukkan oleh pekerjaan kantor, saya masih berkomitmen menyelesaikan cerita ini. Saya cukup heran ketika ternyata banyak yang menyukai cerita ini, padahal cerita ini hanya berawal dari keisengan.

Meskipun iseng, kemudian saya ternyata jatuh cinta dengan tokoh-tokoh ciptaan saya sendiri. Dan ternyata dari komentar2 pembaca, saya pun tahu bahwa tokoh2 ini pun disukai oleh mereka.  Karena kecintaan ini, banyak pembaca yang kemudian tidak sabaran dalam membaca. Banyak yang sudah berkomentar bahwa novel bagian dua ini sudah tidak seperti bagian pertama, atau tokoh2nya kenapa beda, atau banyak pula yg menanyakan kemunculan Cio San.

Seperti yang teman-teman ketahui, novel ini judulnya adalah "Kisah Para....". Ada kata 'Para' di sana. Jadi cerita ini mengisahkan perjalanan hidup beberapa orang tokoh. Walaupun Cio San adalah tokoh sentralnya, novel ini akan tetap menceritakan tokoh-tokoh utama lain, seperti Suma Sun, Cukat Tong, dan Kao Ceng Lun.

Cerita ke depan mungkin akan lebih 'mbulet', karena mengisahkan perjalanan hidup Cio San, tragedi keluarga Suma, penderitaan Cukat Tong, tugas kerajaan yg diemban Kao Ceng Lun, serta perkumpulan rahasia 'Bunga Matahari', keluarga Gan yang unik, serta perebutan kekuasaan kerajaan.

Moga2 saya bisa menyusun cerita yang walaupun complicated, tetap bisa diikuti dengan mudah, seru, dan menyentuh. Mohon doa teman2 sekalian agar saya selalu bisa diberi rejeki dan kesehatan sehingga penulisan novel ini bisa berjalan tanpa hambatan.

Terima kasih.

Menjura!

Related Posts:

EPILOG PENUTUP BAGIAN PERTAMA ‘RAHASIA JUBAH MERAH’



Setelah begitu jauh Tan Hoat dan Suma Sun berkelana, akhirnya mereka bertemu juga dengan Can Li Hoa, sang Pendekar Pedang Kelana.

Pertemuan yang sangat mengharukan bagi Can Li Hoa karena inilah satu-satunya keturunannya yang tersisa. Ia telah mengetahui semua kejadian yang terjadi di puncak gunung salju itu.

Sudah hampir setahun Suma Sun diasuh oleh Tan Hoat. Selama bersama Suma Sun selalu bersikap dingin dan tidak banyak bicara. Tan Hoat sangat mengerti keadaan ini dan tidak menyalahkan Suma Sun. Ia pun tidak memaksa anak itu untuk mematuhinya. Setiap hari ia mencurahkan kasih sayang kepada Suma Sun bagaikan anaknya sendiri. Tetapi hati Suma Sun memang seperti sudah mati.

Setelah menyerahkan Suma Sun kepada Can Li Hoa, Tan Hoat meminta diri.

Dalam perjalanan pulang ia menyempatkan diri menyelediki beberapa kawanan perampok yang meresehkan penduduk. Saat itulah ia melihat pesan rahasia dari perguruannya yang menggetarkan jiwanya,

“Thio Sam Hong-thaysuhu Telah Berpulang” 






















Related Posts:

EPISODE 2 BAB 15 AMANAT MARGA



“Menarik...” Bwee Hua tersenyum.

Yang lain hanya bisa melongo. Kejadian yang tidak ada siapa pun menduganya.

“Ke...mar..i” panggil Suma Tian perlahan.

Li Hiang maju dengan perlahan. Mendekatkan kepalanya kepada orang yang barusan memanggilnya ‘adik’ ini.

“Dulu..ibu...melahir..kan dua...orang..anak..kembar...”

Semua orang memperhatikan dan mendengarkan suara lirih itu.

“Men...urut..peraturan..ke..luar..ga..Suma...anak yang...ter..pi..lih..hanya..lah ..yang..ber..tangan..kidal..”

“Yang..tidak.kidal...harus..di..bu..nuh..ke..luarga..Su..ma..hanya...boleh..mempunyai..sa..tu..ke..turunan...”

“Teta..pi...ayah...ti..dak..te..ga.....mem..bunuh..mu..beli..au..menitipkan...mu...ke..pada..sese..orang”

“Raha...sia..ini..ha..nya..aku..yang..diberi..ta...hu...tapi..beli..au..ti..dak..memberitahu..kan..kepada..sia..pa..beliau..menitipkan..engkau...”

“Hanya...ka..lung..ini..seba..gai..penanda..nya”

Mendengar hal ini, entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran Li Hiang. Ia adalah keturunan keluarga Suma. Namun keturunan yang terbuang!

Selama hidupnya ia telah menjadi orang sisa-sisa. Lahir tidak diinginkan, hidup pun akhirnya dikejar-kejar. Mendapat pengetahuan baru seperti ini membuat jiwanya benar-benar terguncang.

Air matanya menetes. Semarah apapun dirinya, di hadapannya berbaring kakaknya yang sedang sekarat karena serangan pedangnya.

“Na..ma..mu...Suma..Hiang..se.la..mat..kan..keponakan...mu.., a..dik....kau..adalah..seorang..Suma”

‘Suma’ adalah kata terakhir Suma Tian.

Li Hiang menutup mata kakaknya itu.

Pada akhirnya, setelah selama ini hidup menjadi orang terbuang, ia memiliki saudara. Seberat apapun beban hidupnya, semarah apapun hatinya, setidaknya ada satu orang di dunia ini yang menganggapnya saudara.

Persaudaraan selalu lebih berharga dari apapun juga. Sayangnya  manusia selalu terlambat memahaminya.

“Bwee Hua!” Li Hiang akhirnya berdiri.

Ia adalah seorang Suma!

Bwee Hua tersenyum mengerling.

“Jika namaku disebut oleh Li Hiang-tayhiap yang terhormat, rasanya sungguh merupakan sebuah kehormatan” tukas Bwee Hua.

“Namaku Suma Hiang”

Siapapun yang mendengar nama Suma pasti hatinya tergetar. Suma yang satu ini bukan pengecualian.

Suma yang manapun memang bukan pengecualian.

Ia memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri.

Gaya pedang keluarga Suma.

Karena walaupun ia dulu terbuang, kakaknya telah menerimanya kembali.

“Para hadirin yang datang, dengarkanlah! Bwee Hua-siocia (nona Bwee Hua) adalah seorang penculik. Ia telah menculik putra dari keluarga Suma. Perbuatan hina dan penuh cela ini harus dihentikan!”

“Urusan kami semua datang kesini adalah untuk mencarimu! Urusan keluarga Suma adalah urusan keluarga Suma! Pertama-tama kau tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” hampir serempak orang-orang ini ramai berteriak.

Tan Hoat, satria dari Butong-pay itu mencoba menenangkan. Tetapi keadaan sudah tidak terkendali. Semua orang sudah mencabut senjata. “Tenang...saudara-saudara...tenang!”

Belum selesai Tan Hoat menenangkan mereka, Suma Hiang sudah bergerak cepat. Meskipun tenaganya telah habis bertempur seratus jurus, dengan semangat yang membara ia telah menyerang Bwee Hua.

Menerima serangan pedang yang ganas itu, Bwee Hua melakukan hal yang persis sama dengan yang dia lakukan saat menghadapi serangan Suma Tian. Ia hanya menyodorkan Suma Sun untuk menyambut serangan itu.

Tapi kali ini Bwee Hua salah perhitungan. Pedang yang dipakai Suma Hiang bukanlah pedang sembarangan. Tahu-tahu pedang lemas itu bisa membengkok sendiri. Ujungnya yang semulah menuju leher Suma Sun, kini berbelok arah dan malah menyerang tangan Bwee Hua yang mencengkeram leher belakang Suma Sun!

Dengan licik Bwee Hua menyorongkan pula tubuh Suma Sun ke arah belokan pedang itu. Maksudnya untuk menutup arah gerakan pedang itu, tetapi gerakan ini justru membuat tubuh bagian depannya terbuka. Tanpa ampun, seruling emas Suma Hiang telah masuk ke rusuk Bwee Hua.

Suma Sun akhirnya terlepas, dan perempuan cantik itu terhempas ke belakang. Untunglah ada Gouw Han Sing yang menahannya. Raksasa gundul itu segera menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong tuannya itu.

Serangan Suma Hiang, atau Li Hiang ini, sebenarnya jika dilakukan pada saat ia di dalam keadaan terbaik, pasti akan dapat membunuh Bwee Hua. Tetapi ia barusan saja menghadapi pertarungan terbesar di dalam hidupnya. Tenaga yang tersisa sudah tidak bisa diandalkan lagi.

Bwee Hua juga walaupun tadi sempat meremehkan serangan Suma Hiang, memiliki ketinggian ilmu yang sangat sulit diukur. Tidak ada seorang pun yang mengetahui berapa dalam ilmunya.

Mendapatkan serangan seperti itu tidak membuatnya terluka berat. Ia hanya kaget, dan menyadari bahwa Suma Hiang adalah lawan yang pantas baginya.
Suma Sun pun kini jatuh di tangan Tan Hoat.

“Tenanglah wahai putra Suma” katanya pelan dan gagah.

Anak kecil yang dipanggil ‘putra Suma’ itu memang tenang. Jika bumi seluruhnya hancur pun dia akan tetap tenang. Hati dan hidupnya telah mati sejak beberapa saat yang lalu.

“Tan-enghiong (Ksatria Tan), cayhe menitipkan keponakan cayhe kepada enghiong.” Kata Suma Hiang sambil berlutut. Air mata menetes di pipinya. Ia tahu ia tak akan mungkin mempunyai kesempatan untuk menjaga anak itu.

Lalu ia berkata kepada Suma Sun, “Maafkan pamanmu tidak bisa menjagamu terlalu lama. Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa kau adalah putra Suma”

Suma Sun hanya memandang kosong ke depan. Walaupun raut wajahnya kosong dan pucat pasi, walaupun sinar matanya redup dan tak bercahaya, ada api yang membakar perlahan-lahan di jiwanya.

“Minggir!” dengan gemas Bwee Hua memerintahkan Gouw Han Sing untuk mundur. Ternyata raksasa botak itu hanya bergerak jika diperintah tuannya.

Begitu Bwee Hua ingin maju, ternyata puluhan orang-orang lain telah menyerang Suma Hiang. Mereka ini adalah antara lain adalah tokoh-tokoh terkemuka dunia persilatan dari beberapa partai. Sehingga menyebabkan serangan mereka benar-benar dahsyat dan tak mungkin dihindari.

Nona dari Gobi-pay, Hok Lian Si, tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya memandang pemandangan itu dengan pandangan yang menyedihkan. Anak yang sedang digendongnya pun hanya bisa menatap sendu.

Mereka ini pun sebenarnya adalah orang-orang yang terbuang.

Hal yang paling menakutkan dari manusia adalah bahwa dalam melakukan apapun, selalu ada korban baik sengaja atau tidak sengaja. Korban hati, korban perasaan, korban nasib, maupun korban nyawa.

Ibu dan anak ini hanya memandang begitu lama menyaksikan keroyokan berat sebelah ini. Tan Hoat dan Hong Tang-thaysu yang mencoba merelai pun tidak dapat berbuat banyak. Karena walaupun ilmu mereka sangat tinggi, orang-orang yang mengeroyok ini pun memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Ibu muda ini lalu membisikkan kata-kata terakhir kepada anaknya yang mungkin baru berusia 6 atau 7 tahun ini.

Kata-kata terakhir memang selalu bersemayam di jiwa manusia. Anak itu memandang ibunya sambil menangis. Anak-anak kecil sebenarnya selalu bisa mengerti keadaan. Sayangnya mereka tidak tahu bagaimana bersikap.

Ibu itu memandangnya. Untuk yang terakhir kalinya, dan mengecupnya.

“Anakku sayang, laki-laki berjubah merah itu adalah satu-satunya orang yang ibu cintai di dunia ini. Jika tidak bisa hidup bersamanya, maka ibu harus mati bersamanya”

Cinta.

Seluruh permasalahan di kolong langit ini sumbernya sebenarnya hanya karena satu hal.

Satu hal.

Mengapa manusia tidak pernah mengerti?

“Hong Tang-thaysu, boanpwee (saya yang lebih rendah) menitipkan anak kepada cianpwee (yang lebih tua). Semoga di masa mendatang bisa menjadi manusia yang baik dibawah bimibingan Siau Lim-pay”

Betapa kaget Hong Tang-thaysu mendengar hal ini. Tapi apa dinyana, sang ibu ternyata sudah berbuat nekat, dan menerjunkan diri ke dalam pertempuran.

“Liehiap (pendekar wanita)....mohon dipertimbangkan kembali..” kata bhiksu baik hati ini.

Tetapi keadaan yang sangat kacau balau membuatnya tak mampu melakukan apa-apa. Tan Hoat yang mendengar ini pun tak sanggup berbuat apa-apa karena ia harus menjaga Suma Sun.

Manusia yang sudah putus asa, tidak lagi memiliki pertimbangan yang matang. Manusia yang tidak lagi memiliki cinta, akan berhenti mencintai dirinya sendiri.

Perempuan muda itu dengan nekat terjun dan menerima serangan. Ia hanya ingin mati dengan orang yang dikasihinya. Entah ini merupakan cinta yang dalam atau sebuah kebodohan.

Memang, cinta yang terlalu dalam akan berubah menjadi kebodohan.

Tetapi menjadi bodoh karena cinta, adalah sebuah perbuatan yang manis.

Seseorang tidak pernah dapat disalahkan saat ia berbuat bodoh demi cinta.

Oleh karena itu pula perempuan muda ini tidak dapat disalahkan ketika ia memasang badan menerima serangan pedang mematikan yang terarah kepada lelaki yang sangat dipujanya.

Pedang itu menusuk jantungnya, dan bukan jantung Suma Hiang. Tetapi karena serangan ini pula, Suma Hiang terhempas ke belakang.

Ada orang yang bersedia mati untuknya.

Perempuan ini walaupun bukanlah cinta sejatinya, ia tetap pantas mendapatkan rasa hormat dan sayang yang mendalam.

Meskipun perempuan ini bukan kekasihnya, perempuan ini pantas mendapatkan jiwanya.

Sejak dahulu, orang yang dicintai dan orang yang dinikahi memang seringkali berbeda.

Kehidupan manusia memang selalu penuh rahasia.

Suma Hiang pun akhirnya merelakan kenyataan bahwa ia tidak dapat menyembuhkan Hiang-Hiang. Perempuan yang paling dikasihinya.

Ia meraba kantongnya, bunga itu ternyata telah terjatuh. Mungkin saat ia bertempur tadi.

Ia memejamkan mata menguatkan hatinya.

Jika tidak bisa bersatu di bumi, bukankah masih bisa bersatu di langit?

Tubuh indah milik Hok Lian Si lunglai namun berdiri gagah. Suma Hiang memegang pundaknya, lalu tersenyum, “Mari kita mati sama-sama”
Lalu Suma Liang menggandeng tangan nona itu.

“Ciiiiih!” Bwee meludah muak melihat pemandangan itu. Ia memang selalu muak melihat cinta sejati.

“Hahahaha” Suma Hiang tertawa lalu melemparkan pedangnya jauh-jauh.

Ke dalam sebuah jurang yang amat pekat gelap gulita.

Semua yang melihat kejadian ini sama-sama menyesalkan. Dalam lubuk hati mereka memang ada keinginan untuk mendapatkan pedang itu.

Karena marah karena keinginan mereka tidak terkabul, dan karena melihat Suma Hiang sudah tidak memegang senjata lagi, mereka menyerang dengan bersemangat.

Sebuah serangan yang mengakhiri segalanya!

Seolah-olah semua kekuatan bumi dikumpulkan dan dihempaskan kepada kedua orang ini!

Terdengar dentuman yang sangat keras dan suara bagaikan pohon tumbang.

Tubuh mereka terhempas melayang jauh ke dalam jurang.

Tubuh yang perempuan terhempas lebih jauh karena tubuhnya lebih ringan.
Tapi tangannya tertinggal di tangan Suma Hiang. Putus dari tubuhnya.

Walaupun mati ia tetap menggenggam tangan itu.

Berdua mereka menghilang ditelan kegelapan jurang.

Batas antara cinta dan benci memang sungguh tipis. Hanya orang-orang yang pernah mengalaminya yang mengerti pemahaman ini.

Suma Hiang akhirnya mengerti.

Hok Lian Si pun mengerti.

Sayangnya seseorang harus mengalami dulu baru mengerti.



Hong Tang-thaysu hanya bisa memeluk anak kecil yang ditinggalkan kedua orang tuanya itu.

Tan Hoat pun juga hanya bisa memeluk anak kecil yang diam tak bergerak dalam pelukannya.

Bwee Hua tentu saja sudah tidak ada sejak tadi di sana.

Ia sudah dalam perjalanan menuruni gunung salju itu dengan sepatu khususnya.

Di tangannya terdapat sebuah bunga anggrek yang indah.

Ia tadi sengaja membiarkan Suma Hiang menyerangnya dengan serulingnya, agar ia dapat mengambil bunga itu dari kantong Suma Hiang.

Dalam amarahnya, Suma Hiang lupa bahwa ia harus memberikan bunga itu terhadap seseorang. Dan Bwee Hua benar-benar memanfaat hal ini.

Urusan licik dan perencanaan memang adalah kelebihannya.

Mulutnya tersenyum manis.

Jika Bwee Hua tersenyum memang seperti membuat kebencian yang ditujukan kepada dirinya luruh sepenuhnya.

Ia bagaikan bidadari putih suci bersih tanpa noda yang turun dari langit mengenderai awan.

Bayangannya telah menghilang.

Meninggalkan darah dan air mata di atas gunung itu.

Semua orang akhirnya pulang.

Ketika dendam dan kebencian sudah ditunaikan, biasanya yang tertinggal hanyalah kehampaan. Justru ketika dendam dan benci masih mengisi jiwa, kedua hal itulah yang memberi semangat dan kekuatan.

Kebencian, seperti juga cinta, membuat orang mampu melakukan hal-hal yang mengagumkan.

Lalu apa beda cinta dan benci jika hal-hal yang dihasilkan ternyata serupa?
Hong Tang-thaysu pergi sambil menggendong anak kecil itu.

“Siapa namamu, anak baik?” tanya bhiksu tua itu.

Ia tidak menjawab, dan hanya meneteskan air mata.

“Jangan takut. Mulai sekarang, akulah yang melindungimu. Katakan siapa namamu?”

Anak itu menguatkan hatinya, terisak sejenak, lalu berkata,


“Aku she (marga) Suma”




Related Posts: